By : Sutrisno, S.Kep, Ns
A. Pengertian
Hiperbilirubinemia merupakan suatu keadaan dimana kadar bilirubin serum total yang
lebih dari 10 mg% pada minggu pertama yang ditandai dengan ikterus pada kulit, sclera
dan organ lain. Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus yaitu keadaan
kerusakan pada otak akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak.
(Ni Luh Gede, 1995)
Hiperbilirubin merupakan gejala fisiologis (terdapat pada 25 – 50% neonatus cukup
bulan dan lebih tinggi pada neonatus kurang bulan) (IKA II, 2002).
C. Penyebab
Penyebab ikterus pada neonatus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
Produksi bilirubin berlebihan dapat terjadi karena kelainan struktur dan enzim sel darah
merah, keracunan obat (hemolisis kimia: salisilat, kortikosteroid, klorampinekol),
chepalhematoma.
Gangguan dalam proses ambilan dan konjugasi hepar: obstruksi empedu, infeksi, masalah
metabolik, Joundice ASI, hypohyroidisme.
Gangguan transportasi dalam metabolisme bilirubin.
Gangguan dalam ekskresi bilirubin.
Komplikasi : asfiksia, hipoermi, hipoglikemi, menurunnya ikatan albumin; lahir
prematur, asidosis.
(Ni Luh Gede Y, 1995)( Suriadi, 2001)
Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab
· Biasanya karena infeksi (sepsis)
· Dehidrasi asidosis
· Defisiensi enzim G-6-PD
· Pengaruh obat
· Sindrom gilber
Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
· biasanya karena obstruksi
· hipotiroidime
· hipo breast milk jaundice
· infeksi
· neonatal hepatitis
· galaktosemia
(IKA II, 2002)
D. Tanda dan Gejala
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargik (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus, kejang,
stenosis yang disertai ketegangan otot
(Ngastiyah, 1997)
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
(Ni Luh Gede Y, 1995)
10. Tampak ikterus; sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24 jam
pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
(Suriadi, 2001)
E. Komplikasi
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek
pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus,
nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak
ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
(Ngastiyah, 1997)(Suriadi,2001)
H. Pemeriksaan Diagnostik
1. Test Coom pada tali pusat bayi baru lahir : hasil + tes ini, indirek menandakan adanya
anti body Rh-positif, anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan adanya
sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonatus
2. Golongan darah bayi dan Ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Biliribin total : kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl, yang mungkin
dihubungkan dengan sepsi .kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl
dalam 24 jam atau tidak boleh melebihi 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl
pada bayi preterm. protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan
penurunan kapasitas ikatan terutama bayi preterm.
4. Hitung Darah Lengkap : Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis.
Ht mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%)
dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
5. Glukosa: glukosa darah lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang
dari 40 mg/dl bila BBL hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan
melepaskan asam lemak.
6. Daya ikat karbon dioksida : penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
7. Smear darah Perifer : dapat menunjukkan SDM abnormal, eritoblastosis pada penyakit
Rh atau sferositis pada inkompatibilitas ABO.
I. Penatalaksanaan Teraupeutik
1. Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi
untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada
bilirubin dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang
mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati
kemudian ke empedu. Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu
tanpa perlu konjugasi.
2. Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi.
Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin
konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat
meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
3. Antibiotik; apabila terkait dengan infeksi.
4. Tranfusi tukar; apabila sudah tidak ditangani dengan fototerapi.
(IKA II, 2002)(Suriadi,2000)
Diposkan oleh trisnoners di 05:30 0 komentar Link ke posting ini
Label: PEDIATRIC
ASFIKSIA
By : Sutrisno, S.Kep, Ns
A. Pengertian
Menurut Hanifa Wiknjosastro (2002) asfiksia neonatorum didefinisikan sebagai keadaan
dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia
Neonatus adalah suatu keadaan dimana saat bayi lahir mengalami gangguan pertukaran
gas dan transport O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2 (A.H Markum, 2002).
B. Etiologi
Etiologi secara umum dikarenakan adanya gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
O2 dari ibu ke janin, pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir.
1. Faktor ibu
§ Hipoksi ibu, oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama
anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernafasan, keracunan karbon monoksida,
tekanan darah ibu yang rendah.
§ Penyakit pembuluh darah yang menganggu aliran darah uterus, kompresi vena kava dan
aorta saat hamil, gangguan kontraksi uterus, hipotensi mendadak akibat perdarahan,
hipertensi pada penyakit eklampsia.
§ Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun
§ Gravida empat atau lebih
§ Sosial ekonomi rendah
2. Faktor plasenta
§ Plasenta tipis
§ Plasenta kecil
§ Plasenta tak menempel
§ Solusio plasenta
§ Perdarahan plasenta
C. Patofisiologi
Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen selama kehamilan /
persalinan, akan terjadi asfiksia. Keadaan ini akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan
bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan ini dapat
reversible atau tidak tergantung dari berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia ringan yang
terjadi dimulai dengan suatu periode apnoe, disertai penurunan frekuensi jantung.
Selanjutnya bayi akan menunjukkan usaha nafas, yang kemudian diikuti pernafasan
teratur. Pada asfiksia sedang dan berat usaha nafas tidak tampak sehingga bayi berada
dalam periode apnoe yang kedua., dan ditemukan pula bradikardia dan penurunan
tekanan darah.
