1116 4333 1 SP
1116 4333 1 SP
Pupu Fakhrurrozi, *
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan bahwa Tafsir diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang
cara pengucapan lafaż-lafaż alquran, indikator-indikatornya, masalah hukum-
hukumnya baik yang indefenden maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta
tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi truktur lapadz yang
melengkapinya. Secara umum, penafsiran al-Qur`ān dapat di bagi atas dua bagian
metode klasik dan metode modern. Dilihat dari segi metode klasik, dapat
diklasifikasikan kepada: 1) Metode tafsir bil ma’ṡūr atau bil riwayaħ. 2) Metode
tafsir bil-ra’yi atau bil-dirayah. 3) Metode tafsir bil-isyāraħ. Adapun metode modern,
diantaranya: 1) Metode tafsir tahlily (Analitis). 2) Metode tafsir ijmali (Global). 3)
Metode tafsir muqarin (Perbandingan). 4) Metode tafsir mauḍū’i (Tematik). 5)
Metode tafsir kontekstual. Corak tafsir yang berkembang itu yang dapat
diklasifikasikan kepada dua bagian, yaitu: 1) Corak tafsir klasik [corak tafsir klasik,
corak tafsir siyasah, corak filsafat, corak tasawuf, corak fiqh, corak ilmu
pengetahuan ]. 2) Corak tafsir modern/kontemporer Corak tafsir ilmu pengetahuan
modern, corak tafsir sastra budaya dan kemasyarakatan (sosio-kultural), corak tafsir
bayani]
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur`ān diwahyukan kepada seorang nabi yang tidak tahu tulis-baca dan
kepada bangsa yang buta huruf. Mereka hanya memiliki bahasa lisan sebagai sarana
komunikasi dan memiliki hati (daya ingatan) untuk menyimpan pengetahuan, tidak
ada tulisan dan juga tidak ada buku. Yang ada hanyalah lidah yang bebas bergerak
dan indah serta hati yang hidup, cerdas dan kuat daya ingatnya (Adz-Dzahabi, 1991:
1). Tafsir adalah ilmu syari’at paling agung dan paling tinggi kedudukannya. Ia
merupakan ilmu yang paling mulia obyek pembahasan dan tujuannya serta
dibutuhkan. Obyek pembahasannya adalah Kalamullah yang merupakan sumber
segala hikmah dan “tambang” segala keutamaan. Tujuan utamanya untuk dapat
berpegang pada tali yang kokoh dan mencapai kebahagiaan hakiki. Dan kebutuhan
terhadapnya sangat mendesak karena segala kesempurnaan agamawi dan duniawi
haruslah sejalan dengan syara’ sedang kesejalanan ini sangat bergantung pada
pengetahuan tentang kitab Allah (al-Qaṭṭān, 2009: 461).
Adapun dalam memahami al-Qur`ān diperlukan sebuah metode yang dapat
dipakai untuk menfsirkan ayat-ayat al-Qur`ān yang merupakan kalamullah tersebut.
Karena dalam menafsirkan al-Qur`ān menurut Faudah (1987: 93) ada dua macam
tafsir, yaitu tafsir terpuji dan tafsir yang tercela. Adapun tafsir yang terpuji ialah tafsir
yang sejalan dengan Kitabullah Ta’āla, jauh dari hawa nafsu dan terhindar dari segala
bentuk pengada-adaan; di dalamnya terpenuhi syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
setoap orang yang ingin melibatkan diri dalam penafsiran Kitabullah Ta’āla. Adapun
tafsir yang tercela, ialah tafsir yang mengikuti kehendak hawa nafsu dan pengada-
adaan (ibtida’) dan menyeleweng dari ayat-ayat Allah Tabaraka wa Ta’ala;
penafsirnya tidak membekali dirinya dengan alat-alat yang diperlukan.
Mufasir pada hakekatnya adalah komunikator (juru bicara) bagi al-Qur`ān.
Sebagai seorang komunikator, dia harus berusaha sebaik mungkin agar pesan al-
Qur`ān mencapai sasaran (komunikan) secara tepat dan jitu. Untuk itu tidak ada jalan
lain kecuali penguasaan metodologi tafsir secara baik dan memadai sehingga tafsiran
yang diberikannya terhadap suatu ayat tidak melenceng dari tujuan atau target yang
diingini, apakah sekedar pemahaman kosa kata, atau pembahasan yang luas, maupun
1
perbandingan penafsiran dan penyelesaian kasus perkasus sesuai tema yang diangkat
(Baidan, 2011: 385).
Oleh karena itu, sangat penting bagi kita khususnya sebagai pendidik untuk
mengetahui dan mendalami seluk beluk perkembangan metodologi tafsir Al-Qu`rān
sebagai acuan dalam menafsirkan kalam Allah dan mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian tafsir al-Qur`ān?
