Fimosis (Okee)
Fimosis (Okee)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana asuhan kebidanan pada anak yang
menderita penyakit fimosis.
2. Tujuan Khusus
a) Mengetahui asuhan pada penyakit fimosis
b) Mengetahui pengertian pada penyakit fimosis
c) Mengetahui etiologi, tanda dan gejala serta tindakan yang tepat untuk
mengatasi fimosis
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Fimosis
Fimosis (Phimosis) merupakan salah satu gangguan yang timbul pada
organ kelamin laki-laki, yang dimaksud dengan fimosis adalah keadaan
dimana kulit kepala penis (preputium) melekat pada bagian kepala (glans) dan
mengakibatkan tersumbatnya lubang dibagian air seni, sehingga bayi dan anak
kesulitan dan kesakitan saat kencing, kondisi ini memicu timbulnya infeksi
kepala penis (balantis). Jika keadaan ini dibiarkan dimana muara saluran
kencing di ujung penis tersumbat maka dokter menganjurkan untuk disunat.
Tindakan ini dilakukan dengan membuka dan memotong kulit penis agar
ujungnya terbuka (Rukiyah, 2010 :230)
Menurut (Musliatun, 2010 : 160) Fimosis adalah keadaan kulit penis
(preputium) melekat pada bagian kepala penis dan mengakibatkan
tersumbatnya lubang saluiran air kemih, sehingga bayi dan anak kesulitan dan
kesakitan saat kencing. Sebenarnya yang berbahaya bukanlah fimosis sendiri,
tapi kemungkinan timbulnya infeksi pada uretra kiri dan kanan, kemudian ke
ginjal. Infeksi ini dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal
Merupakan kondisi penis dengan kulit yang melingkupi kepala penis
(glans) tidak bisa ditarik kebelakang untuk membuka seluruh bagian kepala
penis (kulup, prepuce, preputium, foreskin). Prepitium terdiri dari dua lapis,
bagian dalam dan luar, sehingga dapat ditarik ke depan dan ke belakang pada
batang penis. Kadangkala perlekatan cukup luas sehingga hanya bagian
lubang untuk berkemih (meatus urethra externus) yang terbuka.
Apabila preputium melekat pada glans penis, maka cairain smegma,
yaitu caitan putih kental yang biasanya mengumpul di antara kulit kulup dan
kepala penis akan terkumpul di tempat itu, sehingga mudah terjadi infeksi.
Umumnya tempat yang diserang infeksi adalah ujung penis, sehingga disebut
balantis. Sewaktu anak buang air kecil, anak akan menjadi rewel dan yang
terlihat adalah kulit preputium terbelit dan menggelembung. (Sudarti, 2012 :
184).
Fimosis bisa merupakan kelainan bawaan sejak lahir (congenital)
maupun didapat. Fimosis kongenital (true phimosis) terjadi apabila kulit
preputium selalu melekat erat pada glans penis dan tidak dapat ditarik ke
belakang pada saat lahir, namun seiring bertambahnya usia serta
diproduksinya hormone dan faktor pertumbuhan, terjadi proses keratinisasi
lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis dan lapis bagian dalam
preputium sehingga akhirnya kulit preputium terpisah dari glans penis.
(Muslihatun, 2010 : 161).
2. Macam-Macam Fimosis
a. Fimosis Kongenital
Fimosis Kongenital (fimosis fisiologis) timbul sejak lahir
sebenarnya merupakan kondisi normal pada anak-anak, bahkan sampai
masa remaja. Kulit preputium selalu melekat erat pada glans penis dan
tidak dapat ditarik ke belakang pada saat lahir, namun seiring
bertambahnya usia serta diproduksinya hormon dan faktor pertumbuhan,
terjadi proses keratinisasi lapisan epitel dan deskuamasi antara glans penis
dan lapis bagian dalam preputium sehingga akhirnya
kulit preputium terpisah dari glans penis.
