Anda di halaman 1dari 36

Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia

(PGI)

Editor:
Ari Fahrial Syam
Chaidir Aulia
Dadang Makmun
Kaka Renaldi
Marcellus Simadibrata K
Murdani Abdullah
Tjahjadi Robert Tedjasaputra

2013
2013
Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)
di Indonesia

©2013 Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI)

ix + 26 halaman
14,5 x 21 cm
ISBN No. 978-602-17913-1-8

1. Hak cipta dipegang oleh para penyusun dan dilindungi oleh undang-
undang.

2. Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau


seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa
seijin dari penyusun dan penerbit.

ii
Daftar Isi

Kata Sambutan Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi


Indonesia (PB PGI) …………………………………………………..… v

Susunan Panitia Pelaksana Penyusunan Konsensus Penatalaksanaan


Irritable Bowel Syndrome (IBS) di Indonesia………………………...…. vi

I. Pendahuluan ................................................................................... 1
II. Definisi............................................................................................ 2
III. Klasifikasi...................................................................................... 2
III.1. IBS dengan diare (IBD-D).............................................................. 2
III.2. IBS dengan konstipasi (IBD-C).................................................... 2
III.3. IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar
atau pola siklik (IBS-M).................................................................. 2
IV. Epidemiologi ................................................................................ 2
V. Patofisiologi ................................................................................. 4
VI. Diagnosis...................................................................................... 5
VI.1. Anamnesis........................................................................................ 5
VI.1.a. Pola nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman.. 5
VI.1.b. Gejala lain................................................................... 5
VI.1.c. Tanda alarm............................................................... 6
VI.2. Pemeriksaan Fisik ........................................................................ 6
VI.2.a. Pemeriksaan Abdomen
(inspeksi, auskultasi, palpasi)............................................ 6
VI.2.b. Pemeriksaan Daerah perianal
(colok dubur).......................................................................... 6
VI.3. Pemeriksaan Diagnostik ........................................................... 6
VI.4. Kriteria Diagnostik....................................................................... 7
VI.5. Diagnosis Banding ..................................................................... 8
VII. Tatalaksana................................................................................. 9
VII.1. Terapi Non-farmakologik......................................................... 9
VII.2. Terapi Farmakologik.................................................................. 9
VII.2.a. Agen-agen antispasmodik................................. 9

iii
VII.2.b. Laksatif....................................................................... 9
VII.2.c. Anti diare................................................................... 10
VII.2.d. Antibiotik................................................................... 10
VII.2.e. Probiotik..................................................................... 11
VIII.2.f. Antagonis reseptor 5-HT3..................................... 11
VII.2.g. Aktivator kanal klorida C-2 selektif................... 11
VII.2.h. Antidepresan............................................................ 11
VII.3. Psikoterapi..................................................................................... 12
VII.4. Terapi lain....................................................................................... 12
VII.4. a. Peppermint oil.......................................................... 12
VII.4.b. Terapi herbal............................................................ 13
VII.4.c. Akupuntur................................................................. 13
VIII. Prognosis................................................................................... 15
IX. Follow Up/Tindak Lanjut............................................................. 16
X. Lampiran....................................................................................... 17
Lampiran 1: Bristol Stool Chart.......................................................... 17
Lampiran 2: Kriteria Manning........................................................... 18
Lampiran 3: Kriteria Kruis................................................................... 18
Lampiran 4: Kriteria Roma I............................................................... 19
Lampiran 5: Kriteria Roma II.............................................................. 19

Daftar Hadir Peserta Penyusunan Konsensus Penatalaksanaan


Irritable Bowel Syndrome (IBS) di Indonesia................................................... 20

Daftar Pustaka......................................................................................................... 25

iv
Kata Sambutan Ketua Pengurus Besar
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PB PGI)

Irritable Bowel Syndrome (IBS) merupakan gangguan fungsional saluran


pencernaan yang paling sering terjadi. Akan tetapi dalam praktik sehari-hari,
diagnosis ini sulit ditegakkan karena tidak adanya pemeriksaan diagnostik
spesifik untuk IBS. Penegakkan diagnosis IBS didasarkan pada gejala/keluhan
dari pasien yang sering ditemui oleh para praktisi baik dokter umum/dokter
keluarga maupun dokter spesialis.
Belum meratanya pengetahuan para dokter dalam mengenali kasus-kasus
IBS, maka akan berdampak pada luputnya diagnosis. Salah satu alasan ialah
bahwa gejala-gejala IBS menyerupai banyak penyakit lain. Permasalahan ini
menyebabkan peningkatan biaya perawatan akibat tidak tepatnya terapi yang
diberikan.
Sindroma ini tidak berhubungan langsung dengan tingkat mortalitas, akan
tetapi tanda-tanda alarm IBS merupakan hal yang perlu diwaspadai untuk
eksklusi kemungkinan keganasan.
Melihat hal di atas, Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
(PB PGI) memandang perlu untuk menyusun sebuah Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome di Indonesia, yang diharapkan dapat
menjadi acuan serta pedoman bagi para praktisi medis dalam penanggulangan
kasus-kasus IBS di masyarakat.
Pada kesempatan ini, Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia (PB PGI) ingin mengucapkan terima kasih kepada PT. Boehringer
Ingelheim Indonesia serta Centra Communications yang telah membantu
penyelenggaraan acara penyusunan Konsensus Penatalaksanaan Irritable
Bowel Syndrome di Indonesia. Konsensus ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi para praktisi medis di Indonesia dalam rangka penanggulangan IBS.

