Anda di halaman 1dari 9

Nyeri Kepala pada Tumor Otak

Oleh : dr. IGN Purna Putra, Sp.S (K)

Prevalensi menunjukkan bahwa 35 – 90% dari populasi dapat mengalami nyeri kepala
setidaknya satu kali dalam hidup kita. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa keluhan nyeri
kepala akan sering dijumpai. Tipe nyeri kepala yang paling sering ditemukan adalah tipe
tegang (69%-88%) diikuti dengan migren (6%-25%) dan nyeri kepala tipe klaster (0,006%-
0,24%). Pada beberapa kasus, nyeri kepala tidak secara langsung dapat dikelompokkan sesuai
dengan klasifikasi dari International Headache Society (IHS). Nyeri kepala ini seringkali
menyerupai tipe primer tapi memiliki gejala yang atipikal atau perjalanan penyakit yang
atipikal, hingga dikelompokkan sebagai nyeri kepala atipikal.
Evaluasi dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI) untuk menilai
nyeri kepala kronis, menemukan bahwa 15,9% kasus atipikal, 40% kasus menyerupai-
migren, dan 17,6% adalah nyeri kepala tipe tegang. Estimasi angka ini harus
dipertimbangkan baik-baik karena kasus atipikal akan lebih dipertimbangkan untuk dilakukan
pemeriksaan neuroimaging. Penting untuk menginvestigasi nyeri kepala atipikal karena
ternyata cukup banyak abnormalitas yang ditemukan dari MRI yaitu pada 14,1% kasus nyeri
kepala atipikal, 0,6% pada kasus dengan migren,dan 1,4% pada kasus dengan nyeri kepala
tipe tegang.
Meskipun nyeri kepala jarang merupakan akibat dari tumor otak, tumor otak
seringkali dikaitkan dengan nyeri kepala. Penelitian mengenai hal ini mengindikasikan 50%
pasien tumor otak melaporkan nyeri kepala; bervariasi antara 33% sampai dengan 71%.
Namun nyeri kepala jarang menjadi keluhan tunggal pada lesi massa intrakranial (hanya pada
10% kasus). Seringkali, nyeri kepala akibat tumor otak disertai dengan keluhan mual,
muntah, pandangan kabur, perubahan kepribadian, kejang, dan atau defisit neurologis fokal
lainnya. Perubahan dari intensitas, atau tipe nyeri kepala daripada yang biasanya dirasakan
juga indikasi adanya lesi massa. Gejala komorbid ini adalah “red flags” yang membutuhkan
usaha lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.
Kotak 1. Nyeri Kepala dengan “red flag” pada diagnosis neoplasma serebral

 Tipe nyeri kepala yang berubah dari sebelumnya


 Nyeri kepala yang bersifat progresif
 Nyeri kepala yang terkait dengan demam atau gejala sistemik lainnya
 Nyeri kepala dengan meningismus
 Nyeri kepala dengan gejala neurologis baru
 Nyeri kepala yang memberat dengan manuver Valsava (batuk, bersin, atau
membungkuk)
 Nyeri kepala pertama kali pada usia lanjut, terutama > 50 tahun
 Nyeri kepala pada orang tua atau anak-anak

Selain mengandalkan gejala klinis yang merupakan “red flag” tadi, tipe dan intensitas
nyeri kepala sendiri dapat mempunyai nilai diagnostik. Sebagai contoh, sebagian besar nyeri
kepala akibat tumor otak akan bersifat tumpul dan berat. Jarang sekali rasa nyeri
digambarkan sebagai nyeri yang tajam dan berdenyut. Seringkali nyeri kepala pada tumor
otak menyerupai nyeri kepala tipe tegang, namun kadang juga dapat seperti gejala migren
(pada skeitar 10% kasus). Sayangnya, pengamatan ini mengindikasikan bahwa mengenali
tipe nyeri kepala tidak dapat mengarahkan kita langsung ke diagnosis yang tepat.

