Anda di halaman 1dari 11

Mirakel Aksara

oleh: Alya Nurul Wahidah (Siman, Sekaran)

“Tingkahnya terlalu mudah dibaca.

Tapi, logika terkadang tidak sejalan dengan realita”

-Abiansyah Kaustar-

Mata Levan masih terfokus pada aksara kecilnya yang buram. Kertasnya nampak
kusut dan wajahnya semakin masam. Gerak-geriknya mencurigakan. Aku terus mengamati
tingkahnya yang semakin tidak keruan. Levan yang terus mengganti posisi duduknya
membuatku tidak nyaman. “Duh Gusti! Kenapa aku harus musyawarah di dekat Levan?” Aku
merutuk dalam hati. Entahlah, tidak ada yang tahu perihal apa yang membuat Levan
bertingkah aneh setiap imtihan datang. Tapi, tingkahnya berhasil membuatku kembali
membuka portal waktu. Ingatanku beralih menelisik ke masa lalu. Ah, lupakan! Dia bukan
orang yang dulu. “Van, Ayo ke kamar! Aku sudah selesai.” Ucapku sembari membenahi
sarung dan peci. “Duluan saja! Aku masih ingin belajar” Ucap Levan dengan mata yang
masih terfokus pada coretan buram. “Levan! Kamu kesurupan setan apa? Tumben semangat
belajar?” Tanya Nirat. Levan hanya menggeleng seakan memberi isyarat bahwa dia baik-baik
saja. “Levan! Giliranmu mandi!” Tiba-tiba Karim memanggilnya dengan suara yang
memekakkan telinga. “Woi! jangan ramai! Ini waktunya belajar.” Tentu saja teriakan itu
disambut dengan bentakan para pengurus. Levan tersenyum kecil melihat Karim bergidik
ketakutan. Dengan berbisik Karim menyuruh Levan untuk mandi “Psstt…..Levan! Cepat
mandi! Sebelum kena semprot pengurus.” Levan mengangguk. Lagi-lagi dia hanya memberi
isyarat dan beranjak dari tempat duduk.

Sudah 30 menit Levan berada di kamar mandi. Terlalu lama untuk ukuran santri.
Lebih parahnya lagi, aku harus mendapat antrian setelah Levan. Dua kesialan berujung
penantian dan penderitaan. Apa mungkin karena aku tidak sholat rebo wekasan? “Bi, maaf
lama.” Ucap Levan sambil menenteng keranjang sabunnya. Akhirnya setelah penantian
melelahkan, aku bisa mandi juga. Baru memegang knop pintu, aku harus berhenti untuk
sepersekian detik. “Sebentar Bi! Aku lupa handukku.” Ucap Levan sembari mengambil
handuk yang tertinggal. Dengan cepat aku masuk ke dalam kamar mandi. Aku sudah tidak
mau diganggu lagi. Belum sampai melepas baju, suara Levan terdengar lagi di telingaku. “Bi,
di situ ada jam tanganku nggak?” Tanya Levan. “Nggak ada Van.” Setelah jawaban dariku,
Levan sepertinya langsung pergi. “Bian! Bukannya kamu antre habis Nirat ya? Ini kamar
mandi atreanku. Cepat Keluar! Kalau masih di dalam nanti kuintip.” Salah satu temanku
berteriak kesal. Musibah apa lagi ini? Kalau jadinya sperti ini, aku nggak akan blegar waktu
salat rebo wekasan. Karena kamar mandi santri sangat rawan terhapadap para pengintip,
akupun keluar dengan wajah melas. Lengkap sudah. Satu jam begelut dengan polemik kamar
mandi. Semoga kejadian seperti ini tidak terulang lagi. Kalau masih berlanjut, aku akan usul
ke pemerintah untuk mengadakan prosesi mandi santri. Sekalian dibuat UU tentang antre
kamar mandi khusus santri.