2. Bagaimana metodologi tafsir al-Qur`ān?
3. Bagaimana corak tafsir al-Qur`ān?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian tafsir al-Qur`ān
2. Untuk mengetahui metodologi tafsir al-Qur`ān
3. Untuk mengetahui corak tafsir al-Qur`ān
BAB II
A. Pengertian Tafsir
1. Secara Bahasa (Etimologi)
Pengertian tafsir menurut al-Qaṭṭān (2009: 456) bahwa tafsir secara bahasa
mengikuti wajan taf’īl, berasal dari akar kata al-fasr (f, s, r) yang berarti menjelaskan,
menyingkap, dan menerangkan, makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan
daraba – yadribu – dan naṣara - yanṣuru. Dalam lisanul Arab dinyatakan: kata al-
fasr berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedangkan kata at-tafsir berarti
menyingkapkan maksud suatu lafaz yang musykil, pelik. Dalam al-Qur`ān
dinyatakan:
Artinya : “Dan tidaklah mereka datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil
melainkan kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik
tafsirnya.”(QS. Al-Furqon : 33)
Senada dengan penjelasan di atas, Yusuf (2012: 120) menjelaskan bahwa secara
bahasa, kata tafsīr berasal dari fassara yang semakna dengan awḍaha dan bayyana, di
mana tafsīr – sebagai maṣdar dari fassara – semakna dengan iḍah dan tabyīn. Kata-
kata tersebut dapat diterjemahkan kepada “menjelaskan” atau “menyatakan”. Al-
Jarjani memaknai kata tafsīr itu dengan al-kasyf wa al-izhār (membuka dan
menjelaskan atau menampakkan).
Kata fassara merupakan tsulasi mazīd bi harf (kata dasarnya tiga kemudian
mendapat tambahan satu huruf; yaitu tasydid atau huruf yang sejenis ‘ain fi’il-nya).
Penambahan ini berkonsekuensi terhadap perubahan makna, yaitu takṡīr (banyak).
Maka dengan demikian secara harfiah, tafsīr dapat diartikan kepada “banyak
memberikan penjelasan”. Maka menafsirkan al-Qur`ān berarti memberikan banyak
komentar terhadap ayat-ayat al-Qur`ān sesuai dengan pengertian atau makna yang
dapat dijangkau oleh seorang mufassir (Yusuf, 2012: 121).
2. Secara Istilah(Terminologi)
Secara istilah, Abu hayyan mendefinisikan tafsir sebagai ilmu yang membahas
tentang cara pengucapan lafaż-lafaż alquran, indikator-indikatornya, masalah hukum-
hukumnya baik yang indefenden maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta
tentang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi truktur lapadz yang
melengkapinya (al-Qaṭṭān, 2009: 456). Tafsīr berarti menjelaskan makna ayat al-
Qur`ān, keadaan, kisah, dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafal yang
menunjukkan kepada makna zahir. Secara simpel Adz-Dzahabi mendefinisikan tafsir
itu kepada “Penjelasan Kalam Allah, atau menjelaskan lafal-lafal al-Qur`ān dan
pengertian-pengertiannya” (Yusuf, 2012: 121).
Menurut Abu Az-zarkasy tafsir adalah “ilmu yang memahami kitabullah yang
diturunkan pada Nabi Muhammad, menerangkan makna-maknanya serta
mengeluarkan hukun dan hikmah-hikmahnya” (al-Qaṭṭān, 2009: 457). Berdasarkan
definisi di atas, maka tafsir secara umum dapat diartikan kepada penjelasan atau
keterangan yang dikemukakan oleh manusia mengenai makna ayat-ayat al-Qur`ān
sesuai dengan kemampuannya menangkap maksud Allah yang terkandung dalam
ayat-ayat tersebut. menurut As-Sibagh, tafsir ialah “Suatu ilmu ayng berguna untuk
memahami Kitab Allah, yaitu menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan
hikmahnya. Definisi As-Sibagh ini menggambarkan tafsir sebagai suatu alat yang
digunakan untuk memahami al-Qur`ān. Ia bukan apa yang dipahami dari al-Qur`ān,
tetapi suatu ilmu yang digunakan untuk memahaminya (Yusuf, 2012: 121).
Menafsirkan al-Qur`ān berarti menangkap makna yang terkandung di dalamnya.
Dan karena al-Qur`ān itu merupakan pesan-pesan ilahi (risālaħ ilāhiyyah) yang
datang dari Allah, maka berarti seorang mufassir berusaha dengan kemampuan yang
dimilikinya menangkap makna atau pengertian yang dimaksudkan Allah dalam ayat-
ayat tersebut. Dengan demikian seorang mufassir berabrti menemui makna, bukan
mengadakan makna. Maka itulah sebabnya, tafsir yang semata-mata birra`yi – yang
tidak mempunyai tambatan dengan nash dan bahasa serta syarat lainnya – tidak dapat
diterima. Sebab, tafsir birra`yi dalam makna ini berarti mufassir menagadakan makna,
bukan menemukan makna. Padahal, ia akan menisbahkan penafsirannya itu kepada
yang dimaksudkan Allah, atau al-Qur`ān mengatakan demikian (Yusuf, 2012: 122).
Secara umum, penafsiran al-Qur`ān dapat di bagi atas dua bagian metode
klasik dan metode modern. Dilihat dari segi metode klasik, dapat diklasifikasikan
kepada:
B. Saran
1. Untuk UPI khususnya PAI
a. Antar mahasiswa, dosen, staff TU dan seluruh warga kampus lainnya dapat
menerapkan akhlāq al-karīmaħ sebagaimana tujuan pendidikan Islam terdapat
dalam intisari al-Qur`ān.
b. Memfasilitasi mahasiswa dan atau warga kampus lainnya dalam
pengembangan pendidikan Islām khususnya dalam bidang tafsir al-Qur`ān
2. Peneliti Selanjutnya
a. Lebih cermat secara literatur dalam mengungkap fakta-fakta yang akurat
dalam tafsir al-Qur`ān.
b. Dianjurkan untuk meneliti tafsir secara lebih spesifik sehingga dapat dijadikan
ilmu praktis di lingkungan kampus khususnya, umumnya lembaga pendidikan
Islām di masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA