Anda di halaman 1dari 1

Mengawal Visi Pendidikan Nasional

Oleh Fauzi Lisan Sidqi*

Pemberitaan tentang Hilangnya Frasa Agama dalam Pra-Konsep Visi Peta Jalan Pendidikan
Nasional (PJPN) 2020-2035 yang dirilis oleh Kemendikbud, berhasil menjadi sorotan publik.
Terutama Ormas, Para Ulama, Pengamat Pendidikan, dan Individu-individu yang aktif di bidang
Pendidikan Formal maupun Informal. Rata-rata semuanya sepakat dan mempertanyakan atas
Absennya Sacral phrase dalam draf penting tersebut. Polemik ini pun dijawab Mendikbud Nadiem
Makarim lewat klarifikasinya dalam Rapat dengan Komisi X DPR. Menurutnya, Agama itu tidak
hanya penting, tapi lebih dari itu, bahkan Esensi. Lagipula, Luputnya penggunaan Frasa Agama juga
bukan bermaksud untuk menghapusnya. Dan Nadiem berjanji bahwa jajarannya akan terus
menyempurnakan draf yang ada pada saat ini. Case close.
Baiklah, Perlu diketahui Bersama. Final statement dari Nadiem dan Argumentasinya yang
terdengar rasional dan menenangkan itu, tidak bisa serta merta menghapus fakta ini dari ingatan
publik, sehingga membuat asumsi-asumsi negatif dari para ahli terhenti. Beberapa Kisruh Pendapat
berbau agama yang melibatkan Kemendikbud belakangan ini tentu cukup bisa dijadikan alasan. Dan
lagi-lagi pada Kasus kali ini Pihak paling kritis adalah komunitas Islam sendiri. Maka jangan heran
dengan timbulnya sikap khawatir dan curiga dari umat atas sikap Pemerintah yang terkesan kurang
hati-hati dalam Pengambilan kebijakan menyangkut kepentingan Islam. Bahkan Efek terbesar dari
blunder kali ini adalah Munculnya Wacana Potensi Sekulerisasi Pendidikan Islam yang makin hangat
terdengar. Sekulerisme yang merupakan bagian dari Westernisasi berambisi memisahkan Dunia
Pendidikan Nasional dari Unsur-unsur Doktrin Agama. Alangkah bijaknya, Apabila Isu ini menjadi
Pertimbangan Para Pemangku Jabatan Negara dan Pihak-pihak yang Aktif dalam Panitia kerja
penyusunan Blue Print Visi Pendidikan ini. Publik juga Berharap kepada para Menteri Kabinet
Indonesia Maju agar lebih Peka terhadap Value dari sebuah Istilah-sitilah yang sensitif dan eksklusif
di kalangan umat beragama Indonesia, terutama bagi para umat islam. Yang tak kalah penting adalah
Komitmen Pemerintah Untuk terbuka menerima kritik dan masukan, dan bukan menjadikan aspirasi
rakyat layaknya Partai Oposisi sambil berkata You are either with us, or against us, akan tetapi
Pemerintah harus konsisten Mengambil Langkah Kongkrit dengan memastikan keterlibatan dan
Terpenuhinya Kepentingan Agama dalam setiap Keputusan strategis di Republik ini.
Sebagai Konklusi Konstruktif catatan singkat ini, dan Agar menjadi pertimbangan Bersama.
Bahwasanya Harga Mahal yang harus dibayar Ketika Sebuah Frasa paling penting diabaikan dalam
Pemetaan Pendidikan Indonesia adalah Generasi Sekarang dan Masa Depan yang akan Lemah
menghadapi Perubahan Global dalam segala bidang dan menyeret Generasi Penerus Bangsa ke
koordinat Clash of thought. Sebuah Konflik Pemikiran dan Benturan Identitas Budaya. Sekaligus
Penghancuran sistematis SDM berprofil Unggul, berkarakter, berakhlak Mulia yang dicanangkan
oleh Pemerintah. Begitulah, Satu dari sekian Implikasi terburuk jika sebuah Frasa agama dihadirkan
secara Kontekstual saja dalam Grand Design Pendidikan Sebuah Negara. Karena Bangsa ini tidak
memiliki dasar Pendidikan yang kuat, dan keliru dalam memandang apa yang datang dari barat,
seakan peradaban barat adalah Role model tanpa cacat. Terakhir, Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi salah
satu Pakar Pemikiran Islam Indonesia yang Juga Menjabat Sebagai Ketua Majelis Intelektual dan
Ulama Muda Indonesia (MIUMI), dan Sempat Menjadi salah satu anggota dari Tujuh Advisory Panel
For International of Islamic Education (IAME) yang Berpusat di Malaysia mengingatkan bahwa yang
temasuk Faktor terpenting dalam kemajuan Pendidikan Islam adalah dukungan Politik. Maka dalam
Studi Kasus PJPN 2020-2035 ini, umat islam harus lebih aktif mengawal jalannya perumusan draf ini
sampai tuntas dan terus memperjuangkan agar Frasa agama mendapatkan hak politiknya dan
mempunyai tempat di Visi Pendidkan Nasional, layaknya Frasa Pancasila dan Budaya.
*Penulis adalah Mahasiswa Semester 4 Prodi Pendidikan Bahasa Arab STIBA Arraayah Sukabumi

Anda mungkin juga menyukai