Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan konsep remaja yang merupakan kelompok rentan terhadap

penyalahgunaan NAPZA, karena remaja ada pada masa transisi yang banyak

mengalami perubahan, bahaya NAPZA, dan faktor-faktor yang berkontribusi

terhadap penyalahgunaan NAPZA, serta tanggung jawab dan peran perawat

komunitas dalam upaya memberantas dan menangulangi terjadinya

penyalahgunaan NAPZA pada remaja.

A. NAPZA

1. Pengertian NAPZA

Beberapa pakar sependapat bahwa NAPZA merupakan singkatan dari

Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lain, yang bekerja pada pusat

penghayatan kenikmatan otak sebagaimana kenikmatan sensasi, makan, dan

stimulasi seksual. Sehingga sering muncul dorongan kuat menggunakan

NAPZA untuk memperoleh kenikmatan lahir dan batin atau euphoria

(Hikmat, 2008; Martono & Joewana, 2006; NAPZA: Narkotika,

Psikotropika, dan Zat Adiktif, http://zene.wordpress.com, diperoleh tanggal

13 Jun 2008).

14
15
Semakin luas NAPZA mempengaruhi pusat-pusat penghayatan kenikmatan

seseorang, akan semakin kuat potensi ketergantungan yang akan

ditimbulkan.

Istilah NAPZA diawali oleh istilah narkoba yaitu singkatan dari narkotika

dan obat-obat berbahaya (Martono & Joewana, 2006). Mengacu kepada

kepanjangan dari singkatan tersebut, ada dua hal yang dapat dijelaskan,

yakni; narkotika dan obat-obat terlarang. Sebelum muncul istilah narkoba,

narkotika yang pertama kali muncul kepermukaan. Narkotika secara umum

dapat diartikan suatu zat yang dapat merusak tubuh dan mental manusia

karena dapat merusak susunan syaraf pusat manusia. Menurut cara

pembuatannya, narkotika terbagi dalam narkotika alam karena berasal dari

tanaman, narkotika sintesis (buatan), dan narkotika semi sintesis

(campuran) (Indrawan, 2007). Sementara yang dimaksud dengan obat-obat

terlarang adalah obat-obatan yang bukan termasuk narkotika, tetapi

mempunyai efek dan bahaya yang sama dengan narkotika. Akhir-akhir ini,

obat-obatan terlarang tersebut sering disebut dengan istilah psikotropika.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun hasil campuran

yang diolah oleh manusia. Psikotropika tidak termasuk kedalam golongan

narkotika (Indrawan, 2007). Bila dikonsumsi, psikotropika bisa merusak

fungsi susunan syaraf pusat manusia. Bila susuanan syaraf pusat sudah

dirusak psikotropika, akan terjadi kelainan perilaku disertai dengan

timbulnya halusinasi (banyak khayalan), ilusi, gangguan cara berpikir, dan

perubahan perasaan. Psikotropika sama dengan narkotika dapat

menyebabkan kecanduan. Dalam kehidupan sehari-hari dunia obat-obatan


terlarang, masih
16
terdapat dua jenis yang fungsi negatifnya hampir sama dengan narkoba.

Kedua jenis tersebut sering digunakan oleh kalangan tertentu yang biasa

memakai narkoba. Para pemakai bisa menggunakannya secara bersamaan

dengan narkoba atau bisa menjadi pengganti narkoba, apabila tidak

mendapatkannya. Kedua jenis obat terlarang lain tersebut adalah alkohol

dan zat adiktif (Purwanto, 2007).

Alkohol adalah cairan yang tidak berwarna (bening), mudah menguap dan

mudah terbakar. Dalam fungsi positif alkohol sering dipakai untuk

keperluan industri dan pengobatan. Alkohol juga zat adiktif, artinya alkohol

dapat menimbulkan adiksi (addication) yaitu ketagihan dan ketergantungan

(Indrawan, 2007). Selain alkohol juga merupakan ramuan yang

memabukkan (Purwanto 2007), karena berefek negatif seperti zat adiktif,

maka semua ajaran agama melaranng begitu pun dengan agama Islam

melalui MUI mengharamkan minuman keras yang lebih dikenal

dimasyarakat dengan miras. Miras adalah jenis minuman yang mengandung

alkohol, tidak peduli berapa kadar alkohol didalamnya. Pemakaian miras

dapat menimbulkan gangguan mental organik (GMO), yaitu gangguan

dalam fungsi berfikir, perasaan dan perilaku. Timbulnya GMO karena

reaksi langsung alkohol pada sel-sel syaraf pusat (otak). Karena sifat adiktif

dari alkohol ini, orang yang meminumnya lama kelamaan tanpa disadari

akan menambah takaran atau dosis, sampai pada dosis keracunaan

(intoksikasi) atau mabuk.

Sementara zat adiktif adalah zat atau bahan yang dapat menyebabkan

manusia kecanduan atau ketergantungan terhadap zat tersebut (Indrawan


17
2007, dan Purwanto, 2007). Namun yang dimaksud zat adiktif disini adalah

zat lain selain narkotika, alkohol, dan psikotropika atau zat-zat baru hasil

olahan manusia yang menyebabkan kecanduan. Adanya alkohol dan zat

adiktif, selain narotika dan obat terlarang (psikotropika), musuh dan yang

menjadi sumber ketakutan masyarakat tidak lagi diistilahkan narkoba,

melainkan menjadi lebih populer dengan sebutan NAZA (Narkotika

Alkohol dan Zat Adiktif). Namun karena obat terlarang psikotropika pun

mulai menjadi primadona kejahatan obat-obatan terlarang, dibukktikan

dengan adanya peningkatakan pemakai ektasy, kini istilah naza pun berubah

menjadi NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif).

2. Penyalahgunaan NAPZA

Pengertian dari penyalahgunaan atau dalam istilah asing abuse adalah

penggunaan NAPZA diluar tujuan pengobatan dan tanpa pengawasan

dokter (Hafidz, 2007), pengertian lain yaitu bahwa penyalahguanaan adalah

penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau

teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan

fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial (NAPZA (Narkotika, Psikotropika,

dan Zat Adiktif). ¶ 15, http://zene.wordpress.com, diperoleh tanggal 13 Jun

2008). Jadi pengertian penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan

NAPZA diluar sebagaimana mestinya sampai terjadi ketergantungan.

Sedangkan ketergatungan yaitu suatu keadaan dimana telah terjadi

ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah

NAPZA yang makin bertambah (toleransi), dan apabila pemakaiannya

dikurangi atau diberhentikan akan timbul gejala putus obat (withdrawal

symptom).
18
Secara hukum penyalagunaan NAPZA mendapatkan sanksi-sanksi hukum

negara. Landasan hukum untuk menangani masalah kejahatan NAPZA

yakni Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-

Undang No. 5 Tahun 1997 tentang psikotropika (Hikmat, 2008). Dalam

undang- undang tersebut dijelaskan hukuman yang akan dijatuhkan kepada

para pembuat, pengedar, dan pemakai NAPZA. Dengan hukuman berat

sampai hukuman mati dan didenda sampai miliaran rupiah. Kebijakan

tersebut sebagai antisipasi upaya menekan peredaran NAPZA pada remaja

yang menggunakan NAPZA dengan berbagai alasan. Sedangkan pola

penyalahgunaan NAPZA pada remaja sampai terjadinya ketergantungan

penyalahgunakan NAPZA disebabkan oleh sifat adiktif dari zat.

3. Rentang respon penyalahgunaan NAPZA

Rentang respon gangguan penyalahgunaan NAPZA berfluktuasi dari

kondisi ringan sampai yang berat (Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat

Jenderal Pelayanan Medik, dan Departemen Keshatan RI,1995). Indikator

dari rentang respon berdasarkan perilaku yang di tampilkan oleh remaja

dengan penyalahgunaan NAPZA meliputi: pengunaan NAPZA secara

eksperimental, pengunaan NAPZA secara rekreasional, pengunaan NAPZA

secara situasional, penyalahgunaan NAPZA, dan ketergantungan NAPZA.

a. Pengunaan NAPZA Secara eksperimental

Pengunaan NAPZA Secara eksperimental adalah suatu kondisi

penyalahguna pada taraf awal (Martono & Joewana, 2006), sesuai dengan

karakteristik tumbuh kembang remaja yang selalu merasa ingin tahu, ingin

mencari
19
pengalaman yang baru, atau sering juga dikatakan taraf coba-coba. Survey

dari Yayasan Cinta Anak Bangsa dari 13 panti rehabilitasi di Jabotabek

menyebutkan, hampir 70 persen pecandu mulai memakai narkoba karena

ingin coba-coba (Majalah Inspire Kids. Narkoba, Musuh Anak dalam

Selimut. ¶ 4, http://portal.cbn.net.id/, di peroleh tangga, 04 Desember 2007).

b. Pengunaan NAPZA secara rekreasional

Penggunaan NAPZA ssecara rekresional, selain karena sifat karakteristik

remaja sendiri yang suka ingin tahu dan ingin coba-coba, termasuk

penyalahgunaan NAPZA, remaja juga menggunakan NAPZA pada situasi

waktu tertentu seperti: berkumpul bersama-sama dengan teman sebaya,

pada waktu pertemuan malam mingguan, dan atau ketika ada acara ulang

tahun temannya. Pada saat berkumpul tersebut remaja menggunakan

NAPZA dan mempengaruhi teman-temannya, sesuai hasil penelitian bahwa

81,3% pengguna NAPZA karena pengaruh teman (Adiningsih, 2002).

