Anda di halaman 1dari 43

Laporan Akhir

Interprofessional Education

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Duta Wacana

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Bethesda Yakkum

Ni Nyoman Widya Kusuma Wardani (Fakultas Kedokteran


UKDW/41160070)
Irena Sola Gracia (Fakultas Farmasi USD/178114070)
Selviana Sanur (Fakultas Farmasi USD/178114087)
Maria Sances Lobya (Fakultas Farmasi USD/178114099)
Amri Arminto C (Fakultas Farmasi USD/178114053)
Candra Trilukita Nugraha (STIKES Bethesda Yakkum/1602009)
Gabriella Febrianti Christine (STIKES Bethesda Yakkum/1602018)
Ella Sri Ardini (STIKES Bethesda Yakkum/1903013)

YOGYAKARTA

2020

PENDAHULUAN
1. Teori IPE (Interprofessional Education)

IPE/ Interprofessional Education dimulai karena terus terjadi konflik antara dokter,
perawat, dan tenaga kesehatan lain (Farnsworth et al., 2015). Menurut World Health
Organization (2010) IPE dapat terjadi ketika mahasiswa dari 2 atau lebih profesi yang
berbeda saling belajar mengenai, dari, dan dengan satu sama lain untuk membuat
kolaborasi yang efektif yang dapat meningkatkan mutu kesehatan. Tujuan dari
dibentuknya IPE adalah menyiapkan tenaga kesehatan yang dapat bekerjasama dengan
baik demi membangun sistem kesehatan yang lebih baik dan lebih aman (Farnsworth et
al., 2015). Manfaat dari diadakan IPE sendiri adalah membuat peserta belajar tentang hal
baru yang dapat mengembangkan keahliannya, mengembangkan kemampuan
interpersonal, mampu mendapatkan pengalaman baru dengan tim yang mempunyai tujuan
yang sama, dan mampu belajar tentang cara bekerjasama dengan orang lain untuk
menghasilkan hasil kerja yang maksimal. (Chan et al., 2010).

2. Penyakit pasien (etiologi, patofisiologi, pemeriksaan)

a. Etiopathophysiology

Intoleransi glukosa dilaporkan terjadi pada 16,5% - 49% pasien dengan TB


aktif. Dalam satu penelitian, 56,6% kasus dengan intoleransi glukosa pada saat
diagnosis memiliki kadar glukosa yang normal setelah pengobatan TB selesai, yang
disebut “transient hyperglycemia”. Selain itu, kontrol hiperglikemia lebih sulit
dilakukan selama fase aktif tuberkulosis dan banyak pasien memerlukan insulin untuk
mengontrol hiperglikemia. Peradangan yang disebabkan oleh sitokin seperti IL-6 dan
TNF-α sebagai respons terhadap infeksi TB dapat menyebabkan peningkatan
resistensi insulin dan penurunan produksi insulin, sehingga mengarah pada
hiperglikemia (Baghaei et al., 2013).

Rifampisin merupakan agen penginduksi sistem enzim mikrosom hati yang


poten/kuat (Surekha et al., 1997). Obat ini mempercepat metabolisme beberapa agen
hipoglikemik oral (OHO), terutama sulfonilurea dan biguanid, dan menurunkan kadar
plasma mereka. Karena itu dapat menyebabkan hiperglikemia pada pasien diabetes
yang menggunakan obat ini (Niazi and Kalra, 2012). Rifampicin juga menurunkan
konsentrasi obat probe CYP2C9, dan sulfonilurea generasi pertama, seperti
tolbutamide (Niemi et al., 2001). Rifampisin akan merangsang metabolisme
glibenclamide oleh enzim mikrosomal hati, yang terbukti dengan meningkatkan
disposisi glibenclamide dan mengurangi waktu paruh (half life) dan merusak respon
hipoglikemik. Ketika Rifampisin dan Glibenclamide digunakan secara bersamaan,
harus waspada terhadap berkurangnya aktivitas hipoglikemik Glibenclamide (Raju et
al., 2014).

Terbukti bahwa Rifampisin akan menginduksi enzim sitokrom P450 dalam


hati yang berinteraksi dengan glibenclamide. Interaksi ini mengakibatkan penurunan
konsentrasi glibenclamide dalam darah dengan adanya penurunan stimulasi sel Beta
pankreas untuk memproduksi insulin endogen, sehingga hanya menimbulkan sedikit
efek hipoglikemik dan mengakibatkan hiperglikemia yang tidak terkontrol (Raju et
al., 2014). Terbukti, terdapat peningkatan gula darah puasa (GDP) dan pasca-prandial
(G2PP) yang signifikan setelah pemberian rifampisin pada pasien TB Paru dengan
riwayat DM (Surekha et al., 1997). Efek maksimum dari Rifampisin akan terlihat
sekitar 1 minggu setelah memulai pengobatan dan menghilang 2 minggu setelah
penghentian rifampisin. Rifampisin tidak mempengaruhi metabolisme metformin atau
insulin (Baghaei et al., 2013).

b. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan fisik: keadaan umum (KU), antropometri (tinggi dan berat badan),
vital sign (tekanan darah, suhu, nadi, respirasi), pemeriksaan head to toe (meliputi,
pemeriksaan kepala, leher, toraks jantung paru, abdomen, dan ekstremitas).
2) Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: pemeriksaan sputum BTA dengan
pengecatan Ziehl neelsen (ZN), pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), serta
pemeriksaan darah rutin.
KASUS

1. Kasus
Bapak Wido (65 tahun) berobat ke IGD RS dengan keluhan lemas dan pusing.
Keluhan lemas sudah dirasakan sejak beberapa hari terakhir, namun dirasakan
semakin memberat sejak 3 jam sebelum datang ke IGD. Pasien juga mengeluhkan
rasa lemas kadang disertai dengan pusing yang muncul di pagi hari. Sejak satu (1)
bulan yang lalu, pasien diketahui memiliki riwayat batuk-batuk yang disertai darah
dan didiagnosa mengidap TB Paru kasus baru. Pasien juga diketahui memiliki riwayat
penyakit diabetes mellitus (DM) yang diderita sejak 1 tahun yang lalu. Hingga saat ini
keluarga pasien (Pak Adit) mengakui bahwa pasien selalu rutin minum obat DM dan
TBC, dan tidak pernah terlambat atau lupa minum obat. Pihak keluarga mengantar
pasien ke IGD RS dikarenakan keluhan lemas yang semakin memberat padahal pasien
diketahui sudah makan dan sudah meminum obat DM maupun obat TBC yang
diresepkan dokter. Keluarga pasien menyampaikan bahwa keluhan batuk berdahak
pada pasien sudah berkurang sejak mengkonsumsi OAT, selain itu keluhan batuk
disertai darah juga sudah tidak dikeluhkan oleh pasien.
Keluarga juga menyampaikan bahwa terdapat penurunan berat badan (BB)
yang signifikan pada pasien sejak menderita DM, dimana BB sebelumnya adalah 70-
80 kg, yang menurun setelah mengidap DM dan semakin menurun setelah terdiagnosa
TB paru. Berat badan pasien saat ini adalah 50 kg dengan tinggi badan (TB) 170 cm.
Pasien sudah melakukan modifikasi diet karena sadar akan efek DM terhadap tubuh,
salah satunya adalah pasien sudah sangat mengurangi konsumsi gula. Riwayat gula
darah sewaktu (GDS) pasien 2 bulan yang lalu di puskesmas adalah 190mg/dL.
Pasien diketahui belum pernah cek HbA1c dikarenakan tidak ada modalitas
pemeriksaan tersebut di Puskesmas tempat pasien biasa kontrol gula darah. Pasien
tidak ada mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan lemas dan pusing,
hanya mengkonsumsi obat DM dan TBC yang diresepkan oleh dokter. Dari hasil
pemeriksaan fisik toraks, pada perkusi didapatkan suara pekak/redup pada apex paru
bilateral (+/+) serta pada auskultasi terdengar suara ronki (+/+) pada apex dan lobus
bawah paru.

