Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

GANGGUAN KEBUTUHAN CAIRAN


PADA DIABETES INSIPIDUS

DISUSUN OLEH :

Cantika Rosita Dewi (182303101010)


Ike Adelia Pratama (192303101004) Asma Fida Ulya (120303101168)
Vyrda Alya Pradhyna (192303101015) Nadirotul Umami (192303101175)
Primba Ari Wijaya (192303101055) Anindya Julia Putri M (192303101176)
Shofia Lailatul M. (192303101108) Leony Delvechia A. (192303101182)
Ika Lailatul M. (192303101145) Citra Pujangga (192303101186)
Silda Anggraini (192303101167) M. Sayyid Ali (192303101113)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
KAMPUS LUMAJANG
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Gangguan Kebutuhan
Cairan pada Diabetes Insipidus ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ns. Indriana Noor Istiqomah, S.Kep, M.Kep.
pada Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan dan acuan bagi kami calon perawat, untuk dapat diterapkan dalam
praktik kerja pada klien dirumah sakit dengan sebaik-baiknya. Namun demikian tidak
menutup kemungkinan untuk dibaca oleh kalangan profesi kesehatan dan masyarakat umum
lainnya.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan makalah ini tidak dapat terlaksana
tanpa bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu seluruh anggota tim penyusun mengucapkan
terimakasih kepada dosen pengajar Ns. Indriana Noor Istiqomah, S.kep, M.kep. telah
memberikan kesempatan dan dorongan dari awal hingga terwujudnya tugas ini.
Terakhir kami sampaikan kepada semua pembaca yang tertarik untuk membaca
makalah ini. Semoga dengan adanya makalah ini akan turut membantu pengembangan
profesi keperawatan. Saran dan masukan senantiasa kami harapkan bagi kesempurnaan
makalah ini.

Lumajang, 07 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................. i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................................ 3
2.1 Definisi ......................................................................................................................... 3
2.2 Etiologi ......................................................................................................................... 4
2.3 Patofisiologi .................................................................................................................. 6
2.4 Gejala ........................................................................................................................... 7
2.5 Anamnesa ..................................................................................................................... 7
2.6 Pemeriksaan Fisik ......................................................................................................... 8
2.7 Pemeriksaan Laboraturium ............................................................................................ 8
2.8 Intervensi Keperawatan ............................................................................................... 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 12
3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 12
3.2 Saran........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Vasopresin atau Arginen Vaso Previn (APV) adalah Anti Diuretik Hormon (ADH)
yang bekerja melalui reseptor-reseptor tubuli distal dari ginjal untuk menghemat air dan
mengonsentrasi urin dengan menambah aliran osmotik dari lumina-lumina ke intestinum
medular yang membuat kontraksi otot polos. Dengan demikian ADH memelihara
konstannya osmolaritas (konsentrasi larutan) dan volume dalam tubuh (Syaifuddin,
2009).
ADH berfungsi sebagai homeostasis tubuh ketika terjadi dehidrasi, bila cairan
ekstrasel terlalu pekat, maka cairan ditarik dengan proses osmosis keluar dari sel
osmoreseptor sehingga mengurangi ukuran sel dan menimbulkan sinyal saraf dalam
hipotalamus untuk menyekresi ADH. Begitu pula sebaliknya, bila cairan ekstrasel terlalu
encer, air bergerak melalui osmosis dengan arah berlawanan masuk kedalam sel. Keadaan
ini akan menurunkan sinyal saraf untuk menurunkan sekresi ADH (Syaifuddin, 2009).
Fungsi ADH dalam tubuh berkaitan erat dengan tingkat hidrasi dalam tubuh, maka
jika seseorang mengalami gangguan pada sekresi vasopresinnya akan menimbulkan
dehidrasi pada penderita. Gangguan sekresi APV diantaranya adalah diabetes insipidus,
penyakit ini berbeda dengan diabetes melitus karna pada penyakit diabetes melitus adalah
sekresi hormon insulin yang mengalami gangguan. Walaupun penyakit ini belum banyak
dikenal oleh masyarakat luas, tetapi penyakit ini dapat timbul akibat cedera kepala atau
infeksi. Makalah ini akan membahas tentang diabetes insipidus.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa Definisi dari Diabetes Insipidus?
 Bagaimana Etiologi Diabetes Insipidus?
 Bagaimana Patofisiologi dari Diabetes Insipidus hingga mengakibatkan Gangguan
Kebutuhan Cairan?
 Apa Gejala yang muncul pada Diabetes Insipidus?
 Bagaimana Anamnesa Diabetes Insipidus?
 Bagaimana Pemeriksaan Fisik Diabetes Insipidus?
 Bagaimana Pemeriksaan Laboraturium Diabetes Insipidus?