Kotak 2. Tanda khas nyeri kepala dan kejang pada neoplasma serebral

 Nyeri kepala merupakan gejala umum dari neoplasma serebral, terjadi pada 30
– 60 % kasus
 Nyeri kepala saja jarang menjadi satu-satunya gejala dan tanda adanya
neoplasma serebral (<10%)
 Nyeri kepala pada tumor otak dapat menyerupai nyeri kepala tipe tegang
(tension type headache), migren, atau nyeri kepala tipe lainnya
 Kejang dapat menjadi akibat sekunder dari tumor otak
 Kejang dapat terkait dengan nyeri kepala
 Nyeri kepala tipe primer, seperti migren, dapat juga terkait dengan bangkitan
dan bukan disebabkan oleh tumor.

Lokalisasi nyeri kepala : apakah menunjukkan lokasi tumor?


Distribusi nyeri kepala terkadang dapat memprediksikan lokasi lesi massa. Sebagai
contoh, kita mengetahui bahwa lokasi tumor tertentu biasanya terkait dengan lokasi nyeri
kepala yang spesifik, terutama bila nyeri kepala diketahui pada awal perjalanan penyakit,
sebelum nyerinya menyebar ke seluruh kepala. Berdasarkan pengetahuan ini, lesi di
infratentorial atau di fossa posterior lebih sering dikaitkan dengan nyeri kepala oksipital
daripada di temporal atau frontal. Tumor di area infratentorial juga dapat disertai dengan
kaku kuduk dan spasme otot leher. Sebaliknya, tumor-tumor di supratentorial lebih sering
dikaitkan dengan nyeri di verteks dan di frontal. Sayangnya, nyeri area frontal memiliki nilai
lokalisasi yang minim karena dapat disebabkan oleh tumor yang terletak jauh dari area
frontal. Sebagai tambahan, prevalensi yang telah dipublikasikan memperkirakan jumlah
tumor supratentorial yang berkaitan dengan nyeri kepala area frontal hanya sekitar 50%
kasus, sehingga secara statistik tidak cukup meyakinkan untuk digunakan sebagai dasar
diagnosis topis.
Meskipun usaha melokalisir tumor berdasarkan lokasi nyeri kepala ini terbatas,
hubungan antara lokasi nyeri dengan lokasi tumor lebih berguna saat digunakan secara
obyektif untuk semata-mata mengidentifikasi lateralisasi dari lesi. Nyeri kepala sepertinya
lebih sering muncul pada sisi ipsilateral dari tumor, terutama bila tidak menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Suwanwela dkk menemukan bahwa bila tidak ada
peningkatan TIK maka nyeri kepala dapat digunakan untuk memprediksi lateralisasi pada lesi
supratentorial pada 100% kasus. Hal ini mungkin terkait tidak adanya perluasan pergeseran
jaringan otak dan obstruksi ventrikel, dua hal yang cenderung menyebabkan traksi struktur
peka nyeri area distal (jauh dari lokasi tumor) daripada traksi di proksimal (dekat dengan
lokasi tumor). Tanpa adanya traksi distal, nyeri kepala terjadi secara regional dan lebih
berguna dalam prediksi lokasi tumor. Namun bila terjadi peningkatan TIK, maka sulit untuk
menentukan lokasi tumor karena traksi distal menyebabkan aktivasi struktur peka nyeri di
area yang luas. Hal ini menjadi alasan pentingnya klinisi mengetahui pula mengenai
patofisiologi nyeri kepala akibat tumor otak, yang akan dibahas berikut ini.