Tanda-Tanda Vital Hasil Lab


TD : 130/80 mmHg Sputum BTA : (+/+/-)
Suhu : 36.2oC GDS : 312 mg/dL
RR : 24 x/ menit Hb : 12 g/dL
Nadi : 96 x/menit Eritrosit : 4,5 x 106/mL
SpO2 : 95% Leukosit : 11,7 x 103/mL
Pemeriksaan Toraks Neutrofil : 45%
Inspeksi : dbn Limfosit : 40%
Palpasi : dbn Trombosit : 265 x 103/mL
Perkusi : Pekak apex (+/+) Antropometri
Auskultasi : Ronki apex dan lobus Tinggi : 170 cm
bawah paru bilateral Badan : 50 kg
Berat Badan

Bapak Wido menderita penyakit diabetes mellitus 1 tahun yang lalu, saat ini rutin
minum obat diabetes yaitu :

● Glibenclamide tab 5 mg 1x sehari setelah sarapan


● Metformin tab 500 mg 3 kali sehari setelah makan.

Bapak Wido juga sudah rutin mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1
selama 1 bulan (tahap intensif), diantaranya:

● OAT FDC 1 kali sehari 3 tab, segera setelah sarapan pagi

2. Form Kerja
(Terlampir)
PEMBAHASAN

1. Kedokteran

Berdasarkan data yang diperoleh dari heteroanamnesis, pasien mengeluhkan


lemas pada tubuh yang dialami sejak beberapa hari terakhir. Pasien diketahui
mengidap DM tipe 2 sejak 1 tahun yang lalu dan TB paru kasus baru sejak 1 bulan
yang lalu. Hingga saat ini pasien rutin minum obat OHO dan OAT. Keluhan lemas
dirasakan semakin memberat sejak 3 jam yang lalu, beberapa saat setelah pasien
mengkonsumsi OAT dan OHO setelah sarapan pagi.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas gangguan respirasi, yang
ditandai dengan pekak pada apex (+/+) paru serta suara ronki pada apex dan lobus
bawah paru bilateral. Hasil pemeriksaan fisik lainnya, mulai dari keadaan umum
(KU), tanda vital, dan pemeriksaan head to toe dalam batas normal. Dikarenakan
adanya riwayat DM dan TB paru pada pasien, maka perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang diantaranya adalah pemeriksaan darah lengkap, sputum BTA, dan GDS.
Setelah mendapatkan persetujuan pasien untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium,
didapatkan hasil GDS: 312 mg/dL; sputum BTA: (+/+/-); leukosit: 11,7 X 100/dL;
limfosit: 40%. Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut, dapat disimpulkan bahwa
gula darah pasien tidak terkontrol atau mengalami hiperglikemia, serta pasien masih
berada pada fase infektif TB paru dikarenakan hasil sputum masih positif BTA, yang
dipengaruhi oleh pengobatan TB paru yang baru berjalan selama 1 bulan.

Setelah menyampaikan hasil pemeriksaan penunjang kepada kerabat pasien,


dilakukan diskusi bersama dengan perawat dan pihak farmasis untuk menentukan
etiologi hiperglikemia beserta tindakan terapi yang dapat dilakukan terhadap kondisi
pasien. Hiperglikemia yang dialami pasien hingga menimbulkan keluhan lemas
diakibatkan oleh adanya interaksi antara Rifampisin dengan Glibenclamide, dimana
rifampisin menyebabkan penurunan konsentrasi glibenclamide dalam darah sehingga
efek hipoglikemia dari OHO menurun, terjadilah hiperglikemia. Dikarenakan terdapat
perbaikan gejala TB paru yang terlihat dari perbaikan keluhan batuk berdahak disertai
darah yang semakin membaik dalam 1 bulan pengobatan TB, maka OAT dapat
dianggap efektif mengeliminasi Mycobacterium tuberculosis pada tubuh pasien,
sehingga terapi FDC OAT tidak perlu diganti. Atas pertimbangan adanya penurunan
konsentrasi glibenclamide dalam darah maka, berdasarkan hasil diskusi antar profesi
mengambil keputusan untuk meningkatkan dosis glibenclamide sebesar 1,25 mg yang
langsung diberikan per oral (PO) kepada pasien di IGD. Peningkatan dosis dilakukan
atas pertimbangan dosis maksimal glibenclamide yang belum terlampaui (5 mg),
kemudian pasien adalah kelompok usia lanjut (lansia), sehingga peningkatan dosis
dilakukan perlahan-lahan dan dilakukan monitoring gula darah dan efek samping obat
secara berkala terhadap pasien. Setelah dilakukan observasi gula darah dan klinis
pasien selama 2 jam, GDS pasien tercatat masih di angka 270 mg/dL, dimana target
GDS belum tercapai. Setelah didiskusikan kembali dengan pihak farmasis, maka
dipertimbangkan untuk mengganti golongan obat OHO dikarenakan beberapa alasan,
diantaranya:

1. Peningkatan dosis glibenclamide 1,25 mg kurang efektif menurunkan GDS


2. Peningkatan dosis yang lebih besar dikhawatirkan dapat meningkatkan efek
samping hipoglikemia yang disebabkan oleh glibenclamide, dikarenakan efek
hipoglikemia dari obat ini sangat tinggi.
3. Adanya interaksi dengan Rifampisin, sehingga kadar glibenclamide dalam
darah menurun, hingga menurunkan efektivitas obat tersebut, terjadilah
hiperglikemia.

Dipertimbangkan untuk mengganti OHO lain yang memiliki efek lebih baik
serta tidak berinteraksi kuat dengan rifampisin, diantaranya adalah Glimepiride dan
pemberian Insulin. Dasar pemilihan terapi glimepiride adalah, insiden keseluruhan
efek samping yang terkait dengan glimepiride umumnya lebih rendah dibandingkan
dengan golongan sulfonilurea lainnya. Efek samping hipoglikemia dapat menurun dan
berkurang karena glimepiride telah terbukti menginduksi penurunan yang signifikan
secara statistik dalam kadar C-peptida dan insulin dibandingkan dengan
glibenclamide selama dan setelah latihan fisik (Basit, 2012). Dasar pemikiran untuk
terapi insulin eksogen pada pasien dengan DM tipe 2 dan TBC aktif diberikan di
bawah ini (Niazi dan Kalra, 2012):

1. Infeksi TBC yang parah


2. Kehilangan jaringan dan fungsi pankreas: a) defisiensi endokrin pankreas; b)
pankreatitis tuberkulosis
3. Persyaratan diet tinggi kalori, tinggi protein; Kebutuhan akan efek anabolik
4. Interaksi obat anti tuberkulosis dengan obat antidiabetik oral
5. Penyakit hati terkait mencegah penggunaan obat antidiabetik oral

Meskipun dilakukan penggantian golongan OHO pada pasien, tetap dilakukan


monitoring gula darah, interaksi antar obat dan efek samping obat pada pasien. Ketika
gula darah sudah terkontrol maka pasien dapat pulang (rawat jalan) dengan terapi
farmakologi dan edukasi sebagai berikut:

Terapi Farmakologi

1. R/Tab. OAT FDC No. XC

s.1.d.d tab 3 a.c (sebelum sarapan pagi) (habis)

2. R/Tab. Metformin 500 mg No. XV

s.3.d.d tab 1 d.c

3. R/Tab. Glimepiride 2 mg No. X

s.1.d.d tab 1 a.c (sebelum makan siang)

