Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS DAN MEDIATOR

1.1 Notaris

1.1.1 Pengertian Notaris

Kata notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau

karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan

kalimat yang disampaikan narasumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah

tanda yang dipakai dalam penulisan cepat. Pada awalnya jabatan notaris

hakikatnya adalah sebagai pejabat umum yang ditugaskan oleh kekuasaan umum

untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti otentik yang memberikan

kepastian hubungan hukum keperdataan. Jadi, sepanjang alat bukti autentik tetap

diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan notaris akan tetap diperlukan

eksistensinya di tengah masyarakat.1

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN Perubahan), disebutkan

bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

autentik dan memiliki kewenangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” UUJN dan UUJN

Perubahan telah mengatur secara rinci mengenai jabatan umum yang dijabat oleh

notaris, dan dalam undang-undang tersebut juga mengatur tentang bentuk dan sifat

1
Lumban Tobing,G.H.S, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, h. 41
akta notaris, serta tentang minuta akta, grosse akta,dan salinan akta, maupun

kutipan akta notaris.

Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa notaris itu adalah

pejabat umum (openbare amtbtenaren), notaris bukan pegawai menurut undang-

undang atau peraturan-peraturan kepegawaian negeri.Notaris tidak menerima gaji,

bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerimahonorarium sebagai penghargaan

atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat.2

Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3 tentang Notaris

Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa :

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk


membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang
berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan
grosse, salinandan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada
pejabat atau orang lain.

Berdasarkan kedua ketentuan yang telah diuraiakan diatas terdapat

kesamaan terkait dengan pengertian notaris sebagai pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam

ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh

pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam

hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang

bersumber pada kewibawaan dari pemerintah.

2
Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, h. 45
1.1.2 Kedudukan Notaris Sebagai Pejabat Umum

Notaris merupakan pejabat yang mempunyai spesialisasi tersendiri, karena

notaris merupakan pejabat negara yang melaksanakan tugasnya untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum

perdata. Istilah pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah openbare

Amtbtenaren yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Adalah suatu keharusan untuk

menjadikan notaris sebagai pejabat umum, berhubung dengan definisi dari akta

otentik yang diberikan oleh Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi : “Suatu akta

otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh

undang‐undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai‐ pegawai umum yang

berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.”

Openbare Amtbtenarenyang diterjemahkan sebagai pejabat umum

diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang

melayani kepentingan publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada

notaris.Maka berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, untuk

dapat membuat suatu akta otentik seseorang harus mempunyai kedudukan sebagai

pejabat umum.Namun dalam Pasal 1868 KUHPerdata itu tidak menjelaskan lebih

lanjut mengenai siapa yang dimaksud sebagai pejabat umum tersebut.

Menurut kamus hukum salah satu arti dari Amtbtenaren adalah

pejabat.Dengan demikian Openbare Amtbtenaren adalah pejabat yang mempunyai

tugas yang bertalian dengan kepentingan publik, sehingga tepat jika Openbare

Amtbtenaren diartikan sebagai Pejabat Publik.Khusus berkaitan dengan Openbare


Amtbtenaren yang diterjemahkan sebagai Pejabat Umum diartikan sebagai pejabat

yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang melayani kepentingan

publik, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada notaris.3

Dari pasal tersebut jelas menggambarkan bahwa tugas pokok dari notaris

adalah membuat akta‐akta otentik yang menurut Pasal 1870 KUHPerdata

berfungsi sebagai alat pembuktian yang mutlak. Dalam arti bahwa apa yang

tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting

bagi siapa saja yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik

untuk pribadi maupun untuk kepentingan usaha.

Kedudukan notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang

membuat akta otentik telah ditegaskan dalam ketentuan yang tercantum dalam

Pasal 1 angka 1 UUJN Perubahan. Notaris dalam UUJN dikualifikasikan sebagai

pejabat umum, tapi kualifikasi notaris sebagai pejabat umum tidak hanya untuk

notaris saja karena sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya

disebut PPAT) juga diberi kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang.