Patogenesis nyeri kepala pada tumor otak


1. Hipotesis traksi
Penyebab tersering dari nyeri kepala pada tumor otak adalah traksi pada
struktur peka nyeri baik intra- maupun ekstrakranial. Pada kanker otak, traksi
biasanya terjadi akibat perluasan dari jaringan tumor, edema dan atau perdarahan.
Struktur peka nyeri intra- maupun ekstrakranial meliputi sinus venosus, arteri dura
dan serebri, duramater, kulit, jaringan subkutan dan otot, serta periosteum dari
kranium. Sedangkan parenkim otak tidak sensitif terhadap nyeri karena kurang
memiliki reseptor nyeri (misalnya: free nerve ending). Sejumlah gejala terkait tumor
otak mendukung adanya hipostesis traksi pada nyeri kepala akibat tumor otak.
Sebagai contoh, edema disekitar tumor terkait massa tumor, papiledema, dan
pergeseran garis tengah di area supratentorial (misalnya pergeseran corpus pineal,
ventrikel III, atau sisterna interpedunkularis) adalah tanda kunci adanya peningkatan
TIK dan dikaitkan dengan adanya nyeri kepala difus dan sulit terlokalisir. Hal ini
dapat dijelaskan dengan mekanisme traksi terinduksi tekanan.
Selain itu, penting untuk diketahui bahwa peningkatan TIK dapat
menyebabkan nyeri kepala yang dijabarkan pasien sebagai nyeri berat yang hilang
timbul. Kemungkinan hal ini dapat dijelaskan dengan adanya obstruksi periodik dari
sistem ventrikel(misalnya ball valving dari massa di dalam sistem ventrikel atau
kompresi intermiten dari massa (seringkali berbentuk pedunkuler) pada sistem
ventrikel. Perubahan posisi, latihan fisik, batuk, atau manuver Valsava dapat
menyebabkan obstruksi periodik tersebut. Nyeri kepala onset akut juga dapat terjadi
akibatgelombang tekanan yang abnormal atau gelombang “plateu”. Gelombang ini
awalnya dideskripsikan oleh Lundberg, terjadi setelah awitan lesi space-occupying
dan atau peningkatan TIK dan disebabkan oleh kaskade vasodilator yang meliputi (1)
peningkatan volume darah sebagai akibat dari vasodilatasi, (2) penurunan tekanan
perfusi serebri, dan (3) peningkatan TIK yang tinggi. Respon autoregulasi normal
yang akan mencetuskan vasokonstriksi telah hilang (atau setidaknya tertunda) pada
saat gelombang “plateu”. Gelombang tekanan dapat berlangsung selama 5-30 menit,
yang digambarkan oleh pasien sebagai nyeri kepala onset cepat dan durasi pendek.
Nyeri kepala dikaitkan dengan lesi massa biasanya memburuk di pagi hari
karena edema otak yang meningkat sepanjang malam akibat efek gravitasi pada posisi
tidur terlentang (akibat kurangnya drainase sistem vena yang dibantu oleh gravitasi)
dan karena tidur umumnya meningkatkan kadar PCO2, yang mencetuskan
vasodilatasi, sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan TIK. Bila dikaitkan dengan
muntah menyemprot dan perburukan status mental mendadak, nyeri kepala ini harus
diperhatikan. Meskipun lesi massa tidak selalu menjadi penyebabnya, namun
pemeriksaan penunjang lanjutan perlu dilakukan karena adanya kondisi neurologis
lain yang juga menyebabkan hipertensi intrakranial, seperti trauma otak, hidrosefalus,
perdarahan subaraknoid.
Kecepatan pertumbuhan lesi desak ruang juga mempunyai peran penting
dalam memprediksi adanya traksi dan nyeri kepala. Tumor yang meningkat