Setelah mandi, aku dikejutkan oleh suasana kamar yang menyeramkan. Aura
mematikan terasa begitu menikam. Semua mata tertuju pada Levan tanpa sepatah kata yang
keluar. Seketika mataku membelalak melihat Levan yang terus mengibrak-abrik lemarinya.
“Ada apa ini? Levan, kamu masih waras?” Tanyaku heran. Levan hanya menggeleng sambil
tersenyum. Padahal, sebelumnya dia terlihat seperti pecuri yang kerampokan. Kebinungan
yang maksimal. Sejenak kau melirik ke arah yang lain. Anak-anak dalam kamarku sepertinya
menyembunyikan sesuatu. “Kalian kenapa hanya diam? Bantulah Levan sebentar!” Ucapku
datar. Tiba-tiba Karim beranjak dan menepuk pundakku. “Maaf Bi, kami terlalu konsentrasi
membaca sampai tidak tahu kalau Levan sedang kehilangan barangnya. Toh dia juga tidak
bertanya.” Ucap Karim dengan sedikiti menyunggingkan senyum. Semua terlihat jelas. Body
language(bahasa tubuh), Levan menggeleng saat ingin menjawab “Iya.” Karim menunjukkan
perubahan wajah mikro. Ekspresinya berubah dengan cepat. Karim juga menepuk pundakku
yang artinya ingin menyampaikan sesuatu. “Sudah Van, Nanti dicari lagi. Sekarang lebih
baik kamu belajar biar bisa mengerjakan.” Karim berkata dengan nada menyindir. Semua
anak dalam kamar berusaha menahan tawa. Mereka hanya sedikit tersenyum. Sepertinya
kejadian tahun lalu akan terulang lagi. Untuk kali ini, aku tidak mau gegabah. Sekilas
tingkahnya terlalu mudah dibaca. Tapi, logika terkadang tidak sejalan dengan realita.

“Allahu Akbar…..” Suara azan berkumandang. Satu lantunan yang selalu


membuatku tenang. Namun, setelah azan usai aku harus mendengar langkah ribut teman-
teman. Mereka bergegas untuk pergi ke mushola. Aku langsung menutup telinga dengan
earplug yang menggantung di leherku. Hal ini kulakukan karena aku punya riwayat
misophonia yaitu fobia terhadap suara bising tertentu. Mungkin itu salah satu alasan kenapa
aku dikirim ke pesantren. Orang tuaku beranggapan bahwa aku akan terbiasa dan sembuh
dari fobia yang kuderita. Selang 3 menit, suasana sedikit sunyi. Di saat seperti inilah aku
pergi berwudhu karena aku khawatir kalau fobiaku kambuh. Earplug yang kupasang punya
batasan. Kalau di tempat wudhu suara terdengar lebih keras. Apalagi, banyak santri yang
ngobrol sambil main air sebelum bersuci. Ah, semoga aku cepat beradaptasi. Setelah
mengambil air wudhu, aku kembali ke kamar untuk mengambil sajadah. “Astaghfirullah.”
Aku sangat terkejut dan reflek mundur selangkah ke belakang. Aku melihat sosok pria sedang
berdiri di depan lemari. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya. Setelah kulihat
wajahnya aku langsung bernapas lega. Kupikir setan ternyata Levan. “Eh! Kamu tha
ternyata! Kenapa masih di kamar?” Tanyaku dengan perasaaan yang masih was-was. “Aku
nunggu kamu Bi. Bareng yuk!” Rasanya aneh mendengar pernyataan Levan. Sebelum ini, dia
tidak pernah menungguku. Ah, sudahlah. Santri tdak boleh berburuk sangka.

Aku dan Levan bergegas masuk ke dalam mushola. Kami yang tertinggal langsung
merapat di saf paling belakang. Aku bersyukur karena tidak ketinggalan Al- Fatihah imam.
Di tengah salat yang butuh ketenangan, aku tergoda oleh banyak pikiran. Tempatku yang
persis di sebelah kanan Levan membuat rasa penasaranku bermunculan. Sudah sejak tadi aku
menanyakan banyak hal dalam otak. Batinku terus berkata tentang logika. Ya Allah, Kenapa
lagi ini?