Edukasi

1. Minum obat teratai sesuai dengan aturan waktu yang telah diberikan pada
resep, dimana obat TBC diminum sebelum sarapan pagi, metformin diminum
bersama dengan makan pagi,siang dan malam, serta glimepiride hanya
diberikan 1x sebelum makan siang.
2. Untuk memonitor efektivitas glimepiride sebagai pengganti glibenclamide,
pasien harus kontrol ke dokter 1 minggu dari sekarang.
3. Pasien juga harus kontrol ke dokter 1 bulan dari sekarang untuk memonitor
gula darah, HbA1c (3 bulan sekali, 2 bulan sebelumnya sudah periksa GDS,
sehingga bulan depan pemeriksaan gula darah disertai dengan HbA1c) serta
sputum BTA (akhir fase intensif pada bulan ke-2 pengobatan).
Gambar 4. Evaluasi pasien TB (Permenkes No.67 Th. 2016)
4. Beberapa keadaan yang perlu diwaspadai adalah adanya keluhan lemas
berkepanjangan yang terjadi bahkan setelah pasien makan dan minum obat.
Apabila keluhan muncul kembali dalam waktu <1 minggu, maka pasien
dianjurkan untuk segera datang ke pusat layanan kesehatan dan dokter.
5. Waspada dengan adanya gejala hipoglikemia yang muncul akibat konsumsi
OHO glimepiride, diantaranya adalah gemetar, perasaan lapar, pusing,
keringat dingin, jantung berdebar, gelisah bahkan hingga penurunan kesadaran
dengan atau tanpa kejang. Apabila keluhan tersebut muncul, pasien harus
segera datang ke dokter. Jika pasien mengeluhkan gejala hipoglikemia, namun
masih sadar dan tidak terdapat gangguan aktivitas, maka dapat diberikan
pemberian glukosa sebanyak 2-3 sendok makan yang dilarutkan dalam air
(PERKENI, 2015).
6. Beberapa kiat untuk mencegah penyebaran M.tuberculosis dalam keluarga dan
lingkungan sekitar, diantaranya adalah (WHO, 2010):
a. Minum obat teratur hingga fase intensif dan lanjutan selesai (6 bulan)
b. Menutup mulut dan hidung saat batuk dan/atau bersin
c. Membuka jendela dan pintu untuk memastikan udara segar bersirkulasi
dengan baik di dalam rumah.
2. Keperawatan

a. Anamnesa

Berdasarakan data yang didapatkan pasien mengatakan batuk berdahak dan

batuk berdarah sudah berkurang dari pada 1 bulan yang lalu, badan lemas dalam 3

jam terakhir semakin memberat, pusing, sering kencing di malam hari, sering haus

dan sering lapar, ketika beraktifitas mudah capek karna aktivitas sehari-hari bekerja

di sawah. Pasien tinggal bersama istri dan dua anaknya sudah bekerja. Asupan

makan pasien 3 kali sehari dengan gizi cukup dan terkontrol karena pasien sadar

bahwa dirinya menderita diabetes mellitus. Pasien tidak merokok, tidak minum

alkohol, dan tidak mengkonsumsi narkoba. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi

obat. Tetangga sebelah rumah ada yang menderita sakit batuk namun tidak tahu

penyakitnya. Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui. Pasien tidak pernah

menderita sakit serupa sebelumnya. Pasien menderita diabetes mellitus sejak 1 tahun

yang lalu, saat ini rutin meminum obat diabetes Glibenclamide 5 mg 1 kali sehari,

Metformin 500 mg 3 kali sehari dan kadar gula darah pasien 1 bulan yang lalu

adalah 190 mg/dl. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 82 x/menit, respirasi 24

x/menit, suhu 36,2oC, SpO2 95%, tinggi badan 170 cm, berat badan 50 Kg, IMT

17,3 (berat badan kurang), gula darah sewaktu 312 mg/dl.

b. Daftar masalah keperawatan

1. Ketidakefektifan kebersihan jlm nafas berhubungan dengan sekresi yg tertahan

2. Resiko ketidakstabilan kadar gula darah berhubungan dengan faktor resiko

manajemen diabetes yg tidak tepat


3. Keletihan berhubungan dengan peningkatan kelelahan fisik
c. Diagnose keperawatan dan intervensi

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Rasioanal


.
1. Ketidakefektifan NOC: NIC:
bersihan jalan Setelah dilakukan tindakan 1) Kaji frekuensi pernafasan 1) Untuk memastikan kepatenan
nafas keperawatan 1x24 jam jalan napas dan pertukaran gas
berhubungan diharapkan pasien yang adekuat
dengan sekresi menunjukkan bersihan
yang tertahan jalan napas yang efektif 2) Atur posisi semi fowler 2) Posisi semi fowler mampu
dengan kriteria hasil: yang memungkinkan pasien memaksimalkan ekspansi paru dan
1) Irama pernafasan untuk mengambangkan menurunkan upaya penggunaan
teratur dada alat
2) Tidak ada akumulasi bantu otot pernapasan.Ventilasi
sputum maksimal membuka area
atelektasis dan meningkatkan
3) Pada pemeriksaan
gerakan sekret ke jalan napas besar
auskultasi, memiliki untuk dikeluarkan.
suara nafas yang jernih 3) Berikan terapi nebulizer
4) Mempunyai fungsi paru
3) bronkodilator meningkatkan
dalam batas normal
diameter percabangan
trakeobronkial, sehingga
menurunkan tahanan terhadap
aliran udara
4) Instruksikan kepada pasien
tentang batuk dan teknik
4) Membebaskan jalan napas dari
nafas dalam untuk
akumulasi secret
memudahkan pengeluaran
secret

5) Kolaborasi dengan dokter


untuk pemberian obat
5) Menghambat enzim dan
(FDC) membunuh bakteri Tuberculosis
2. Resiko NOC: NIC : Manajemen
ketidakstabilan Setelah dilakukan Hyperglikemi
kadar glukosa tindakakn keperawatan 1 x
darah dengan 24 jam diharapkan kadar 1) Monitor kadar glukosa 1) Memfasilitasi tercatatnya
faktor resiko glukosa darah normal darah perkembangan profil glukosa
manajemen dengan kriteria hasil : darah pasien yang kemudian
diabetes yang 1) Kadar glukosa: 100-140 dapat membimbing tenaga medis
tidak tepat mg/dL dalam perencanaan pengobatan
2) Kadar Hb 11,5-16,5 untuk regimen diabetes secara
g/dl individual

2) Monitor tanda dan gejala 2) Memberikan tindakan medis


hiperglikemi seperti sesuai rencana pengobatan untuk
malaise, pusing, polyuria, regimen diabetes secara
polidipsi, polifagi individual

3) Cek glukosa darah setiap 2 3) Kadar glukosa darah yang terlalu


jam sekali tinggi atau terlalu rendah akan
memberikan dampak buruk bagi
kesehatan, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang,
apabila belum mencapai tager
dapat dilakukan penyesuaian
dosis obat.