Shingga remaja menggunakan NAPZA sebagai bentuk mencari kesenagan

bersama dengan teman sebayanya.

Pada penyalahgunaan NAPZA secara rekresional ini mempunyai tujuan

untuk rekreasi bersama teman sebaya, sehingga remaja mulai menemukan

kesenangan, kenyamanan, dan kenikmatan yang semu, padahal dapat

menyebabkan ketagihan dan ketergantungan sehingga remaja berusaha

memperoleh NAPZA secara aktif. Hal ini di sebut juga tahap instrumental

(Martono & Joewana, 2006), karena dari pengalaman pemakaian

sebelumnya disadari, NAPZA dapat menjadi alat mempengaruhi atau

memanipulasi emosi
20
dan suasana hatinya. Ketika penyalahgunaan NAPZA pada remaja sudah

terjadi adiksi, dimana tubuh sudah tidak dapat menahan untuk memenuhi

rasa adiksi, maka remaja secara aktif untuk mendapatkan NAPZA sebagai

kebutuhan.

c. Pengunaan NAPZA secara situasional

Pengunaan NAPZA secara situasional yaitu remaja menyalahgunakan

NAPZA mempunyai tujuan tertentu secara individual, menggunakan

NAPZA merupakan kebutuhan bagi dirinya sendiri akibat adiksi, juga

sebagai cara mengatasi masalah (compensatory use) yang dihadapinya

sebagai pelarian (Hafidz, 2007). Biasanya remaja menggunakan pada saat

sedang konflik, stres, dan frustasi. Hasil penelitian Hawari (1990)

memperlihatkan bahwa pada umunya alasan remaja menggunakan NAPZA

antara lain adalah percaya bahwa NAPZA dapat mengatasi semua

persoalan, atau memperoleh kenikmatan atau menghilangkan kecemasan,

gelisah, takut (Adiningsih, 2002).

d. Penyalahgunaan NAPZA

Akibat lanjut dari penggunaan NAPZA baik secara eksperimen, rekresional,

dan situasional menyebabkan efek dari sifat obat tersebut adalah ketagihan

atau adiktif oleh karena sifat dari NAPZA itu sendiri, sehingga

menyebabkan penggunaan NAPZA yang sudah bersifat patologis, sudah

mulai digunakan secara rutin, paling tidak sudah berlangsung selama satu

bulan (Hafidz, 2007). Pada penylahgunaan NAPZA sampai tahap patologis,

di tandai dengan sudah terjadinya penyimpangan perilaku dan menggangu

fungsi dalam peran


21
dilingkungan sosial dan sekolah, karena sudah pada taraf fase

penyalahgunaan yang secara otomatis sudah terjadi ketergantungan.

e. Ketergantungan NAPZA

Fase selanjutnya dari fase patologis adalah fase ketergantungan penggunaan

Napza yang cukup berat, sehingga mengakibatkan terjadi ketergantungan

fisik dan psikologis (NAPZA, kenapa bahaya. ¶ 10,

httpwww.geocities.com.html. di peroleh tanggal 05 September 20008).

Ketergantungan fisik ditandai dengan adanya toleransi dan sindroma putus

zat. Toleransi yaitu suatu kondisi dari remaja yang telah mengalami

peningkatan dosis untuk mencapai tujuan yang biasa diinginkan remaja.

Sedangkan sindroma putus zat yaitu suatu kondisi dimana remaja yang

biasa menggunakan secara rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan

atau menurunkan jumlah zat yang biasa digunakan, sehingga menimbulkan

gejala pemutusan NAPZA yang sesuai dengan penggunaan.

Skema 2.1 rentang respon penyalahgunaan NAPZA

1 2 3 4 5

(Hafidz, 2007).

Keterangan bagan:

1. Pengunaan NAPZA Secara eksperimental

2. Pengunaan NAPZA secara rekreasional

3. Pengunaan NAPZA secara situasional

4. Penyalahgunaan NAPZA

5. Ketergantungan Napza
22
Rentang respon dari mulai penggunaan NAPZA secara eksperimental

sampai dengan terjadinya ketergantungan, melalui proses bertahap dan

banyak faktor yang mempengaruhi, serta akibat yang ditimbulkan pada fase

ketergantungan akan sangat berdampak buruk baik pada diri si pemakai

maupun pada lingkungan sekitarnya.

4. Akibat penyalahgunaan NAPZA

a. Kerugian bagi diri sendiri

Menggunakan NAPZA dalam jumlah yang banyak dan cukup lama, akan

sangat berpengaruh pada susunan syaraf pusat (Hikmat, 2008: Martono &

Joewana, 2006; dan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif). ¶

15, http://zene.wordpress.com, diperoleh tanggal 13 Jun 2008). Secara

patologis dapat dijelaskan sebagai berikut:

NAPZA berpengaruh pada bagian otak yang bertanggung jawab atas


kehidupan perasaan, yang disebut sistem limbus. Hipotalamus- pusat
kenikmatan pada otak adalah bagian dari sistem limbus. NAPZA
menghasilkan perasaan ‘high’ dengan mengubah susunan biokimia
molekul pada sistem otak yang disebut neuro-transmitter, sedangkan
otak bekerja dengan motto jika merasa enak lakukanlah (Martono &
Joewana, 2006, hlm 7)

Terganggunya susunan syaraf pusat atau otak akan mengakibatkan

gangguan pada daya ingat, perhatian, perasaan, peresepsi, dan motivasi

(Hikmat, 2008). Sehingga pemakainya akan mudah lupa, sulit konsentrasi,

tidak dapat bertindak rasional dan kompulsif, memberi perasaan semu atau

khayal, keinginan dan kemauan belajar merosot, persahabatan rusak, dan

cita-cita semula padam. Selain itu NAPZA juga mampu mengubah

kepribadian pemakai (Remaja Sebagai Target Napza, ¶24,

http://ceria.bkkbn.go.id, di peroleh tanggal, 12 Februari 2009), Selain

mengganggu pada organ susunan


23
syaraf pusat dan kepribadian penggunanya, NAPZA juga dapat

menyebabkan intoksikasi (keracunan), over dosis (OD), gejala putus zat,

dan berulang kali kambuh (Utamadi. NAPZA, kenapa bahaya. ¶8,

httpwww.geocities.com, di peroleh tanggal 05 September 20008).

Berulang kali kambuh, yaitu ketergantungan yang menyebabkan craving

(rasa rindu pada NAPZA), walaupun telah berhenti pakai NAPZA

(Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif). ¶11, http://zene.wordpress.com,

diperoleh tanggal 13 Jun 2008). Craving tersebut meliputi NAPZA dan

perangkatnya, kawan-kawannya, suasana, dan tempat-tempat

menggunakannya dahulu mendorongnya untuk menggunakan NAPZA

kembali, sehingga pemakai akan berulang kali kambuh, bahkan

persentasenya cukup tinggi seperti pernyataan sebagai berikut:

Tingkat relaps (kembali menjadi penderita ketergantungan obat)


tinggai sekali. Dr. Bambang Eka, mengatakan pasiennya mengalami
relap sebesar 90%. Kejadian relaps ini sebenarnya tidak hanya
terjadi di Indonesia, di Australia pun yang mempunyai pelayanan
kesehatan yang maju, dan pusat-pusat konseling mengenai drug juga
mengalami hal yang sama. Dave Burrows, ahli pengurangan dampak
buruk dari pengguna NAPZA Australia mengatakan bahwa terjadi
hal yang sama tingkat relapsnya hampir 90% (Kompas, 2006, hlm.
126)

Besar akibat yang ditimbulkan oleh sifat zat NAPZA pada organ tubuh

pengguna, terutama karena menyerang susunan syaraf pusat sebagai inti

dari roda kehidupan pada manusia. Begitupun dengan pengaruh terhadap

kehidupan sosial yang diakibatkannya, dimana perjalanan seorang pecandu

NAPZA antara lain pulih kembali dengan segala risiko yang mungkin

menimpanya, meninggal dunia, atau dipenjara.


24
b. Kerugian sosial

Selain sangat merugikan kondisi tubuh bagi pemakai secara pribadi,

penyalahgunaan NAPZA dapat mengakibatkan kepada kehidupan sosial

pemakai terhambat (Hikmat, 2008). Pemakai NAPZA akan mengalami

berbagai kendala dalam menjalani hidup, baik dalam hidup bermasyarakat

maupun dalam meniti karier. Secara umum ada beberapa hal yang dapat

mendera kehidupan sosial pemakai napza berkaitan dengan kehidupan

bermasyarakat dan berkarier, diantaranya: prestasi belajar menurun, prestasi

bekerja merosot, keluarga berantakan, dikucilkan, kecelakaan, dipenjara,

kehilangan akal sehat, dan mati tidak terhormat.

NAPZA sangat merugikan kesehatan, karena secara langsung efeknya

mempengaruhi susunan syaraf pusat sehingga kerja otak terganggu dan

keadaan jiwanya tidak stabil (Purwanto,2007). Apabila terjadi pada pelajar,

maka pelajar tidak akan dapat menerima, mengerti, dan memahami

pelajaran dengan baik yang diberikan oleh guru atau dosen (Hikmat, 2008).