“Assalamualaikum warahmatullah….” sholat telah usai.

“Ayo semuanya kita membaca wirid. Hendaknya kita membaca dengan khusyu”
Abah sebagai imam memberi himbauan kepada kami untuk melantunkan wirid. Aku melirik
Levan yang terus melamun tanpa membaca apapun. Bahkan, dia hanya menengadah tanpa
berdoa. “Van.... Kamu nadahi opo?” Pertanyaanku seakan mebias di udara. Levan hanya
diam tanpa menjawab. Setelah abah pergi beranjak dari mihrabnya, Suasana sangat sunyi. Di
saat seperti ini para santri di wajibkan berdoa untuk hajatnya masing-masing. Tiba-tiba di
tengah keheningan “‫ب ال ـ صـواب‬ ‫ ”و هللا‬Levan berteriak mengucap kalimat tersebut. Tentu
saja, semua orang tertawa dan wajah Levan otomatis memerah.

“Van...Van.. Kamu kalau ngelamun itu jangan kelewatan” Ucapku dengan tawa.

“Entah apa yang merasukimu?” Santri yang lain bersahutan mengejek Levan.

“Untung abah sudah pergi. Kalau masih ada abah, bisa putus urat malumu. Hahaha”
Nirat tertawa dengan sangat puas. Sementara Levan hanya merunduk menutupi wajah
merahnya. Aku tidak tahu apa yang sedang Levan pikirkan. Yang pasti dia sudah membari
kami hiburan. Tapi, ada satu hal yang janggal. Dari tadi aku melihat Karim hanya diam tanpa
tersenyum. Aku terus mengamatinya hingga mata kami saling berpandangan. Karim memberi
isyarat dengan mengarahkan matanya ke lapangan. Sepertinya dia ingin aku ke sana.

Di lapangan Karim nampak sedang duduk sambil membaca buku. “Ada apa?”
Tanyaku tiba-tiba sembari mendekatinya. “Aku menemukan ini.” Ucap Karim sambil
memnyerahkan sebuah kertas lusuh padaku. Hanya satu hal yang melintas di pikiranku. Itu
adalah kertas milik Levan.

“Ini bukannya kertasnya Levan? Kok bisa ada di kamu?” Tanyaku keheranan.

“Sejak musyawarah tadi, aku sudah curiga dengan Levan. Aku yakin kertas itu pasti
kertas sontekan.” Karim berucap dengan yakin.

“Jangan gegabah dalam membuat kesimpulan. Kita belum tahu kebenarannya. Kita
ini santri, jangan mudah berprasangka.” Ucapku sembari mengembalikan kertas tadi.

Setelah percakapan singkat itu, aku pergi meninggalkan Karim. Lima menit lagi
imtihan akan dimulai. Aku harus bersiap. Bersiap menghadapi soal imtihan dan sebuah
permasalahan. Pensil sudah di genggaman, saatnya meluruskan kesalahpahaman.

Ruang imtihan terasa mencekam. Aura persaingan dari kubu ranking satu dan
ranking dua semakin memanas. Pengawas sudah duduk siap. Siap mencatat santri yang
curang. Tapi, puncak yang paling menakutkan adalah soal imtihan. Ndak kuat aku mak! Baru
baca soal sudah gemetaran. Apalagi mengerjakan. Hampir mustahil dilakukan. Aku terus
menguatkan diriku. Mengahadapi berbagai rintangan nahwu. Meski tubuhku penuh peluh,
aku tidak akan menyerah di soal nomor satu. 60 menit sudah berlalu dan aku masih berkutat
dengan soal nahwu. Belum usai perjuanganku, pengawas sudah menyuruhku maju. Dia
meminta lembar jawabanku yang lusuh. Wajahku pucat membiru. Duh Gusti! Masih banyak
soal yang belum kuselesaikan. Sudahlah, setidaknya aku berusaha.

