Pembahasan Ipe Keperawatan
Pembahasan Ipe Keperawatan
Interprofessional Education
YOGYAKARTA
2020
PENDAHULUAN
1. Teori IPE (Interprofessional Education)
IPE/ Interprofessional Education dimulai karena terus terjadi konflik antara dokter,
perawat, dan tenaga kesehatan lain (Farnsworth et al., 2015). Menurut World Health
Organization (2010) IPE dapat terjadi ketika mahasiswa dari 2 atau lebih profesi yang
berbeda saling belajar mengenai, dari, dan dengan satu sama lain untuk membuat
kolaborasi yang efektif yang dapat meningkatkan mutu kesehatan. Tujuan dari
dibentuknya IPE adalah menyiapkan tenaga kesehatan yang dapat bekerjasama dengan
baik demi membangun sistem kesehatan yang lebih baik dan lebih aman (Farnsworth et
al., 2015). Manfaat dari diadakan IPE sendiri adalah membuat peserta belajar tentang hal
baru yang dapat mengembangkan keahliannya, mengembangkan kemampuan
interpersonal, mampu mendapatkan pengalaman baru dengan tim yang mempunyai tujuan
yang sama, dan mampu belajar tentang cara bekerjasama dengan orang lain untuk
menghasilkan hasil kerja yang maksimal. (Chan et al., 2010).
a. Etiopathophysiology
b. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan fisik: keadaan umum (KU), antropometri (tinggi dan berat badan),
vital sign (tekanan darah, suhu, nadi, respirasi), pemeriksaan head to toe (meliputi,
pemeriksaan kepala, leher, toraks jantung paru, abdomen, dan ekstremitas).
2) Pemeriksaan Penunjang Laboratorium: pemeriksaan sputum BTA dengan
pengecatan Ziehl neelsen (ZN), pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS), serta
pemeriksaan darah rutin.
KASUS
1. Kasus
Bapak Wido (65 tahun) berobat ke IGD RS dengan keluhan lemas dan pusing.
Keluhan lemas sudah dirasakan sejak beberapa hari terakhir, namun dirasakan
semakin memberat sejak 3 jam sebelum datang ke IGD. Pasien juga mengeluhkan
rasa lemas kadang disertai dengan pusing yang muncul di pagi hari. Sejak satu (1)
bulan yang lalu, pasien diketahui memiliki riwayat batuk-batuk yang disertai darah
dan didiagnosa mengidap TB Paru kasus baru. Pasien juga diketahui memiliki riwayat
penyakit diabetes mellitus (DM) yang diderita sejak 1 tahun yang lalu. Hingga saat ini
keluarga pasien (Pak Adit) mengakui bahwa pasien selalu rutin minum obat DM dan
TBC, dan tidak pernah terlambat atau lupa minum obat. Pihak keluarga mengantar
pasien ke IGD RS dikarenakan keluhan lemas yang semakin memberat padahal pasien
diketahui sudah makan dan sudah meminum obat DM maupun obat TBC yang
diresepkan dokter. Keluarga pasien menyampaikan bahwa keluhan batuk berdahak
pada pasien sudah berkurang sejak mengkonsumsi OAT, selain itu keluhan batuk
disertai darah juga sudah tidak dikeluhkan oleh pasien.
Keluarga juga menyampaikan bahwa terdapat penurunan berat badan (BB)
yang signifikan pada pasien sejak menderita DM, dimana BB sebelumnya adalah 70-
80 kg, yang menurun setelah mengidap DM dan semakin menurun setelah terdiagnosa
TB paru. Berat badan pasien saat ini adalah 50 kg dengan tinggi badan (TB) 170 cm.
Pasien sudah melakukan modifikasi diet karena sadar akan efek DM terhadap tubuh,
salah satunya adalah pasien sudah sangat mengurangi konsumsi gula. Riwayat gula
darah sewaktu (GDS) pasien 2 bulan yang lalu di puskesmas adalah 190mg/dL.