Jika terjadi pada pada karyawan, karyawan tersebut tidak akan mampu

bekerja dengan baik, bahkan ketika sedang berkendaraan, akan tidak dapat

mengontrol situasi dan berkonsentrasi, sehingga dapat terjadi kecelakaan

lalu lintas (Fachril, 2007). Karena tidak stabil dan dapat kehilangan akal

sehat, mengakibatkan tidak dapat berpikir dan berbicara dengan wajar, sulit

diajak bicara dan bekerjasama, sehingga orang tersebut dapat dikategorikan

orang gila, berarti suram masa depan pengguna NAPZA (NAPZA

(Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif). ¶ 6, http://zene.wordpress.com,

diperoleh tanggal 13 Jun 2008).


25
Masa depan yang suram membayangi pengguna NAPZA, dimana kondisi

keluarga jadi berantakan, karena orang yang sudah terpengaruh NAPZA

akan berperilaku semena-semena, mereka tidak akan lagi menghormati

sesamanya (Hikmat, 2008). Konsep menghormati yang lebih tua dan

menyayangi yang lebih muda sudah lenyap dari memori hidupnya.

Karenanya sangat sering menjadi penyulut perselisihanan karena hal-hal

sepele. Selain itu pemakai NAPZA tidak ragu-ragu untuk berbohong

meminta uang guna NAPZA, jika tidak diberi uang marah-marah atau

mengamuk dirumahnya (Indrawan, 2007). Bahkan ketika tubuhnya sudah

tidak mampu menahan keinginan untuk mengkonsumsi NAPZA, mencuri

pun dilakukannya. Semakin hari hubungan dengan keluarga semakin jauh,

bisa jadi hubungan keluarga pun putus karena keluarganya melaporkan

tindakan kriminalnya kepada polisi.

Masyarakat tidak dapat membenarkan penyalahgunaan NAPZA, semua

agama melarang menyalahgunakan NAPZA, oleh karena akibat yang

ditimbulkannya (Penyalahgunaan narkotika, ¶1, http://www.mui.or.id,

diperoleh tanggal 04 Desember 2007). Para pemakai NAPZA akan disebut

sampah masyarakat, dan para orang tua dipastikan akan melarang anak-

anaknya untuk bergaul dengan pemakai NAPZA. Teman-teman sekolahnya

pun akan menjauhi karena tingkah laku pemakai NAPZA sering tidak tahu

diri dan memalukan. Semua sekolah dan perguruan tinggi bahkan juga

perusahaan mulai mengeluarkan kebijakan untuk mengisolasi para pemakai

NAPZA (Martono & Joewana, 2006). Pada setiap penerimaan siswa,

mahasiswa dan karyawan baik negri maupun swasta dalam penerimaan


26
karyawannya memastikan untuk tidak menerima karyawan sebagai pemakai

NAPZA.

Selain tidak diakui masyarakat, diharamkan agama, masa depan suram,

penyalahgunaan NAPZA sangat dimusuhi oleh bangsa dan negara. Hampir

seluruh bangsa dan negara di dunia menyatakan perang terhadap NAPZA.

Di Indonesia penyalahgunaan NAPZA merupakan perbuatan melanggar

hukum, sesuai dengan bunyi undang-undang Republik Indonesia No. 22

Tahun 1997 tentang narkotika dan undang-undang Republik Indonesia No.

5 tahun 1997 tentang Psikotropika (Martono & Joewana, 2006, dan Hikmat,

2008). Dalam undang-undang itu secara umum disebutkan bahwa setiap

yang melakukan pelanggaran, yakni menyalahugnakan NAPZA akan

dikenakan tindakan pidana penjara dan denda bahkan hukuman mati.

Meninggal adalah hukum alam yang tidak dapat dihindari, karena mati

adalah hak setiap yang bernyawa, baik pecandu mauapun orang-orang yang

baik sekalipun. Meninggal karena NAPZA adalah akhir perjalanan hidup

yang paling tragis, karena didunia hidup kesakitan dan kebingungan serta

dibenci masyarakat, di akhirat medapatkan tempat dineraka jahanan. Racun

NAPZA yang dinikmatinya selama beberapa saat dapat mengakibatkan ia

mati tidak terhormat dan terhina (Fachril, 2007). Ia tidak memiliki

kenangan manis buat yang hidup. Bahkan ada masyarakat yang bersyukur

atas kematiannya, dikarenakan pemakai NAPZA selama hidupnya selalu

menyusahkan oranag lain.


27
5. Faktor yang berpengaruh terhadap penyalahgunaan NAPZA pada remaja

Remaja sebagai makhluk bio, psiko, sosial, dan spiritual (Neuman, 1989

dalam Meleis, 1997), berada pada masa transisi, yaitu peralihan dari masa

kanak-kanak menjadi dewasa, pada masa ini disebut juga sebagai fase

pancaroba. Pada fase pancaroba ini remaja mulai mencari identitas dirinya.

Identitas diri adalah kepastian posisi sosial dalam lingkup pergaulan dimana

seseorang berada (Kompas, 2006). Remaja dalam mencapai kesehatannya

secara garis besar di pengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, perilaku,

pelayanan kesehatan, dan gen (Blum, 1974 dalam Notoatmodjo, 2003).

Menurut teori Green (1980, dalam Notoatmodjo, 2003) mengatakan bahwa

terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi remaja beresiko

menyalahgunakan NAPZA, sebagai hasil dari interaksi antara remaja

dengan lingkungannya (Sadli (1982) dalam Notoatmodjo, 2003). Ketiga

faktor tersebut yaitu faktor predisposisi, faktor kontribusi, dan faktor

pencetus.

a. Faktor predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup semua yang ada pada diri remaja. Remaja

sebagai makhluk yang terdiri dari biologis, psikologis, sosial dan spiritual

yang banyak mengalami perubahan perkembangan baik fisik, sosia, dan

mental- emosional-spiritual. Yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin,

pendidikan, dan pekerjaan.

1. Biologis

Pertumbuhan fisik yang sangat pesat pada masa remaja awal ternyata

berdampak pada kondisi psikologis remaja, baik putri maupun putra yaitu
28
canggung, malu, dan kecewa adalah perasaan yang umumnya muncul

pada saat itu (Latifah, 2008). Hampir semua remaja memperhatikan

perubahan pada tubuh serta penampilannya. Ada tiga jenis bangun tubuh

yang menggambarkan tentang citra jasmani, yaitu endomorfik,

mesomorfik dan ektomorfik. Endomorfik banyak lemak sedikit otot

(padded). Ektomorfik sedikit lemak sedikit otot (slender). Mesomorfik

sedikit lemak banyak otot (muscular). Perubahan fisik dan perhatian

remaja berpengaruh pada citra jasmani (body image) dan kepercayaan

dirinya (self-esteem).

Remaja yang mempunyai citra diri negatif dalam mengatasi kurang

percaya dirinya berisiko dengan menyalahgunakan NAPZA sebagai

akibat dari pelariannya. Tahapan remaja memulai menggunakan

NAPZA menurut psikolog Kendal (1985) terdapat lima tahapan yaitu, 1)

remaja meminum alkohol, dapat dalam bentuk bir atau anggur, 2)

menghisap rokok, 3) meminum minuman keras, 4) mengisap ganja, dan

5) mencoba menggunakan NAPZA lainnya. Dari kelima tahap tersebut

tidak lepas dari karakteristik remaja yang selalu mempunyai keinginan

besar untuk mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya.

2. Sosial

Sosial dapat diartikan yaitu berkenaan dengan sifat sosial (Hartono,

2001), penyalahgunaan NAPZA pada remaja disebabkan oleh faktor

sosial baik internal maupun eksternal. Faktor internal adalah

kepribadian remaja sendiri seperti: keinginan coba-coba, ingin

diterima, ikut trend,


29
cari kenikmatan sesaat, cari perhatian sensasi, ikut tokoh idola

(Wresniwiro, et. All. 2005). Rasa solidaritas yang tinggi terhadap

teman, menyebabkan remaja tidak mampu menolak ajakan teman,

bahkan rokok dilambangkan sebagai media persahabatan, dan alkohol

dilambangkan sebuah kejantanan. Sedangkan faktor eksternal yaitu

faktor dari luar individu yaitu hubungan atau interaksi dengan

lingkungannya. Seperti yang dijelaskan dibawah ini:

Keluarga

Remaja

Masyarakat sekolah

Perilaku menyimpang (penyalahgunaan


NAPZA) Skema 2.2 (Hawari, 2002)

Mekanisme perilaku menyimpang pada remaja dalam kehidupan


sehari-hari berada dalam tiga kutub, yaitu kutub keluarga, sekolah,
dan masyarakat. Kondisi masing-masing kutub dan interaksinya
antara ketiga kutub itu, akan menghasilkan dampak yang positif
maupun negative pada remaja. Dampak positif misalnya prestasi
sekolahnya baik ... (Hawari, 2002, hlm 84).
30
Dampak negative dari interaksi lingkungan yang ikut menjadi penyebab

seorang anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain

adalah:

1) Lingkungan keluarga, dalam hal ini, Kominikasi orang tua-anak kurang

baik/efektif, hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam

keluarga, orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh, Orang tua otoriter atau

serba melarang, orang tua yang serba membolehkan (permisif), kurangnya

orang yang dapat dijadikan model atau teladan, orang tua kurang peduli dan

tidak tahu dengan masalah NAPZA, tata tertib atau disiplin keluarga yang

selalu berubah (tidak konsisten), kurangnya kehidupan beragama atau

menjalankan ibadah dalam keluarga, dan orang tua atau anggota keluarga

yang menjadi penyalahguna NAPZA. 2) Lingkungan sekolah, antara lain

lingkungan sekolah yang kurang disiplin, sekolah yang terletak dekat

tempat hiburan dan penjual NAPZA, sekolah yang kurang memberi

kesempatan pada siswa untuk mengembangkan diri secara kreatif dan

positif, dan adanya murid pengguna NAPZA. 3) Lingkungan masyarakat,

meliputi: lemahnya penegakan hukum, situasi politik, sosial dan ekonomi

yang kurang mendukung (Mengenal Napza dan Penyalahgunaannya.

http://smallcrab.com/, diperoleh tanggal 30 Juni 2009). Interaksi dengan

lingkungan pada pengguna NAPZA dikenal dan dijelaskan oleh beberapa

persepektif teori.