Pemberian kualifikasi sebagai pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada

notaris bertolak belakang dengan makna dari pejabat umum itu sendiri, karena

seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan dengan

pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan pejabat lelang hanya

untuk lelang saja.4

3
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris & PPAT Indonesia, Mandar Maju,
Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I) h. 16
4
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama,Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie
II) h. 13
Kedudukan seorang notaris sebagai fungsionaritas dalammasyarakat

dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat

yang boleh diandalkan dan pembuatan dokumen yang kuat dalam suatu proses

hukum. Sehingga masyarakat membutuhkan seorang (figure) yang ketentuan-

ketentuanya dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta

segalanya (capnya) memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak

memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau

unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat

melindunginya di hari yang akan datang.5

Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh

negara.Menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan

atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi

tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu

lingkungan pekerjaan tetap. Sebagai pejabat umum, notaris : (a) berjiwa pancasila;

(b) taat kepada hukum, sumpah jabatan, Kode Etik Notaris; (c) berbahasa

Indonesia yang baik.6Sehingga segala tingkah laku notaris baik di dalam ataupun

di luar menjalankan jabatannya harus selalu memperhatikan peraturan hukum

yang berlaku, dan yang tidak kalah penting juga kode etik notaris.

5
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, h. 162
6
Abdulkadir Muhammad, 2006, Etika Profesi Hukum, cet 3, Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 89
1.2 Mediator Pada Umumnya

1.2.1 Pengertian Mediasi


Mediasi merupakan adopsi dari bahasa latinmediare yang berarti berada

di tengah.7Pengertian ini lebih mengarah kepada fungsi dan peranan mediator

yakni sebagai penengah antara dua orang atau lebih yang saling bersengketa, oleh

sebab itu mediator harus mampu menjaga independensi serta menjaga

keberpihakan kepada salah satu pihak agar menumbuhkan kepercayaan antara

para pihak yang bersengketa.Ramadi Usman mendefinisikan kata mediasi berasal

dari bahasa Inggris “mediation” yang artinya penyelesaian sengketa yang

melibatkan pihak ketiga sebagai penengah atau penyelesaian sengketa secara

menengahi, sedangkan orang yang menengahi disebut mediator atau orang yang

menjadi penengah.8

Mediasi merupakan metode penyelesaian sengketa yang berkembang

pesat di berbagai belahan dunia sejak tiga dasawarsa terakhir.Penggunaan mediasi

tidak hanya dilakukan di luar pengadilan oleh lembaga swasta dan swadaya

masyarakat, tetapi juga terintegrasi dalam sistem peradilan.Perkembangan mediasi

merupakan hal yang menggembirakan di tengah mandeknya mekanisme peradilan

di dunia.9Secara umum, kamus besar bahasa Indonesia, disebutkan bahwa yang

dimaksuddengan mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam

menyelesaikan suatu perselisihan sebagai penasehat.10Sedangkan pengertian

perdamaian menurut hukum positif sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1851

7
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 1-2
8
Rahmadi Usman, I, Op.cit, h. 79
9
Fatahillah A. Syukur, 2012, Mediasi Yudisial Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, h. 1
10
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2000, Kamus
Besar Bahasa Indonesia,Balai Pustaka, Jakarta, h. 640
KUHPerdata adalah “suatu perjanjian dimana kedua belah pihak dengan dalam

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara

yang sedang bergantung atau mencegah timbulnya suatu perkara kemudian.”

Dalam pengertian lain, mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui

cara perundingan/musyawarah mufakat para pihak dengan bantuan pihak netral

(mediator) yang tidak memiliki kewenangan memutus dengan tujuan

menghasilkan kesepakatan damai untuk mengakhiri sengketa secara yuridis,

pengertian mediasi hanya dapat dijumpai dalam Perma Nomor 1 Tahun 2008

dalam pasal 1 ayat 7, yang menyebutkanbahwa : “Mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.”

Beberapa unsur penting yang terdapat dalam mediasi antara lain sebagai

berikut:

1. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan;

2. Mediator terlibat dan diterima para pihak yang bersengketa didalam

perundingan;

3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari

penyelesaian;

4. Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama

perundingan berlangsung;
5. Tujuan mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan

yang diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.11

Mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa di Indonesia adalah merupakan

culture (budaya) bangsa Indonesia sendiri.Baik dalam masyarakat tradisional

maupun sebagai dasar negara Pancasila yang dikenal istilah musyawarah untuk

mufakat. Seluruh suku bangsa di Indonesia pasti mengenal makna dari istilah

tersebut, walaupun penyebutannya berbeda, akan tetapi mempunyai makna yang

sama. Dalam klausula-klausula suatu kontrak atau perjanjian, pada bagian

penyelesaian sengketa selalu diikuti dengan kata-kata “kalau terjadi sengketa atau

perselisihan akan diselesaikan dengan caramusyawarah dan apabila tidak tercapai

suatu kesepakatan akan diselesaikan di Pengadilan Negeri”