Pasien diketahui belum pernah cek HbA1c dikarenakan tidak ada modalitas
pemeriksaan tersebut di Puskesmas tempat pasien biasa kontrol gula darah. Pasien
tidak ada mengkonsumsi obat apapun untuk mengurangi keluhan lemas dan pusing,
hanya mengkonsumsi obat DM dan TBC yang diresepkan oleh dokter. Dari hasil
pemeriksaan fisik toraks, pada perkusi didapatkan suara pekak/redup pada apex paru
bilateral (+/+) serta pada auskultasi terdengar suara ronki (+/+) pada apex dan lobus
bawah paru.
Bapak Wido menderita penyakit diabetes mellitus 1 tahun yang lalu, saat ini rutin
minum obat diabetes yaitu :
Bapak Wido juga sudah rutin mengkonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) kategori 1
selama 1 bulan (tahap intensif), diantaranya:
2. Form Kerja
(Terlampir)
PEMBAHASAN
1. Kedokteran
Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda khas gangguan respirasi, yang
ditandai dengan pekak pada apex (+/+) paru serta suara ronki pada apex dan lobus
bawah paru bilateral. Hasil pemeriksaan fisik lainnya, mulai dari keadaan umum
(KU), tanda vital, dan pemeriksaan head to toe dalam batas normal. Dikarenakan
adanya riwayat DM dan TB paru pada pasien, maka perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang diantaranya adalah pemeriksaan darah lengkap, sputum BTA, dan GDS.
Setelah mendapatkan persetujuan pasien untuk dilakukan pemeriksaan laboratorium,
didapatkan hasil GDS: 312 mg/dL; sputum BTA: (+/+/-); leukosit: 11,7 X 100/dL;
limfosit: 40%. Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut, dapat disimpulkan bahwa
gula darah pasien tidak terkontrol atau mengalami hiperglikemia, serta pasien masih
berada pada fase infektif TB paru dikarenakan hasil sputum masih positif BTA, yang
dipengaruhi oleh pengobatan TB paru yang baru berjalan selama 1 bulan.
Dipertimbangkan untuk mengganti OHO lain yang memiliki efek lebih baik
serta tidak berinteraksi kuat dengan rifampisin, diantaranya adalah Glimepiride dan
pemberian Insulin. Dasar pemilihan terapi glimepiride adalah, insiden keseluruhan
efek samping yang terkait dengan glimepiride umumnya lebih rendah dibandingkan
dengan golongan sulfonilurea lainnya. Efek samping hipoglikemia dapat menurun dan
berkurang karena glimepiride telah terbukti menginduksi penurunan yang signifikan
secara statistik dalam kadar C-peptida dan insulin dibandingkan dengan
glibenclamide selama dan setelah latihan fisik (Basit, 2012). Dasar pemikiran untuk
terapi insulin eksogen pada pasien dengan DM tipe 2 dan TBC aktif diberikan di
bawah ini (Niazi dan Kalra, 2012):
Terapi Farmakologi
Edukasi
1. Minum obat teratai sesuai dengan aturan waktu yang telah diberikan pada
resep, dimana obat TBC diminum sebelum sarapan pagi, metformin diminum
bersama dengan makan pagi,siang dan malam, serta glimepiride hanya
diberikan 1x sebelum makan siang.
2. Untuk memonitor efektivitas glimepiride sebagai pengganti glibenclamide,
pasien harus kontrol ke dokter 1 minggu dari sekarang.
3. Pasien juga harus kontrol ke dokter 1 bulan dari sekarang untuk memonitor
gula darah, HbA1c (3 bulan sekali, 2 bulan sebelumnya sudah periksa GDS,
sehingga bulan depan pemeriksaan gula darah disertai dengan HbA1c) serta
sputum BTA (akhir fase intensif pada bulan ke-2 pengobatan).