Imtihan hari pertama telah usai. Aku yang sedari tadi duduk di depan ruangan, tiba-
tiba dikejutkan oleh kang Salam. “Bian! Bisa ikut ke kantor sebentar?” Ucap kang Salam
dengan menepuk bahuku. Aku hanya mengangguk sambil beranjak mengikutinya ke kantor.
Ternyata di kantor sudah ada Karim dan Nirat.

“Gini Bi, temanmu ini menemukan kertas yang diduga sontekan” Jelas kang Salam
“Itu baru dugaan kang. Belum bisa menjadi bukti yang kuat.” Ucapku dengan
tenang.

“Sudah jelas itu sontekan, kamu masih saja menyangkal.” Ucap Karim kesal

Nirat hanya diam. Kang Salam nampaknya bingung untuk memutuskan. Dia takut
Kejadian gegabahnya terulang kembali. Ini bukan pertama kalinya Levan dituduh menyontek.
Tahun lalu Nirat melihat Levan mengeluarkan kertas dari kotak pensilnya. Setelah dilakukan
sidang, ternyata itu hanya bungkus permen karet yang berusaha Levan susun untuk
membentuk kata utama.

“Kita langsung tegur saja kang!” Karim nampak menggebu.

“Kita belum punya bukti kuat. Bisa saja kertas ini hanya dibuat untuk belajar” Ucap
kang Salam menetralkan.

“Dari dulu dia itu sudah balajar prinsip maling. Menutupi kesalahan dengan hal
besar.” Lagi-lagi Karim berucap dengan emosi.

“Huss... Omonganmu itu dijaga!”

“ Baru kelas dua sudah berani menyontek. Nanti kelas tiga, pasti dia jadi maling”

“Cukup Karim! Kalau kamu menuduh tanpa bukti dan saksi. Itu fitnah namanya.”

Setelah bentakan dari kang Salam, Karim hanya diam dan menunduk. Sementara
Nirat dari tadi tidak mengeluarkan sepatah kata. Keheningan seakan mengambil alih. Kami
bungkam dan hanya saling berpanndangan. “Begini saja. Biar saya yang bicara dengan Levan
kang. Saya cukup akrab dengannya. Kalau saya yang bertanya, dia tidak akan curiga.”
Usulku memcah keheningan. “Ok, kalau begitu Saya serahkan semuanya ke kamu. Untuk
hasilnya, nanti kita diskusi bersama.” Jelas kang Salam. Karim nampak tidak puas. Wajahnya
terus ditekuk. Nirat hanya menunduk. Mungkin dia kecewa karena tidak melakukan apapun
untuk membela Karim.

Pukul 21.30, semua santri sudah masuk kamrnya masing-masing. Saat malam,
suasana lebih berisik karena para santri biasanya ada yang jagongan atau hapalan. Lagi-lagi
aku harus memakai earplug milikku. Belum sempat aku memasangnya. Levan tiba-tiba
bicara di depanku.
“Bi, aku mau bicara sama kamu.”

“Kebetulan, aku juga mau membicarakan sesuatu. Bagaimana kalau kita ke mushola
saja. Di sini agak berisik soalnya.” Jelasku.

Levan hanya mengangguk pertanda setuju. Kami akhirnya pergi ke mushola


bersama. Diam-diam banyak mata yang mengawasi. Tapi, tak ada yang mengikuti. Seakan
mereka semua sudah tahu kasus tentang Levan. Di mushola Levan tidak mau memulai
pembicaraan.

“Van, ayo kamu duluan yang ngomong!” Ucapku sambil memandang lekat matanya.

“Aku mau tanya sesuatu. Aku merasa aneh sama anak-anak kamar. Terutama Karim.
Mereka Kenapa Bi?”

“Kamu mau tahu sesuatu?”

“Iya Bi, aku mau kejelasan dari semua ini.”

“Maaf sebelumnya. Aku ngomong gini ke kamu. Sebenarnya mereka itu menuduh
kamu membuat sontekan.”