Disamping perubahan klinis juga terjadi gangguan metabolisme dan keseimbangan asam
dan basa pada neonatus. Pada tingkat awal menimbulkan asidosis respiratorik, bila
gangguan berlanjut terjadi metabolisme anaerob yang berupa glikolisis glikogen tubuh,
sehingga glikogen tubuh pada hati dan jantung berkurang. Hilangnya glikogen yang
terjadi pada kardiovaskuler menyebabkan gangguan fungsi jantung. Pada paru terjadi
pengisian udara alveoli yang tidak adekuat sehingga menyebabkan resistensi pembuluh
darah paru. Sedangkan di otak terjadi kerusakan sel otak yang dapat menimbulkan
kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya.
D. PATHWAYS
Unknown
E . Manifestasi klinik
1. Pernafasan cuping hidung
2. Pernafasan cepat
3. Tidak bernafas
4. Nadi cepat
5. Cyanosis
6. Nilai APGAR kurang dari 6
Untuk menilai tingkat asfiksia: asfiksia berat, sedang atau ringan bahkan normal dapat
dipakai penilaian dengan APGAR score.
Klasifikasi klinik nilai APGAR:
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisa gas darah ( PH kurang dari 7,20 )
2. Penilaian APGAR Score meliputi (Warna kulit, frekuensi jantung, usaha nafas, tonus
otot dan reflek)
3. Pemeriksaan EEG dan CT-Scan jika sudah timbul komplikasi
4. Pengkajian spesifik
G. Penatalaksanaan
Tujuan utama mengatasi asfiksia adalah untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
membatasi gejala sisa (sekuele) yang mungkin timbul di kemudian hari.Tindakan yang
dikerjakan pada bayi lazim disebut resusitasi bayi baru lahir.
Sebelum resusitasi dikerjakan, perlu diperhatikan bahwa:
1. Faktor waktu sangat penting. Makin lama bayi menderita asfiksia, pertumbuhan
homeostasis yang timbul makin berat. Resusitasi akan semakin sulit dan kemungkinan
timbulnya sekuele akan meningkat
2. Kerusakan yang timbul pada bayi akibat anoksia/ hipoksia antenatal tidak dapat
diperbaiki, tetapi kerusakan yang akan terjadi karena anoksia/hipoksia paska natal harus
dicegah dan diatasi.
3. Riwayat kehamilan dan persalinan akan memberikan keterangan yang jelas tentang
faktor penyebab terjadinya depresi pernafasan pada bayi baru lahir
4. Penilaian bayi baru lahir perlu dikenal baik, agar resusitasi yang dilakukan dapat
dipilih dan ditentukan secara cepat dan tepat.
Tindakan Umum:
1. Pengawasan suhu tubuh
Pertahankan suhu tubuh agar bayi tidak kedinginan, karena hal ini akan memperburuk
keadaan asfiksia.Bayi baru lahir secara relative banyak kehilangan panas yang diikuti
oleh penurunan suhu tubuh. Penurunan suhu tubuh akan mempertinggi metabolisme sel
sehingga kebutuhabn oksigen meningkat. Perlu diperhatikan agar bayi mendapat
lingkungan yang hangat segera setelah lahir. Jangan biarkan bayi kedinginan
(membungkus bayi dengan kain kering dan hangat), Badan bayi harus dalam keadaan
kering, jangan memandikan bayi dengan air dingin, gunakan minyak atau baby oil untuk
membersihkan tubuh bayi. Kepala ditutup dengan kain atau topi kepala yang terbuat dari
plastik
c.Peran Perawat terhadap Therapi Cairan pada bayi baru lahir dengan asfiksia
1. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infuse maupun
kemasannya.
2. Memastikan cairan infuse diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis, cara
pemberian dan waktu pemberian)
3. Memeriksa kepatenan tempat insersi
4. Monitor daerah insersi terhadap kelainan
5. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan program
6. Monitor kondisi dan reaksi pasien
DAFTAR PUSTAKA
2. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1997). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-2. Bandung.
3. Berhman, Kliegman & Arvin, (1996), Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Alih Bahasa
Samik Wahab. Jilid I, Jakarta: EGC.
4. http: // www.pediatrik.com/kanal.Php?pg=karyailmiah&id=03.
5. http : //www.Suaramerdeka.Com/harian/0308/11/ragam5.htm.
6. Mochtar, Rustam, (1998), Sinopsis Obstetri: Obstetri Patologi, Edisi 2, Jakarta: EGC.
7. Persis Mary Halminton, (1999), Dasar- dasar Keperawatan Maternitas Edisi 2, Jakarta:
EGC
8. Staf Pengajar IKA FKUI, (1995), Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3, Jakarta: IKA FKUI.
10. PT Otsuka Indonesia. (2003). Pemberian Cairan Infus. Edisi revisi VIII.
11. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Ilmu Kebidanan, Jakarta:
JNPKKR-POGI
12. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, (2002), Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR- POGI
13. Arif Ridwan & Iman Fathurrohman W. (1998). Referensi Ilmu Kesehatan Anak. Edisi
ke-2. Bandung.