Gambar 4. Evaluasi pasien TB (Permenkes No.67 Th. 2016)
4. Beberapa keadaan yang perlu diwaspadai adalah adanya keluhan lemas
berkepanjangan yang terjadi bahkan setelah pasien makan dan minum obat.
Apabila keluhan muncul kembali dalam waktu <1 minggu, maka pasien
dianjurkan untuk segera datang ke pusat layanan kesehatan dan dokter.
5. Waspada dengan adanya gejala hipoglikemia yang muncul akibat konsumsi
OHO glimepiride, diantaranya adalah gemetar, perasaan lapar, pusing,
keringat dingin, jantung berdebar, gelisah bahkan hingga penurunan kesadaran
dengan atau tanpa kejang. Apabila keluhan tersebut muncul, pasien harus
segera datang ke dokter. Jika pasien mengeluhkan gejala hipoglikemia, namun
masih sadar dan tidak terdapat gangguan aktivitas, maka dapat diberikan
pemberian glukosa sebanyak 2-3 sendok makan yang dilarutkan dalam air
(PERKENI, 2015).
6. Beberapa kiat untuk mencegah penyebaran M.tuberculosis dalam keluarga dan
lingkungan sekitar, diantaranya adalah (WHO, 2010):
a. Minum obat teratur hingga fase intensif dan lanjutan selesai (6 bulan)
b. Menutup mulut dan hidung saat batuk dan/atau bersin
c. Membuka jendela dan pintu untuk memastikan udara segar bersirkulasi
dengan baik di dalam rumah.
2. Keperawatan
a. Anamnesa
batuk berdarah sudah berkurang dari pada 1 bulan yang lalu, badan lemas dalam 3
jam terakhir semakin memberat, pusing, sering kencing di malam hari, sering haus
dan sering lapar, ketika beraktifitas mudah capek karna aktivitas sehari-hari bekerja
di sawah. Pasien tinggal bersama istri dan dua anaknya sudah bekerja. Asupan
makan pasien 3 kali sehari dengan gizi cukup dan terkontrol karena pasien sadar
bahwa dirinya menderita diabetes mellitus. Pasien tidak merokok, tidak minum
alkohol, dan tidak mengkonsumsi narkoba. Pasien tidak mempunyai riwayat alergi
obat. Tetangga sebelah rumah ada yang menderita sakit batuk namun tidak tahu
menderita sakit serupa sebelumnya. Pasien menderita diabetes mellitus sejak 1 tahun
yang lalu, saat ini rutin meminum obat diabetes Glibenclamide 5 mg 1 kali sehari,
Metformin 500 mg 3 kali sehari dan kadar gula darah pasien 1 bulan yang lalu
adalah 190 mg/dl. Tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 82 x/menit, respirasi 24
x/menit, suhu 36,2oC, SpO2 95%, tinggi badan 170 cm, berat badan 50 Kg, IMT
2) Fisioterapi dada
Fisioterapi dada adalah suatu rangkaian tindakan keperawatan yang terdiri
atas perkusi dan vibrasi, postural drainase, latihan pernapasan/napasdalam,
dan batuk yang efektif. (Brunner & Suddarth, 2012). Tujuan:untuk
membuang sekresi bronkial, memperbaiki ventilasi, dan meningkatkan
efisiensi otot-otot pernapasan. Fisioterapi dada terdiri dari clapping/perkusi
dada, vibrasi dan postural drainase.
a) Clapping/perkusi dada
Perkusi atau disebut clapping adalah tepukkan atau pukulan ringan pada
dinding dada klien menggunakan telapak tangan yangdibentuk seperti
mangkuk, tepukan tangan secara berirama dan sistematis dari arah atas
menuju ke bawah. Selalu perhatikan ekspresi wajah klien untuk
mengkaji kemungkinan nyeri. Setiap lokasi dilakukan perkusi selama 1-
2 menit. Tujuan untuk menolong pasien mendorong / menggerakkan
sekresi didalam paru-paru yang diharapkan dapat keluar secara gaya
berat, dilaksanakan dengan menepuk tangan dalam posisi telungkup.
b) Vibrasi
Vibrasi adalah kompresi dan getaran kuat secara serial oleh tangan yang
diletakan secara datar pada dinding dada klien selama fase ekshalasi
pernapasan. Vibrasi dilakukan dengan cara meletakkan tangan
bertumpang tindih pada dada kemudian dengan dorongan bergetar.