Terdapat dua bentuk mediasi bila ditinjau dari waktu

pelaksanaannya.Pertama yang dilakukan di luar sistem peradilan dan yang

dilakukan dalam sistem peradilan. Sistem hukum Indonesia dalam hal ini

Mahkamah Agung (selanjutnya disebut MA) lebih memilih bagian yang kedua

yaitu mediasi dalam sistem peradilan atau court annexed mediation atau lebih

dikenal court annexed dispute resolution.12 Untuk saat ini, pemberlakuan mediasi

dalam sistem peradilan di Indonesia didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung

(selanjutnya disebut Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan yang menetapkan mediasi sebagai bagian dari hukum acara dalam

11
Suyut Margono, 2000, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, PT.
Graha Indonesia, Bogor, h. 59
12
Suyud Margono, 2002, ADR (Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase Proses
Pelembagaan Dan Aspek Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 23-33
perkara perdata, sehingga suatu putusan akan menjadi batal demi hukum

manakala tidak melalui proses mediasi (Perma Nomor 1 Tahun 2008 Pasal 2).

Diberlakukannya Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di

Pengadilan, sebagai pengganti Perma Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan, maka setiap perkara perdata tertentu yang akan diadili oleh

hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan agama

diwajibkan terlebih dahulu untuk menempuh prosedur mediasi di pengadilan.

Penginstitusionalisasi mediasi dalam proses berperkara di pengadilan tersebut

dimaksudkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam mengatasi masalah

penumpukan perkara di pengadilan dan sekaligus memperkuat dan

memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Hal ini

sejalan dengan prinsip penyelesaian sengketa yang cepat dan murah, yang pada

akhirnya dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak untuk

menemukan penyelesaian sengketanya secara memuaskan dan memenuhi rasa

keadilan.

Perma Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi (selanjutnya

disebut Perma Nomor 1 Tahun 2008) di Pengadilan pada bagian menimbang

tertulis “Bahwa mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang

lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada

para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa

keadilan.” Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak

luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa

untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus


sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-

persoalan yang dikuasakan kepadanya.13

Seseorang yang hendak menjadi mediator secara umum wajib memiliki

sertifikat mediator, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 5 Perma

Nomor 1 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

1. Kecuali keadaan sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 11 ayat
(6), setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib
memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan
yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari
Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat,
akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator,
hakim di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang
menjalankan fungsi mediator.
3. Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-
syarat berikut:
a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia;
b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah
mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau
pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan mediasi;
c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan mediasi
bukan untuk mediator bersertifikat di Pengadilan;
d. Memiliki kurikulum atau pelatihan mediasi di pengadilan yang di
sahkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Kedudukan mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa di

luar pengadilan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ini berada di bawah payung alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan berupa konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi dan penilaian ahli. Pengaturan mengenai alternatif penyelesaian

sengketa cukup terbatas diatur dalam undang-undang ini, yaitu hanya satu pasal,

13
Khotibul Uman, 2010, Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Pustaka Yustisia,
Yogjakarta, h. 10
yaitu pasal 6 dengan 9 ayat. Dalam pasal tersebut tidak ditemukan persyaratan

mediator, pengangkatan mediator, kewenangan dan tugas mediator, keterlibatan

pihak ketiga, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan proses mediasi. Oleh karena

itu, sangat tepat bila undang-undang ini disebut sebagai undang-undang arbitrase

dan bukan undang-undang mediasi.14

1.2.2 Pengertian Mediator


Dalam Pasal 1 ayat (6) Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa

yang dimaksud dengan “mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak

dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian

sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah

penyelesaian.”

Sebagai seorang mediator yang dituntut untuk mengedepankan negosiasi

yang bersifat kompromis, hendaklah memiliki ketrampilan-ketrampilan khusus.