4) Edukasi kepada pasien dan 4) Mencegah terjadinya


keluarga tentang diit hiperglikemia namun masih
diabetes melitus memberikan energi cukup dan
memulihkan serta
mempertahankan kadar glukosa
darah dalam kisaran nilai yang
normal

5) Mengontrol kadar gula darah


5) Kolaborasi pemberian sesuai dosis yang di berikan
terapi obat (Metformin dan
Glibenklamid)
3 Keletihan NOC: Energy NIC: Management Energy
berhubungan Contervation
dengan Setelah dilakukan 1) Observasi adanya 1) Aktivitas yang berlebihan dapat
Peningkatan tindakakan keperawatan 1x pembatasan klien dalam menyebabkan klien cepat
Kelelahan Fisik 24 jam diharapkan dapat melakukan aktivitas kelelahan sehingga tenaga medis
memulai dan dapat meminimalisir aktivitas
mempertahankan aktivitas klien.
dengan kriteria hasil :
1) Kwalitas hidup 2) Kaji adanya faktor yang 2) Memfasilitasi tercatatnya faktor
meningkat menyebabkan kelelahan yang menyebabkan kelelahan
2) Glukosa darah adekuat pada klien, kemudian dapat
3) Melaporkan ketahanan membimbing tenaga medis
yang adekuat untuk dalam perencanaan pengelolaan
aktivitas manajemen energi

3) Bantu pasien dan keluarga 3) Keluarga mengambil bagian


untuk membuat tujuan dalam perawatan pasien dan
kegiatan yang realistis membantu aktifitas fisik pasien

4) Edukasi pasien dan 4) Kongesti atau distress


keluarga untuk meningkat pernapasan dapat
tirah baring dan mengidentifikasi perkembangan
pembatasan aktivitas pada PCP penyakit yang paling sering
terjadi meskipun demikian, TB
pasien mengalami peningkatan an
infeksi jamaur lainnya

5) Identifikasi/perawatan awal dari


5) Kolaborasi dengan ahli gizi infeksi sekunder dapat
untuk meningkatkan asupan mencegah terjadinya sepsis.
makanan yang berenergi
tinggi
d. Terapi non farmakologi
1) Batuk efektif
Batuk efektif yaitu latihan batuk untuk mengeluarkan sekret. Batuk efektif
adalah suatu metode batuk dengan benar, dimana klien dapat menghemat
energi sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan dahak secara
maksimal. Mekanisme batuk adalah inhalasi dalam, penutupan glottis,
kontraksi aktivitas otot otot ekspirasi dan pembukaan glottis. Inhalasi dalam
meningkatkan volume paru dan diameter jalan nafas memungkinkan udara
melewati sebagian plak lendir yang mengobstruksi atau melewati benda
asing lain. Kotraksi otot-otot ekspirasi melewati glotis yang menutup
sehingga menyebabkan terjadinya tekanan intra thorak yang tinggi, saat
glotis membuka aliran udara yang besar keluar dengan kecepatan yang
tinggi, memberikan mucus kesempatan untuk bergerak ke jalan nafas bagian
atas. Sehingga mukus dapat dicairkan dan dikeluarkan.
Tujuan batuk efektif
a) Meningkatkan mobilisasi secret
b) Mencegah resiko tinggi retensi sekresi
c) Mengeluarkan sputum untuk pemeriksaan diagnostic
d) Membebaskan jalan napas dari akumulasi secret
e) Mengurasi sesak napas akibat akumulasi secret
Indikasi
a) Pasien tirah baring
b) Pasien dengan hipoventilasi
c) Pasien dengan peningkatan produksi sputum
d) Pasien dengan batuk tidak efektif
e) Pasien dengan mobilisasi secret tertahan
f) Pasien naurologi dengan kelemahan umum dan gangguan menelan atau
batuk
Teknik batuk efektif
a) Tarik nafas dalam 4-5 kali
b) Pada tarikan nafas dalam yang terakhir, nafas ditahan selama 1-2 detik
c) Angkat bahu dan dada dilonggarkan serta batukkan dengan kuat dan
spontan
d) Keluarkan dahak dengan bunyi “ha..ha..ha” atau “huf..huf..huf..”
e) Lakukan berulang kali sesuai kebutuhan

2) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian tindakan keperawatan yang terdiri
atas perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernapasan/napasdalam,
dan batuk yang efektif. (Brunner & Suddarth, 2012). Tujuan:untuk
membuang sekresi bronkial, memperbaiki ventilasi, dan meningkatkan
efisiensi otot-otot pernapasan. Fisioterapi dada terdiri dari clapping/perkusi
dada, vibrasi dan postural drainase.
a) Clapping/perkusi dada
Perkusi atau disebut clapping adalah tepukkan atau pukulan ringan pada
dinding dada klien menggunakan telapak tangan yangdibentuk seperti
mangkuk, tepukan tangan secara berirama dan sistematis dari arah atas
menuju ke bawah. Selalu perhatikan ekspresi wajah klien untuk
mengkaji kemungkinan nyeri. Setiap lokasi dilakukan perkusi selama 1-
2 menit. Tujuan untuk menolong pasien mendorong / menggerakkan
sekresi didalam paru-paru yang diharapkan dapat keluar secara gaya
berat, dilaksanakan dengan menepuk tangan dalam posisi telungkup.
b) Vibrasi
Vibrasi adalah kompresi dan getaran kuat secara serial oleh tangan yang
diletakan secara datar pada dinding dada klien selama fase ekshalasi
pernapasan. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar.
Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi udara
ekspirasi dan melepaskan mukus yang kental. Sering dilakukan
bergantian dengan perkusi.
c) Postural Drainase
Postural drainase adalah pengaliran sekresi dari berbagai segmen paru
dengan bantuan gravitasi. Postural drainase menggunakan posisi khusus
yang memungkinkan gaya gravitasi membantu mengeluarkan sekresi
bronkial. Sekresi mengalir dari bronkiolus yang terkena ke bronkidan
trakea lalu membuangnya dengan membatukkan dan pengisapan.
Tujuan postural drainase adalah menghilangkan atau mencegah
obstruksi bronkial yang disebabkan oleh akumulasi sekresi. Dilakukan
sebelum makan (untuk mencegah mual, muntah dan aspirasi) dan
menjelang/sebelum tidur.
3) Senam Kaki Diabetes Melitus
Senam kaki diabetes melitus adalah kegiatan atau latihan yang
dilakukan oleh pasien yang menderita diabetes melitus untuk mencegah
terjadinya luka dan membantu memperlancar peredaran darah bagian
kaki (Setyoadi & Kushariyadi. 2011).
Manfaat Senam Kaki Diabetes Melitus
a) Memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil kaki, dan
mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki
b) Meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha
c) Mengatasi keterbatasan pergerakan sendi (Setyoadi & Kushariyadi.
2011).
Indikasi dan Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes Melitus
a) Indikasi Senam Kaki Diabetes melitus:
1) Diberikan kepada semua penderita diabetes melitus (DM tipe I dan
tipe II)
2) Sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosis menderita diabetes
melitus sebagai tindakan pencegahan dini (Setyoadi & Kushariyadi.
2011).
b) Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes melitus :
1) Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispneu
dan nyeri dada
2) Pasien yang mengalami depresi, khawatir, dan cemas (Setyoadi &
Kushariyadi. 2011).
e. Edukasi
1) Modifikasi lingkungan
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman tuberkulosis (TB) ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut (KEMENKES RI, 2011). Adapun beberapa
upaya yang dilakukan keluarga untuk pencegahan TB paru sebagai berikut; a)
Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat batuk, b)
Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru, c) Membuka
jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam keluarga, d)
Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga.
2) Cara Pencegahan TBC
a) Saat batuk seharusnya menutupi mulut, dan apabila batuk lebih dari 3
minggu, merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa ke
Puskesmas atau ke rumah sakit.
b) Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
c) Membuang ludah di tempat yang tertutup
d) Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh
penderita.
e) Vaksinasi BCG untuk balita.
f) Berhenti merokok
3) Mengurangi keletihan
Penderita DM banyak mengalami fatigue. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa 85% pasien DM mengalami keletihan. Fatigue adalah kondisi yang
lebih dikenal dengan keletihan, kelelahan, lesu dan perasaan kehilangan energi.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dengan latihan dapat menurunkan
keletihan lebih dari 65%. Latihan sangat berguna untuk pasien dengan DM tipe
1 dan tipe 2 dalam menurunkan kadar glukosa (selama mengikuti latihan) dan
meningkatkan sensitivitas insulin. Pada pasien dengan diabetes melakukan
latihan fisik aerobik 150 menit/ minggu (didistribusikan menjadi minimal 3
hari/ minggu) direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA).
Secara khusus, American Diabetes Association (ADA) menyarankan orang
yang hidup dengan diabetes untuk menghentikan aktivitas duduk yang lama
dengan aktivitas ringan dengan melakukan olahraga ringan 3 menit (seperti
peregangan atau berjalan) setiap 30 menit. Setelah Anda menetapkan rutinitas,
Anda dapat secara bertahap meningkatkan aktivitas itu hingga 30 menit sehari -
atau lebih - karena tubuh Anda terbiasa dengannya. Disarankan juga untuk
makan makanan yang mengandung asam amino esensial dan nutrisi campuran
karbohidrat, dan suplemen vitamin D setiap selesai latihan, karena tidak
meningkatkan sintesis protein otot selama pasca latihan untuk pemulihan
kelelahan.
4) Edukasi tentang Diabetes Melitus
a. Pengertian
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik atau kelainan
heterogen dengan karakteristik kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang disebabkan karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf dan pembuluh darah (Smeltzer, 2015).
b. Tanda dan Gejala
DM pada lansia yang baru timbul saat tua umumnya bersifat asimptomatis
atau ditemui gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah
laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional berupa
delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh dan inkontinensia urin.
Hal ini menyebabkan diagnosa DM pada lansia sering terlambat.
Manifestasi klinis pasien sebelum diagnosis DM dapat berupa:
1) Kardiovaskuler: hipertensi arterial, infark miokard.
2) Kaki: neuropati, ulkus.
3) Mata: katarak, retinopati proliferatif, kebutaan.
4) Ginjal: infeksi ginjal dan saluran kemih, proteinuria
c. Penatalaksanaan
Hal pertama yang disarankan pada penderita diabetes usia lanjut adalah
perubahan pola hidup dan pengurangan berat badan. European Diabetes
Working Party Guidelines menyarankan HbA1c < 7.0% pada orang tua
dengan komorbiditas minimal dan < 8.0% pada orang tua yang lemah,
meskipun standar ini dapat berubah-ubah pada setiap orangnya, dan harus
mempertimbangkan berbagai faktor lain seperti tingkat disabilitas, angka
harapan hidup, dan ketaatan dalam pengobatan.
1) Monitoring kadar glukosa darah
Monitoring kadar glukosa darah penting sebagai edukasi ke pasien dan
membantu mereka untuk memahami penyakitnya, hal ini juga dapat
membantu mengidentifikasi apabila terjadi hipoglikemia
2) Agen hipoglikemik oral
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
merekomendasikan metformin sebagai lini pertama terapi kecuali
mereka yang mempunyai kontraindikasi seperti kerusakan ginjal, tanda-
tanda kerusakan hati atau hipoksia. Hal ini disebabkan metformin
memiliki keuntungan kardiovaskular dan risiko terjadi hipoglikemia
yang rendah.
3) Insulin
Keputusan penggunaan insulin harus didiskusikan bersama antara
pasien dan keluarga. Bagi orang tua yang tergantung kepada orang lain
untuk memberikan insulin, pemberian dosis long acting akan lebih
nyaman, meskipun cara ini tidak akan memberikan kontrol yang baik.
Agen insulin terbaru yang long acting seperti Giargine dan Detemir
dapat memperbaiki control glikemi dengan frekuensi hipoglikemia yang
lebih jarang.
d. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis.
Yang termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, diabetes
ketoasidosis (DKA), dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma
(HHNC). Yang termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati
diabetic, nefropati diabetic, neuropati, dislipidemia, dan hipertensi.
5) Diit Diabetes Mellitus Tipe II
Pengelolaan Diabetes Mellitus (Tipe 2) salah satunya dengan diet
seimbang. Kendala penanganan diet Diabetes Mellitus adalah kejenuhan pasien
mengikuti terapi diet dan kurangnya dukungan keluarga. Diabetes Mellitus
adalah penyakit gangguan metabolisme gula darah yang disebabkan
abnormalitas hormon insulin sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.
Semua zat gizi sangat penting dalam diet diabetes. Makanan sumber
karbohidrat harus dibagi merata di sepanjang hari untuk mengimbangi insulin
yang mampu diproduksi oleh tubuh. Gejala penyakit diabetes mellitus
diantaranya meningkatnya rasa haus, dehidrasi, gangguan elektrolit dan
penurunan berat badan. Untuk mengimbangi tidak tersedianya glukosa sebagai
sumber energi, tubuh akan meningkatkan laju pemecahan glikogen serta lemak
untuk melepaskan sumber-sumber energi dan memproduksi glukosa dari hasil
pemecahan protein tubuh. Dalam melaksanakan diet, penderita DM tipe 2
harus mengikuti anjuran 3J, yaitu jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal
makanan. Jenis dan jumlah makanan yang banyak mengandung gula serta
jadwal makan yang tidak teratur dapat meningkatkan kadar gula darah.
Kebutuhan kalori pada pria lebih besar di bandingkan wanita. Untuk memenuhi
kebutuhan kalori pasien pada kasus Diabetes Mellitus Tipe II ini adalah
sebagai berikut:

Basal Metabolic Rate (BMR) Bp. W dengan Rumus Harris Benedict:

= 66 + (13,7 x BB) + (5 x TB) – (6,8 x usia)

= 66 + (13,7 x 50) + (5 x 170) – (6,8 x 65)

= 66 + 685 + 850 – 442

= 66 + 1093

= 1159 kal/hari

TEE (Total Energy Expenditure)/(Total Energi Kebutuhan Harian)

Pekerjaan pasien (Bp. W) adalah seorang petani yang kesehariannya bekerja di


sawah, maka level aktivitasnya dapat dikelompokkan kedalam aktivitas yang
“cukup aktif/jarang olah raga” (poin level aktivitas : 1,375)
TEE = BMR x Level Aktivitas Fisik

TEE = 1159 x 1,375

TEE = 1593,625 kal/hari

TEE = 1600 kal/hari

Jadi TEE / Total Energi Kebutuhan Harian yang di perlukan oleh Bp. W dalam
sehari yaitu sebanyak 1600 kal/hari.

Dalam diit DM Tipe II Perlu adanya pembatasan makanan dengan indeks


glikemik. Makanan dengan indeks glikemik yang tinggi dapat meningkatkan
penyerapan glukosa dalam sel otot dan deposisi lemak dalam jaringan adiposa.
Dalam 2 hingga 4 jam setelah mengkonsumsi makanan dengan indeks glikemik
yang tinggi dapat menyebabkan penurunan kadar gula darah dan hipoglikemia
dengan cepat. Berikut ini jenis makanan yang memiliki indeks glikemik tinggi
(Muth, 2015).

(Muth, 2015)
Dalam tabel tersebut disebutkan bahwa jenis makanan yang memiliki
indeks glikemik paling tinggi adalah wortel sebanyak 92, kemudian sereal jagung
(80), nasi putih (72), roti putih (69), beras merah (66), kismis (64), pisang (62),
pasta putih (50), dst.

Selain mempertimbangkan glikemik karbohidrat indeks atau beban,


pertimbangan penting ketika mengevaluasi kualitas karbohidrat adalah kandungan
serat makanan. Serat diklasifikasikan sebagai serat fungsional dan makanan serat.
Bersama-sama, serat makanan dan fungsional terdiri "Total serat". Berikut
bebrapa daftar makanan berserat:

(Muth, 2015)
Serat memiliki banyak hal penting dan bermanfaat peran dalam tubuh
manusia. Serat makanan adalah serat yang ditemukan secara alami makanan. Serat
viskositas tinggi (biasanya serat tersebut yang juga disebut serat larut) meliputi
gusi (ditemukan dalam makanan seperti gandum, kacang polong, guar, dan
barley), pectin (ditemukan dalam makanan seperti apel, jeruk buah-buahan,
stroberi, dan wortel), dan biji psyllium (Muth, 2015).