1
 Bagaimana Intervensi Keperawatan pada Diabetes Insipidus?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memberikan asuhan keperawatan yang sesuai kepada Pasien
dengan gangguan kebutuhan cairan dengan Diabetes Insipidus.
2. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui Definisi dari Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Etiologi Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Patofisiologi dari Diabetes Insipidus hingga mengakibatkan
Gangguan Kebutuhan Cairan.
 Untuk mengetahui Gejala yang muncul pada Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Anamnesa Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Pemeriksaan Fisik pada Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Pemeriksaan Laboraturium pada Diabetes Insipidus.
 Untuk mengetahui Intervensi Keperawatan pada Diabetes Insipidus.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definsi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus adalah kondisi yang cukup langka, dengan gejala selalu merasa
haus dan pada saat bersamaan sering membuang air kecil dalam jumlah yang sangat
banyak. Jika sangat parah, penderitanya bisa mengeluarkan air kencing sebanyak 20 liter
dalam sehari. Diabetes insipidus sendiri berbeda dengan diabetes mellitus.
Diabetes insipidus adalah kegagalan tubuh untuk menyimpan air karena kekurangan
hormon atideuretik (ADH, vasopresin), yang disekresikan oleh ginjal, atau karena
ketidakmampuan ginjal untuk berespon pada ADH. Diabetes insipidus ditandai oleh
polidipsi dan poliuria (Nettina M. Sandra 2001).
Diabetes Insipidus menurut Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran, 2007, dibagi
menjadi 4 macam yaitu:
1. Diabetes insipidus sentral (neurogenik)
Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat
fatal. Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang
berakibat terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh
kerusakan nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang
mensistesis ADH. Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena
gangguan pengangkutan ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptiko
hipofisealis dan akson hipofisis posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-
waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika dibutuhkan. Penanganan pada keadaan DI
sentral adalah dengan pemberian sintetik ADH (desmopressin) yang tersedia dalam
bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil. Selama mengkonsumsi desmopressin, pasien
harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat ini yaitu menghambat ekskresi air
sehingga ginjal mengekskresikan sedikit urin dan kurang peka terhadap perubahan
keseimbangan cairan dalam tubuh.
2. Diabetes Insipidus Nefrogenik
Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat di
sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti
penyakit ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease, dan
kelainan genetik, maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak akan
berpengaruh. Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau

3
indomethacin. HCTZ kadang dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi
obat ini, pasien hanya boleh minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume
overload.
3. Diabetes Insipidus Dipsogenik
Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di
hipotalamus. Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal sehingga
terjadi supresi sekresi ADH dan peningkatan output urin. Desmopressin tidak boleh
digunakan untuk penanganan diabetes insipidus dipsogenik karena akan menurunkan
output urin tetapi tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah
sehingga terjadi volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi dimana
konsentrasi Na dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak.
Belum ditemukan pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.
4. Diabetes insipidus Gestasional
Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat
plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan
membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat abnormalitas
dari mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai terapi.