Ketrampilan khusus yang dimaksud ialah:

1. Mengetahui bagaimana cara mendengarkan para pihak yang bersengketa;

2. Mempunyai ketrampilan bertanya terhadap hal-hal yang

dipersengketakan;

3. Mempunyai ketrampilan membuat pilihan-pilihan dalam menyelesaikan

sengketa yang hasilnya akan menguntungkan para pihak yang

bersengketa (win-win solution);

4. Mempunyai ketrampilan tawar menawar secara seimbang;

14
Syahrizal Abbas, 2009, Mediasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 297
5. Membantu para pihak untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap

hal-hal yang dipersengketakan.15

Berbeda dengan hakim atau arbiter, mediator tidak mempunyai wewenang

untuk memutuskan sengketa antara para pihak namun dalam hal ini para pihak

menguasakan kepada mediator untuk membantu mereka menyelesaikan

persoalan-persoalan di antara mereka. Asumsinya adalah pihak ketiga akanmampu

mengubah kekuatan dan dinamika sosial hubungan konflik dengan cara

mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku pribadi/individual para pihak,

dengan memberikan pengetahuan atau informasi, atau dengan menggunakan

proses negosiasi yang lebih efektif dan dengan demikian membantu para peserta

untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dipersengketakan.16

1.2.3 Sertifikasi Mediator dan Pemilihan Mediator

Mengenai sertifikasi mediator diatur dalam Pasal 5 Perma Nomor 1 Tahun

2008 dapat diketahui bahwa :

1. Setiap orang yang menjalankan fungsi mediator pada asasnya wajib

memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan

yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi

dari Mahkamah Agung Republik Indonesia;

2. Jika dalam wilayah sebuah pengadilan tidak ada hakim, advokat,

akademisi hukum dan profesi hukum yang bersertifikat mediator, hakim

15
Harijah Damis, Hakim Mediasi Versi Sema Nomor 1 Tahun 2002 tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai, Majalah Mimbar
Hukum, Nomor 63 tahun XV, Edisi Maret-April 2004, h. 28
16
Khotibul Uman, Loc.cit
di lingkungan pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan

fungsi mediator.

3. Untuk memperoleh akreditasi, sebuah lembaga harus memenuhi syarat-

syarat berikut :

a. Mengajukan permohonan kepada Ketua Mahkamah Agung

Republik Indonesia;

b. Memiliki instruktur atau pelatih yang memiliki sertifikat telah

mengikuti pendidikan atau pelatihan mediasi dan pendidikan atau

pelatihan sebagai instruktur untuk pendidikan atau pelatihan

mediasi;

c. Sekurang-kurangnya telah dua kali melaksanakan pelatihan

mediasi bukan untuk mediator bersertifikat di pengadilan;

d. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di

pengadilan;

e. Memiliki kurikulum pendidikan atau pelatihan mediasi di

pengadilan yang disahkan oleh Mahkamah Agung Republik

Indonesia.

Para pihak berhak untuk memilih mediator sebagaimana ditentukan dalam

ketentuan Pasal 8 ayat (1) Perma Nomor 1 Tahun 2008 yaitu :

a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang

bersangkutan;

b. Advokat atau akademisi hukum;


c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau

berpengalaman dalam pokok sengketa;

d. Hakim majelis pemeriksa perkara;

e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau

gabungan butir b dan d atau gabungan butir c dan d.

1.2.4 Tugas dan Kewenangan Mediator

Tugas-tugas dari seorang mediator dalam melakukan mediasi diantara

pihak-pihak yang bersengketa diatur dalam ketentuan Pasal 15 Perma Nomor 1

Tahun 2008 yang menyatakan bahwa :

1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan mediasi

kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati;

2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan

dalam proses mediasi;

3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus;

4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali

kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang

terbaik bagi para pihak.

Selain itu menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Perma

Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan bahwa tugas mediator untuk membantu para

pihak merumuskan kesepakatan perdamaian.

Mediator dalam menjalankan tugasnya juga memiliki kewenangan untuk

menyatakan mediasi gagal sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 14

Perma Nomor 1 Tahun 2008 yaitu :


a. Mediator berwenang untuk menyatakan mediasi telah gagal jika salah

satu pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-

turut tidak menghadiri pertemuan mediasi sesuai jadwal pertemuan

mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak

menghadiri pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara

patut;(Pasal 14 ayat (1)).

b. Mediator mempunyai kewenangan untuk membatasi mediasi yang

melibatkan aset atau harta kekakayaan atau kepentingan yang nyata-

nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak disebutkan dalam surat

gugatan sehingga para pihak yang dihadirkan dalam proses mediasi

tidak lengkap. (Pasal 14 ayat (2)).

1.2.5 Lingkup Kerja Mediator

Keterampilan untuk menemukan pilihan-pilihan alternatif penyelesaian

sengketa merupakan salah satu kekayaan yang paling berguna bagi seorang

penengah.Mediator tidak mempunyai wewenang membuat penilaian atau putusan

siapa yang benar dan siapa yang salah, mediator dihadirkan karena keterampilan

yang mereka miliki untuk mempermudah munculnya sebuah solusi.

