Anda di halaman 1dari 15

NAMA : SHALSABILLA MALFA

NIM : 190102051
PRODI : D3 KEPERAWATAN

1. UU no 09 tahun 2012 tentang protocol opsional konvensi hak anak dalam


konflik bersenjata

UMUM

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak
asasi atau hak dasar sejak dilahirkan dan memiliki harkat dan martabat
sebagai manusia seutuhnya. Salah satu hak dasar anak adalah jaminan
untuk tumbuh dan berkembang secara utuh dan wajar baik jasmani dan
rohani maupun sosial dan intelektualnya termasuk dalam keadaan konflik
bersenjata. Jaminan perlindungan hak dasar tersebut sesuai dengan nilai-
nilai Pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan
bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, memiliki peran strategis dan
mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi
bangsa dan negara pada masa depan.

Keberadaan anak dalam konflik bersenjata dapat menimbulkan dampak


yang serius serta konsekuensi dalam jangka panjang bagi anak. Peperangan
dan konflik bersenjata saat ini telah melibatkan berbagai pihak, termasuk
anak-anak. Anak-anak sering dijadikan sasaran penyiksaan dan
pembunuhan sebagai bagian dari strategi perang. Keterlibatan anak dalam
konflik bersenjata merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak. Oleh
karena itu, dengan mempertimbangkan berbagai akibat yang sangat
merugikan anak, masyarakat internasional bersepakat untuk melakukan
tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melindungi anak sebagaimana
tercantum dalam Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional
Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata).Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional harus
turut serta secara aktif untuk mencegah perekrutan, pelatihan militer, serta
mempersenjatai anak dalam konflik bersenjata. Setiap anak tanpa
diskriminasi apapun wajib dilindungi dan dipenuhi hak-haknya dalam suatu
lingkungan yang menghormati kepentingan terbaik anak, menghargai
pandangan anak, dan mendukung kelangsungan hidup anak.Pasal 28B ayat
(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Untuk melaksanakan ketentuan UndangUndang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah Republik Indonesia telah
menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the Involvement of Children in Armed Conflict (Protokol Opsional
Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata) pada tanggal 24 September 2001 yang merupakan salah satu
bagian yang tidak terpisahkan dari Convention on the Rights of the Child
(Konvensi tentang Hak-hak Anak)sebagai hasil Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November
1989.

Untuk lebih memperkuat komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan


terhadap anak yang terlibat dalam konflik bersenjata, Indonesia perlu
mengesahkan Optional Protocol to the Convention on the Rights of the
Child on the Involvement of Children in Armed Conflict(Protokol Opsional
Konvensi Hak-hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik
Bersenjata) dengan Undang-Undang.

POKOK-POKOK ISI PROTOKOL OPSIONAL

1. Tujuan

Protokol Opsional bertujuan mencegah dan melindungi anak dari


keterlibatan dalam konflik bersenjata.

2. Ruang Lingkup Protokol Opsional

Protokol ini mengatur mengenai upaya pencegahan perekrutan, pelatihan,


dan pemanfaatan anak dalam konflik bersenjata baik di dalam negeri
maupun antarnegara.

3. Kewajiban Negara-Negara Pihak


Sesuai dengan ketentuan Protokol Opsional, Negara-Negara Pihak pada
Protokol Opsional mempunyai kewajiban sebagai berikut:

1. mengambil langkah-langkah yang memungkinkan untuk memastikan


bahwa anggota dari angkatan bersenjata yang belum berumur 18 tahun
tidak dilibatkan secara langsung dalam peperangan;

2. menaikkan batas usia minimum perekrutan sukarela dalam angkatan


bersenjata nasional dengan mempertimbangkan prinsip pada Konvensi
Hak-hak Anak dan Protokol Opsional ini;

3. memastikan bahwa orang yang belum berusia 18 tahun tidak direkrut


dalam wajib militer;
4. mengambil langkah-langkah untuk mencegah, melarang, dan
mengkriminalisasi kelompok bersenjata yang bukan bagian dari
angkatan bersenjata nasional dalam keadaan apapun untuk merekrut
atau menggunakan anak di bawah usia 18 tahun untuk dilibatkan dalam
konflik bersenjata;

5. mengambil langkah-langkah administratif dan tindakan lainnya yang


diperlukan untuk mengefektifkan pelaksanaan dan penegakan
ketentuan yang diatur dalam Protokol Opsional ini;

6. mengambil semua langkah yang memungkinkan untuk menjamin bahwa


orang di dalam yurisdiksi mereka direkrut atau digunakan dalam
peperangan yang bertentangan dengan Protokol Opsional ini untuk
didemobilisasi atau dibebastugaskan;