Marlatt dkk (dalam Heaven, 1996) mengemukakan bahwa perspektif

teoritis yang mendasari penelitian tentang penyalahgunaan NAPZA secara

psikososial yaitu dikenal dengan perspektif prediktor psikososial (Sekilas

Tentang Teori Napza http://www. « Wild76’s Weblog.mht, diperoleh tanggal,


08 September 2008). Perspektif prediktor psikososial mendasarkan pada
31
argumen bahwa ada sejumlah faktor psikososial yang berpengaruh dalam

penyalahgunaan NAPZA. Sosial pada diri remaja tersebut sebagai salah

satu faktor predisposisi menyalahgunakan NAPZA.

Perspektif psikososial tentang penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA

juga dijelaskan berdasarkan perspektif yang dikemukakan oleh Nevid, dkk

(1997). Perspektif sosiokultural masalah penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA dihubungkan dengan faktor-faktor budaya dan

agama. Tingkat penyalahgunaan NAPZA sangat erat kaitannya dengan

norma-norma sosial dan budaya yang mengatur perilaku individu.

Kebiasaan minum alkohol ditentukan oleh dimana dan dengan siapa

individu tinggal. Individu yang tinggal di lingkungan budaya yang permisif

terhadap penggunaan alkohol maka kecenderungan individu untuk

menggunakan alkohol juga tinggi. Dan hampir mirip dengan teori belajar

sosial.

3. Spiritual

Spirituality atau kepercayaan spiritual adalah kepercayaan dengan sebuah

kekuatan yang lebih tinggi dari kekuatan pencipta, sesuatu yang bersifat

Tuhan, atau sumber energi yang tidak terbatas (Patrio, 2008). Spirituality

adalah suatu yang dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman

hidup kepercayaan dan nilai kehidupan. Spiritualitas mampu menghadirkan

cinta, kepercayaan, dan harapan, melihat arti dari kehidupan dan

memelihara hubungan dengan sesama (Perry Potter, 2003). Sedangkan

Hartono (2001) mengemukakan bahwa spiritual adalah sistem kepercayaan

yang religius atau non religius (sekuler) yang dipilih oleh seseorang sebagai
pedoman
32
pribadinya untuk mengatasi pelbagai masalah moral dan membuat

perjuangan serta eksistensi manusia dapat di mengerti. Jadi spiritual dapat

diartikan hubungan antara individu dengan penciptanya baik melalui tata

cara atau keyakinan langsung, yang secara otomatis menjadi spirit dalam

hidupnya.

Istilah spiritual artinya berhubungan dengan roh atau spirit. Religius artinya

berhubungan dengan religi atau agama. Pengalaman religius adalah

pengalaman batin yang dialami dalam beragama, antara lain yang terjadi

dalam ibadah agama (Widi, 2008). Manusia lahir telah membawa fitrah

keagamaan, fitrah baru berfungsi dikemudian hari melalui proses bimbingan

dan latihan setelah berada pada tahap kematangan (Jalalludin, 2005).

Manusia adalah makhluk teomorfis yang dianugrahi akal, dengan akal itu

dapat membawa manusia sampai kepada keyakinan mengenai ke-Esaan

Tuhan. Akan tetapi kendati pun manusia makhluk teomorfis, manusia juga

dianugrahi sifat pelupa dan acuh-tak acuh karena itu harus selalu diberi

peringatan. Agama merupakan suatu faktor terpenting dalam hidup

seseorang dalam memberi peringatan (Fauzi, 2007).

Agama menentukan orientasi hidup manusia, baik individu maupun hidup

bermasyarakat. Hal tersebut sangat penting dalam memberi dasar untuk

menentukan mana yang baik atau buruk, boleh atau tidak, halal atau haram.

Sesuai hasil penelitian (Moore, 1990 dalam Adiningsih, 2002)

memperlihatkan bahwa remaja yang komitmen agamanya lemah

mempunyai risiko empat kali lebih tinggi untuk terlibat penyalahgunaan

NAPZA. Seharusnya secara empirik agama dapat dipandang sebagai


kontrol sosial.
33
Kontrol sosial yang dimaksud adalah seluruh pengaruh kekuatan yang

menjaga terbinanya pola-pola kelakuan dan kaidah-kaidah sosial milik

masyarakat (Jalalludin, 2005). Dengan demikian remaja yang berada pada

fase transisi yang banyak di pengaruhi oleh lingkungan, dapat menjaga

keseimbangan dalam melalui masa transisi tersebut, sehingga remaja tidak

harus terjerumus menggunakan NAPZA.

Menurut Dewey dalam Fauzi (2007) hilangnya keseimbangan dan ketidak

mengertian tentang makna hidup menyebabkan manusia modern menjadi

manusia primitif dalam menguasai dan menaklukkan dirinya. Agama yang

dilaksanakan dengan benar seharusnya akan membuat seseorang mampu

mengendalikan dirinya, termasuk untuk tidak terjerumus menggunakan

NAPZA. Walaupun saat ini belum sepenuhnya sesuai dengan yang

diharapkan, terbukti dengan hasil penelitian bahwa individu yang rajin dan

taat beribadah tidak menjamin terbebas dari penyalahgunaan Narkoba. Ada

sekitar 6% dari mereka yang mengaku selalu dan rutin beribadah pernah

pakai NAPZA, baik di kota maupun kabupaten tapi mereka yang

menyatakan jarang atau tidak pernah beribadah, ternyata dua kali lebih

besar angka penyalahgunaan NAPZA dibandingkan mereka yang rutin atau

rajin beribadah (Puslitbang & Info Lakhar BNN (2006).

http://www.bnn.go.id, diperoleh tanggal 12 Februari 2009).

Bisa jadi hal tersebut diatas karena kematangan beragama pada remaja pada

umumnya terjebak diantara dua tipe beragama, ekstrim berlebihan dan

peremehan yang terus menerus (Ridho, 2005). Hal ini yang membuat

remaja
34
kadang mengabaikan keyakinannya bahwa menyalahgunakan NAPZA

haram hukumnya (Penyalah gunaan narkotika, ¶1, http://www.mui.or.id,

diperoleh tanggal 04 Desember 2007). Hasil survei BNN (2006) kasus

penyalahgunaan NAPZA hampir separuh penyalahguna yang pernah pakai

NAPZA menyatakan kadang-kadang beribadahnya (46%), terutama di

SLTA. Menariknya ada sekitar 44% yang pernah penyalahguna narkoba di

PT menyatakan selalu dan rutin melakukan ketaatan beribadah. Di

kabupaten mereka yang menyatakan selalu dan rutin beribadah lebih tinggi

dibandingkan di kota (Puslitbang & Info Lakhar BNN (2006).

http://www.bnn.go.id, diperoleh tanggal 12 Februari 2009). Justru peran

agama adalah untuk bertanggung jawab atas adanya norma-norma religius

yang diberlakukan atas manusia pada umumnya (DeFrain, (1987) dalam

Adiningsih, 2002).

Agama sering disamakan dengan spiritual, padahal ada perbedaan dari

keduanya. Spiritualitas adalah inti dari agama (dalamnya), sedangkan

agama adalah bentuk luarnya. Spiritualitas adalah manfaat produk yang kita

nikmati, sedangkan produk dan kemasannya adalah agama. Spiritualitas

merupakan nilai-nilai universal, sedangkan agama itu bungkusan berbagai

latar belakang budaya dan kecerdasan manusia setempat. Namun demikian,

keduanya tidak terpisahkan. Spiritualitas perlu simbol dan bungkus agar

bisa menempati peradaban manusia, sebaliknya agama tanpa spiritualitas

akan menjadi kumpulan ajaran dan tatacara yang mati (Patrio, 2008).

Element-elemen spiritual yang sering ditemukan di literature meliputi sehat

spiritual, kebutuhan spiritual dan kesadaran spiritual (Perry & Potter, 2005).
35
Ketiga elemen tersebut yang besar kontribusinya dalam membentengi

remaja menyalahgunakan NAPZA adalah kesadaran spiritual yang akan

timbul saat seseorang dihadapkan pada kebutuhan spiritual dan pencarian

identitas, saat mempertahankan nilai-nilai dan keyakinan atau kepercayaan

yang tergeneralisasi dalam menjalankan ibadah yang diyakininya (Patrio,

2008). Sedangkan kontribusi faktor spiritual terhadap peningkatan

penyalahgunaan NAPZA pada remaja disebabkan oleh: 1) tumbuh dan

berkembangnya kesadaran agama, 2) banyaknya orang tidak memperoleh

kebutuhan yang seharusnya tidak diterima, dan 3) masa remaja adalah masa

yang sedang mengalami masa pacaroba (Jalalludi 2005).