Jakarta, 2013
Pengurus Besar
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia
Prof. dr. Marcellus Simadibrata K, PhD, Sp.PD-KGEH, FACG, FASGE,
FINASIM

v
Susunan Panitia Pelaksana Penyusunan
Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel
Syndrome di Indonesia
Penasehat : Prof. Dr. dr. Daldiyono, Sp.PD-KGEH
Prof. dr. H. A Azis Rani, Sp.PD-KGEH
Dr. dr. H. Chudahman Manan, Sp.PD-KGEH
Prof. dr. Marcellus Simadibrata K, PhD, Sp.PD-KGEH,
FACG, FASGE

Ketua : dr. Tjahjadi Robert Tedjasaputra, Sp.PD-KGEH

Sekretaris : dr. Chaidir Aulia, Sp.PD-KGEH

Bendahara : dr. Achmad Fauzi, Sp.PD-KGEH

Seksi Ilmiah : Prof. dr. Marcellus Simadibrata K, PhD, Sp.PD- KGEH,


FACG, FASGE
Dr. dr. H. Dadang Makmun, Sp.PD-KGEH
Dr. dr. H. Murdani Abdullah, Sp.PD-KGEH, FACG
Dr. dr. Ari Fahrial Syam, MMB, Sp.PD-KGEH, FACP
dr. Kaka Renaldi, Sp.PD

Sekretariat : Darwi

Akomodasi/ : PT. Boehringer Ingelheim Indonesia


Transportasi

Penyelaras : Centra Communications


naskah

vi
I. Pendahuluan
Irritable Bowel Syndrome (IBS) merupakan sindroma yang memiliki prevelansi
tinggi di berbagai belahan dunia, yang sering belum terdiagnosis secara
tepat dikarenakan sulitnya melakukan diagnosis IBS yang tepat. Keadaan
ini menyebabkan belum tersedianya data mengenai IBS secara akurat di
Indonesia. Selain itu, pengetahuan serta kemampuan para praktisi medis dalam
menegakkan diagnosis IBS serta kemampuan akan penatalaksanaan yang
paripurna pada pasien IBS dirasakan belum merata. Irritable Bowel Syndrome
(IBS) merupakan sindroma yang tidak berhubungan dengan peningkatan
risiko kanker maupun mortalitas, akan tetapi berdampak pada meningkatnya
biaya perawatan kesehatan yang signifikan baik secara langsung maupun
tidak langsung.

Melihat hal-hal di atas, Pengurus Besar Perkumpulan Gastroenterologi


Indonesia (PB PGI) menyusun sebuah Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Irritable Bowel Syndrome (IBS) di Indonesia sebagai bahan acuan bagi para
dokter dalam penatalaksanaan penyakit tersebut. Penyusunan konsensus ini
mengacu kepada berbagai konsensus dari belahan dunia lain yang didasarkan
pada kedokteran berbasis bukti.

II. Definisi
Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah suatu kelainan fungsional usus kronik
berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman pada abdomen yang berkaitan
dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya selama
3 bulan. Rasa kembung, distensi, dan gangguan defekasi merupakan ciri-ciri
umum dari IBS.1,2 Pendekatan diagnosisnya dapat ditegakkan berdasarkan
gejala saja, sejauh tidak ada bukti kelainan organik sebagai penyebab.

Untuk membedakan IBS dengan gejala-gejala tidak menetap, para ahli


menekankan sifat kronik dan berulang dari IBS serta mengemukakan kriteria
diagnostik berdasarkan berulangnya kejadian. Gejala IBS berlangsung
dalam jangka panjang, bersifat berulang, bervariasi, dapat terkait makanan,
mengganggu kehidupan sehari-hari, dan terkadang merupakan akibat dari
infeksi usus berat atau keadaan stres.1

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
1
III. Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III yang berdasarkan pada karakteristik feses (lihat
Lampiran Bristol Stool Chart), IBS dibagi menjadi 3 subkelas yaitu:1,3

• III.1. IBS dengan diare (IBD-D):

– Feses lembek/cair ≥25% waktu dan feses padat/bergumpal <25%


waktu
– Ditemukan pada sepertiga kasus
– Lebih umum ditemui pada laki-laki

• III.2. IBS dengan konstipasi (IBS-C):

– Feses padat/bergumpal ≥25% waktu dan feses lembek/cair <25%


waktu
– Ditemukan pada sepertiga kasus
– Lebih umum ditemui pada wanita

• III.3. IBS dengan campuran kebiasaan buang air besar atau pola siklik
(IBS-M):

– Feses padat/bergumpal dan lembek/cair ≥25% waktu


– Ditemukan pada sepertiga kasus

Catatan : yang dimaksud dengan 25% waktu adalah 3 minggu dalam 3 bulan.