Suatu penelitian mendapatkan bahwa hanya 4% bayi yang
seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik ke belakang penis pada saat
lahir, namun mencapai 90% pada saat usia 3 tahun dan hanya 1% laki-
laki berusia 17 tahun yang masih mengalami fimosis kongenital.
Walaupun demikian, penelitian lain mendapatkan hanya 20% dari 200
anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang seluruh kulit preputiumnya dapat
ditarik ke belakang penis.
b. Fimosis didapat (fimosis patologik, fimosis yang sebenarnya, true
phimosis) timbul kemudian setelah lahir. Hal ini berkaitan dengan
kebersihan (higiene) alat kelamin yang buruk , peradangan kronik glans
penis dan kulit preputium ( balanoposthitis kronik ), atau penarikan
berlebihan kulit preputium ( forceful retration ) pada fimosis kongenital
yang akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat ( fibrosis) dekat
bagian kulit preputium yang membuka.
Fimosis kongenital seringkali menimbulkan
fenomena ballooning, yakni kulit preputium mengembang saat berkemih
karena desakan pancaran air seni tidak diimbangi besarnya lubang di
ujung preputium.
Fenomena ini akan hilang dengan sendirinya, dan tanpa adanya
fimosis patologik, tidak selalu menunjukkan adanya hambatan (obstruksi)
air seni. Selama tidak terdapat hambatan aliran air seni, buang air kecil
berdarah (hematuria), atau nyeri preputium, fimosis bukan merupakan
kasus gawat darurat. (Ngastiyah, 2005).
3. Insiden/Kejadian
Hanya sekitar 4% bayi yang seluruh kulit preputiumnya dapat ditarik
ke belakang penis pada saat lahir, namun mencapai 90% pada saat usia 3
tahun dan hanya 1-1,5% laki-laki berusia 17 tahun yang masih mengalami
fimosis congenital. Walaupun demikian, penelitian lain mendapatkan hanya
20% dari 200 anak laki-laki berusia 5-13 tahun yang seluruh kulit
preputiumnya dapat ditarik kebelakang penis (Muslihatun, 2010 :161).
4. Etiologi Fimosis
Fimosis pada bayi laki-laki yang baru lahir terjadi karena ruang diantar
kutup dan penis tidak berkembang dengan baik. Kondisi ini menyebabkan
kulup menjadi melekat pada kepala penis , sehingga kulit ditarik kearah
pangkal. Penyebabnya bisa dari bawaan lahir atau didapat, misalnya karena
infeksi atau benturan. (Putra, 2012 :394).
Untuk mengetahui adanya kelainan saluran kemih pada bayi, tiap bayi
baru lahir harus diperhatikan apakah bayi telah berkemih setelah lahir atau
paling lambat 24 jam setelah lahir. perhatikan apakah urin banyak atau sedikit
sekali. Bila terdapat gangguan ekskresi bayi akan terlihat sembab pada
mukanya. Atau bila kelainan lain misalnya kista akan terlihat perut bayi
terlihat lebih besar dari normal. Jika menjumpai kelainan tersebut beritahu
dokter. Sampai bayi berumur 3 hari pengeluaran urin tidak terpengaruh oleh
pemberian cairan. Baru setelah umur 5 hari dapat terpengaruh. (Khoirunnisa,
2010 : 174).
6. Patofisiologis
Menurut (Muslihatun, 2010 :161) fimosis dialami oleh sebagian besar
bayi baru lahir, karena terdapat adesi alamiah antara preputium dengan glans
penis. Sampai usia 3-4 tahun, penis tumbuh dan berkembang. Debris yang
dihasilkan oleh epitel preputium (smegma) mengumpuil didalam preputium
dan perlahan-lahan memisahkan preputium dengan glans penis. Smegma
terjadi dari sel-sel mukosa preputium dan glans penis yang mengalami
deskuamasi oleh bakteri yang terdapat di dalamnya.