Tumbuh dan berkembangnya kesadaran agama (religious consciouness) dan

pengalaman beragama (religious exsperience), ternyata melalui proses yang

gradual, tidak sekaligus. Pengaruh luar sangat berperan dalam menumbuh-

kembangkannya, khususnya pendidikan (Jalalludin, 2005). Banyaknya

orang tidak memperoleh kebutuhan yang seharusnya diterima, yaitu

penerimaan tanpa syarat, keakraban, rasa aman, makna dan tujuan hidup,

kemandirian serta kegembiraan (Martono & Joewana, 2006), ditambah

karena remaja berada pada fase pancaroba secara psikologis masih labil dan

emosional, dengan ketidak mampuan mengatasi masalah dan toleransi

terhadap stress, frustrasi serta keyakinan-keyakinan salah atau keliru, timbul

cemas, marah, kesepian, depresi, yang menjadi pemicu untuk mencari

pemuasan, pelepasan, dan rasa nyaman dengan mengkonsumsi NAPZA

(BNN, Jangan ada lagi korban Narkoba, 2008).


36
4. Usia

Keadaan transisi pada remaja selalu menimbulkan gejolak, goncangan, dan

benturan, yang kadang-kadang berakibat sangat buruk bahkan fatal

(mematikan). Penyalahgunaan NAPZA pada remaja terbukti sesuai dengan

hasil penelitian Hawari (1990) di peroleh data bahwa pada umumnya kasus

penyalahgunaan NAPZA dilakukan pada usia remaja antara umur 13 tahun

sampai dengan 19 tahun. Sedangkan data ini berasal dari hasil survei

nasional yang dilakukan BNN bahwa penyalahgunaan NAPZA usia 10

sampai dengan 19 tahun menjadi kelompok pengkonsumsi NAPZA

tertinggi di Indonesia (Majalah Inspire Kids. Narkoba, Musuh Anak dalam

Selimut. ¶2, http://portal.cbn.net.id/, di peroleh tangga, 04 Desember 2007).

Pada usia 10 tahun dapat diprediksi remaja masih duduk di kelas 4 SD.

5. Jenis kelamin

Jenis kelamin yaitu sesuatu yang mengkondisikan perbedaan gender pada

remaja. Saat ini penyebaran penyalahgunaan NAPZA berdasarkan catatan

Kementerian Pemberdayaan Perempuan yang didapatkan bahwa

penyalahgunaan NAPZA sudah lintas usia, gender, dan status,” kata

Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta” (05 Desember, 2007)

Sindo, hal 1 & 3). Dibuktikan dengan data dari Wisma Adiksi, salah satu

pusat rehobilitasi NAPZA di Jakarta. Sampai 11 mei 2002 tercatat 37 pasien

laki-laki dan 9 orang perempuan sebagai korban NAPZA (Remaja Sebagai

Target Napza, ¶5, http://ceria.bkkbn.go.id, di peroleh tanggal, 12 Februari

2009).
37
6. Tingkat pendidikan

Diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok dengan cut off point wajib

belajar 9 tahun sesuai dengan UU No.20 thn 2003 tentang Pendidikan

Nasional. Sesuai hasil penelitian peneliti Jepang, Yamaguchi dan Kendal

(1984 dalam Hikmat, 2008) meneliti anak SMU kelas satu dan dua selama

sepuluh tahun, dengan hasil bahwa urutan siswa SMU mulai menggunakan

NAPZA, remaja memulai mencoba alkohol dan rokok sebesar 70% pada

pria dan sebesar 55% pada wanita. Kemudian mereka menggunakan ganja

sebesar 67% pada pria dan sebesar 72% pada wanita. Selain itu sekitar

sebesar 20% dari remaja telah mencoba beberapa bentuk amphetamine,

seperti: speed, upper, meth, atau dex, stimulan ini kebanyakan berbentuk

pil.

Walaupun demikian, penyalahgunaan NAPZA jenis kokain pada remaja

dunia terjadi penurunan secara drastis, yaitu dari 4,8% siswa SMU di dunia

yang rata-rata telah mencoba kokain, hanya 1,6%-nya yang masih memakai

(Johnston, O’Malley, dan Bachman, 1989). Penurunan tersebut disebabkan

oleh karena adanya penerangan bahaya menggunakan NAPZA, sehingga

remaja semakin tambah sadar bahwa, suatu saat obat-obatan tersebut bisa

membunuh mereka dan banyak remaja yang berminat untuk tidak mencoba

kokain.

Jakarta tahun 2000, diduga ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang

menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di

dalamnya (Remaja Sebagai Target Napza, ¶4, http://ceria.bkkbn.go.id, di

peroleh tanggal, 12 Februari 2009). Banyaknya peredaran NAPZA


disekolah
38
membuat sekolah harus lebih waspada dalam melindungi siswanya untuk

tidak terjebak menggunakan NAPZA. Sudah menjadi tugas UKS (usaha

kesehatan sekolah) sebagai unit usaha kesehatan sekolah melalui berbagai

upayanya untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam

lingkungan yang sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan

berkembang secara harmonis dan optimal, menjadi sumber daya manusia

yang lebih berkualitas (Portal Kesehatan Remaja.

http://www.smkn2smi.com/UKS, diperoleh tanggal 30 Juni 2009).

Siswa belajar dengan efektif memerlukan kesehatan yang baik, diharapkan

sekolah harus menjadi tempat yang dapat meningkatkan atau

mempromosikan derajat kesehatan peserta didiknya. Konsep inilah yang

oleh Organisasi Kesehatan Dunia disebut dengan menciptakan “Health

Promoting School” (HPS) atau Sekolah Promosi Kesehatan, tentunya

dengan melibatkan semua pihak yang berkaitan dengan masalah kesehatan

sekolah, yaitu peserta didik, orang tua, dan para tokoh masyarakat maupun

organisasi-organisasi di masyarakat (Portal Kesehatan Remaja.

http://www.smkn2smi.com/UKS, diperoleh tanggal 30 Juni 2009).

Beberapa masalah kesehatan yg dapat dikurangi melalui UKS, Merokok,

Alkohol dan Penyalahgunaan NAPZA.

b. Faktor kontribusi

Pada faktor kontribusi remaja menggunakan NAPZA lebih kepada lingkungan

keluarga, meliputi: kondisi keluarga, keutuhan keluarga, kesibukan orang tua

dan kesibukan interpersonal didalam keluarga itu sendiri. Teori belajar sosial

menekankan pentingnya peran model (role model) (Nevid, dkk, 1997). Individu
39
yang tinggal dalam keluarga alkoholik mengalami peningkatan resiko

alkoholisme karena ia belajar secara terus menerus dengan mengamati perilaku

orang tuanya atau saudaranya yang juga alkoholik. Demikian pula individu

yang tinggal bersama kelompok sosial dengan pemimpin yang alkoholik maka

tingkat resiko menjadi alkoholikpun menjadi bertambah karena ia belajar dari

pemimpinannya dan cenderung mengikuti pemimpinnya untuk juga

menggunakan alkohol. Sedangkan penangannya salah satunya dengan

pendekatan model psikososial (Martono & Joewana, 2006).

Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi

Kepolisian Jakarta tahun 1995 (Remaja Sebagai Target Napza, ¶9,

http://ceria.bkkbn.go.id, di peroleh tanggal, 12 Februari 2009), terdapat beberapa

tipe keluarga yang berisiko tinggi (remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA.

Keluarga yang dimaksud adalah keluarga yang memiliki riwayat

ketergantungan NAPZA, keluarga dengan aturan yang tidak konsisten

(misalnya, ayah bilang ya, tetapi ibu bilang tidak), dan keluarga yang sering

konflik baik antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar

saudara. Selain itu juga keluarga dengan orang tua yang otoriter atau keluarga

yang tidak pernah memberikan kesempatan pada anak untuk berdialog.

Demikian juga keluarga yang selalu menuntut kesempurnaan dan keluarga yang

selalu diliputi kecemasan.

c. Faktor pencetus

Faktor pencetus remaja menggunakan NAPZA bisa dipengaruhi oleh teman

sebaya (peer group), dan kemudahan memperoleh NAPZA itu sendiri.

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, dengan cara


remaja
40
seusianya untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok.

Bila remaja tidak bisa berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih popular

atau yang berprestasi, dapat menyebabkan frustrasi sehingga ia mencari

kelompok lain yang dapat menerimanya (Remaja Sebagai Target Napza, ¶12,

http://ceria.bkkbn.go.id, di peroleh tanggal, 12 Februari 2009).

Hsil penelitian yang dilakukan oleh Oetting dan Beauvais (1987 dalam Hikmat,

2008) terhadap 415 remaja dari komunitas Midsize Western, menunjukkan

hasil bahwa faktor-faktor sosial yang berpengaruh secara langsung terhadap

keterlibatan remaja dalam penyalahgunaan NAPZA adalah kelompok teman

sebaya yang kecil, dan kelompok teman sebaya yang kohesif yang membentuk

sejumlah perilaku termasuk dalam penyalahgunaan NAPZA. Sementara faktor-

faktor sosialisasi yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap keterlibatan

remaja dalam penyalahgunaan NAPZA adalah identifikasi religiusitas, dan

penyesuaian diri di sekolah.