Mediasi dapat berfungsi dengan baik bilamana sesuai dengan beberapa

syarat berikut ini:

a. Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding;

b. Para pihak menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan;

c. Terdapat urgensi atau batas waktu untuk penyelesaian;


d. Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan

mendalam;

e. Jika para pihak berada dalam proses litigasi, kepentingan-kepentingan

pelaku lainnya, seperti para pengacara tidak akan menjamin diperlakukan

lebih baik dibandingkan dengan mediasi.17

Apabila proses mediasi sudah berlangsung, mediator harus berfungsi

sebagai wasit dengan tetap menjaga netralitas dan tidak boleh terbawa didalam

emosi salah satu pihak dan selalu menjaga kenyamanan suasana. Garry

Goodpaster membagi pelaksanaan mediasi itu berlangsung menjadi 4 (empat)

tahapan, yaitu:

1. Tahapan Pertama: Menciptakan Forum

Dalam tahap pertama ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan mediator

antara lain:

a. Mengadakan pertemuan bersama;

b. Pernyataan pembukaan mediator;

c. Menetapkan aturan dasar perundingan dan membimbing para

pihak;

d. Mengembangkan hubungan dan kepercayaan diantara para pihak;

e. Penyataan-pernyataan para pihak;

f. Para pihak mengadakan atau melakukan hearing dengan mediator;

g. Mengembangkan, menyampaikan dan melakukan klarifikasi

informasi;

17
Rachmadi Usman, 2002, Hukum Arbitrase Nasional, Grasindo, Jakarta, (selanjutnya
disebut Rachmadi Usman II) h. 17
h. Menciptakan interaksi model dan disiplin.

2. Tahap Kedua: Pengumpulan dan Pembagian Informasi

Dalam tahap ini mediator akan mengadakan pertemuan-pertemuan secara

terpisah atau dinamakan dengan caucus-causus terpisah guna:

a. Mengembangkan informasi lanjutan;

b. Melakukan eksplorasi yang mendalam mengenai keinginan atau

kepentingan para pihak;

c. Membantu para pihak dalam menaksir dan menilai kepentingan;

d. Membimbing para pihak dalam tawar-menawar penyelesaian

masalah.

3. Tahap Ketiga: Penyelesaian Masalah

Dalam tahap ketiga ini mediator dapat mengadakan pertemuan bersama

atau caucus-caucus terpisah sebagai tambahan atau kelanjutan dari

pertemuan sebelumnya, dengan maksud untuk:

a. Menyusun dan menetapkan agenda;

b. Merumuskan kegiatan-kegiatan penyelesaian masalah;

c. Meningkatkan kerja sama;

d. Meningkatkan identifikasi dan klarifikasi masalah;

e. Mengadakan pilihan penyelesaian masalah;

f. Membantu melakukan pilihan penafsiran;

g. Membantu para pihak dalam menafsir, menilai dan membuat

prioritas kepentingan-kepentingan mereka.


4. Tahap Keempat: Pengambilan Keputusan

Dalam rangka pengambilan keputusan, kegiatan-kegiatan yang harus

dilakukan:

a. Mengadakan caucus-caucus dan pertemuan-pertemuan bersama;

b. Melokasikan peraturan, mengambil sikap dan membantu para pihak

mengevaluasi paket-paket pemecahan masalah;

c. Membantu para pihak untuk memperkecil perbedaan-perbedaan;

d. Mengkonfirmasi dan mengklarifikasi perjanjian;

e. Membantu para pihak untuk membandingkan proposal

penyelesaian masalah dengan pilihan diluar perjanjian;

f. Mendorong atau mendesak para pihak untuk menghasilkan

pemecahan masalah;

g. Memikirkan formula pemecahan masalah yang win-win solution;

h. Membantu para pihak melakukan mufakat dengan pemberi kuasa

mereka;

i. Membantu para pihak membuat pertanda perjanjian.18

Setelah para pihak tersebut mencapai kesepakatan, mereka harus menulis sebuah

kesepakatan final dan menandatanganinya, sehingga hal tersebut akan dapat

dibawa ke pengadilan jika ternyata bermasalah. Mediator tidak boleh hanya

mewakili satu pihak saja, karena hal ini dapat membuat mediator rentan terhadap

tuntutan-tuntutan konflik kepentingan.

18
ibid, h. 104

Anda mungkin juga menyukai