IV. Epidemiologi
Prevalensi IBS secara global sangat bervariasi akibat ketidakseragaman kriteria
diagnostik yang digunakan pada berbagai wilayah dan juga ketidaksediaannya
data dari beberapa wilayah. Di Asia Pasifik, prevalensi IBS meningkat terutama
pada negara-negara berkembang. Studi di India menunjukkan bahwa
menggunakan kriteria Roma I dapat mengidentifikasi jumlah pasien yang
lebih banyak dibandingkan dengan kriteria Roma II. Prevalensi IBS di beberapa
negara Asia Pasifik antara lain; Beijing (0,82%), daerah Selatan Cina (5,7%),
Hong Kong (6,6%), Singapura (8,6%), Pakistan (14%), dan Taiwan (22,1%).1

Di Indonesia sendiri, belum ada data nasional mengenai angka kejadian


IBS, namun terdapat data untuk wilayah Jakarta. Dari 304 kasus gangguan
pencernaan  yang tergabung dalam penelitian Asian Functional Gastrointestinal

2 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
Disorders Study (AFGID) tahun 2013, dilaporkan angka kejadian konstipasi
fungsional sebesar 5,3% dan angka kejadian IBS tipe konstipasi sebesar 10,5%.

Prevalensi IBS pada wanita sekitar 1,5-2 kali prevalensi pada laki-laki. IBS dapat
terjadi pada semua kelompok umur dengan mayoritas pada usia 20-30 tahun
dan kecenderungan menurun seiring dengan usia.2 Tingkat pengangguran
dan status perkawinan (tidak menikah) juga dilaporkan berkaitan dengan IBS.3

Gambar 1. Prevalensi IBS (2000-2004) berdasarkan kriteria Roma II dan III, serta
kriteria Manning untuk nilai dalam kurung. Diadaptasi dari Neurogastroenterol
Motil 2005;17:317–24.

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
3
V. Patofisiologi
Patofisiologi IBS belum sepenuhnya dipahami, akan tetapi bukti-bukti
mendukung bahwa IBS disebabkan oleh berbagai faktor meliputi diet, mutasi
gen, faktor psikososial (stres kronik), infeksi enterik, dan sistem imun.2,3,4

Gangguan interaksi otak dan usus (brain gut axis) dengan perantara
neurotransmiter merupakan salah satu hipotesis patofisiologi IBS yang
menyebabkan perubahan pada respon autonom, fungsi imun, motilitas usus,
dan persepsi visera. Beberapa struktur sistem saraf pusat terhubung melalui
saraf-saraf serotonergik dan kolinergik yang disebut sistem saraf enterik.
Terlepas dari koneksi aferen, usus menggunakan serotonin untuk meregulasi
motilitasnya dengan berikatan pada reseptor-reseptor 5-Hidroksi Triptamin 3
(5-HT3) dan 5-HT4 dimana aktivitas sinyal akan diterminasi oleh ikatan dengan
ambilan serotonin spesifik. Aktivitas transporter ini menurun pada beberapa
gangguan saluran pencernaan termasuk IBS dengan gejala-gejala umum
disregulasi motilitas intestinal akibat pelepasan serotonin yang persisten.3,4

Hipersensitivitas visera memegang peranan penting dalam perkembangan


gejala IBS dan diperkirakan dapat digunakan sebagai penanda gejala IBS.
Studi yang mempelajari distensi kolon terhadap ambang rangsang sensoris
menunjukkan peningkatan sensitivitas visera pada penderita IBS dibanding
kelompok kontrol. Studi ini mendukung studi-studi yang dilakukan di negara-
negara Barat dan di Asia (Korea, Jepang, dan Cina) yang menyokong adanya
peningkatan persepsi visera pada pasien-pasien IBS. Akan tetapi, peningkatan
ini tidak ditemukan pada semua pasien IBS. Sebanyak sepertiga kasus tidak
menunjukkan ambang rangsang yang rendah terhadap distensi usus.5

Faktor-faktor psikologis tidak menunjukkan pengaruh terhadap onset IBS.


IBS bukan merupakan kelainan psikiatrik atau psikologis, akan tetapi faktor
psikologis dapat:1

• memegang peranan penting dalam persistensi dan berat keluhan


abdomen yang dirasakan,

• berpengaruh terhadap penurunan kualitas hidup dan penggunaan


pelayanan kesehatan berlebih.

Faktor psikis berperan mempengaruhi sistem saraf otonom vegetatif, sistem


neurotransmiter, dan dapat mengganggu motilitas serta persepsi saluran
cerna.1,5

Di negara-negara Barat dan Asia, diagnosis psikiatrik dan psikosomatik pada

4 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
pasien IBS seperti ansietas, depresi, neurosis, hipokondriasis, dan tingkah laku
abnormal, umum ditemukan pada studi-studi di pusat-pusat tersier. Studi-studi
di Hong Kong, Jepang, dan India melaporkan skor ansietas dan depresi pada
pasien IBS lebih tinggi dibandingkan dengan non-IBS. Demikian pula dengan
stres harian yang dilaporkan lebih umum terjadi pada pasien IBS dibandingkan
non-IBS atau kelompok kontrol. Walaupun demikian, generalisasi berdasar
psikologis tidak dapat diaplikasikan pada semua pasien IBS karena sulit untuk
menentukan penyebab dan efek dari gangguan psikologis dengan IBS.5

VI. Diagnosis
VI.1. Anamnesis, adanya keluhan/riwayat:1

VI.1.a. Pola nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman: (*sesuai untuk IBS)
Durasi kronik*