ukurannya dengan cepat dapat menyebabkan nyeri yang tajam, berat, akibat iritasi
pada struktur peka nyeri dan ruang intrakranial tidak punya kesempatan untuk
beradaptasi dengan peningkatan tekanan. Sedangkan tumor dengan pertumbuhan yang
lambat menyebabkan nyeri kepala yang hilang timbul, dan memberat pada stadium
lanjut dari penyakit, disebabkan adanya adaptasi mekanik terhadap perluasan tumor.
Tetapi peningkatan TIK sebagai penanda nyeri kepala akibat tumor otak juga
memiliki kelemahan. Penanda peningkatan TIK seperti papiledema, pergeseran dan
kompresi ventrikel tidak secara sistemik dapat memprediksi nyeri kepala pada pasien
dengan tumor otak. Dengan kata lain, papiledema dan pergeseran ventrikuler
merupakan penanda yang baik untuk peningkatan TIK namun tidak selalu terkait
dengan adanya nyeri kepala. Pemeriksaan pada otak, darah, dan cairan serebrospinal
(CSS) mungkin membantu untuk mencari adanya hubungan antara tekanan
intrakranial dan traksi distal dari struktur peka nyeri. Loghin dan Levin mengatakan
bahwa sebaiknya klinisi memperhatikan pengukuran dinamika CSS karena penting
untuk membantu memperkirakan kapan peningkatan TIK tersebut terkait dengan
nyeri kepala akibat tumor otak.
Prosedur untuk melakukan pengukuran tekanan CSS sulit dan invasif,
membutuhkan punksi lumbal atau penggunaan kateter intraventrikuler. Terlebih lagi
dengan adanya efek massa, prosedur lumbal punksi kontraindikasi untuk dilakukan,
karena adanya risiko herniasi tonsilar. Pilihan yang lebih aman adalah dengan teknik
non invasif untuk mengukur alliran CSS melalui akuaduktus serebri, foramen monro,
atau sisterna prepontin. Hal ini dapat dicapai dengan MRI kontras. Dengan teknologi
ini, McGirt dkk menemukan nyeri kepala oksipital terkait dengan gangguan aliran
otak di area midbrain, bahkan tanpa ada kompresi yang tampak dari hasil MRI. Oleh
karena itu, mengukur aliran CSS dapat membantu mendeteksi perubahan patologis
yang minimal (misalnya jaringan parut pada arakhnoid, dan oklusi minor sistem
ventrikuler) yang terlewatkan pada pemeriksaan MRI konvensional. Obstruksi CSS
juga dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien terus melaporkan nyeri kepala
meskipun sudah dilakukan operasi debulking dengan sukses.
Gejala klinis terakhir yang cenderung mendukung hipotesis traksi adalah
lokasi tumor. Meskipun lokasi tumor tidak selalu dapat memprediksikan dimana nyeri
kepala akan muncul, namun cukup kuat untuk memprediksikan apakah akan muncul
nyeri kepala. Tumor yang cenderung memicu nyeri kepala termasuk lesi pada
intraventrikuler, di garis tengah, dan di fossa posterior. Sekali lagi, obstruksi CSS
diikuti dengan hidrosefalus internal dan traksi lokal atau distal, mungkin merupakan
penyebabnya.
Gambar 1. Inervasi dura dan pembuluh darah oleh cabang n.trigeminus berakhir di
trigeminocervical complex (TCC) meluas dari batang otak ke kornu dorsalis C1 dan C2.
Berdasarkan hipotesis traksi, perluasan jaringan tumor dan edema di sekitar tumor
menghasilkan iritasi progresif dari jaringan peka nyeri intrakranial. Tergantung ada tidaknya
peningkatan TIK, efek traksi dapat terjadi jauh atau atau dekat dengan lesi, menyebabkan
nyeri kepala yang terasa difus atau terlokalisir.