Ekresi penis yang terjadi secara berkala membuat preputium terdilatasi
perlahan-lahan sehingga preputium menjadi retraktil dan dapat ditarik kearah
proksimal. Pada usia 3 tahun, 90% preputium sudah dapat diretraksi. Pada
sebagian anak, preputium tetap lengket pada glans penis, sehingga ujung
preputium mengalami penyimpangan dan akhirnya dapat mengganggu fungsi
miksi.
Biasanya anak menangis dan pada ujung penis tampak
menggelembung. Air kemih yang tidak lancar, kadang-kang menetes dan
memancar dengan arah yang tidak terduga. Jika sampai terjadi infeksi, anak
akan menangis ketika buang air kecil dan dapat pula disertai demam. Ujung
penis yang tampak menggelembung disebabkan oleh adanya penyempitan
pada ujung preputium karena terjadi perlengketan dengan glans penis yang
tidak dapat ditarik ke arah proksimal. Adanya penyempitan tersebut
menyebabkan terjadinya gangguan aliran urin pada saat miksi. Urine
terkumpul di ruang anatara preputium dan glans penis tampak
menggelembung.
7. Komplikasi Fimosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada anak/bayi yang mengalami
fimosis, anatara lain terjadinya infeksi pada uretra kanan dan kiri akibat
terkumpulnya cairan smegma urine yang tidak dapat keluar seluruhnya pada
saat berkemih. Infeksi tersebut akan naik mengikuti saluran urinaria hingga
mengenai ginjal dan dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal. (Muslihatun,
2010)
Pada 90% laki-laki yang dikhitan kulup zakar menjadi dapat ditarik
kembali (diretraksi) pada umur 3 tahun. Ketidakmampuan untuk meretraksi
kulup zakar sebelum umur ini dengan demikian fimosi patologis dan fimosis
merupakan indikasi untuk dikhitan. Fimosis adalah ketidakmampuan kulup
zakar untuk diretraksi pada umur tertentu yang secara normal harus dapat
diretraksi. Fimosis dapat congenital/sekuele radang. Fimosis yang sebenarnya
biasanya memerlukan bedah pelebaran/pembesaran cincin fimosis/khitan.
Akumulasi smegma dibuah kulup zakar infantil fimosis patologis dan fimosis
memerlukan pengobatan bedah. (Sudarti, 2010 : 185).
Ada beberapa komplikasi yang dapat timbul akibat fimosis, yaitu:
a. Ketidaknyamanan/ nyeri saat berkemih.
b. Akumulasi sekret dan smegma di bawah preputium yang kemudian
terkena infeksi sekunder dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
c. Pada kasus yang berat dapat menimbulkan retensi urin.
d. Penarikan prepusium secara paksa dapat berakibat kontriksi dengan rasa
nyeri dan pembengkakan glans penis yang disebut parafimosis.
e. Pembengkakan/ radang pada ujung kemaluan yang disebut ballonitis.
f. Timbul infeksi pada saluran air seni (ureter) kiri dan kanan, kemudian
menimbulkan kerusakan pada ginjal.
g. Fimosis merupakan salah satu faktor risiko terjadinya kanker penis.
(Ghory, 2014).
8. Penatalaksanan Fimosis
Tidak dianjurkan melakukan retraksi yang dipaksakan pada saat
membersihkan penis, karena dapat meimbulkan luka dan terbentuk sikatriksa
pada ujung preputium sehingga akan terbentuk fimosis sekunder. Fimosis
yang disertai balaniits xerotica obliterans dapat diberikan salep
deksamethasone 0,1 % yang dioleskan 3-4 kali sehari, dan diharapkan setelah
6 minggu pemberian, preputium dapat diretraksi spontan.