Vibrasi digunakan setelah perkusi untuk meningkatkan turbulensi udara
ekspirasi dan melepaskan mukus yang kental. Sering dilakukan
bergantian dengan perkusi.
c) Postural Drainase
Postural drainase adalah pengaliran sekresi dari berbagai segmen paru
dengan bantuan gravitasi. Postural drainase menggunakan posisi khusus
yang memungkinkan gaya gravitasi membantu mengeluarkan sekresi
bronkial. Sekresi mengalir dari bronkiolus yang terkena ke bronkidan
trakea lalu membuangnya dengan membatukkan dan pengisapan.
Tujuan postural drainase adalah menghilangkan atau mencegah
obstruksi bronkial yang disebabkan oleh akumulasi sekresi. Dilakukan
sebelum makan (untuk mencegah mual, muntah dan aspirasi) dan
menjelang/sebelum tidur.
3) Senam Kaki Diabetes Melitus
Senam kaki diabetes melitus adalah kegiatan atau latihan yang
dilakukan oleh pasien yang menderita diabetes melitus untuk mencegah
terjadinya luka dan membantu memperlancar peredaran darah bagian
kaki (Setyoadi & Kushariyadi. 2011).
Manfaat Senam Kaki Diabetes Melitus
a) Memperbaiki sirkulasi darah, memperkuat otot-otot kecil kaki, dan
mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki
b) Meningkatkan kekuatan otot betis, otot paha
c) Mengatasi keterbatasan pergerakan sendi (Setyoadi & Kushariyadi.
2011).
Indikasi dan Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes Melitus
a) Indikasi Senam Kaki Diabetes melitus:
1) Diberikan kepada semua penderita diabetes melitus (DM tipe I dan
tipe II)
2) Sebaiknya diberikan sejak pasien didiagnosis menderita diabetes
melitus sebagai tindakan pencegahan dini (Setyoadi & Kushariyadi.
2011).
b) Kontraindikasi Senam Kaki Diabetes melitus :
1) Pasien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispneu
dan nyeri dada
2) Pasien yang mengalami depresi, khawatir, dan cemas (Setyoadi &
Kushariyadi. 2011).
e. Edukasi
1) Modifikasi lingkungan
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. Daya
penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan
kuman tuberkulosis (TB) ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan
lamanya menghirup udara tersebut (KEMENKES RI, 2011). Adapun beberapa
upaya yang dilakukan keluarga untuk pencegahan TB paru sebagai berikut; a)
Menjauhkan anggota keluarga lain dari penderita TB Paru saat batuk, b)
Menghindari penularan melalui dahak pasien penderita TB Paru, c) Membuka
jendela rumah untuk pencegahan penularan TB Paru dalam keluarga, d)
Menjemur kasur pasien TB Paru untuk pencegahan penularan TB Paru dalam
keluarga.
2) Cara Pencegahan TBC
a) Saat batuk seharusnya menutupi mulut, dan apabila batuk lebih dari 3
minggu, merasa sakit di dada dan kesukaran bernafas segera dibawa ke
Puskesmas atau ke rumah sakit.
b) Saat batuk memalingkan muka agar tidak mengenai orang lain.
c) Membuang ludah di tempat yang tertutup
d) Mencuci peralatan makan dan minum sampai bersih setelah digunakan oleh
penderita.
e) Vaksinasi BCG untuk balita.
f) Berhenti merokok
3) Mengurangi keletihan
Penderita DM banyak mengalami fatigue. Beberapa penelitian melaporkan
bahwa 85% pasien DM mengalami keletihan. Fatigue adalah kondisi yang
lebih dikenal dengan keletihan, kelelahan, lesu dan perasaan kehilangan energi.
