Callistasia Wijaya
Wartawan BBC News Indonesia
23 Juli 2020
Diperbarui 28 September 2020
Tim Gugus Tugas Percepatan dan Pencegahan COVID-19 Jayapura mengambil sampel seorang
staf Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jayapura, Papua, Rabu (22/07).
Survei terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan 17% responden atau sekitar
15.000 orang yang mereka wawancarai, yakin tak mungkin terinfeksi atau tertular
COVID-19.
Hasil itu adalah bagian dari survei perilaku masyarakat di masa pandemi Covid-19 yang
dilakukan BPS dengan mewawancarai 90.967 responden.
"Saya pikir 17 persen ini persentase lumayan tinggi," ujar Kepala BPS Dr. Suhariyanto dalam
konferensi pers yang ditayangkan di akun Youtube resmi Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (28/09).
Ia menjelaskan lebih lanjut persepsi itu "berkaitan erat" dengan tingkat pendidikan, dengan
semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang, semakin mereka paham mereka bisa tertular
virus corona.
"Kita nampaknya lebih keras lagi meningkatkan atau menggencarkan pemahaman masyarakat
tentang Covid-19. Perlu terus menerus digalakkan bahwa siapa pun bisa terkena risiko," kata
Suhariyanto.
Covid-19 Indonesia hampir tembus 100.000 orang, 'kesehatan dan ekonomi ibarat
kebijakan gas dan rem'
Vaksin asal China: Uji klinis bulan Agustus tapi peneliti peringatkan tipe virus 'mungkin
beda karena mutasi'
Vaksin Covid-19 yang dikembangkan Oxford aktifkan kekebalan tubuh
Sebelumnya, di bulan Juli, sebuah survei menunjukkan sebagian besar responden di DKI Jakarta
dan Surabaya, dua wilayah dengan jumlah kasus Covid-19 yang tinggi, yakin bahwa kecil
kemungkinan bagi mereka untuk tertular virus corona.
Media sosial pun riuh sempat riuh setelah seorang musisi menuliskan "virus corona tak
semengerikan apa yang diberitakan", meski kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat.
Seorang sosiolog asal Indonesia di Singapura mengatakan hal itu mencerminkan perspektif risiko
Covid-19 yang rendah di antara sejumlah warga. Negative argumen (seharusnya sebagai public
figure yang menjadi contoh di masyarakat tidak ikut membantu menurunkan persepsi masyarakat
yang bisa saja tidak dengan adanya cuitan ini mereka tidak memperhatikan protokal kesehatan,
terutama bagi fansnya musisi tersebut. Meraka lebih mempercayai idola meraka) Pemerintah
juga seharusnya membatasi media agar tidak meliput atau membeberkan berita berita palsu ke
masyarakat.
Ia menyebut hal itu salah satunya disebabkan cara komunikasi pemerintah "tidak berdasarkan
strategi komunikasi yang transparan, jujur, dan akun tabel".
Namun, anggapan sosiolog itu dibantah anggota Kantor Staf Presiden (KSP), yang mengatakan
mereka selalu meminta warga mewaspadai Covid-19, tanpa harus "menakut-nakuti warga".
Sanksi 'menyanyi hingga rencana denda Rp150.000' menanti warga yang tidak pakai
masker - apakah efektif?
Virus corona bisa menyebar lewat udara, penularan Covid-19 di ruangan tertutup kian
berisiko - apa langkah pencegahan yang tepat?
Puluhan pekerja media massa positif Covid-19, jumpa pers 'berisiko sebarkan virus'
Pemikiran itu, mempengaruhi cara mereka menghadapi virus corona, kata Sulfikar.
"Ternyata, tingkat persepsi risiko mereka rendah. Mereka mungkin bawa masker, tapi maskernya
dibawa di dompet, di saku, dipakai di dagu karena mereka menganggap remeh kemungkinan
mereka terkena virus corona," kata Sulfikar. Argumen Contohnya saja selebriti juga memakai
masker dan test swab berkali-kali masih saja terpapar terkena covid – 19 dan Bukan hanya itu,
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) juga menerima laporan bahwa paparan
Covid-19 mampu mempengaruhi sistem organ tubuh secara berbeda di setiap orang.
Di sisi lain, ia mengatakan faktor ekonomi sebagai dampak Covid-19, juga berperan terhadap
persepsi ini.
"Dari aspek pengetahuan dan informasi lemah, di sisi lain kondisi ekonomi dan sosial minim,
sehingga persepsi risiko mereka pun menjadi sangat rendah," katanya.