2. Kompresi saraf kranial ataupun servikal


Meskipun kompresi saraf kranial (misalnya trigeminal) dan radiks saraf
servikal (misalnya C1 dan C2) mungkin merupakan penyebab nyeri kepala pada
tumor otak, sebagian besar pasien neuroonkologi datang tanpa bukti penekanan saraf
atau jebakan saraf, meskipun ada nyeri kepala. Kompresi saraf jarang dikatakan
sebagai penyebab nyeri kepala akibat tumor otak. Bahkan pada pasien dengan
malformasi Chiari tipe I, kompresi saraf yang terjadi akibat pergeseran ke bawah dari
fossa posterior ke foramen magnum, tidak selalu menyebabkan nyeri kepala. Selain
itu, rasa nyeri kepala pada pasien tumor otak tidak digambarkan sebagai nyeri tajam,
paroksismal, seperti jika saraf aferen sensori teregang atau tertekan, misalnya pada
kasus neuralgia trigeminal. Bila terjadi kompresi saraf servikal, nyeri kepala yang
terjadi mungkin disertai dengan nyeri otot dan adanya titik picu miofasial. Pada
situasi ini, nyeri kepala akan diperberat dengan pergerakan leher dan tekanan
eksternal pada leher atas atau area oksipital pada sisi yang nyeri.
Pada kasus dimana tumor terletak dekat perbatasan servikomedula, jepitan
saraf oksipital atau perdarahan intramedula atau area C1 yang luas dapat
menyebabkan gejala yang menyerupai neuralgia oksipital (kondisi yang ditandai
dengan nyeri kronis pada leher atas, belakang kepala, dan dibelakang bola mata).
Nyeri yang terlokalisir di belakang kepala hingga belakang bola mata menunjukkan
lokalisasi di fossa posterior dan mengindikasikan adanya kompresi dari saraf
oksipitalis mayor (jarang dijumpai). Lesi infratentorial lebih sering menimbulkan
nyeri alih ke satu area atau lebih di kepala atau wajah.
Gejala ini menyerupai gejala nyeri kepala servikogenik, sehingga perlu
diketahui dahulu gejala masing-masing dengan pasti. Pada nyeri kepala servikogenik
nyeri yang dimulai dari area oksipital, lalu menyebar secara progresif ke kepala.
Nyeri kepala servikogenik akan diperberat dengan gerakan kepala atau leher dan
adanya nyeri tekan yang jelas pada area suboksipital.
3. Sensitisasi perifer
Pada kasus dimana tekanan intrakranial menyebabkan iritasi lama pada
struktur peka nyeri, cabang aferen yang menginervasi pembuluh darah serebri, vena,
dan piamater (merupakan pleksus serabut tidak bermielin yang berasal dari divisi
oftalmika n.trigeminus dan radiks dorsal servikal superior), dan mencetuskan
pelepasan neuropeptida pro inflamasi yang akhirnya menyebabkan edema vaskuler
dan infiltrasi sel imun. Reaksi antidromik fokal ini diketahui sebagai inflamasi
neurogenik, fenomena yang terlibat dalam pelepasan substansia P dan CGRP, yang
dianggap mendasari beberapa bentuk nyeri kepala refrakter. Substansia P dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP) memfasilitasi ekstravasasi protein plasma,
permeabilitas vaskuler dan degranulasi sel mast, masing-masing berperan dalam
sensitisasi perifer dari serabut nosiseptif. Bila berkepanjangan, inflamasi neurogenik
dapat menyebabkan perubahan struktural pada duramater yang akan menyebabkan
nyeri kepala menetap bahkan saat TIK sudah diturunkan. Meskipun inflamasi
neurogenik memainkan peran penting pada terjadinya nyeri kepala idiopatik, belum
jelas benar berapa persen nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak disebabkan
oleh respon inflamasi yang berkepanjangan. Hal ini didukung pula dengan adanya
kenyataan bahwa tumor otak biasanya melepaskan agen proinflamasi, menambahkan
yang sudah ada akibat dari iritasi mekanik.
4. Sensitisasi sentral dan gagalnya inhibisi batang otak
Selama beberapa dekade, dasar neuroscience nyeri kepala pada tumor otak
telah terfokus pada iritasi struktur perikranial yang peka nyeri. Namun akhir-akhir ini,
sensitisasi sentral dari neuron orde dua trigeminovaskuler dan gangguan respon
modulasi dari mesensefalon telah banyak dipelajari dan dianggap mempunyai peran
pentting pada terbentuk dan menetapnya nyeri kepala. Sehingga pada pasien yang