“Demi Allah, Aku nggak pernah nyontek Bi! Aku berani sumpah.”

“Jangan gampang bersumpah. Kamu tenang dulu. Aku percaya kok sama kamu.”

“Dari dulu mereka selalu berprasangka yang tidak-tidak padaku.” Air mata mulai
mengalir di pipinya.

“Sudah, tenang dulu” Aku mencoba menenagkan Levan.

“Van, aku mau tanya sesuatu. Apa yang kamu cari sampai mengobrak-abrik
lemari?” lanjtuku bertanya.

“Aku mencari jam tanganku Bi. Itu jam tangan dari bapakku. Aku merasa sangat
bersalah karena sudah ceroboh menghilangkannya.”

“Ya sudah, Kamu sekarang masuklah ke kamar! Untuk sisanya biar jadi urusanku”

Levan akhirnya pergi menuju kamar setelah mengusap air matanya. Dia berjalan
dengan lunglai. Mungkin banyak pertanyaan berputar di kepalanya. Aku tahu betul Levan
punya mental yang tidak terlalu kuat. Tapi, aku yakin dia punya keteguhan dalam
mempertahankan kbenaran dalam dirinya. Obrolan singkat tadi sudah memberikan banyak
bukti. Levan tidak salah. Dia berani bersumpah. Orang yang salah tidak akan berani
bersumpah tanpa pikir panjang. Bukan hanya itu, aku punya bukti lain yang harus
kuperlihatkan. Sudah tiga menit aku hanya berdiam diri di mushola tanpa seorangpun yang
menemani. Akupun pergi berjalan ke kamar sendiri. Sudah saatnya pergi ke pulai mimpi.
Karena besok adalah waktu untuk beraksi.

“Van, banngun! Van bangun Van!” Seseorang membangunkanku.

Aku berusaha membuka mataku yang malas. Dengan perlahan aku mencoba bangun
dari tidurku yang pulas. Aku melihat nirat dengan wajah bingung.

“Ada apa sih?” tanyaku malas.

“Levan nggak ada di kasurnya.”

Sontak aku langsung membelalakkan mata. Kakiku rasanya melangkah dengan


sendirinya. Aku pergi mencari Levan di pagi buta. Kulirik jam dinding yang bertengger di
atas lemari. Pukul 02.45. Aku mencoba membangun mindsetku dengan baik. Mungkin dia
sedang sholat tahajud. Akhirnya aku putuskan untuk mencarinya di mushola. Namun,
hasilnya nihil. Dia tidak ada. Dicari kemanapun tidak ketemu.

“Bian! Ini ada surat di atas lemarinya.” Teriak nirat.

“Kenapa nggak bilang dari tadi?” Tanyaku sambil mendekatinya.

“Wong kamu saja langsung lari.”

Tanpa berpikir panjang aku langsung membuka lipatan surat Levan. Aku sangat
terkejut ketika mengetahui isnya.

“Ini bukannya kertas yang diduga sontekan? Kenapa bisa kembali pada Levan?”

“Mungkin dia ambil dari lemarinya Karim. Lagipula itu pnya dia. Jadi, sah-sah saja
kalau dia ambil lagi. Tapi... Semalam dia bilang sesuatu ke aku. Omongannya aneh. Aku kira
dia ngelindur. Jadi, aku nggak terlalu peduli.”

“Dia bilanga apa?” Tanyaku penasaran.


“Sudah tidak ada lagi yang berharga. Jam tangan bapakku sudah ketemu. Artinya
urusanku sudah selesai. Kurang lebih gitu katanya”

Setelah percakapan singkat dengan Nirat, bel tahajud berbunyi. Kami meutuskan
untuk menyelesaikan pembicaraan dan kembali menjalani rutinitas masing-masing. Hingga
pagi datang, Levan belum juga muncul. Aku langsung memutuskan untuk pergi ke kantor
pengurus. Lagi-lagi, di sana sudah ada Karim dan Nirat. Tapi, kali ini berbeda. Wajah mereka
terlihat pucat. Bahkan, kang Salam terlihat kebingungan.