• Jenis nyeri: intermiten* atau kontinu


• Episode nyeri sebelumnya*
• Lokasi nyeri yang berpindah-pindah
• Sembuh dengan defekasi atau buang gas*

VI.1.b. Gejala lain:

• Rasa kembung (96% pasien IBS), distensi, borborygmi


• Gangguan usus: konstipasi, diare, atau bergantian
• Abnormalitas defekasi: diare >2 minggu, mukus pada feses,
defekasi urgensi, rasa defekasi tidak tuntas (gejala ini dilaporkan
penting dalam populasi Asia)
• Hubungan dengan menstruasi (gejala premenstrual lebih berat,
dismenorrhea 2 kali lebih sering, dan keluhan IBS terutama rasa
kembung meningkat sesaat sebelum menstruasi)
• Hubungan dengan: terapi obat, konsumsi makanan (susu,
pemanis buatan, produk-produk diet atau alkohol)
• Riwayat kunjungan ke daerah tropik atau subtropik
• Abnormalitas kebiasaan makan: tidak teratur atau tidak cukup,
kekurangan asupan cairan, asupan serat berlebih, obsesi dengan
kebersihan, diet
• Onset (onset yang mendadak berhubungan dengan paparan

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
5
gastoenteritis memberi kesan IBS postinflamasi)
Gejala utama IBS di Asia yang paling tinggi adalah rasa kembung,
tetapi dari penelitian di Jakarta (2012) didapatkan keluhan nyeri
abdomen lebih dominan (hampir sama dengan di negara Barat)
sebesar 91% dari kasus IBS.

VI.1.c. Tanda alarm:1,2,3,5

• Penurunan berat badan yang tidak direncanakan/terjelaskan


• Darah pada feses
• Riwayat keluarga: keganasan kolorektal, penyakit celiac,
Inflammatory Bowel Disease (IBD)
• Anemia
• Diare atau nyeri nokturnal
• Onset baru pada usia ≥45 tahun untuk etnis yang lebih rawan
kanker kolorektal (Jepang, Korea, dan Cina) dan ≥50 tahun untuk
India serta Thailand
• Nyeri abdomen bawah dengan demam
• Massa abdomen
• Asites
Beberapa ulasan berpendapat bahwa tanda alarm memiliki akurasi
yang mengecewakan dengan sensitivitas 5-64%. Akan tetapi,
perdarahan rektum dan massa abdomen memiliki spesifitas 95%
dalam menunjukkan adanya kecurigaan kanker kolon.3

VI. 2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk meyakinkan pasien dan membantu deteksi


adanya kemungkinan penyebab organik:1
VI.2.a. Pemeriksaan abdomen (inspeksi, auskultasi, palpasi)
VI.2.b. Pemeriksaan daerah perianal (colok dubur)

VI. 3. Pemeriksaan penunjang

IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi yang heterogen yang sampai


saat ini belum didapatkan biomarker yang spesifik. Pemeriksaan diagnostik

6 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
dilakukan untuk menyingkirkan penyakit-penyakit organik yang dapat
menyerupai IBS.2,3

Tabel 1. Rekomendasi ACG IBS Task Force untuk pemeriksaan diagnostik.3

Pemeriksaan Diagnostik Rekomendasi


Tes darah rutin (hitung darah
lengkap, kimia, fungsi tiroid, Dilakukan hanya bila ditemukan tanda alarm
parasit feses)
Serologi penyakit celiac Direkomendasikan pada IBS-M dan IBS-D
Radiologi abdomen
(kolonoskopi/barium enema
Dilakukan hanya bila ditemukan tanda alarm
dengan/tanpa sigmoidoskopi
fleksibel)2
Direkomendasikan bila ditemukan tanda alarm,
untuk mengeksklusi penyakit organik
Direkomendasikan pada pasien berusia ≥50
tahun untuk skrining rutin
Tidak direkomendasikan bila tidak ditemukan
Kolonoskopi
tanda alarm pada pasien <50 tahun dengan
gejala IBS tipikal
Biopsi kolonik direkomendasikan bila
melakukan kolonoskopi pada IBS-D untuk
mengeksklusi kolitis mikroskopik
Tes pernapasan untuk Hanya direkomendasikan bila kecurigaan klinis
mengeksklusi intoleransi laktosa tinggi dan eksklusi diet telah gagal
Tidak direkomendasikan secara rutin karena
Tes pernapasan untuk SIBO
insufisiensi data
IBS= Irritable Bowel Syndrome; IBS-M= IBS campuran; IBS-D= IBS predominan diare;
SIBO= small intestinal bacterial overgrowth

VI. 4. Kriteria diagnostik

Gejala-gejala individual memiliki keterbatasan akurasi dalam mendiagnosis


IBS. Oleh karena itu, kelainan ini harus dilihat sebagai suatu kumpulan gejala.
Sampai saat ini, belum ada kriteria diagnostik berbasis gejala yang memilki
akurasi ideal dalam mendiagnosis IBS. Kriteria Manning (lihat Lampiran 1)
dengan sensitivitas 77% dan spesifitas 89%, serta kriteria Kruis (lihat Lampiran
2) dengan sensitivitas 78% dan spesifitas 72% memiliki nilai akurasi yang
sebanding dengan kriteria Roma I (lihat Lampiran 3) dengan sensitivitas 71%
dan spesifitas 85%. Sedangkan belum ada evaluasi mengenai akurasi dari
kriteria Roma II (lihat Lampiran 4) dan Roma III.2,3

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
7
Tabel 2. Kriteria Roma III.*3.,6
Nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman berulang setidaknya selama 3 hari
dalam sebulan pada 3 bulan terakhir dengan 2 atau lebih gejala berikut:
• Perbaikan dengan defekasi
• Onset terkait dengan perubahan frekuensi buang air besar
• Onset terkait dengan perubahan bentuk atau tampilan feses
*Kriteria diagnostik terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala
setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis.