Hasil penelitian menjelaskan bahwa dengan latihan dapat menurunkan
keletihan lebih dari 65%. Latihan sangat berguna untuk pasien dengan DM tipe
1 dan tipe 2 dalam menurunkan kadar glukosa (selama mengikuti latihan) dan
meningkatkan sensitivitas insulin. Pada pasien dengan diabetes melakukan
latihan fisik aerobik 150 menit/ minggu (didistribusikan menjadi minimal 3
hari/ minggu) direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA).
Secara khusus, American Diabetes Association (ADA) menyarankan orang
yang hidup dengan diabetes untuk menghentikan aktivitas duduk yang lama
dengan aktivitas ringan dengan melakukan olahraga ringan 3 menit (seperti
peregangan atau berjalan) setiap 30 menit. Setelah Anda menetapkan rutinitas,
Anda dapat secara bertahap meningkatkan aktivitas itu hingga 30 menit sehari -
atau lebih - karena tubuh Anda terbiasa dengannya. Disarankan juga untuk
makan makanan yang mengandung asam amino esensial dan nutrisi campuran
karbohidrat, dan suplemen vitamin D setiap selesai latihan, karena tidak
meningkatkan sintesis protein otot selama pasca latihan untuk pemulihan
kelelahan.
4) Edukasi tentang Diabetes Melitus
a. Pengertian
Diabetes melitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik atau kelainan
heterogen dengan karakteristik kenaikan kadar glukosa dalam darah atau
hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
yang disebabkan karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin
atau keduanya, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata,
ginjal, saraf dan pembuluh darah (Smeltzer, 2015).
b. Tanda dan Gejala
DM pada lansia yang baru timbul saat tua umumnya bersifat asimptomatis
atau ditemui gejala tidak khas seperti kelemahan, letargi, perubahan tingkah
laku, menurunnya status kognitif atau kemampuan fungsional berupa
delirium, demensia, depresi, agitasi, mudah jatuh dan inkontinensia urin.
Hal ini menyebabkan diagnosa DM pada lansia sering terlambat.
Manifestasi klinis pasien sebelum diagnosis DM dapat berupa:
1) Kardiovaskuler: hipertensi arterial, infark miokard.
2) Kaki: neuropati, ulkus.
3) Mata: katarak, retinopati proliferatif, kebutaan.
4) Ginjal: infeksi ginjal dan saluran kemih, proteinuria
c. Penatalaksanaan
Hal pertama yang disarankan pada penderita diabetes usia lanjut adalah
perubahan pola hidup dan pengurangan berat badan. European Diabetes
Working Party Guidelines menyarankan HbA1c < 7.0% pada orang tua
dengan komorbiditas minimal dan < 8.0% pada orang tua yang lemah,
meskipun standar ini dapat berubah-ubah pada setiap orangnya, dan harus
mempertimbangkan berbagai faktor lain seperti tingkat disabilitas, angka
harapan hidup, dan ketaatan dalam pengobatan.
1) Monitoring kadar glukosa darah
Monitoring kadar glukosa darah penting sebagai edukasi ke pasien dan
membantu mereka untuk memahami penyakitnya, hal ini juga dapat
membantu mengidentifikasi apabila terjadi hipoglikemia
2) Agen hipoglikemik oral
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE)
merekomendasikan metformin sebagai lini pertama terapi kecuali
mereka yang mempunyai kontraindikasi seperti kerusakan ginjal, tanda-
tanda kerusakan hati atau hipoksia. Hal ini disebabkan metformin
memiliki keuntungan kardiovaskular dan risiko terjadi hipoglikemia
yang rendah.