Saat ini kesempatan untuk mendapatkan NAPZA relatif mudah, bahkan sampai

SD. Lingkungan masyarakat yang masih bersikap tak acuh seolah membiarkan

penyalahgunaan NAPZA. Faktor lainnya adalah lemahnya penegakan hukum di

Indonesia (Remaja Sebagai Target Napza, ¶13, http://ceria.bkkbn.go.id, di

peroleh tanggal, 12 Februari 2009).


41
B. Remaja

1. Pengertian

Hamid (1999) mengungkapkan remaja adalah individu yang berada pada

rentang usia 12 tahun sampai dengan 18 tahun. Hurlock (1990) membagi

masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 tahun) dan masa

remaja akhir (16 hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan

oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai

transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa . Huckenberry

(2003) menggolongkan remaja menjadi fase remaja awal antara usia 11

sampai 14 tahun, fase remaja pertengahan antara usia 15 sampai 17 tahun,

dan fase remaja akhir yaitu antara usia 18 sampai 20 tahun. Sedangkan

WHO dalam Hikmat (2008) menggolongkan usia 10 sampai 19 tahun

sebagai kelompok remaja. Para ahli sependapat bahwa variasi batasan usia

remaja lebih mencerminkan kepada fase transisi perubahan yaitu masa

transisi dari anak- anak menuju dewasa, dan masa ini merupakan masa yang

rentan terhadap berbagai masalah, hal ini dikarenakan kepribadian remaja

yang masih labil, emosi yang masih belum menentu, ditambah kondisi

lingkungan global (Hikmat, 2008). Bahkan Rais (1983) menyebut masa

remaja adalah masa yang sulit dalam daur kehidupan manusia.

2. Perubahan yang terjadi pada remaja

Ada dua pandangan teoritis tentang remaja menurut Hall dalam Latifah

(2008). Pandangan teoritis pertama: remaja adalah masa di mana terjadi

perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang

yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang

bersangkutan,
42
serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung,

1987). Freud dan Erikson meyakini bahwa perkembangan di masa remaja

penuh dengan konflik. Keyakinan ini tercermin dari teori mereka tentang

perkembangan manusia. Sedangkan pandangan teoritis yang kedua, masa

remaja bukanlah masa yang penuh dengan konflik seperti yang

digambarkan oleh pandangan yang pertama. Banyak remaja yang mampu

beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi pada remaja, serta

mampu beradaptasi dengan baik terhadap perubahan kebutuhan dan harapan

dari orang tua dan masyarakatnya (Latifah, 2008).

Pertumbuhan dan perkembangan remaja sedang berada pada masa transisi

dari anak-anak menjadi dewasa, pada masa transisi biasanya banyak sekali

perubahan yang terjadi, dan dapat berdampak positif atau negatif. Remaja

dengan sifat tertentu mempunyai risiko lebih besar menjadi pengguna

NAPZA dikemudian hari bila tidak dilakukan intervensi antisipasi untuk

memperkecil risiko tersebut. Masa remaja ditandai dengan perubahan yang

relatif pesat, baik jasmani, mental-emosional, maupun kehidupan sosial

remaja (Joewana, 2005). Perubahan tersebut adalah alami yang akan dilalui

oleh remaja dan di pengaruhi oleh lingkungannya.

a. Perubahan jasmani

Pertumbuhan fisik (tinggi dan berat badan) yang sangat pesat terjadi pada

usia remaja yang dikenal dengan istilah growth spurt (Latifah, 2008).

Growth spurt merupakan tahap pertama dari serangkaian perubahan yang

membawa seseorang kepada kematangan fisik dan seksual. Sedangkan

pubertas adalah
43
periode pada masa remaja awal yang dicirikan dengan perkembangan

kematangan fisik dan seksual sepenuhnya (Seifert & Hoffnung, 1987).

Perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan menjadi semakin nyata. Pada

laki- laki mulai tumbuh kumis, cambang, pubes (bulu dekat genital),

suaranya “pecah” sebelum menjadi lebih “berat”, otot-otot menjadi lebih

besar, tulang- tulang menjadi lebih kekar, mulai mengalami mimpi basah

atau polutio. Pada perempuan timbunan lemak dipantat mulai tampak,

payudara mulai membesar, suara tidak banyak mengalami perubahan, kulit

menjadi halus, otot dan tulang membesar, tetapi tidak sekekar dan sebesar

pada laki-laki, serta mulai mendapat menstruasi.

Segala perubahan tersebut pada remaja dapat menimbulkan keresahan,

ketegangan dan kebingungan (Joewana, 2005). Bila perkembangan

jasmaninya lebih pesat dari perkembangan jiwanya, bisa terjadi

kebingungan dalam hal memilih teman bermain. Di satu sisi, badanya sudah

membesar membuat ia malu bermain dengan anak-anak yang badannya

jauh lebihi kecil dari dirinya, padahal ia masih suka main dengan mereka.

Sebaliknya, ia belum merasa cocok untuk bergaul dengan remaja yang

badannya sudah sebesar dirinya. Kebingungan ini bertambah bila sikap

orang tua juga ambivalen. Bila anda membutuhkan pertolongan atau

bantuan, orang tuanya mengatakan bahwa anak sudah besar, tidak pantas

untuk tidak perlu untuk meminta tolong, sebaliknya bila anak meminta

suatu bantuan sesuai unutuk anak remaja, ia dikatakan masih kecil.


44
Kebingungan pada remaja diimbangi dengan konsep belum kematangan

dalam berpikir, sehingga terjadi konflik dalam diri remaja (Remaja (2007) ¶

8, http://rumahbelajarpsikologi.com/html, diperoleh tanggal, 04 April

2009). Dari segi fisik tumbuhnya ciri sek sekunder sering kali mendorong

remaja untuk melakukan eksplorasi alat dan fungsi seksual

(membandingkan dengan genital anak lain, masturbasi), diikuti dengan

perasaan bersalah atau berdosa. Kebingungan ketegangan, kecemasan,

perasaan bersalah atau berdosa, oleh remaja tertentu diatasi dengan

menggunakan zat psikoaktif.

b. Perkembangan mental-emosional

Setelah melewati masa kanak-kanak (usia 6-12 tahun) yang relatif tenang,

masa remaja ditandai dengan masa kehidupan emosi yang lebih bergejolak.

Remaja mulai melonggarkan ikatan emosional dengan kedua orang tuanya

walaupun secara finansial remaja menyadari bahwa dirinya masih

bergantunng kepada orang tua (McMurray, 2003). Melonggarnya ikatan

emosional dengan orang tua memang diperlukan dalam rangka membentuk

identitas diri seseorang (Friedman, 1998). Pada saat itu remaja mulai

meninggalakan sebagian aturan, nilai atau norma yang berlaku dirumah

orang tuanya dan mulai mencari nilai baru dalam kehidupan pertemanan

dengan teman sebayanya.

Salah satu peraturan tidak boleh merokok dirumah mulai ditinggalkan, agar

diakui sebagai manusia yang telah dewasa, remaja akan merokok dan

minum- minuman beralkohol karena kebiaasaan merokok sering dianggap

sebagai lambang kedewasaan dan lambang kejantanan. Minum-minuman


alkohol
45
dianggap melambangkan kehidupan modern. Bahkan dalam iklan sering

digambarkan sebagai lambang keberhasilan. Semangat untuk melakukan

eksplorasi terhadap dunia sekitarnya mendorong remaja untuk melakukan

kegiatan baru dan mengandung risiko berbahaya (Joewana, 2005).

c. Perubahan kepribadian dan sosial

Perkembangan kepribadian yang dimaksud adalah perubahan cara individu

berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan

perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan orang

lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada

masa remaja adalah pencarian identitas diri sebagai suatu proses menjadi

seorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson dalam

Papalia & Olds, 2001). Sedangkan perkembangan sosial pada masa remaja

lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding orang tua, remaja

mulai terjadi perluasan area sosial, yaitu melepaskan keterikatan dengan

oranng tua, dan remaja membutuhkan teman untuk bersosialisasi (Joewana,

2006). Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku

diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan

kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun

penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan

dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).

Dalam rangka melepaskan keterikatan dengan orang tua remaja


membutuhkan teman untuk bersosialisasi, agar dapat diterima dalam
suatu kelompok remaja harus mengikuti aturan kelompok tersebut
yang akan dimasukinya. Bila dalam kelompok tersebut penggunaan
zat psikoaktif merupakan suatu kebiasaan atau bersikap permisif
terhadap penggunaan zat psikoaktif mereka juga akan ikut
menggunakan zat psikoaktif untuk mempermudah interaski sosial
(vehicle of social interaction) (Joewana, 2005, hlm 57).
46
3. Remaja sebagai kelompok risiko menyalahgunakan NAPZA

Risiko dalam bahasa Inggris risk, istilah risiko (risk) dapat juga berarti

bencana atau bahaya yang dapat menimbulkan kerugian bila terjadi (kamus

bahasa Indonesia). Remaja merupakan kelompok risiko yaitu suatu kondisi

yang dihubungkan dengan peningkatan kemungkinan adanya kejadian

penyakit. (McMurray, 2003). Hal ini bukan berarti jika faktor risiko

tersebut ada pasti akan menyebabkan penyakit, tetapi dapat berakibat

potensial terjadi sakit atau kondisi yang membahayakan kesehatan secara

optimal dari populasi. Selanjutnya McMurray (2003) menjelaskan bahwa

remaja merupaka populasi resiko karena beberapa hal:

1. Tahap perkembangan remaja cukup rawan, sehingga perlu antisipasi

dengan cara mencegah timbulnya berbagai masalah baik individu, keluarga,

maupun kelompok.