Pada penelitian patofisiologi dan percobaan klinis, frekuensi nyeri/rasa tidak


nyaman yang direkomendasikan untuk kelayakan subyek setidaknya 2 hari
dalam seminggu selama evaluasi penyaringan.

VI. 5. Diagnosis banding1

Apabila dalam penatalaksanaannya tidak terdapat perbaikan, maka perlu


dilakukan reevaluasi tentang diagnosis IBS dan dipikirkan kemungkinan
diagnosis banding sebagai berikut:

• Penyakit celiac/enteropati gluten


• Intoleransi laktulosa
• Inflammatory bowel disease (penyakit Crohn, kolitis ulseratif )
• Karsinoma kolorektal
• Limfositik dan kolitis collagenous
• Diare akut akibat protozoa atau bakteri
• Small-intestinal bacterial overgrowth (SIBO)
• Divertikulitis
• Endometriosis
• Kanker ovarium
• Kelainan endokrin (hipo/hipertiroidisme, diabetes mellitus)

8 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
VII. Tatalaksana
IBS merupakan penyakit kronik yang tidak mengancam jiwa namun memiliki
dampak besar pada kualitas hidup seseorang. Hal ini didukung oleh studi-
studi di negara-negara Barat dan Timur yang melaporkan pasien dengan IBS
memiliki kualitas hidup yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.5

Tujuan dari tatalaksana IBS adalah menghilangkan gejala/keluhan secara


optimal dan meningkatkan kualitas hidup penderita.5

VII.1. Terapi non-farmakologik

- Meyakinkan bahwa penyakit ini tidak mengancam kehidupan


- Menganjurkan gaya hidup sehat
- Diet, disesuaikan dengan tipe IBS yaitu:
yyIBS tipe C: diet tinggi serat
yyIBS tipe D: menghindari/membatasi makanan-makanan tertentu yang
mencetuskan gejala.

VII. 2. Terapi farmakologik

Obat-obat yang teruji untuk pasien IBS adalah:

VII.2.a. Obat antispasmodik1,2,3

Hyoscine-N-butylbromide, cimetropium, pinaverium, mebeverin,


dan otolinium bromide merupakan obat yang teruji untuk mengo-
bati IBS. Pemberian antispasmodik lebih baik dibandingkan plasebo
(RR=0,68). Dalam praktek klinis, antispasmodik berguna mengatasi
gejala postprandial bila dikonsumsi 30 menit sebelum makan.

VII.2.b. Laksatif 1,2,3,4

Terdapat beberapa macam laksatif yang digunakan dalam terapi IBS


yaitu:

• Bulking agents, serat

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
9
Psyllium hydrophilic mucilloid (kulit ari ispaghula) memiliki
efektivitas sedang, dinyatakan memberikan perbaikan gejala
global. Penggunaan laksatif jenis bulking agent pada IBS lebih
baik dibandingkan plasebo (RR=0,78). Studi tunggal melaporkan
perbaikan dengan calcium polycarbophil.

• Laksatif osmotik:
- Laktulosa (10–20 g/15–30 ml per hari).
- Polietilen glikol (17 g dalam solusi 237 ml per hari)
menunjukkan perbaikan pada frekuensi buang air besar tapi
tidak pada nyeri abdomen.
- Susu magnesia (400 mg/5 ml, 10–20 ml sampai 4 kali sehari).

• Laksatif stimulan:
- Senna (15 mg per hari).
- Derivat difenilmetana (bisacodyl 10 mg, 1–2 tablet sehari atau
1 supositoria per hari).
- Sodium picosulfate (10-20 tetes pada malam hari).

• Laksatif emolien
- Docusates (100 mg, 1–3 tablet per hari).

VII.2.c. Anti diare1,2,3,5

Loperamide tidak lebih efektif dibandingkan plasebo dalam


mengurangi nyeri, rasa kembung, atau gejala-gejala umum IBS
lainnya, tetapi merupakan agen yang efektif untuk terapi diare,
mengurangi frekuensi buang air besar, dan memperbaiki konsistensi
feses. Obat ini hanya dipakai on demand (1-2 hari). Perlu diperhatikan
adanya efek samping konstipasi dan ileus paralitik.

VII.2.d. Antibiotik1,2,3

Beberapa laporan menyampaikan manfaat pemberian antibiotik


yang tidak diserap, antara lain rifaximin, yang secara konsisten
menampilkan perbaikan pada gejala global IBS.