2.2 Etiologi Diabetes Insipidus


Diabetes insipidus sentral disebabkan kondisi-kondisi yang mengganggu pembuatan,
penyimpanan, dan pelepasan ADH. Angka kejadian sama antara laki-laki dan perempuan,
dapat terjadi pada seluruh rentang usia, dengan onset terutama pada usia 10-20 tahun.
Penyebab diabetes insipidus sentral dibagi menjadi dua kategori:
1. Didapat
a. Kerusakan regio hipotalamoneurohipofiseal karena trauma kepala, operasi, atau
tumor. Kerusakan bagian proksimal (30-40% kasus pasca-operasi trauma kepala)
menghancurkan lebih banyak neuron dibandingkan kerusakan bagian distal (50-
60% kasus).
b. Idiopatik. Sebanyak 50% kasus diabetes insipidus sentral dilaporkan sebagai
kasus idiopatik; sering disebabkan lesi intrakranial yang lambat pertumbuhannya.
Beberapa otopsi kasus juga menunjukkan atrofi neurohipofisis, nukleus
supraoptik, atau paraventrikuler. Laporan lain mencatat antibodi bersirkulasi yang
melawan neuron hipotalamus penghasil ADH, sehingga ada dugaan peranan
autoimun. Kasus idiopatik memerlukan pengkajian lebih cermat.

4
c. Kelainan vaskular. Contoh: aneurisma dan sindrom Sheehan.
d. Racun kimia, antara lain racun ular.
2. Diturunkan
Bersifat genetik. Beberapa jenis resesif autosomal dan x-linked. Diabetes insipidus
nefrogenik disebabkan adanya gangguan struktur atau fungsi ginjal, baik permanen
maupun sementara, akibat penyakit ginjal (penyebab tersering), obatobatan, atau
kondisi lain yang menurunkan sensitivitas ginjal terhadap ADH. Secara patofisiologi,
kerusakan ginjal dapat berupa: Gangguan pembentukan dan/ atau pemeliharaan
gradien osmotik kortikomedular yang mengatur tekanan osmosis air dari duktus
kolektikus menuju interstisial. Gangguan penyesuaian osmosis antara isi tubulus dan
medula di interstisial karena aliran cepat di tubulus akibat kerusakan komponen
proksimal dan/atau distal sistem ADH-CAMP.
Penyebab diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi dua kategori:
1. Didapat
a. Penyakit ginjal. Penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal kronis akan
mengganggu kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasi urin.
b. Obat, terutama lithium.14 Sekitar 55% pengguna lithium jangka panjang
mengalami gangguan mengkonsentrasi urin.15,16 Obat lain seperti gentamisin
dan furosemid.
c. Gangguan elektrolit. Pada hipokalemia terjadi gangguan dalam hal menciptakan
dan mempertahankan gradien osmotik di medula. Selain itu, terjadi resistensi
terhadap efek hidro-osmotik ADH di duktus kolektikus. Pada hiperkalsemia
terjadi kalsifikasi dan fibrosis yang menyebabkan gangguan anatomis ginjal,
sehingga mengganggu mekanisme konsentrasi urin.
d. Kondisi lain. Kehamilan, mieloma multipel, sickle cell anemia, kekurangan
protein, amiloidosis, dan sindroma Sjorgen dapat menyebabkan diabetes insipidus
nefrogenik.
2. Diturunkan
a. Mutasi gen yang mengkode reseptor ADH tipe-2 (reseptor V2 atau AVPR2) pada
kromosom Xq28 adalah bentuk paling sering.
b. Mutasi gen aquaporin-2 (AQP2) pada kromosom 12q13 (1% kasus)
menyebabkan peningkatan kanal air yang diekspresikan di duktus kolektikus
ginjal.

5
2.3 Patofisiologi Diabetes Insipidus

Granuloma Pasca Fraktur Obat – obatan Gangguan asupan diet Penyakit


Tumor hipofise Dasar jangka panjang ginjal kronik
ktomi Tengkorak
infeksi Defisiensi protein
Gangguan liver
Gangguan Fungsi
Hipofungsi Trauma Kepala Ginjal
Menghambat
kelenjar Metabolisme tubuh
kerja saraf Gangguan keseimbangan
pituitary Rusaknya SSP terganggu
Elektrolit