3) Insulin
Keputusan penggunaan insulin harus didiskusikan bersama antara
pasien dan keluarga. Bagi orang tua yang tergantung kepada orang lain
untuk memberikan insulin, pemberian dosis long acting akan lebih
nyaman, meskipun cara ini tidak akan memberikan kontrol yang baik.
Agen insulin terbaru yang long acting seperti Giargine dan Detemir
dapat memperbaiki control glikemi dengan frekuensi hipoglikemia yang
lebih jarang.
d. Komplikasi
Komplikasi diabetes mellitus diklasifikasikan menjadi akut dan kronis.
Yang termasuk dalam komplikasi akut adalah hipoglikemia, diabetes
ketoasidosis (DKA), dan hyperglycemic hyperosmolar nonketocic coma
(HHNC). Yang termasuk dalam komplikasi kronis adalah retinopati
diabetic, nefropati diabetic, neuropati, dislipidemia, dan hipertensi.
5) Diit Diabetes Mellitus Tipe II
Pengelolaan Diabetes Mellitus (Tipe 2) salah satunya dengan diet
seimbang. Kendala penanganan diet Diabetes Mellitus adalah kejenuhan pasien
mengikuti terapi diet dan kurangnya dukungan keluarga. Diabetes Mellitus
adalah penyakit gangguan metabolisme gula darah yang disebabkan
abnormalitas hormon insulin sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah.
Semua zat gizi sangat penting dalam diet diabetes. Makanan sumber
karbohidrat harus dibagi merata di sepanjang hari untuk mengimbangi insulin
yang mampu diproduksi oleh tubuh. Gejala penyakit diabetes mellitus
diantaranya meningkatnya rasa haus, dehidrasi, gangguan elektrolit dan
penurunan berat badan. Untuk mengimbangi tidak tersedianya glukosa sebagai
sumber energi, tubuh akan meningkatkan laju pemecahan glikogen serta lemak
untuk melepaskan sumber-sumber energi dan memproduksi glukosa dari hasil
pemecahan protein tubuh. Dalam melaksanakan diet, penderita DM tipe 2
harus mengikuti anjuran 3J, yaitu jumlah makanan, jenis makanan dan jadwal
makanan. Jenis dan jumlah makanan yang banyak mengandung gula serta
jadwal makan yang tidak teratur dapat meningkatkan kadar gula darah.
Kebutuhan kalori pada pria lebih besar di bandingkan wanita. Untuk memenuhi
kebutuhan kalori pasien pada kasus Diabetes Mellitus Tipe II ini adalah
sebagai berikut:
= 66 + 1093
= 1159 kal/hari
Jadi TEE / Total Energi Kebutuhan Harian yang di perlukan oleh Bp. W dalam
sehari yaitu sebanyak 1600 kal/hari.
(Muth, 2015)
Dalam tabel tersebut disebutkan bahwa jenis makanan yang memiliki
indeks glikemik paling tinggi adalah wortel sebanyak 92, kemudian sereal jagung
(80), nasi putih (72), roti putih (69), beras merah (66), kismis (64), pisang (62),
pasta putih (50), dst.
(Muth, 2015)
Serat memiliki banyak hal penting dan bermanfaat peran dalam tubuh
manusia. Serat makanan adalah serat yang ditemukan secara alami makanan. Serat
viskositas tinggi (biasanya serat tersebut yang juga disebut serat larut) meliputi
gusi (ditemukan dalam makanan seperti gandum, kacang polong, guar, dan
barley), pectin (ditemukan dalam makanan seperti apel, jeruk buah-buahan,
stroberi, dan wortel), dan biji psyllium (Muth, 2015).