2. Transisi dari anak-anak menjadi dewasa, dimana remaja mempunyai

karakteristik: suka ingin tahu, suka tantangan, ingin coba-coba sesuatu hal

yang baru, dan ingin mencari identitas diri. Inilah yang sering membuat

remaja gagal menemukan identitas yang sebenarnya.

3. Usia menjadi salah satu faktor risiko, dimana remaja berada pada masa

mencari identitas diri. Remaja mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi,

sehingga akan mencoba sesuatu yang menurutnya menarik dan tidak peduli

dengan akibatnya, maka jika tidak tersedia informasi yang benar akan

mengakibatkan perilaku yang merugikan remaja termasuk

menyalahgunakan NAPZA.

4. Besarnya pengaruh lingkungan fisik, menyebabkan remaja terbawa arus

menyalahgunakan NAPZA.
47
5. Sistem layanan kesehatan yang belum memadai khususnya remaja

dengan NAPZA.

Sedangkan Satanhope & Lancaster, (1996) menjelaskan At risk terdiri dari

beberapa kategori, diantaranya sebagai berikut; 1) Biologic risk, yaitu faktor

genetik atau fisik yang berkontribusi terjadinya resiko menyalahgunakan

pada remaja. 2) Social risk, yaitu faktor kehidupan yang tidak teratur,

tingkat kriminal yang tinggi, lingkungan yang terkontaminasi oleh

pengguna NAPZA. 3) Economic risk, dalam hal ini bisa jadi remaja yang

mempunyai ekonomi berlebihan, sehingga rasa ingin coba-coba terhadap

NAPZA dapat dipenuhi dengan adanya dana. 4) Life-style risk, yaitu

perubahan paradigma remaja terhadap kondisi lingkungan modern, dan 5)

Life-event risk, yaitu kejadian dalam kehidupan yang dapat beresiko

terjadinya masalah kesehatan, seperti; pindah tempat tinggal, adanya

anggota keluaga baru.

Selain itu, Seifert & Hoffnung (1987) mengatakan bahwa remaja memiliki

resiko kesehatan paling tinggi seperti: kecelakaan, alkohol, narkoba, hamil

diluar nikah, kebiasaan makan (diet) dan perilaku hidup sehat yang buruk.

Resiko tinggi pada remaja salah satunya karena pada perkembangan

kognitif masa kanak-kanak yang belum sepenuhnya ditinggalkan oleh

remaja yaitu kecenderungan cara berpikir egosentrisme (Piaget dalam

Papalia & Olds, 2001). Egosentrisme yang dimaksud adalah

ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang orang lain (Papalia

dan Olds, 2001). Elkind (dalam Beyth-Marom et al., 1993; dalam Papalia

& Olds, 2001) mengungkapkan


48
salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal dengan istilah

personal fabel.

Personal fabel adalah suatu cerita yang kita katakan pada diri kita sendiri

mengenai diri kita sendiri, tetapi cerita itu tidaklah benar. Kata fabel berarti

cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta. Personal fabel biasanya berisi

keyakinan bahwa diri seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik

khusus yang hebat, yang diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut

pandang orang lain dan fakta sebenarnya. Papalia & Olds (2001)

menjelaskan personal fable adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka

unik dan tidak terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini

mendorong perilaku merusak diri (self-destructive) oleh remaja yang

berpikir bahwa diri mereka secara magis terlindung dari bahaya. Misalnya

remaja yang mencoba- coba obat terlarang (drugs) berpikir bahwa ia tidak

akan mengalami kecanduan, walaupun kenyataannya menunjukkan hal

yang sebaliknya (Joewana, 2005).

Personal fabel pada remaja sendiri menurut pendapat Elkind dalam Papalia

& Olds (2001) bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability

yaitu keyakinan bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian

yang membahayakan diri, yang merupakan penjelasan berkaitan perilaku

berisiko yang dilakukan remaja (Beyth-Marom, dkk., 1993). Sedangkan

remaja yang berisiko tinggi menyalahgunakan NAPZA adalah remaja yang

tidak berada dalam pengawasana orang tua, tidak bisa berkomunikasi

dengan orang tua, pengendalian dirinya rendah, tidak mau mengikuti aturan

norma dan tata


49
tertib, suka mencari sensasi, bergaul dengan penyalahgunaan narkoba,

merasa dikucilkan dan sulit menyesuaikan diri, dan memiliki anggota

keluarga penyalahgunaan narkoba, serta rendah penghayatan spiritualnya

(Wresniwiro, 2005). Terbukti dengan secara tidak sadar remaja

mengkonsumsi rokok, padahal rokok adalah barang berbahaya yang dapat

menimbulkan berbagai penyakit (kanker, dan penyalit-penyakit pernapasan

lainnya). Rokok seperti halnya ganza, dianggap sebagai gerbang NAPZA

karena remaja yang merokok mempunyai resiko yang lebih besar untuk

mencoba zat adiktif lain yang lebih keras (Hikmat 2008; Purwanto, 2007

dan Fachril, 2007).

Hasil penelitian dan survey yang tergabung dalam BNN, didapatkan bahwa

kebiasaan merokok adalah perilaku awal yang biasanya menjadi pemicu

orang mencoba NAPZA Hasil SPPN’04 menunjukkan bahwa 94 dari 100

responden penyalahguna NAPZA adalah perokok. Angka penyalahgunaan

NAPZA jauh lebih tinggi berlipat kali (40 sampai 100 kali) pada mereka

yang merokok baik pada laki-laki maupun perempuan. Juga terdapat

hubungan signifikan antara penyalahgunaan NAPZA dengan kebiasaan

merokok, yang menunjukkan bahwa risiko penyalahgunaan NAPZA lebih

cendrung terjadi dikalangan pelajar atau mahasiswa yang memiliki

kebiasaan merokok (Puslitbang & Info Lakhar BNN. http://www.bnn.go.id,

diperoleh tanggal 12 Februari 2009).

C. Peran perawat

Remaja merupakan salah satu kelompok risiko tinggi terhadap penyalahgunaan

NAPZA. Perawat komunitas turut bertanggung jawab dalam memberantas dan


50
mengurangi penyalahgunaan NAPZA sesuai dengan falsafah CHN yaitu

membantu klien mencapai tingkat sehat yang tinggi (Helvie, 1991), melalui

upaya promotif dan preventif (McMurray, 2003). Dengan demikian remaja

diharapkan dapat lebih mandiri dalam mencapai keseimbangan dalam

menjalani hidup antara kekuatan dan hambatan, baik internal maupun eksternal

terlebih lingkungan yang paling besar dalam mempengaruhi kualitas

kesehatannnya.

Untuk mencapai kualitas hidup sehat terbebas dari risiko perilaku

penyalahgunaan NAPZA pada remaja, sebagai akibat dari fase remaja yang

sangat labil, di perlukan suatu upaya nyata yang dapat menjauhkan remaja dari

penyalahgunaan NAPZA. Risiko sendiri yaitu suatu kondisi yang dihubungkan

dengan peningkatan kemungkinan adanya kejadian kasus penyalahgunaan

NAPZA (Mc Murray, 2003). Hal tersebut bukan berarti bahwa jika faktor risiko

tersebut ada pasti akan menyebabkan penyakit, akan tetapi dapat berakibat

potensial terjadinya penyalahgunaan NAPZA pada kondisi yang

membahayakan kesehatan secara optimal dari populasi. Peran perawat spesialis

komunitas dalam upaya menekan faktor risiko sangat diharapkan, yaitu dengan

upaya pencegahan yang menurut Leavell dan Clark (1965) dalam Ayer., Bruno.

& Langford (1999) terbagai kedalam 3 prevensi, yaitu prevensi primer,

prevensi sekunder dan prevensi tersier (leavell & Clark, 1965) yang dijelaskan

dibawah ini.

Pada prevensi primer yaitu upaya yang dilakukan adalah melakukan promosi

kesehatan untuk meningkatkan kesadaran keluarga, remaja, dan masyarakat

akan bahaya yang diakibatkan oleh efek NAPZA dapat merusak kesehatan
fisik, mental dan sosial (McCaffrey, 1999), dengan menggunakan prinsip “lebih

baik
51
mencegah remaja menyalahgunakan NAPZA dari pada mengobati atau

menanggulangi remaja menyalahgunakan NAPZA”. Karena mengobati dan

menanggulangi remaja menyalahgunakan NAPZA jauh lebih mahal (Martono

& Joewana, 2006). Kegiatan nyata dari promosi kesehatan harus dengan

berbagai cara, berbagai media dan pendekatan yang lebih menyentuh kepada

masyarakat, sehingga dapat mengenai tujuan dan sasaran yang diharapkan

seefektif dan seefisien mungkin. Berbagai cara dan pendekatan disini dapat

diartikan bahwa, dalam intervensi promosi didasarkan pada faktor-faktor apa

yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan pada remaja. Dengan demikian

remaja diharapkan mampu menolak untuk menyalahgunakan NAPZA, baik dari

diri remaja sendiri, dukungan sosial maupun kebijakan yang ada. Hal ini tidak

lepas dari peran serta dan kerjasama dari semua pihak, termasuk dengan

melibatkan remaja pada kegiatan kelompok remaja dan membentuk kelompok

remaja swabantu.