Diabetes Insipidus Diabetes Insipidus


Neurogenik Nephrogenik

Kerusakan Nukleus akson traktus Kegagalan


Supraoptik supraoptikohipofisis pembentukan gradient
paraventrikuer dan posterior rusak osmotic dalam medulla
filiformishipotalamus radialis
Kegagalan Gangguan Kegagalan
mensintesis ADH pengangkutan ADH sekresi ADH

Produksi ADH ADH yang tersimpan Urin hipotonis melewati


menurun tidak dapat terangkut tubulus distal
ke sirkulasi
Na lebih banyak
Sintesis ADH tidak ADH dalam
dikeluarkan
memenuhi kebutuhan sirkulasi

Urin masuk ke
Penurunan Collecting duct
osmolaritas urine Minimnya informasi
tentang proses penyakit, Osmolalitas urin
pengobatan, dan
Poliuria perawatan diri
Merangsang Haus (polidipsi)

Klien tidak menjalankan


Perubahan eliminasi instruksi secara akurat Ekskresi meningkat
urine
Keseimbangan cairan terganggu

Kurang Pengetahuan Asupan cairan tidak adekuat

Kurangnya volume
cairan dalam tubuh

6
2.4 Gejala Diabetes Insipidus
Gejala utama dari diabetes insipidus adalah selalu merasa haus dan sering buang air
kecil dalam jumlah banyak. Sering merasa haus meski sudah minum banyak sekali air.
Jumlah urine yang dikeluarkan penderita diabetes insipidus tiap harinya adalah sekitar 3-
20 liter, mulai dari kasus diabetes insipidus yang ringan hingga kasus yang paling parah.
Kencing yang dialami penderita kondisi ini bisa sebanyak 3-4 kali per jam.
Sedangkan dalam buku Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persyarafan,
2008, Gejala klinis diabetes insipidus berupa gejala umum seperti poliuri dan polidipsi,
jumlah air yang diminum dan urine output per 24 jam sebanyak 5-10 L, berat jenis urine
antara 1,001-1,005 dan 50-200 MOSmol/kgBB.

2.5 Anamnesa
1. Pengkajian
Data Demografi klien berupa Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya:
nama, umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
2. Riwayat Sakit dan Kesehatan
 Keluhan utama : Biasanya pasien merasa haus, pengeluaran air kemih yang
berlebihan, sering keram dan lemas jika minum tidak banyak.
 Riwayat penyakit saat ini : Pasien mengalami poliuria, polidipsia, nocturia,
kelelahan, konstipasi
 Riwayat penyakit dahulu : Klien pernah mengalami Cidera otak, tumor,
tuberculosis, aneurisma/penghambatan arteri menuju otak, hipotalamus
mengalami kelainan fungsi dan menghasilkan terlalu sedikit hormone
antidiuretik, kelenjar hipofisa gagal melepaskan hormon antidiuretik kedalam
aliran darah, kerusakan hipotalamus/kelenjar hipofisa akibat pembedahan dan
beberapa bentuk ensefalitis, meningitis.
 Riwayat penyakit keluarga
Adakah penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang mungkin ada
hubungannya dengan penyakit klien sekarang, yaitu riwayat keluarga dengan
diabetes insipidus.
3. Pengkajian psiko-bio-sosio-spiritual