Zat besi memainkan peran penting dalam fungsi normal manusia. Ini
mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel. Besi juga penting untuk produksi
hemoglobin, protein yang membawa oksigen inhalasi dari paru-paru ke jaringan;
myoglobin, protein yang bertanggung jawab untuk membuat oksigen tersedia
untuk kontraksi otot; dan membantu menghasilkan energi. Pada kasus Bp. W (65
tahun) memerulukan zat besi yang cukup. Berikut beberapa makanan yang
mengandung zat besi:
(Muth, 2015)
Ketika asupan zat besi rendah, tubuh membuat hemoglobin lebih sedikit,
dan akibatnya, lebih sedikit oksigen yang dapat dikirim ke tempat kerja sel.
Tanda-tanda defisiensi besi termasuk kelelahan, buruk kinerja kerja, dan
kekebalan menurun (Muth, 2015).
3. Farmasi
Berdasarkan kasus diatas, Bapak Wido menggunakan terapi antara lain:
Mekanisme : Efek awal adalah meningkatkan sekresi insulin sel beta. Juga
dapat menurunkan tingkat produksi glukosa hepatik dan meningkatkan
sensitivitas reseptor insulin (Medscape, 2020).
Dosis harian : 500-3000 mg, 1-3 x sehari, bersama atau sesudah makan
(PERKENI, 2015).
● H=Isoniazid
● R=Rifampicin
● E=Etambutol
3. Isoniazid+Glibenclamide (Minor)
(Medscape, 2020).
Pasien datang merasa lemas dan pusing karena GDS pasien 312
mg/dL. Pasien sebelumnya mengkonsumsi terapi kombinasi Glibenklamid
tab 5 mg 1x sehari setelah sarapan dan Metformin tab 500 mg 3 kali sehari
saat makan untuk pengobatan diabetes mellitus, serta pasien juga
mengkonsumsi OAT FDC 1x sehari 3 tab untuk pengobatan TB.
(Basit, 2012).
Mekanisme : Efek awal untuk meningkatkan sekresi insulin dari sel beta;
juga dapat menurunkan tingkat produksi glukosa hepatik dan
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin (Medscape, 2020).
DM
● Lakukan olahraga ringan 3-5 kali/minggu dengan durasi tiap olahraganya
selama 30-45 menit
● Pasien diet makanan rendah karbohidrat seperti dapat mengganti nasi putih
dengan nasi merah
● Pasien juga dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah
lengkap (GDP, GDS, GD2pp), HbA1C (setiap 3 bulan sekali)
● Pasien juga dapat melakukan senam kaki diabetes melitus
TBC
● Konseling kepada pasien untuk melakukan kontrol rutin jika ada keluhan dan
mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis
● Konseling kepada pasien untuk memeriksakan kembali dahaknya setelah dua
bulan dan enam bulan pengobatan
● Konseling kepada pasien untuk makan makanan yang bergizi berupa tinggi
kalori dan tinggi protein
● Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan hal-hal
bersifat positif
Edukasi
● Pemeriksaan kadar gula darah dan HbA1c pada 1 bulan pertama setelah
penggantian obat hipoglikemik oral
● Pasien jika membuang urin akan berwarna merah karena efek dari rifampicin
● Jika pasien merasa pusing atau lemas dapat segera memeriksakan diri ke dokter
● Jika pasien merasa hipoglikemia rendah dapat mengkonsumsi makanan atau
minuman manis, jika terjadi gejala seperti rasa gemetar keringat dingin, jantung
berdebar, gelisah, penurunan kesadaran bahkan sampai koma dengan kejang
atau tanpa kejang pasien dapat segera memeriksakan diri ke dokter.