memiliki predisposisi, iritasi berkepanjangan dari struktur perikranial dapat
menyebabkan sensitisasi n.trigeminal secara konvergen. Hal ini menyebabkan (1)
penurunan ambang aktivasi nosiseptor, (2) peninngkatan respon terhadap stimulasi
aferen, dan (3) perluasan area reseptif perifer. Mekanisme ini konsisten dengan
terjadinya nyeri kepala berkepanjangan dan refrakter pada pasien dengan lesi primer
di supratentorial dan menjelaskan mengapa pembedahan debulking tidak sepenuhnya
menghilangkan nyeri pada semua pasien.
Aferen sensorik yang berasal dari meningen dan pembuluh darah kranial
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dari nukleus kaudal trigeminal, yang
kemudian bersinaps dengan neuron konvergen. Adanya rangsangan berkepanjangan
dari aferen primer memicu hipersensitivitas lokal terhadap rangsang nyeri.
Hipersensitivitas lokal segmental dianggap merupakan pertanda sensitisasi sentral dan
biasanya sulit dikontrol. Hal ini mendasari pentingnya mendeteksi dan mengatasi
nyeri sedini mungkin. Namun, penting pula untuk mengetahui bahwa peningkatan
eksitabilitas ke input sinaps konvergen juga dapat diakibatkan oleh penurunan inhibisi
lokal segmental. Saat ini telah diketahui bahwa rangsang nosiseptif yang masuk ke
saraf spinal dan trigeminoservikal mengalami modulasi nyeri oleh adanya eferen
inhibisi desenden yang berasal dari nuklei di batang otak, termasuk periaqueductal
gray, lokus coeruleus, dan nukleus raphe magnus. Pada kondisi normal, respon
inhibisi endogen menghasilkan antinosiseptif bahkan pada input trigeminovaskuler.
Adanya disfungsi dari sirkuit modulasi nyeri di batang otak saat ini banyak ditemukan
pada penderita migren dan nyeri kepala tipe tension, menunjukkan kontribusi
patologis pada sistem inhibisi nyeri kepala. Kemungkinan defisit inhibisi batang otak
dan atau hipersensitivitas lokal segmental diakibatkan oleh iritasi lama pada
perikranial sebagai penyebab nyeri kepala refrakter pada pasien neuroonkologi, masih
perlu diuji. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab pertanyaan, mengapa pada
pasien tertentu mengalami remisi nyeri kepala akibat tumor otak sedangkan yang lain
tidak.
Terapi ajuvan sebagai pencetus nyeri
Setelah reseksi lesi massa dengan pembedahan, seringkali diperlukan kemoterapi
ajuvan dan atau radioterapi ion. Terapi tambahan ini tidak secara sistematik menyebabkan
nyeri pada pasien neuroonkologi, tetapi ada sejumlah kecil kasus yang mengalaminya.
Sebagai contoh, ensefalopati akut yang dicetuskan radioterapi dapat terjadi dalam 2 minggu
pasca terapi radioterapi dan menyebabkan nyeri kepala akibat edema substansia alba
(sekunder dari kerusakan selubung mielin) serta peningkatan TIK. Terapi dengan
kortikosteroid juga direkomendasikan untuk nyeri kepala pada tumor otak. Namun klinisi
harus berhati-hati untuk menyapih pasien dari terapi kortikosteroid karena penghentian terapi
secara tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom withdrawal, sehingga sulit dibedakan apakah
nyerinya karena efek penyakit atau rebound hormonal.
Obat kemoterapi juga menyebabkan nyeri kepala sementara pada pasien
neuroonkologi. Sebagai contoh, temozolomide, salah satu obat yang sering digunakan untuk
terapi glioma maligna, dapat menyebabkan nyeri kepala pada 25% pasien. Plotkin dan Wen
melaporkan, thalidomid, metotreksat, cisplatin, etoposide, imatinib dan hidroksiruea juga
dapat menyebabkan nyeri kepala. Sayangnya proses neurobiologi yang mendasari nyeri
kepala tercetus kemoterapi ini masih belum dipahami betul. Salah satu penjelasan yang
memungkinkan adalah bahwa obat kemoterapi menghasilkan stres oksidatif, mengganggu
regulasi sitokin dan menyebabkan defisit pada perbaikan neuron, yang semuanya dapat
mengarah pada penurunan fungsi sistem saraf pusat, inflamasi dan peningkatan nyeri.
Hipotesis ini konsisten dengan hasil penelitian bahwa obat kemoterapi terkait dengan
peningkatan pelepasan sitokin pro inflamasi.

Anda mungkin juga menyukai