7
Perubahan kepribadian dan perilaku klien, perubahan mental, kesulitan mengambil
keputusan, kecemasan dan ketakutan hospitalisasi, diagnostic test dan prosedur
pembedahan, adanya perubahan peran.
4. Pola Fungsional Gordon
a. Pola persepsi kesehatan : adakah riwayat infeksi sebelumnya, persepsi pasien dan
keluarga mengenai pentingnya kesehatan bagi anggota keluarganya.
b. Pola nutrisi dan cairan : pola makan dan minum sehari - hari, jumlah makanan
dan minuman yang dikonsumsi, jenis makanan dan minuman, waktu berapa kali
sehari, nafsu makan menurun atau tidak, jenis makanan yang disukai, penurunan
berat badan.
c. Pola eliminasi : mengkaji pola BAB dan BAK sebelum dan selama sakit,
mencatat konsistensi, warna, bau, dan berapa kali sehari, konstipasi, beser.
d. Pola aktivitas dan latihan : reaksi setelah beraktivitas (muncul keringat dingin,
kelelahan atau keletihan), perubahan pola nafas setelah aktifitas, kemampuan
pasien dalam aktivitas secara mandiri.
e. Pola tidur dan istirahat : berapa jam sehari, terbiasa tidur siang, gangguan selama
tidur (sering terbangun), nyenyak, nyaman.
f. Pola persepsi kognitif : konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mengetahui
tentang penyakitnya.
g. Pola persepsi dan konsep diri : adakah perasaan terisolasi diri atau perasaan tidak
percaya diri karena sakitnya.
h. Pola reproduksi dan seksual.
i. Pola mekanisme dan koping : emosi, ketakutan terhadap penyakitnya, kecemasan
yang muncul tanpa alasan yang jelas.
j. Pola hubungan : hubungan antar keluarga harmonis, interaksi, komunikasi, cara
berkomunikasi.
k. Pola keyakinan dan spiritual : agama pasien, gangguan beribadah selama sakit,
ketaatan dalam berdoa dan beribadah.
2.6 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan diabetes insipidus meliputi: pemeriksaan fisik umum
per system dari observasi keadaan umum, pemeriksaan tanda-tanda vital, B1 (breathing),
B2 (Blood), B3 (Brain), B4 (Bladder), B5 (Bowel), dan B6 (Bone).
 Pernafasan B1 (breath)

8
RR = 20 x/mnt, tidak ada sesak nafas, tidak ada batuk pilek, tidak memiliki riwayat
asma dan suara nafas normal.
 Kardiovaskular B2 (blood)
TD = 130/80 mmHg, nadi = 84 x/mnt, suhu = 36,5 oC, suara jantung vesikuler.
Perfusi perifer baik, turgor kulit buruk, intake= 295 mosmol/L (n= <290 mosmol/L)
 Persyarafan B3 (brain)
Kadang pasien merasa pusing, bentuk kepala simetris, GCS= 4 5 6, pupil normal,
orientasi tempat-waktu-orang baik, reflek bicara baik, pendengaran baik, penglihatan
baik, penghidu baik.
 Perkemihan B4 (bladder)
Poliuria sangat encer ( 4- 30 liter ) dengan berat jenis 1.010 osmolalitas urin 50-150
mosmol/L
 Pencernaan B5 (bowel)
Nafsu makan baik, tidak ada mual/muntah, BAB 2 x/hr pagi dan sore. Klien tidak ada
sakit maag.
 Muskuloskeletal/integument B6 (bone)
Mandi 2x/hari pagi dan sore, kulit bersih, turgor kulit buruk, tidak ada nyeri otot dan
persendian.

2.7 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan pada Diabetes Insipidus adalah :
1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test.
Tes ini menggunakan Hipertonik salin dan mengecek kadar urine yang digunakan
Ketentuan :
 Jika menggunakan obat anti diuretik, hentikan terlebih dahulu hingga pengeluaran
urine mencapai normal
 Pasien dibuat dehidrasi (Dengan pengawasan tentunya) selama 8-12 jam
Langkah :
 Sebelum Pemberian hipertonik salin, pasien diberi minum 20ml/KgBB dalam 1
jam.
 Ambil urin setiap interval 15 menit
 Ketika urin melebihi 5ml/menit, 2,5% Hipertonik salin diberikan secara IV
dengan kecepatan 0,25mg/KgBB selama 45 menit