● Edukasi mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota keluarga
lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan tidak membuang
dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah di dapur/ asbak)
● Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan
pasien mengenai rutinitas minum obat
● Edukasi dan motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua
anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
● Keadaan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang sesuai sehingga cahaya
matahari banyak yang masuk kedalam rumah sehingga tidak lembab
● Edukasi tentang cara penggunaan obat, jumlah obat yang diminum, dan kapan
waktu minum obat
KESIMPULAN
Masalah keperawatan yang terjadi pada pasien masih belum teratasi dan
memerlukan pemantauan secara komprehensif yaitu ketidakefetifan bersihan jalan
napas, resiko ketidakstabilan kadar gula darah dan keletihan. Diharapkan kondisi
pasien dapat stabil dan terapi dapat dilanjutkan dengan rawat jalan dalam waktu 3
hari. Pasien dan keluarga diajarkan mengenai terapi non farmakologi seperti batuk
efektif, postural drainage dan senam kaki DM agar bisa membantu dalam proses
pemulihan pasien dan menjaga mengurangi resiko timbulnya gejala berulang.
Selain itu perlu juga dilakukan penekanan lagi kepada pasien terkait edukasi
modifikasi lingkungan, diit DM tipe II, cara pencegahan TBC, komplikas DM,
dan mengurangi keletihan saat di rumah.
SARAN
Penjelasan mengenai alur kerja pada pasien kurang dijelaskan secara rinci,
mungkin dapat diperinci lagi sehingga IPE selanjutnya dapat berjalan dengan
lebih baik dan mahasiswa dapat mempersiapkan materinya dengan lebih baik.
Tujuan dan tugas IPE kurang dipaparkan secara rinci, sehingga diharapkan
tugas dan tujuan pembuatan tugas dapat dipaparkan dengan lebih jelas demi
pelaksanaan dan penyusunan tugas yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Basit, A., Riaz, M., Fawwad, A., 2012. Glimepiride: Evidence-Based Facts,
Trends, and Observations. Vascular Health and Risk Management. 8:
463-472.
Chan, K. A., dan Wood, V., 2010. Preparing Tomorrow’s Healthcare Providers
for Interprofessional Collaborative Patient-Centred Practice Today.
UBCMJ. 1(2), 22-24.
Engkartin., Astuti, T. J., Riyadi, T. 2016. Pengaruh Terapi Steam Sauna Terhadap
Penurunan Kadar Gula Darah Pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di
Wilayah Kerja Puskesmas Bukateja Kabupaten Purbalingga Tahun 2013.
Jurnal Kesehatan Al-Irsyad. 9 (1).
Farnsworth, T. J., Seikel, J. A., Hudock, D., dan Holst, J., 2015. History and
Development of Interprofessional Education. Journal of Phonetics &
Audiology. 1(1), 101-105.
International Diabetes Federation (IDF). 2013. IDF Diabetes Atlas Sixth Edition,
International Diabetes Federation (IDF).
Lien, A.S.Y, Hwang, J.S & Jiang, Y.D. 2017. Diabetes Related Fatigue
Sarcopenia, Frailty.
Medscape, 2020. Ethambutol. https://reference.medscape.com/drug/myambutol-
ethambutol-342677. Diakses pada tanggal 25 Juni 2020.
Muth, N.D. 2015. Sport Nutrition for Health Professionals. F.A. Davis Company:
Philadelphia
Niazi, A. K. and Kalra, S. (2012) “Diabetes and tuberculosis: A review of the role
of optimal glycemic control”, Journal of Diabetes and Metabolic
Disorders, 11(1), p. 1. doi: 10.1186/2251-6581-11-28.
Zettira, Z., Sari, M. I., 2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru dengan
Pendekatan Kedokteran Keluarga. J Medula Unila. 7 (3).
LAMPIRAN
Pertemuan Stadium Generale di USD 15 Maret 2020
Pertemuan di Google Meet 1 pada tanggal 23 Juni 2020 pukul 21.21 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang
Pertemuan di Google Meet 2 pada tanggal 9 Juli 2020 pukul 21.30 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang
Pertemuan di Google Meet 3 pada tanggal 10 Juli 2020 pukul 21.00 WIB dihadiri oleh
semua anggota kelompok berjumlah 8 orang
Sesi KBM via Google Meet 4 pada tanggal 11 Juli 2020 pukul 10.00 WIB