Fimosis dengan keluhan miksi, menggelembungnya ujung preputium
pada saat miksi, atau infeksi prostitis merupakan indikasi untuk dilakukan
sirkumsisi. Fimosis yang disertai balantis atau prostitis harus diberikan
antibiotika lebih dahulu sebelum dilakukan sirkumsisi. Jika fimosis
menyebabkan hambatan aliran air seni, diperlukan tindakan sirkumsisi atau
teknik bedah lainnya seperti preputioplasty (memperlebar bukaan kulit
preputium tanpa memotongnya). Indikasi medis utama dilakukannya tindakan
sirkumsisi pada anak-anak adalah fimosis patologik (Muslihatun, 2010 :162).
Menurut (Putra, 2011 : 395) penatalaksanaan fimosis yang dapat
dilakukan terbagi menjadi dua, yakni secara medis dan konservatif.
a. Penatalaksanaan Medis
1) Dilakukan tindakan sirkumsisi (membuang sebagian atau seluruh
bagian kulit preputium).
2) Dilakukan tindakan preputioplasty (memperlebar bukaan kulit
preputium tanpa memotongnya).
b. Penatalaksanaan secara Konservatif
Kebutuhan Keterangan
dasar
B. Data objektif
1. Pemeriksaan umum
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
Tekanan darah : 78/42 mmHg (Hidayat, 2009).
Nadi : 120 - 160 x/ menit (Hidayat, 2009).
Suhu : 36,5O C - 37 O C (Hidayat, 2009).
Nafas : 30 - 60x/ menit (Hidayat, 2009).
Neonatus : 30- 80x/menit
(Wilson dkk, 2008).
Antropometri :
Tinggi badan : 45 - 50 cm (Hidayat, 2009).
Berat badan : 2500 - 4000 gram. (Muslihatun,
2010; hal. 31 - 32).
Panjang badan : Kurang atau sama dengan 45 cm
(Hassan, 2006).
LILA : 9,5 - 11 cm (Hidayat, 2009).
Lingkar kepala : Fronto-occipitalis 34 cm
Suboksiputo-bregmantika 32cm
Mento occipitalis 35 cm(Hidayat,
2009).
Lingkar dada : Kurang dari 30 cm (Hasan, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Kulit : Periksa adanya ruam dan bercak atau tanda
lahir, periksa adanya pembengkakan,
perhatikan adanya vernik kaseosa, adanya
lanugo (Marmi, dkk. 2012 hal:60).
Kepala : Bentuk kepala di hari pertama tidak benar-
benar bulat akibat posisi dalam rahim ataupun
proses persalinan yang di alami, tapi akan
kembali ke bentuk normal dalam seminggu
pertama (Muslihatun, 2010; hal.36).
Wajah : Wajah harus tampak simetris. Terkadang
wajah bayi tampak asimetris hal ini
dikarenakan posisi bayi di intrauteri (Marmi,
dkk. 2012 hal:56)
Mata : Tujuan mengkaji mata untuk mengetahui
bentuk dan fungsi mata. Dalam setiap
pengkajian selalu dibandingkan antara mata
kanan dan mata kiri, pada tehnik inspeksi
yang dikaji adalah konjungtiva pucat atau
tidak, mata odem atau tidak, strabismus atau
tidak, dan adanya perdarahan subkonjungtiva
atau tidak (Tambunan, 2011; hal.73).
Hidung : Hidung dikaji untuk mengetahui bentuk,
pola pernapasan dan kebersihan (Muslihatun,
2010; hal.31).
Telinga : Pengkajian telinga secara umum bertujunan
untuk mengetahui ada tidaknya jumlah
,bentuk, kesimetrisan letak dihubungkan
dengan mata dan kepala serta adanya
gangguan pendengaran (Muslihatun, 2010;
hal. 31).
Mulut : Tujuan mengkaji mata mulut untuk
mengetahui bentuk dan ada tidaknya kelainan
yaitu bentuk simetris/tidak, bibir tidak pucat
dan kering, tidak ada labio palato schizis,
tidak ada labio schizis (Muslihatun, 2010; hal.
32).