10 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
VII.2.e. Probiotik 1,2,5

Probiotik golongan Bifidobacterium lactis dan Bifidobacterium infantis,


serta kombinasi probiotik tertentu memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan plasebo dalam memperbaiki keluhan nyeri abdomen,
flatulens, dan rasa kembung.

VII.2.f. Antagonis reseptor 5-HT3 1,2,3

Beberapa prokinetik golongan 5-HT3 inhibitor dan 5-HT4 agonist


bermanfaat untuk terapi IBS, antara lain prucalopride. Tegaserod dan
alosetron, walaupun bermanfaat untuk terapi IBS, saat ini ditarik dari
pasar karena efek sampingnya.

VII.2.g. Aktivator kanal klorida C-2 selektif 1,2,3

Hasil penelitian menyebutkan bahwa lubriprostone lebih efektif


dibandingkan plasebo dalam meringankan gejala-gejala global IBS-C
pada wanita. Food and Drug Administration (FDA) mencantumkan
obstruksi gastrointestinal mekanik sebagai kontraindikasi pemberian
lubriprostone dan menyarankan evaluasi pada pasien-pasien dengan
kesan obstruksi.

VII.2.h. Antidepresan1,2

Antidepresan trisiklik dan inhibitor ambilan serotonin selektif lebih


efektif dibandingkan plasebo dalam meringankan gejala-gejala
global IBS dan mengurangi nyeri abdomen. Penghambat ambilan
serotonin selektif ditoleransi lebih baik dari antidepresan trisiklik,
terutama untuk IBS-C dibandingkan IBS-D karena efek prokinetiknya.

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
11
Tabel 3. Pemilihan Terapi Medikamentosa pada IBS.4
Kembung dan
Jenis obat IBS-C IBS-D Nyeri
distensi
Antispasmodik • •
Bulking agents •
Laksatif •
Anti diare •
Antibiotik • •
Probiotik • •
Antagonis reseptor
5-HT3 • •
Aktivator kanal
klorida C-2 selektif •
Antidepresan • • •
Kombinasi antispasmodik, laksatif, atau antidiare, dan probiotik
disarankan sebagai terapi lini pertama, karena obat-obatan ini aman
secara umum dan tidak mahal.5

VII.3. Psikoterapi 1,2,3,7

Terapi kognitif, psikoterapi dinamik, hipnoterapi dan manajemen


stres memberikan manfaat, tetapi terapi relaksasi tidak lebih efektif
dibandingkan dengan perawatan biasa dalam meringankan gejala
IBS. Psikoterapi ini dapat digunakan secara terpisah atau dalam
kombinasi dengan farmakoterapi pada pasien IBS dengan maupun
tanpa gangguan psikiatrik/psikosomatik. Kombinasi psikoterapi dan
psikofarmaka memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.

VII.4. Terapi lain

VII.4.a. Peppermint oil

Dapat meringankan nyeri abdomen/rasa tidak nyaman pada IBS


untuk jangka pendek, tetapi belum ada bukti untuk efektivitas jangka
panjang.

12 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
VII.4.b. Terapi herbal

Dari beberapa studi disimpulkan bahwa terapi herbal dapat


membantu dalam tatalaksana IBS, akan tetapi kemurnian bahan-
bahan yang diragukan dan pertimbangan mengenai efek samping
yang ditimbulkan membatasi penggunaan terapi ini.

VII.4.c. Akupuntur

Studi Cochrane membandingkan akupuntur dan sham procedure


memberikan hasil yang beragam dan efektivitas terapi ini belum
pasti.

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
13
Terduga IBS

Nyeri abdomen berulang, kembung, atau rasa tidak nyaman ≥3 bulan yang
berhubungan dengan salah satu dari:
- berkurang dengan defekasi
- perubahan bentuk feses (lihat Bristol Stool Scale)
- perubahan frekuensi defekasi

Tanda alarm:
• Usia pasien ≥45 tahun
Ya • Adanya darah dalam kotoran Tidak
• Penurunan berat badan yang tidak
direncanakan
• Gejala-gejala nokturnal
• Demam
• Massa di abdomen
• Asites
• Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
• Adanya anemia Tersangka IBS

Jelaskan mengenai IBS


Obati gejala-gejala utama

Adanya gejala baru atau


tanda alarm Kembali berobat dalam 6 minggu
Periksa adanya gejala baru
Periksa kembali tanda alarm
Lanjutkan atau ubah pengobatan sesuai kebutuhan

Hasil laboratorium
• anemia
Ya • leukositosis
• LED, CRP tinggi
• kimia darah abnormal
• darah samar pada feses

Tidak
Adanya gejala baru Kembali berobat dalam 6 minggu
tanda alarm, atau Periksa adanya gejala baru
Rujuk ke pusat gejala menetap Periksa kembali tanda alarm
Masih terdapat gejala
pelayanan
kesehatan yang
lebih lengkap

Gambar 2. Algoritma Diagnostik dan Tatalaksana IBS pada Pelayanan Primer.