Serat berperan dalam pengosongan lambung yang tertunda memperlambat


pelepasan gula ke dalam aliran darah, yang dapat membantu melemahkan
resistensi insulin. Serat viskositas tinggi juga bisa mengganggu penyerapan lemak
dan kolesterol dan resirkulasi kolesterol di hati, yang dapat menurunkan kadar
kolesterol. Viskositas rendah serat (sebelumnya disebut serat tidak larut) seperti
selulosa (ditemukan dalam tepung gandum utuh, dedak, dan sayuran),
hemiselulosa (ditemukan dalam biji-bijian dan dedak), dan lignin (ditemukan
dalam sayuran matang, gandum, dan buah dengan biji yang bisa dimakan seperti
stroberi dan kiwi) memainkan peran penting dalam meningkatkan feses massal
dan memberikan efek pencahar (Muth, 2015).

Zat besi memainkan peran penting dalam fungsi normal manusia. Ini
mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Besi juga penting untuk produksi
hemoglobin, protein yang membawa oksigen inhalasi dari paru-paru ke jaringan;
myoglobin, protein yang bertanggung jawab untuk membuat oksigen tersedia
untuk kontraksi otot; dan membantu menghasilkan energi. Pada kasus Bp. W (65
tahun) memerulukan zat besi yang cukup. Berikut beberapa makanan yang
mengandung zat besi:

(Muth, 2015)
Ketika asupan zat besi rendah, tubuh membuat hemoglobin lebih sedikit,
dan akibatnya, lebih sedikit oksigen yang dapat dikirim ke tempat kerja sel.
Tanda-tanda defisiensi besi termasuk kelelahan, buruk kinerja kerja, dan
kekebalan menurun (Muth, 2015).

3. Farmasi
Berdasarkan kasus diatas, Bapak Wido menggunakan terapi antara lain:

a. Glibenclamide tab 5 mg 1x sehari setelah sarapan

Indikasi : Diabetes mellitus (PERKENI, 2015).

Golongan : Sulfonilurea (PERKENI, 2015).

Mekanisme : Efek awal adalah meningkatkan sekresi insulin sel beta. Juga
dapat menurunkan tingkat produksi glukosa hepatik dan meningkatkan
sensitivitas reseptor insulin (Medscape, 2020).

Dosis harian : 2,5-20 mg, sebelum makan (PERKENI, 2015).

ESO : Reaksi dermatologis, heartburn, hipoglikemia, mual atau muntah


(Medscape, 2020).

b. Metformin tab 500 mg 3 kali sehari saat makan

Indikasi : Diabetes mellitus (PERKENI, 2015).

Golongan : Biguanide (PERKENI, 2015).

Mekanisme : Mengurangi produksi glukosa hati; mengurangi penyerapan


glukosa GI; meningkatkan sensitivitas insulin sel target (Medscape, 2020)

Dosis harian : 500-3000 mg, 1-3 x sehari, bersama atau sesudah makan
(PERKENI, 2015).

ESO : Diare, Infeksi saluran pernapasan atas, Hipoglikemia, keluhan GI,


Vitamin B-12 serum rendah, mual, muntah (Medscape,2020)
c. OAT FDC (2HRZE/4(HR)3 (150 mg, 75 mg, 400 mg, 275 mg)/(150 mg,150
mg))

Obat FDC (Fix Dose Combination) diminum selama 6 bulan :

● Tahap intensif setiap hari RHZE, selama 56 hari: 3 tablet 4FDC


● Tahap lanjutan 3 kali seminggu RH, selama 16 minggu: 3 tablet 2FDC
Diminum 1-2 jam sebelum makan (kecuali gangguan GI bisa segera
sesudah makan)

● H=Isoniazid

Indikasi : Tuberkulosis (Permenkes, 2016).

Mekanisme : Mekanisme kerja Isoniazid belum diketahui secara pasti,


namun ada yang berpendapat bahwa isoniazid bekerja dengan
menghambat biosintesis asam mikolat yaitu unsur penting penyusun
dinding sel bakteri dengan mengganggu sintesis sintesis lipid dan DNA
(Bakterisida) (Medscape, 2020).

ESO : Efek samping yang >10% terjadi seperti Neuropati Perifer,


kehilangan selera makan, mual, muntah, sakit perut, (1-10)% seperti
Pusing, bicara tidak jelas, Hyperreflexia dan 1% seperti Agranulositosis,
Anemia megaloblastik, trombositopenia (Medscape, 2020).

● R=Rifampicin

Indikasi : Tuberkulosis (Permenkes, 2016).

Mekanisme : Bersifat bakterisidal yang mampu menghambat DNA-


dependent RNA polymerase dengan mengikat subunit beta, sehingga
menghambat transkripsi RNA; penginduksi enzim yang kuat (Medscape,
2020).

ESO : Flu syndrome (gejala influenza berat), gangguan gastrointestinal,


urine berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopenia, demam,
skin rash, sesak nafas, anemia hemolitik (Permenkes RI, 2016).
● Z=Pirazinamid

Indikasi : Tuberkulosis (Permenkes, 2016).

Mekanisme : belum diketahui pasti; Bersifat bakteriostatik atau


bakterisidal untuk mycobacterium (Medscape, 2020).

ESO : Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout arthritis


(Permenkes RI, 2016).

● E=Etambutol

Indikasi : Tuberkulosis (Permenkes, 2016).

Mekanisme : Mengganggu enzim arabinosyl transferase yang kerjanya


mempercepat pembentukan dinding sel bakteri (Medscape, 2020).

ESO : Gangguan penglihatan, buta warna, neuritis perifer (Permenkes


RI, 2016).

Pada penggunaan obat yang diresepkan ditemukan adanya 4 interaksi obat


yaitu:

1. Isoniazid+Metformin (Monitor closely)

Isoniazid mengurangi efek metformin dengan mekanisme interaksi


yang tidak ditentukan. Pasien harus diamati secara cermat untuk
kehilangan kontrol glukosa darah; ketika obat ditarik dari pasien yang
menerima metformin, pasien harus diamati secara cermat akan timbulnya
hipoglikemia.

2. Rifampisin+Glibenclamide (Monitor closely)

Rifampisin menurunkan kadar glibenklamid dengan


mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP2C9/10. Penginduksi
CYP2C9 yang kuat dapat meningkatkan metabolisme glibenclamide
sehingga dapat menurunkan kadar glibenclamide.

3. Isoniazid+Glibenclamide (Minor)

Isoniazid mengurangi efek glibenclamide dengan mekanisme interaksi


yang tidak ditentukan.

(Medscape, 2020).

Pasien datang merasa lemas dan pusing karena GDS pasien 312
mg/dL. Pasien sebelumnya mengkonsumsi terapi kombinasi Glibenklamid
tab 5 mg 1x sehari setelah sarapan dan Metformin tab 500 mg 3 kali sehari
saat makan untuk pengobatan diabetes mellitus, serta pasien juga
mengkonsumsi OAT FDC 1x sehari 3 tab untuk pengobatan TB.