7. menjalin kerja sama antar Negara-Negara Pihak, termasuk kerja sama


teknik dan bantuan finansial, dalam melaksanakan Protokol Opsional ini,
termasuk dalam pencegahan terhadap semua kegiatan yang
bertentangan dengan Protokol Opsional, serta di bidang rehabilitasi dan
reintegrasi sosial bagi korban;

8. menyerahkan dalam dua tahun setelah berlakunya Protokol Opsional,


informasi yang komprehensif dan tindakan-tindakan yang diambil untuk
mengimplementasikan Protokol Opsional

2. UU no 10 tahun 2012 tentang protocol opsional konvensi hak anak


mengenai penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak

UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


menyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dalam
rangka mewujudkan salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia
tersebut yaitu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak,
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana tercantum dalam amandemen Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2). Ketentuan tersebut,
mengandung arti bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi dari
eksploitasi ekonomi dan bekerja pada pekerjaan yang membahayakan atau
mengganggu pendidikan anak, merusak kesehatan fisik, mental, spiritual,
moral dan perkembangan sosial anak.Pembinaan kesejahteraan anak
termasuk pemberian kesempatan untuk mengembangkan haknya,
pelaksanaannya tidak saja merupakan tanggung jawab orang tua, keluarga,
bangsa, dan negara melainkan diperlukan pula kerja sama internasional.

Dengan meningkatnya penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak


dalam lalu lintas internasional, perlu diperkuat penegakan hukum secara
nyata dalam mencegah dan memberantas tindak pidana penjualan anak,
prostitusi anak, dan pornografi anak.Untuk lebih memperkuat komitmen
Indonesia dalam upaya mencegah, memberantas, dan menghukum pelaku
tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak,
Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to
the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child
Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak
Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada
tanggal 24 September 2001. Penandatanganan tersebut merupakan salah
satu komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional untuk mengimplementasikan Convention on the Rights of the
Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) sebagai hasil Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diterima pada tanggal 20 November
1989.Berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut di atas, maka
Indonesia perlu mengesahkan Optional Protocol to the Convention on the
Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child
Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak
mengenaiPenjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) dengan
Undang-Undang.

POKOK-POKOK ISI PROTOKOL OPSIONAL

1. Tujuan

Protokol Opsional bertujuan melindungi anak agar tidak menjadi korban


dari tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak.

2. Ruang Lingkup Protokol Opsional

Protokol ini mengatur mengenai upaya-upaya mencegah, memberantas,


dan menghukum pelaku tindak pidana penjualan anak, prostitusi anak, dan
pornografi anak, baik di dalam negeri maupun antarnegara.

3. Kewajiban Negara-Negara Pihak

Sesuai dengan ketentuan Protokol Opsional, Negara-Negara Pihak pada


Protokol Opsional mempunyai kewajiban sebagai berikut:
a. melarang penjualan anak, prostitusi anak, dan pornografi anak;

b. menjamin adanya perbuatan yang diatur dalam hukum pidana atau


pemidanaannya, baik yang dilakukan orang perseorangan maupun badan
hukum (korporasi) mengenai:
 perbuatan menawarkan, menyediakan, dan menerima anak dengan cara
apapun untuk tujuan eksploitasi seksual, jual beli organ tubuh, atau
kerja paksa;

 memperoleh persetujuan dengan cara-cara yang tidak semestinya untuk


adopsi anak sehingga melanggar instrumen hukum internasional
mengenai adopsi anak;

 menawarkan, memperoleh, menyediakan seorang anak untuk prostitusi;

 memproduksi, mendistribusikan, menyebarluaskan, mengimpor,


mengekspor, menawarkan, menjual atau memiliki hal-hal untuk tujuan
pornografi anak.

c. memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat


dikategorikan sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisikan;

d. melakukan kerja sama internasional dalam memberikan bantuan hukum


timbal balik dalam masalah pidana;

e. mengambil langkah-langkah untuk menetapkan perampasan dan


penyitaan benda, harta kekayaan, dan barang bukti yang digunakan untuk
melakukan tindak pidana serta mencabut izin baik sementara maupun
permanen terhadap tempat usaha yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana sesuai dengan hukum nasional;

f.mengambil langkah-langkah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan


terbaik bagi anak yang menjadi korban, termasuk dengan mengakui
kebutuhan khususnya, mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh
pendapatnya, memberikan dukungan yang diperlukan selama dalam proses
hukum, danmembebaskan dari segala bentuk ancaman dan balas dendam;

g. memberikan perlindungan terhadap hak dan kepentingan anak sebagai


korban dari tindakan yang dilarang dalam Protokol Opsional ini terutama
dilakukan dengan:

I. menjamin bahwa keraguan mengenai usia korban tidak menghalangi


dimulainya suatu penyelidikan;

II. mengambil langkah-langkah untuk memastikan pemberian pelatihan


yang sesuai, khususnya di bidang hukum dan psikologis bagi para
pendamping korban;

III. mengambil langkah-langkah untuk menjamin keselamatandan integritas


orang-orang dan/atau organisasi yang melakukan upaya pencegahan
dan/atau perlindungan dan rehabilitasi korban.

h. mengadopsi, memperkuat, menyebarluaskan, dan melaksanakan


undang-undang, kebijakan, dan programprogram sosial serta dukungan
administratif untuk mencegah pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Protokol ini.

i. meningkatkan kesadaran di masyarakat luas, termasuk anak-anak melalui


pendidikan dan pelatihan, serta informasi dengan berbagai cara yang sesuai
mengenai tindakan pencegahan dan dampak yang merusak akibat
pelanggaran;

j. mengambil langkah-langkah yang memungkinkan dalam rangka menjamin


tersedianya bantuan yang layak bagi korban pelanggaran, termasuk
reintegrasi sosial dan pemulihan fisik dan psikis secara penuh;

k. meyakinkan bahwa semua anak korban pelanggaran yang diatur dalam


Protokol ini tanpa diskriminasi memperoleh akses terhadap prosedur untuk
memperoleh kompensasi atas kerugian dari pihak yang bertanggung jawab;

l. mengambil langkah-langkah yang tepat dan efektif untukmelarang


produksi dan penyebaran materi iklan yang mengandung tindak pidana
yang diatur dalam Protokol ini;

m. mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memperkuat kerja


sama internasional melalui perjanjian multilateral, regional dan bilateral
dalam rangka pencegahan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
hukuman bagi pihak-pihak yang bertanggung jawab atas tindakan yang
terkait dengan penjualan anak, prostitusi anak, pornografi anak;

n. meningkatkan kerja sama internasional untuk membantu anak yang


menjadi korban dalam pemulihan fisik dan psikis, pemulangan, dan
reintegrasi sosial mereka.

o. memperkuat kerja sama internasional untuk mengatasi akar masalah,


seperti kemiskinan dan ketidakberdayaan yang melandasi kerentanan anak-
anak terhadap terjadinya penjualan anak-anak, prostitusi anak, pornografi
anak.

p. menyerahkan laporan dalam waktu dua tahun setelah berlakunya


Protokol untuk setiap Pihak, kepada Komite Hak-hak Anak mengenai
informasi yang komprehensif tentang tindakan-tindakan.

3. UU no 11 tahun 2012 tentang system peradilan anak


UMUM

Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup


manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi
Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan
bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh,
dan berkembang serta atas pelindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai
kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi
dari ketentuan Pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah
yang bertujuan melindungi Anak. Anak perlu mendapat pelindungan dari
dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi
di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tuayang
telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan
masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku Anak.
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh Anak, antara lain,disebabkan oleh faktor di luar diri Anak
tersebut. Data Anak yang berhadapan dengan hukum dari Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan menunjukan bahwa tingkat kriminalitas serta
pengaruh negatif penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
semakin meningkat.Prinsip pelindungan hukum terhadap Anak harus sesuai
dengan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights ofthe Child)
sebagaimana telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention
on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-Hak Anak).Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk
melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar
Anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta
memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh
jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan
berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Namun, dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai objek dan
perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung
merugikan Anak. Selain itu, Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara
komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada Anak yang
berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, perlu adanya perubahan
paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum,
antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan
lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan pelindungan khusus
kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.Penyusunan Undang-
Undang ini merupakan penggantian terhadap Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang

dilakukan dengan tujuan agar dapat terwujud peradilan yang benar-benar


menjamin pelindungan kepentingan terbaik terhadap Anak yang
berhadapan dengan hukum sebagai penerus bangsa.Undang-Undang ini
menggunakan nama Sistem Peradilan Pidana Anak tidak diartikan sebagai
badan peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Namun, Undang-Undang ini merupakan bagian dari lingkungan
peradilan umum.
Adapun substansi yang diatur dalam Undang-Undang ini,antara lain,
mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat
ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang
paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas
mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk
menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan sehingga dapat
menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum
dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara
wajar. Oleh karena itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam
rangka mewujudkan hal tersebut. Proses itu harus bertujuan pada
terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi
masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala
sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan
masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan
menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang
muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau korban
sehingga Anak Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam Undang-
Undang ini. Khusus mengenai sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan
perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih berumur kurang dari 12
(dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak yang telah
mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas)
tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana.
Mengingat ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi pelindungan
terhadap Anak, perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib
disidangkan di pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan
umum. Proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, dan diadili
pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahami
masalah Anak. Namun,sebelum masuk proses peradilan, para penegak
hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses
penyelesaian di luar jalur pengadilan, yakni melalui Diversi berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan proses penyelesaian
perkara Anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap penyelidikan
sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.

Anda mungkin juga menyukai