Leher : Tujuan mengkaji leher adalah tidak ada
pembesaran kelenjar untuk mengetahui
bentuk leher serta organ-organ penting yang
berkaitan pengkajian inspeksi untuk melihat
kelainan kulit apakah pucat, sianosis, ataukah
ikterus dan tidak adanya pembengkakan.
Pemeriksaan palpasi dilakukan untuk melihat
adanya pembesaran kelenjar tyroid, dan tidak
ada bendungan vena jugularis (Tambunan,
2011; hal. 83).
Dada : Dada dikaji untuk mengetahui ada tidaknya
kelainan bentuk, puting susu, gangguan
pernapasan, bunyi jantung (Muslihatun, 2010;
hal. 33).
Abdomen : Dalam melakukan pengkajian abdomen
pastikan turgor kulit baik, tidak ada
perdarahan tali pusat, tali pusat masih basah,
tidak ada benjolan (Muslihatun, 2010; hal.
33).
Genetalia eksternal : Panjang penis testis sudah turun berada
dalam skrotum, orifisium uretra di ujung
penis. Tampak penyempitan pada
preposium. Fimosis adalah suatu kelainan
dimana prepusium penis yang tidak dapat
diretraksi ke proksimal sampai ke korona
glandis (Purnomo, 2011).
Anus : Mekonium secara umum keluar pada 24 jam
pertama (Marmi, dkk. 2012 hal: 59).
Ekstermitas : Periksa kesimetrisan lengan dan tungkai
kanan dan kiri. Periksa adanya polidaktili atau
sidak tili pada jari tangan dan kaki. Kedua
tangan dan tungkai dapat bergerak bebas
(Marmi, dkk. 2012 hal:58 - 59).
3. Pemeriksaan penunjang/laboratorium
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya USG
dan foto rontgen.
VI. Pelaksanaan
1. Melakukan perawatan gabung antara ibu dan bayi dengan tujuan ibu
dapat menyusui ibunya sedini mungkin, ibu dapat melihat dan memahami
cara perawatan bayi yang benar, ibu mempunyai pengalaman dan
keterampilan dalam merawat bayinya, suami dan keluarga dapat
dilibatkan secara aktif untuk mendukung dan membantu ibu merawat
bayinya secara baik dan benar, ibu dan bayi mendapatkan kehangatan
emosional.
2. Memberikan support kepada ibu sehingga ibu dapat menerima keadaan
bayinya dengan fimosis dan lebih menumbuhkan semangat ibu untuk
merawat bayinya dan menjadi seorang ibu.
3. Mengobservasi input dan output pada bayi seperti konsistensi BAB,
BAK, keadaan bayi saat ini.
4. Mengajarkan pada orang tua dalam perawatan anak; cara pemberian
makan/minum dengan alat, mencegah infeksi, dan mencegah aspirasi,
posisi pada saat pemberian makan/minum, lakukan penepukan punggung,
bersihkan mulut setelah makan. (Rohan dkk, 2013).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fimosis adalah keadaan kulit penis (preputium) melekat pada bagian
kepala penis dan mengakibatkan tersumbatnya lubang saluiran air kemih,
sehingga bayi dan anak kesulitan dan kesakitan saat kencing.
B. Saran
Jika ada anak mengalami gejala seperti gejala pimosis untuk segera
mendapat penanganan untuk mencegah terjadi infeksi saluran kemih dan tidak
memandang kelainan tersebut sebagai suatu hal yang mistis.
Dalam mengerjakan makalah ini, saya juga menyadari bahwa makalah
ini kurang dari sempurna, maka dari itu saya meminta saran dan kritik yang dapat
membangun agar kedepannya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Marmi, dkk. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, Balita, dan Anak Prasekolah. Yogyakarta
: Pustaka Pelajar
Sudarti, Endang Khoirunnisa. 2010. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Anak Balita.
Yogyakarta: Nuha Medika
Sulistyawati, Ari. dkk. 2010. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin. Jakarta : Salemba
Medika
Varney, Helen. dkk. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta : EGC