14 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
Gejala-gejala IBS
Tanpa tanda alarm
Usia <50 tahun

• Tanpa diare
• Prevalensi rendah Prevalensi
parasitosis intestinal Prevalensi tinggi tinggi Diare
• Prevalensi rendah penyakit celiac parasitosis persisten
penyakit celiac intestinal

Pemeriksaan sederhana
dapat dipertimbangkan • Tes serologi
(darah lengkap, LED, Tes serologi untuk penyakit
darah samar feses, dan/ untuk penyakit Studi feses celiac*
atau diagnosis berbasis celiac • Studi feses*
gejala • Kolonoskopi*

Gambar 3. Algoritma Diagnosis IBS pada Pelayanan Sekunder1

VIII. Prognosis
Sebagian besar pasien IBS akan mengeluhkan gejala yang menetap tetapi
tidak memburuk, hanya sebagian kecil yang akan memburuk dan beberapa
mengalami kesembuhan. Pada sebuah studi di Amerika Serikat, dinyatakan
18% dari 1021 orang yang menderita IBS dalam 12-20 bulan kemudian
sebanyak 38% pasien tidak memiliki keluhan.1

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
15
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis IBS.1

Efek negatif Efek positif

Perilaku menghindar/tidak
Dokter dan pasien mengerti mengenai
menerima terhadap gejala-gejala
IBS
IBS

Perasaan cemas mengenai Dokter memberikan edukasi mengenai


keadaan medis tertentu IBS kepada pasien

Gangguan fungsi akibat keluhan


Dokter dapat menenangkan pasien
IBS

Hubungan terapeutik yang baik antara


Riwayat keluhan IBS yang lama
dokter dengan pasien

Stres yang berlangsung kronik

Komorbiditas psikiatrik/
psikosomatik

IX. Follow Up/Tindak Lanjut


Pada kasus yang ringan umumnya tidak diperlukan konsultasi pemantauan
jangka panjang.

Pada keadaan di bawah ini diperlukan pemantauan jangka panjang dan


dirujuk yaitu:

• Gejala menetap dan mengganggu


• Pasien sangat khawatir mengenai kondisi penyakitnya
• Diare terus-menerus selama >2 minggu
• Konstipasi menetap dan tidak berespon terhadap terapi
• Berkembangnya tanda alarm untuk kemungkinan penyakit
gastrointestinal berat
• Waspada terhadap perkembangan gangguan makan

16 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
• Kondisi psikologis yang memerlukan konsultasi antara lain:
--Depresi berat
--Nyeri kronik refrakter
--Hendaya berat
--Perilaku maladaptif
--Kesulitan membangun hubungan dokter-pasien
--Keyakinan yang keliru terhadap penyakitnya
--Gangguan psikosomatis yang jelas seperti somatisasi, stres pasca
trauma dan ansietas berat

X. Lampiran
Lampiran 1. Bristol Stool Chart (University of Bristol, Scand J Gastroenterol,
1997).

Menurut rekomendasi pada populasi Asia, pasien dengan tipe 1-3


diklasifikasikan sebagai IBS dengan konstipasi (IBS-C) dan pasien dengan tipe
5-7 diklasifikasikan sebagai IBS dengan diare (IBS-D).5
Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)
di Indonesia
17
Lampiran 2. Kriteria Manning.2

Kriteria Manning (1978)


IBS didefinisikan sebagai gejala-gejala yang disebutkan di bawah ini tanpa
deskripsi durasi. Jumlah gejala yang dibutuhkan untuk menegakkan
diagnosis IBS tidak disebutkan, tetapi yang paling umum digunakan ialah
batas sebanyak 3 gejala positif:
1. Nyeri abdomen membaik dengan defekasi
2. Semakin sering buang air besar, bersamaan dengan onset nyeri
3. Semakin lembek/encer feses, bersamaan dengan onset nyeri
4. Mukus per rektum
5. Rasa tidak tuntas buang air besar
6. Pasien melaporkan distensi abdomen yang nyata

Lampiran 3. Kriteria Kruis.2

Kriteria Kruis (1984)


IBS didefinisikan sebagai model regresi logistik yang menggambarkan
probabilitas IBS. Gejala-gejala perlu ditemukan selama lebih dari 2 tahun
yaitu:
1. Nyeri abdomen, perut kembung atau ketidakteraturan buang air besar
2. Deskripsi dari karakter dan keparahan nyeri abdomen
3. Konstipasi dan diare bergantian
Tanda-tanda yang mengeksklusi IBS (masing-masing ditentukan oleh
dokter) yaitu:
1. Abnormalitas pemeriksaan fisik dan/atau riwayat patognomonik untuk
diagnosis lain selain IBS
2. Laju endap darah >20 mm/2 jam
3. Leukositosis >10.000/cc
4. Anemia (Hb <12 untuk wanita atau <14 untuk pria)
5. Kesan oleh dokter bahwa terdapat perdarahan rektum pada pasien

18 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
Lampiran 4. Kriteria Roma I.2

Kriteria Roma I (1990)


Nyeri abdomen atau rasa tidak nyaman yang membaik dengan
defekasi, atau berhubungan dengan perubahan frekuensi buang air
besar atau konsistensi, DITAMBAH dengan 2 atau lebih gejala berikut
pada setidaknya 25% peristiwa atau hari dalam 3 bulan:
1. Perubahan frekuensi buang air besar
2. Perubahan bentuk feses
3. Perubahan pasase feses
4. Pasase mukus
5. Kembung atau distensi

Lampiran 5. Kriteria Roma II.2

Kriteria Roma II (1999)