9
2. Fluid deprivation menurut Martin Golberg.
 Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan kandung
kencingnya kemudian ditimbah berat badannya, diperiksa volume dan berat jenis
atau osmolalitas urine pertama. Pada saat ini diambil sampel plasma untuk diukur
osmolalitasnya.
 Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap jam
 Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 ml/jam atau setiap 3 jam
bila dieresis kurang dari 300 ml/jam.
 Setiap sampel urin sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan segar atau
kalau hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus disimpan dalam botol
yang tertutup rapat serta disimpan dalam lemari es.
 Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan menurun 3-4 % tergantung
mana yang terjadi lebih dahulu. Pengujian ini dilanjutkan dengan :
1) Uji nikotin
a) Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-dalam sebanyak 3
batang dalam waktu 15-20 menit.
b) Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap sampel
urine sampai osmolalitas/berat jenis urin menurun dibandingkan dengan
sebelum diberikan nikotin.
2) Uji Vasopresin :
a) Berikan pitresin dalam minyak 5 m, intramuscular.
b) Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada dieresis berikutnya
atau 1 jam kemudian.
3. Pengecekan laboratorium pada darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi dari
1,001-1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma
kurang dari 290 mOsml/l dan osmolalitas urin osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l.
pada keadaan dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma
lebih dari 295 mOsmol/l dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. urin pucat atau
jernih dan kadar natrium urin rendah. Pemeriksaan laboraturium menunjukkan kadar
natrium yang tinggi dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.
4. Tes deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan defisiensi
ADH parsial dan juga untuk membedakan diabetes insipidus dengan polidipsia

10
primer pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi hari. Hitung berat badan anak
dan periksa kadar osmolalitas plasma urin setiap 2 jam. Pada keadaan normal,
osmolalitas akan naik (<300) namun output urin akan berkurang dengan berat jenis
yang baik (800-1200).
5. Radioimunoassay untuk vasopressin
Kadar plasma yang selalu kurang drai 0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus
neurogenik berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai
menunjukkan diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini berguna dalam
membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.
6. Rontgen cranium
Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti
kalsifikasi, pembesaran slla tursunika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya
sutura.
7. MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus.
Gambaran MRI dengan T1 dapat membedakan kelenjar pitutaria anterior dan
posterior dengan isyarat hiperintense atau disebut titik terang atau isyarat terang.

2.8 Intervensi keperawatan


Intervensi keperawatan pada gangguan keseimbangan cairan berhubungan dengan
diabetes insipidus:
 Pantau tanda tanda dehidrasi
 Anjurkan pasien untuk minum ( 2000-2500 cc/hari )
 Monitor status cairan termasuk intake dan output
 Monitor hidrasi ( kelembaban membra mukosa, nadi adekuat, tekkanan darah
ortostatik
 Monitor respon pasien terhadap penambahan cairan
 Pemberian cairan IV
 Monitor adanya tanda-tanda gejala kelebihan volume cairan
 Kolaborasi tim medis lain terkait pemberian obat dan terapi lanjutan

11
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Diabetes insipidus yaitu kondisi dimana seseorang mengalami gejala haus yang
berlanjut dan pada saat bersamaan sering buang air kecil dalam jumlah yang sangat
banyak. Beberapa penderita bisa mengeluarkan air kencing sebanyak 20 liter dalam
sehari dan Diabetes insipidus sendiri berbeda dengan diabetes melitus. Jumlah urine yang
dikeluarkan penderita diabetes insipidus tiap harinya sekitar 3-20 liter, mulai dari kasus
diabetes insipidus yang ringan hingga kasus yang paling parah. Kencing yang dialami
penderita kondisi ini bisa sebanyak 3-4 kali per jam. Pemeriksaan diabetes insipidus
terdiri dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboraturium.
4.2 Saran
Dengan adanya makalah ini semoga kita dapat mengetahui dan memahami konsep
atau teori dari gangguan kebutuhan cairan pada Diabetes Insipidus mulai dari definisi,
etiologi, patofisiologi, gejala, anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
serta intervensi keperawatan pada gangguan kebutuhan cairan pada diabetes insipidus.
Tentunya kita sebagai seorang perawat harus mampu dan menguasai konsep atau teori
sebagai dasar untuk melakukan asuhan keperawatan yang nantinya sebagai bekal pada
saat terjun langsung ke rumah sakit dan berhadap langsung dengan seorang klien.

12
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Persyarafan.


Jakarta: Salemba Medika.
Guyton, A. C. M. D. and Hall, J. E., 2007. Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kusmana, F. (2016). Diabetes Insipidus–Diagnosis dan Terapi. Cermin Dunia Kedokteran,
43(11), 825-830.
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

13

Anda mungkin juga menyukai