“Bi, mereka sudah cerita semuanya. Tadi, saya sudah matur ke abah. Tapi, abah
tidak tahu-menahu tentang santri bernama Levan. Selama ini tidak ada santri maupun wali
santri yang sowan atas nama Levan.”

“Kok bisa? Terus abah gimana?”

“Kata abah baiarkan saja. Mungkin dia tidak punya rumah”

Aku masih tidak terima. Akhirnya aku meutuskan untuk mengamati kembali tulisan
Levan. Ternyata warna tulisannya berbeda-beda. Satu kata dengan yang lain tidak sama.
Tapi, warna tersebut berdekatan. Ini yang disebut monokrom warna. Biasanya memang
digunakan untuk metode mengingat cepat oelh sebagian kecil orang.

“Byur” tiba-tiba Nirat menyiram kertas Levan. Kami sangat terkejut melihatnya.

“Dari tadi aku curiga kalau ada pesan rahasia di dalamnya.” Ucap Nirat saat melihat
tulisan yang muncul di kertas.

Tertimbun kata dalam lencana

Menjadi tanya bait merona

Aku tersiksa dalam bahagia

Memintal sepi tiada ujungnya

Tersusun teka-teki indah

Tanda palsu yang nyata

Tak pernah kuminta


Tapi mereka melakukannya

Dalam angan mereka abadi

Mencaci aksara yang mati

Tak perlu pisau tuk mencari

Karena mereka makhluk provokasi

Jangan terlena pada peluru

Walau kilauannya memburu

Waktumu bukan selalu

Jalanmu titik temu buntu

Teka-teki. Levan memberi kami sesuatu untuk dicari. Dia bukan santri pesantren
kami. Tapi berhasil menyusup dan menelisik di antara santri lain. Dari awal dia tidak punya
teman dekat. Dia tak pernah menatap siapapun dengan lekat. Dia terlalu hebat untuk otak
kami yang dangkal.

“Apa maksudnya? Aneh sekali.” Ucap Nirat sambil menggaruk kepalanya yang
tidak gatal.

“Bait ke-2. Dia menjelaskan semuanya. Seseorang menutupi dan membuatnya aman
tanpa ketahuan. Levan Aksadharma. Dia sudah berhasil menjalankan tugasnya.” Tiba-tiba
abah berdiri di depan pintu kantor. Kami seketika langsung salah tingkah. Kami bergegas
membenahi posisi duduk kami yang tak keruan.

“Serius sekali kalian. Sampai tidak dengar bel sekolah. Ini sudah jam tujuh. Lebih
baik bergegas.”

Mata kami membelalak. Kami lupa untuk pergi ke sekolah. Kang Salam merasa
bersalah hingga keringat bercucuran di wajahnya. Mungkin di aketakutan. Akhirnya kami
beranjak keluar kantor dengan sopan sembari mencium tangan abah. Kemudian, aku bergegas
menyiapkan peralatan sekolah dan langsung pakai seragam. Tidak perlu mandi karena suda
kesiangan.
Selama perjalanan ke sekolah, pikiranku tak bisa lepas dari tulisan Levan. Abah tahu
sesuatu tapi tidak hanya diam. Satu kalimat untukmu Van. kamu adalah misteri yang sulit
dipecahkan.

Lamongan, 20 Oktober 2019


Profil Penulis

Alya Nurul Wahidah. Gadis yang lahir di Lamongan, 02 Juni 2002. Dia dikirim oleh
tuhan sebagai anak tunggal untuk menemani pasangan yang kesepian. Dia tinggal di desa
Siman. Dia bersekolah di SMA 1 Simanjaya. Hobinya mendengarkan musik. Ketika dewasa,
dia ingin berkuliah di ITS untuk mendalami dunia teknik. Cita-citanya ingin berguna di
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai