Anda di halaman 1dari 2

TUGAS DISKUSI KELOMPOK MENGENAI KEARIFAN LOKAL RAJA AMPAT

PAPUA KHUSUSNYA MENGENAI TIANG ALIF

Kelompok 3

Trio Nugroho (2010631170123)

Wanda Taupik Ramdan (2010631170125)

A. Kearifan Lokal Raja Ampat

Masyarakat yang tinggal di Kepulauan Raja Ampat, Papua, punya aturan tersendiri
dalam mencari sumber makanan sekaligus menjaga kelestarian alam. Aturan adat yang
menentukan apa yang boleh dan dilarang mereka sebut sebagai sasi.

Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto mengatakan masyarakat yang tinggal di
perkampungan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, mematuhi sasi tersebut. "Ini merupakan
bentuk kearifan lokal yang telah berlangsung turun-temurun demi menjaga alam," kata Hari
Suroto kepada Tempo, Senin 23 November 2020.

Ada beragam jenis sasi yang berlaku di wilayah Kepulauan Raja Ampat. Salah
satunya, menurut Hari Suroto, nelayan hanya boleh melaut setiap enam sampai 12 bulan
sekali, di mana selama sekitar satu hingga dua minggu, mereka dapat mengambil hasil laut
sebanyak mungkin yang mereka perlukan. Setelahnya, mereka tidak boleh melaut lagi.

Apabila ingin mengambil hasil laut di luar batas waktu tersebut, Hari Suroto
mengatakan, para nelayan harus pergi dari perairan Raja Ampat. Pria yang juga dosen
arkeologi Universitas Cenderawasih ini menjelaskan, sasi terkadang berlaku juga pada jenis
biota laut tertentu, misalnya teripang.

Tujuan dari sasi ini, untuk memberi kesempatan pada biota laut agar berkembang biak
sebesar ukuran yang laku di pasaran. Jika sudah memenuhi syarat ukuran tertentu, barulah
teripang boleh diambil dan dijual. Sasi berlaku pula pada tanaman. Masyarakat Kepulauan
Raja Ampat dilarang mengambil buah di pohon, bahkan yang terjatuh dari pohon sekalipun,
tanpa izin.

Contoh bentuk sasi dapat dilihat pada nelayan Kampung Lopintol, Distrik Teluk
Mayalibit, Kabupaten Raja Ampat. Nelayan Kampung Lopintol umumnya mencari ikan
kembung atau dalam bahasa setempat dikenal dengan nama ikan lema. Masyarakat Kampung
Lopintol biasanya menerapkan tradisi balelema atau menyerok ikan lema.

Penangkapan ikan lema berlangsung pada malam hari dengan lampu petromaks yang
diletakkan pada ujung depan perahu. Nelayan mendayung perahu ke tengah perairan yang
berarus. Saat puncak musim, ikan lema yang sudah matang telur-telurnya bergerombol di
permukaan air. Teluk Mayalibit menjadi lokasi pemijahan ikan ini.

Selanjutnya, nelayan tinggal menunggu rombongan ikan lema mendekati cahaya


petromaks yang akan tampak seperti cahaya bulan di permukaan air. Setelah berkumpul di
sekeliling perahu, nelayan menggiring ikan lema ke kolam jebakan berpagar tumpukan batu
di perairan dangkal.
Pada saat gerombolan ikan lema terjebak di kolam, cahaya petromaks diredupkan.
Selanjutnya nelayan memanen ikan lema dengan cara menyeroknya dengan jaring. Saat
terbaik mencari ikan lema ini ketika bulan gelap. Dengan begitu, cahaya lampu akan menarik
ikan bak bulan purnama.

Nelayan Kampung Lopintol, Raja Ampat, sepakat memberi jeda penangkapan ikan
lema setiap hari Sabtu malam dan Minggu malam selama musim puncak ikan lema bertelur di
bulan gelap. Upaya menahan diri dari eksploitasi kekayaan alam ini semata demi memberi
kesempatan ikan lema bertelur.

B. Tiang Alif

         Pada masa perkembangan Islam, masjid merupakan salah satu bukti monumental
bahwa Islam diterima oleh masyarakat setempat. Dibangunnya masjid di suatu kerajaan,
menandai bahwa Islam diterima secara resmi sebagai agama kerajaan. Di situs-situs Islam di
wilayah-wilayah negeri di Maluku, hampir selalu dijumpai masjid kuno, baik yang masih
tampak utuh, atau yang hanya tinggal sekedar cerita masa lalu, sebab banyak wajah masjid
yang sudah sangat berubah menjadi masjid modern, bahkan ciri kekunoannya sudah hilang
sama sekali. Tapi bagaimanapun, masjid kuno merupakan penanda paling utama, sebuah
wilayah itu telah mendapat pengaruh Islam atau sudah diislamkan.

         Soal ‘tiang alif’, menurut Pijper sebagaimana ditulis Dijk (2009), dilihatnya sebagai
atap yang paling tinggi dan paling kecil yang dihiasi sebuah tombak berornamen dengan
sebuah atau lebih bola atau kubus. ‘Tiang alif’ dianggap sebagai perlambang atau simbol
Ketauhidan (paham ketuhanan yang tunggal).

Masyarakat Raja ampat menyebut Menara Kubah sebagai Tiang Alif. Tiang Alif
merupakan tiang yang berdiri kokoh tegak di puncak kubah masjid/musholla. Tiang Alif
diyakini adalah sebab dari segala sesuatu dan merupakan kehormatan umat manusia dalam
menjalani hidupnya. Sehingga prosesnya pun tidak sembarangan. Momen awal dari
pemilihan batang pohon yang akan digunakan sebagai tiang alif hingga proses
pemancangannya harus melewati beberapa proses.

Anda mungkin juga menyukai