Rasa tidak nyaman atau nyeri pada abdomen dengan 2 dari 3 ciri
selama 12 minggu (tidak perlu secara konsekutif ) dalam 1 tahun
terakhir:

1. Membaik dengan defekasi


2. Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi buang air
besar
3. Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
19
Daftar hadir Penyusunan Konsensus
Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS) di
Indonesia tahun 2013
No. Nama Cabang Tanda Tangan

1 Prof. Dr. dr. Daldiyono, Jakarta


Sp.PD-KGEH

2 Prof. dr. H. A. Aziz Rani, Jakarta


Sp.PD-KGEH

3 Dr. dr. Chudahman Jakarta


Manan, Sp.PD-KGEH

4 Prof. dr. Marcellus Jakarta


Simadibrata, PhD, Sp.PD-
KGEH, FACG, FASGE

5 Dr. dr. H. Dadang Jakarta


Makmun, Sp.PD-KGEH

6 Dr. dr. Murdani Abdullah, Jakarta


Sp.PD-KGEH, FACG

7 Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Jakarta


MMB, Sp.PD-KGEH, FACP

20 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
8 dr. Achmad Fauzi, Sp.PD- Jakarta
KGEH

9 dr. Tjahjadi Robert Jakarta


Tedjasaputra, Sp.PD-
KGEH

10 dr. Chaidir Aulia, Sp.PD- Jakarta


KGEH

11 dr. Kaka Renaldi, Sp.PD Jakarta

12 Prof. dr. Iswan A. Nusi, Surabaya


Sp.PD-KGEH

13 Prof. dr. Lukman Hakim Medan


Zain, Sp.PD-KGEH

14 dr. H. Ali Djumhana, Bandung


Sp.PD-KGEH

15 Dr. dr. Fardah Akil, Sp.PD- Makassar


KGEH

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
21
16 dr. Arnelis, Sp.PD-KGEH Padang

17 dr. Suyata, Sp.PD-KGEH Palembang

18 dr. Neneng Ratnasari, Yogyakarta


Sp.PD-KGEH

19 dr. Paulus Kusnanto, Surakarta


Sp.PD-KGEH

20 dr. Hirlan, Sp.PD- Semarang


KGEH

21 dr. Haris Widita, Sp.PD- Mataram


KGEH

22 dr. Bogi Pratomo Wibowo, Malang


Sp.PD-KGEH

23 dr. Nyoman Purwadi, Denpasar


Sp.PD-KGEH

22 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
24 dr. B. J. Waleleng, Sp.PD- Manado
KGEH

25 dr. Nirapambudi Samarinda


Devianto, Sp.PD

26 dr. H. Ali Imron Yusuf, Lampung


Sp.PD-KGEH

27 dr. Dasril Efendi, Sp.PD- Pekanbaru


KGEH

28 dr. Fauzi Yusuf, Sp.PD- Banda Aceh


KGEH

29 dr. dr. H. Arman Adel Jakarta


Abdullah, Sp. Rad (K)

30 dr. Syafruddin A R Jakarta


Lelosutan, MARS, Sp.PD-
KGEH

31 dr. Diah Rini, Sp.PA (K) Jakarta

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
23
32 Dr. dr. C. Rinaldi Lesmana, Jakarta
Sp.PD-KGEH

33 dr. E. Mudjaddid, Sp.PD- Jakarta


KPsi

34 Dr. dr. M. Begawan Bandung


Bestari, MKes, Sp.PD-
KGEH, FASGE

24 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
Daftar Pustaka
1. Quigley E, Fried M, Gwee KA, Olano C, Guarner F, Khalif I, et.al. Irritable bowel
syndrome: a global perspective. WGO Practice Guideline: 2009.

2. Brandt LJ, Chey WD, Orenstein AEF, Schiller LR, Schoenfeld PS, Spiegel BM, et.al.
An Evidence-Based Systematic Review on the Management of Irritable Bowel
Syndrome. Am J Gastroenterology 2009;104:S1–S35.

3. Khan S, Chang L. Diagnosis and management of IBS. Nat Rev Gastroenterol Hepatol
2010; 7:565–581.

4. Yoon SL, Grundmann O, Koepp L, Farrell L. Management of Irritable Bowel Syndrome


(IBS) in Adults: Conventional and Complementary/ Alternative Approaches.
Alternative Medicine Review 2011;16(2):134-151.5

5. Gwee KA, Bak YT,Ghoshal UC, Gonlachanvit S, Lee OY, Fock KM, et.al. Asian consensus
on irritable bowel syndrome. Journal of Gastroenterology and Hepatology
2010;25:1189–12056.

6. Douglas A. Drossman DA,Corazziari E, Delvaux M, Spiller RC, Talley NJ, Thompson


WG, et.al. Appendix A Rome III Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal
Disorders.3rd ed. Yale University Section of Digestive Disease : Degnon Associates,
2006.

7. Smith JB, Bullock I, Dalrymple J, Davis S, Eastwood J, Foster C. Irritable bowel


syndrome in adults : Diagnosis and management of irritable bowel syndrome in
primary care. NICE clinical guideline 61 Developed, 2008.

Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)


di Indonesia
25
Supported by :

PT BOEHRINGER INGELHEIM INDONESIA


28 Konsensus Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome (IBS)
di Indonesia

Anda mungkin juga menyukai