Saat mengkonsumsi terapi kombinasi glibenklamid dan metformin,


nilai GDS pasien awalnya normal. Namun setelah mengkonsumsi OAT
FDC, nilai GDS pasien menjadi tinggi yaitu 312 mg/dL. Setelah kami
melakukan penelusuran, pasien mengatakan bahwa beliau meminum obat
secara teratur, tidak merokok, tidak minum alkohol, makan dan olahraga
dengan teratur. Hal tersebut berarti nilai GDS pasien tinggi dapat terjadi
akibat faktor lain, salah satunya interaksi obat. Dilihat dari interaksi antara
rifampisin (OAT FDC) dan glibenclamide, rifampisin menurunkan kadar
glibenklamid dengan mempengaruhi metabolisme enzim hati CYP2C9/10.
Penginduksi CYP2C9 yang kuat dapat meningkatkan metabolisme
glibenclamide sehingga dapat menurunkan kadar glibenclamide
(Medscape, 2020). Jika kadar glibenclamide menurun, maka pasien
mengalami hiperglikemia.
(Basit, 2012).
Pada saat KBM, GDS pasien 312 mg/dL sehingga kami menyarankan
menambah dosis glibenclamide 1,25 mg. Namun, setelah dilakukan monitoring
gula darah selama 2 jam, didapatkan GDS pasien masih tinggi yaitu 270
mg/dL, sehingga kami menyarankan penggantian obat yang lebih baik.

Oleh karena itu, kami menyarankan untuk mengganti obat glibenclamide


1x sehari 5 mg dengan glimepiride 1x sehari 2 mg. Obat glibenclamide diganti
karena glimepiride jika digunakan bersamaan dengan rifampisin penurunan
kadarnya tidak sebanyak penurunan kadar dari glibenclamide. Kadar
glimepiride tidak menurun terlalu banyak karena glimepiride bukan merupakan
substrat utama dari CYP2C9 (Niemi, et al., 2000).

Parameter Metformin+S Metformin+ Metformin Metformin Metformin+I


ulfonylurea Thiazolidine +DPP-4 +GLP-1 nsulin (basal)
dione Inhibitor receptor

Efikasi Tinggi Tinggi Intermediat Tinggi Paling tinggi


(menurunkan
nilai HbA1c)

Hipoglikemia Cukup Risiko Risiko Risiko Risiko tinggi


berisiko rendah rendah rendah

Berat badan Bertambah Bertambah Netral Menurun Bertambah

Efek samping Hipoglikemia Edema, HF, Jarang GI Hipoglikemia


yang sering Fx
muncul

Harga Murah Mahal Mahal Mahal Bervariasi

(Basit, 2012).

Pertimbangan kami memilih glimepiride sebagai pengganti


glibenclamide adalah glimepiride merupakan golongan sulfonilurea yang
mempunyai efikasi dalam menurunkan nilai HbA1c tinggi. Selain itu, obat
dengan golongan sulfonilurea lebih murah dibandingkan obat dengan golongan
lain (TZD, DPP-4 Inhibitor, GLP-1 receptor, insulin) sehingga bisa dijangkau
oleh pasien yang pekerjaannya adalah seorang petani. Glimepiride juga
terdapat di puskesmas dengan harga Rp.8000/strip. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Umpierrez, et al. (2006) mengungkapkan bahwa metformin dan
glimepiride (golongan sulfonilurea) lebih cepat menurunkan kadar HbA1C
dalam 80-90 hari dibandingkan dengan metformin dan pioglitazone (golongan
TZD) dalam 140-150 hari. Selain itu, data dari uji klinis menunjukkan bahwa
insiden keseluruhan efek samping yang terkait dengan glimepiride umumnya
lebih rendah dibandingkan dengan golongan sulfonilurea lainnya. Efek
samping hipoglikemia dapat menurun dan berkurang karena glimepiride telah
terbukti menginduksi penurunan yang signifikan secara statistik dalam kadar
C-peptida dan insulin dibandingkan dengan glibenclamide selama dan setelah
latihan fisik (Basit, 2012). Kemudian, efek samping penambahan berat badan
lebih netral dibandingkan obat golongan sulfonilurea lain. Mekanisme pasti
dari efek weight-neutral glimepiride belum ditetapkan, namun stimulasi sekresi
insulin yang lebih rendah dalam menanggapi glimepiride dibandingkan dengan
sulfonilurea lainnya telah terlibat. Selain itu, glimepiride memiliki banyak efek
penurun glukosa ekstra-pankreas, termasuk penurunan produksi glukosa
endogen serta peningkatan penyerapan glukosa perifer. Efek ini dapat
menjelaskan netralitas berat badan terkait dengan penggunaan glimepiride
(Basit, 2012).

Kami memutuskan untuk memberikan terapi kombinasi dua macam


obat yaitu metformin (500 mg, 3 x sehari, suapan pertama saat makan) dan
glimepirid (2 mg, 1 x sehari, siang hari, sebelum makan), namun dengan tetap
dilakukan monitoring kadar gula darah puasa, gula darah sewaktu, gula darah 2
jam post prandial, dan nilai HbA1C pasien (3 bulan sekali). Disertakan juga
pemberian informasi cara penggunaan atau konsumsi obat dan pentingnya
kepatuhan minum obat sehingga kadar gula darah pasien dapat terkontrol.
Untuk cara konsumsi obat, metformin dapat dikonsumsi saat (setelah suapan
pertama) atau setelah makan pada pagi hari, sedangkan glimepiride dapat
dikonsumsi sebelum makan pada siang hari. Penggunaan dari metformin dapat
memunculkan efek samping berupa hipoglikemia, defisiensi vitamin B12, dan
gangguan GI. Sedangkan efek samping dari glimepiride adalah hipoglikemia
dan peningkatan berat badan.

● Glimepiride 1x sehari 2 mg sebelum makan (PERKENI, 2015).


Indikasi : Diabetes mellitus (PERKENI, 2015).

Golongan : Sulfonilurea (PERKENI, 2015).

Mekanisme : Efek awal untuk meningkatkan sekresi insulin dari sel beta;
juga dapat menurunkan tingkat produksi glukosa hepatik dan
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin (Medscape, 2020).

Dosis harian : 1-8 mg sebelum makan (PERKENI, 2015).

ESO : Hipoglikemia, pusing, sakit kepala (Medscape, 2020).

Kami juga menyarankan, jika terjadi emergency dapat menggunakan


insulin. Insulin diperlukan pada keadaan :

● HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik


● Penurunan berat badan yang cepat
● Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
● Krisis Hiperglikemia
● Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
● Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
● Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali
dengan perencanaan makan
● Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
● Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
● Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Penggunaan insulin dapat diberikan pada pasien yang sedang krisis


hiperglikemia, dengan dosis 0.1U/kg. Penggunaan insulin tidak disarankan
karena pasien masih dalam kondisi sadar dan masih bisa menerima secara per
oral

Terapi non farmakologi yaitu :

DM
● Lakukan olahraga ringan 3-5 kali/minggu dengan durasi tiap olahraganya
selama 30-45 menit
● Pasien diet makanan rendah karbohidrat seperti dapat mengganti nasi putih
dengan nasi merah
● Pasien juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
lengkap (GDP, GDS, GD2pp), HbA1C (setiap 3 bulan sekali)
● Pasien juga dapat melakukan senam kaki diabetes melitus

TBC

● Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada keluhan dan
mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis
● Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya setelah dua
bulan dan enam bulan pengobatan
● Konseling kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi berupa tinggi
kalori dan tinggi protein
● Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan hal-hal
bersifat positif

Edukasi

● Pemeriksaan kadar gula darah dan HbA1c pada 1 bulan pertama setelah
penggantian obat hipoglikemik oral
● Pasien jika membuang urin akan berwarna merah karena efek dari rifampicin
● Jika pasien merasa pusing atau lemas dapat segera memeriksakan diri ke dokter
● Jika pasien merasa hipoglikemia rendah dapat mengkonsumsi makanan atau
minuman manis, jika terjadi gejala seperti rasa gemetar keringat dingin, jantung
berdebar, gelisah, penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan kejang
atau tanpa kejang pasien dapat segera memeriksakan diri ke dokter.
● Edukasi mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota keluarga
lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan tidak membuang
dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah di dapur/ asbak)
● Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan
pasien mengenai rutinitas minum obat
● Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua
anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
● Keadaan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang sesuai sehingga cahaya
matahari banyak yang masuk kedalam rumah sehingga tidak lembab
● Edukasi tentang cara penggunaan obat, jumlah obat yang diminum, dan kapan
waktu minum obat

KESIMPULAN

Setelah dilakukan diskusi bersama dokter, perawat, dan farmasis, maka


terapi yang akan dilanjutkan adalah pemberian metformin dan glimepiride sebagai
obat diabetes, dan OAT FDC sebagai obat Tuberculosis paru. Perlu juga
dilakukan penekanan kepada pasien terkait edukasi dan kepatuhan minum obat.