Prevensi sekunder yaitu upaya yang dilakukan perawat komunitas adalah

dengan melakukan deteksi dini pada remaja terhadap perilaku penyalahgunaan

NAPZA. Prinsip yang diapakai bahwa setiap satu orang yang ketahuan

menggunakan NAPZA, maka terdapat sedikitnya sepuluh orang lainnya yang

juga akan terlibat, terpengaruh, dan terjerat menggunakan NAPZA (Indrawan,

2007), karena kebiasaan menggunakan NAPZA, biasanya dengan mengajak

beberapa teman (3- 5 teman). Deteksi dini pada remaja dengan melihat tanda

dan gejala remaja menyalahgunakan NAPZA, dan tindakan perawatan segera

dengan merujuk remaja untuk mendapatkan tindakan pengobatan medik, seperti

detoksifikasi dan dilanjutkan dengan proses pembinaan melatih remaja, agar

memiliki mekanisme koping dan perilaku adaptif.


52
Selanjutnya prevensi tersier difokuskan pada para mantan pengguna NAPZA

yang diharapkan dapat kembali berfungsi hidup secara optimum, dengan

memberikan upaya pendampingan yang dikenal sebagai re-entry program.

Rehabilitas pada seseorang yang ketergantungan NAPZA, tidak hanya bersifat

fisik saja melainkan juga bersifat psikologis (mental dan jiwa) (Indrawan,

2007). Gangguan fisik dapat direhabilitasi secara medis dirumah sakit, dengan

tahapan pemberian obat penenang 3 sampai 5 hari untuk mengurangi gejala-

gejala yang menyakitkan (sakaw), dan setelah lewat 10 sampai 2 minggu tubuh

pasien baru akan dapat dibersihkan dari sisa-sisa racun atau pengaruh dari

narkotik yang telah dikonsumsinya, jika detoksifikasi paada fisik berlangsung

relatif mudah atau cepat dengan persentasi keberhasilan bisa mencapai 100%

tidak demikian halnya dengan rehabilitasi psikologis, atau segi mental dan

kejiwaan. Sehingga terapi yang perlu banyak diterapkan adalah yang bertujuan

untuk mengubah citra diri korban NAPZA yang terlanjur hancur dengan citra

diri yang positif, agar diri dan jiwa korban akan mampu untuk kembali

berfungsi secara normal di masyarakat.

Rehabilitasi penyalahgunaan NAPZA dimasyarakat adalah merupakan

tanggung jawab perawat komunitas sesuai Keputusan Menteri Negara

Pendayagunaan dan Aparatur Negara No. 94 tahun 2001 tentang jabatan

fungsional perawat yaitu memberikan pelayanan keperawatan berupa asuhan

keperawatan individu, keluarga, kelompok, masyarakat dalam upaya

peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit,

pemulihan kesehatan serta pembinaan peran serta masyarakat dalam rangka

kemandirian dibidang keperawatan atau kesehatan. Sedangkan peran yang

dijalankan oleh perawat komunitas adalah sebagai koordinator, pemberi


pelayanan keperawatan
53
(provider), pendidik, pengelola, konselor, advokat dan sekaligus sebagai

peneliti (Allender & Spradley, 2001). Program rehabilitasi ini dapat

dilakukan,dimana mantan pengguna NAPZA mulai diperkenalkan dengan

sesuatu kegiatan baru yang lebih positif dan bermakna seperti bekerja atau

kembali ke sekolah. Upaya ini dimaksudkan agar para mantan pengguna

NAPZA dapat mengalihkan sugesti yang muncul.


54

BAB III

KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS

DAN DEFINISI OPERASIONAL

Pada bab tiga ini, peneliti membahas tentang kerangka konsep yang merupakan

hasil dari rangkaian beberapa konsep teori, yang berkaitan dengan variabel yang

akan diteliti. Hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari variabel yang mau

diteliti. Dan definisi operasional yaitu definisi variabel yang operasional.

A. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini didasarkan pada modifikasi dari teori (Blum (1974),

Stuart & Laraia (1998), dan Sadli (1982), serta Green, 1980) bahwa remaja sebagai

individu (Makhluk bio, psiko, sosial, dan spiritual) dalam mencapai derajat

kesehatannya terutama tidak terjebak menyalahgunakan NAPZA, dipengaruhi oleh

interaksi baik dari faktor intern maupun ekstern juga dipengaruhi faktor

predisposing, faktor enabling, dan faktor reinforcing. Sedangkan pada penelitian ini

bertujuan untuk melihat hubungan faktor sosial dan spiritual dengan risiko

penyalahgunaan NAPZA pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang tahun

2009. Berlandaskan konsep yang telah diuraikan, maka kerangka konsep penelitian

ini adalah sebagai berikut :

54
55
Bagan 3. 1
Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen Variabel dependen

Faktor sosial
(Faktor internal adalah kepribadian
remaja seperti: ingin diterima, ikut
trend, cari perhatian sensasi, ikut
tokoh idola. Sedangkan faktor
eksternal yaitu faktor interaksi
dengan lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat).

Faktor spiritual Risiko Penyalahgunaan


(Kebutuhan spiritual dalam NAPZA
pencarian identitas, (Biologic risk, Social risk,
mempertahankan nilai-nilai dan Economic risk, Life-style
keyakinan atau kepercayaan, risk, Life-event risk,dan
serta tergeneralisasi dalam paersonal fabel, serta
menjalankan ibadah yang rokok).
diyakininya)

karakteristik
- Usia
- Jenis Kelamin
- Tingkat pendidikan
56
B. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara dari rumusan masalah atau

pertanyaan penelitian (Sabri & Hastono, 2006; Nursalam, 2003). Dengan melihat

rumusan masalah dan kerangka konsep, maka hipotesis hubungan faktor sosial dan

spiritual dengan penylahgunaan NAPZA pada remaja di kota Palembang adalah :

1. Hipotesis Mayor

Ada hubungan faktor sosial dan spiritual serta karakteristik dengan risiko

penylahgunaan NAPZA pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang.

2. Hipotesis Minor

a. Ada hubungan antara faktor sosial dengan risiko penyalahgunaan NAPZA

pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang.

b. Ada hubungan antara faktor spiritual dengan risiko penyalahgunaan

NAPZA pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang.

c. Ada hubungan antara usia dengan risiko penyalahgunaan NAPZA pada

remaja SMP dan SMA di kota Palembang.

d. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan risiko penyalahgunaan NAPZA

pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang.

e. Ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan risiko penyalahgunaan

NAPZA pada remaja SMP dan SMA di kota Palembang.


57
C. Defenisi Operasional

Variabel/sub Definisi Alat dan Cara Hasil Ukur Skala


variabel Operasional Ukur ukur
Dndependent
Risiko Perilaku-perilaku Kuesioner 0 = resiko rendah Ordinal
Penyalahgunaan yang dapat menggunakan bila ≤ cut of
NAPZA menyebabkan skala Likert: point score
remaja akan 1. tidak pernah median
terdorong untuk 2. kadang-
menggunakan kadang 1 = risiko tinggi
NAPZA 3. sering bila ≥ cut of
4. selalu point score
median

Independent

Sosial Berkenaan dengan Kuesioner 0=tidak Ordinal


sosial remaja menggunakan mendukung bila ≤
meliputi: Faktor skala Likert: cut of point score
internal dan faktor 1. tidak pernah median
eksternal. Faktor 2. kadang-
internal yaitu kadang 1=mendukung
kepribadian remaja 3. sering bila ≥ cut of point
seperti: ingin 4. selalu score median
diterima, ikut
trend, cari perhatian
sensasi, ikut tokoh
idola, dan faktor
eksternal yaitu
interaksi remaja
dengan lingkungan
keluarga, sekolah,
dan masyarakat.

Spiritual Kebutuhan spiritual Kuesioner 0=tidak Ordinal


dalam pencarian menggunakan mendukung bila ≥
identitas, skala Likert: cut of point score
mempertahankan 1. tidak pernah median
nilai-nilai dan 2. kadang-
keyakinan atau kadang 1=mendukung
kepercayaan, serta 3. sering bila ≤ cut of point
tergeneralisasi 4. selalu score median
dalam menjalankan
ibadah yang
diyakininya
58
Karakteristik remaja
Usia Lama hidup Kuisioner item Menurut Ordinal
seseorang sampai pertanyaan penggolongan
dengan hari ulang dalam kuisioner wajib belajar 9
tahun terakhir. demografi tahun
tentang usia 0. Umur 13-15
tahun,
Remaja awal
1. Umur 16–18
tahun,
remaja akhir

Jenis kelamin Kondisi perbedaan Kuisioner item 0 = perempuan Nominal


gender remaja pertanyaan 1 = laki-laki
dalam kuisioner
demografi
tentang jenis
kelamin

Tingkat Pendidikan formal Kuesioner Diklasifikasikan Ordinal


Pendidikan tertinggi yang item menjadi 2 (dua)
pernah dicapai. pertanyaan kelompok dengan
dalam cut off point
kuisioner wajib belajar 9
demografi tahun
tentang sesuai dengan
pendidikan UU No.20 thn
responden 2003 tentang
Pendidikan
Nasional, yaitu:
1. SLTP
2. SLTA

Anda mungkin juga menyukai