Masalah keperawatan yang terjadi pada pasien masih belum teratasi dan
memerlukan pemantauan secara komprehensif yaitu ketidakefetifan bersihan jalan
napas, resiko ketidakstabilan kadar gula darah dan keletihan. Diharapkan kondisi
pasien dapat stabil dan terapi dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dalam waktu 3
hari. Pasien dan keluarga diajarkan mengenai terapi non farmakologi seperti batuk
efektif, postural drainage dan senam kaki DM agar bisa membantu dalam proses
pemulihan pasien dan menjaga mengurangi resiko timbulnya gejala berulang.
Selain itu perlu juga dilakukan penekanan lagi kepada pasien terkait edukasi
modifikasi lingkungan, diit DM tipe II, cara pencegahan TBC, komplikas DM,
dan mengurangi keletihan saat di rumah.

SARAN

Penjelasan mengenai alur kerja pada pasien kurang dijelaskan secara rinci,
mungkin dapat diperinci lagi sehingga IPE selanjutnya dapat berjalan dengan
lebih baik dan mahasiswa dapat mempersiapkan materinya dengan lebih baik.

Tujuan dan tugas IPE kurang dipaparkan secara rinci, sehingga diharapkan
tugas dan tujuan pembuatan tugas dapat dipaparkan dengan lebih jelas demi
pelaksanaan dan penyusunan tugas yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2014. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care.

Baghaei, P. et al. (2013) “Diabetes mellitus and tuberculosis facts and


controversies”, Journal of Diabetes and Metabolic Disorders, 12(1), pp.
1–8. doi: 10.1186/2251-6581-12-58.

Basit, A., Riaz, M., Fawwad, A., 2012. Glimepiride: Evidence-Based Facts,
Trends, and Observations. Vascular Health and Risk Management. 8:
463-472.

Chan, K. A., dan Wood, V., 2010. Preparing Tomorrow’s Healthcare Providers
for Interprofessional Collaborative Patient-Centred Practice Today.
UBCMJ. 1(2), 22-24.

Engkartin., Astuti, T. J., Riyadi, T. 2016. Pengaruh Terapi Steam Sauna Terhadap
Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Wilayah Kerja Puskesmas Bukateja Kabupaten Purbalingga Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad. 9 (1).

DiPiro et al., 2017. Pharmacotherapy:A Pathosphysiologic Approach 10th Edition.


USA: McGraw Hill Education.

Farnsworth, T. J., Seikel, J. A., Hudock, D., dan Holst, J., 2015. History and
Development of Interprofessional Education. Journal of Phonetics &
Audiology. 1(1), 101-105.

International Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,
International Diabetes Federation (IDF).

Lien, A.S.Y, Hwang, J.S & Jiang, Y.D. 2017. Diabetes Related Fatigue
Sarcopenia, Frailty.
Medscape, 2020. Ethambutol. https://reference.medscape.com/drug/myambutol-
ethambutol-342677. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medcape, 2020. Acetaminophen (OTC).


https://reference.medscape.com/drug/tylenol-acetaminophen-343346#10.
Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medcape, 2020. Drug Interaction Checker. https://reference.medscape.com/drug-


interactionchecker. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medscape, 2020. Glyburide. https://reference.medscape.com/drug/diabeta-


glynase-glyburide-342714#10. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medscape, 2020. Pyrazinamide.


https://reference.medscape.com/drug/pyrazinamide-342678#10. Diakses
pada tanggal 25 Juni 2020.

Medscape, 2020. Rifampin (Rx). https://reference.medscape.com/drug/rifadin-


rimactane-rifampin-342570#10. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medscape, 2020. Glimepiride. https://reference.medscape.com/drug/amaryl-


glimepiride-342707#10. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.

Medscape, 2020. Metformin. https://reference.medscape.com/drug/glucophage-


metformin-342717#10. Diakses tanggal 18 Juli 2020.

Muth, N.D. 2015. Sport Nutrition for Health Professionals. F.A. Davis Company:
Philadelphia

Niazi, A. K. and Kalra, S. (2012) “Diabetes and tuberculosis: A review of the role
of optimal glycemic control”, Journal of Diabetes and Metabolic
Disorders, 11(1), p. 1. doi: 10.1186/2251-6581-11-28.

Niemi, M. et al. (2001) “Effects of rifampin on the pharmacokinetics and


pharmacodynamics of glyburide and glipizide”, Clinical Pharmacology
and Therapeutics, 69(6), pp. 400–406. doi: 10.1067/mcp.2001.115822.
Niemi, et al., 2000. Effect of Rifampicin on the Pharmacokinetics and
Pharmacodynamics of Glimepiride. J. Clin Pharmacol. 50, 591-595.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2016. Peraturan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia nomor 67 tahun 2016 tentang
Penanggulangan Tuberculosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Perkeni, 2015. Konsensus: Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


Di Indonesia 2015. Jakarta:Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. Konsensus Pengendalian dan


Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI.
Jakarta.

Raju et al. (2014) ‘Clinicopharmacological evaluation of drug interaction between


Rifampicin and gliburide in Tuberculosis patients with Type II diabetes.’,
IOSR Journal of Dental and Medical Sciences, 13(2), pp. 81–84. doi:
10.9790/0853-13228184.

Sulastini, R & Putri, P. 2019. Latihan Dengan Posisi Duduk Menurunkan


Keletihan Penderita Diabetes Melitus

Surekha, V. et al. (1997) ‘Drug Interaction: Rifampicin and glibenclamide’, The


National Medical Journal of India, 10(1), pp. 11–12. doi:
10.33338/ef.83992.

Umpierrez, et al., 2006. Glimepiride versus pioglitazone combination therapy in


subjects with type 2 diabetes inadequately controlled on metformin
monotherapy: results of a randomized clinical trial. Curr Med Res Opin.
22(4): 751–759.

World Health Organization, 2010. Framework for Action on Interprofessional


Education& Collaborative Practice. World Health Organization (Online).
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/70185/WHO_HRH_HPN
_10.3_eng.pdf;jsessionid=69A67A59D59AC69C2B52445A08E456B5?
sequence=1, diakses pada 6 Mei 2018.

World Health Organization (2010a) Management of Tuberculosis Training for


Health Facility Staff. C: Treat TB Patients, p. 35. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_TB_2003.314c.pdf.

World Health Organization (2010b) Management of Tuberculosis Training for


health Facility Staff. D: Inform Patients about TB. Available at:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_TB_2003.314c.pdf.

Zettira, Z., Sari, M. I., 2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga. J Medula Unila. 7 (3).

LAMPIRAN
Pertemuan Stadium Generale di USD 15 Maret 2020

Pertemuan di Google Meet 1 pada tanggal 23 Juni 2020 pukul 21.21 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang
Pertemuan di Google Meet 2 pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 21.30 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang

Pertemuan di Google Meet 3 pada tanggal 10 Juli 2020 pukul 21.00 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang
Sesi KBM via Google Meet 4 pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 10.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai