Anda di halaman 1dari 82

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK
“Sepsis Neonatus, Ikterus ec ABO Incompatibility”

Clinical Preseptor :
dr. Gustin Sukmarini, Sp.A (K)
apt. Robby Kurniawan, S. Farm

Disusun oleh :
Gesnia Angreini S. Farm (2030122024)
Hafizah, S.Farm (2030122026)
Inri Sustia Rahmi, S. Farm (2030122029)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Study Report Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad
Natsir Solok.
Dalam proses penyelesaian laporan kasus ini penulis banyak mendapatkan
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan banyak terima kasih kepada :
1 Ibu dr. Gustin Sukmarini,, Sp.A (K) selaku preseptor yang telah meluangkan
waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan sehingga laporan
Case Study ini dapat diselesaikan.
2 Bapak apt. Robby, S.Farm selaku preseptor yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan sehingga laporan Case
Study ini dapat diselesaikan.
3 Staf Bangsal Anak Rumah Sakit Umum Daerah Mohammad Natsir Solok
yang telah memberikan bantuan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan Case Study ini.
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah
diberikan kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk
perkembangan ilmu pengetahuan pada masa mendatang khususnya tentang
pengobatan penyakit “Sepsis Neonatus. Penulis menyadari laporan kasus ini
masih memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Solok, 5 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................i
Daftar Isi...........................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................3
1.3 Tujuan.............................................................................................3
BAB II Tinjauan Pustaka..................................................................................4
2.1 Ikterus Neonaturum........................................................................4
2.2 Inkompatibilitas ABO.....................................................................11
2.3 Sepsis Neonatal...............................................................................17
2.4 Tinjauan Obat…………………………………………………….29
BAB III Tinjauan Kasus...................................................................................50
3.1 Identitas Pasien……………………………………………………50
3.2 Riwayat Penyakit…………………….……………………………52
3.3 Data Penunjang…………………….….…………………………..53
3.4 Follow Up………………………………..………………………..56
3.5 Analisa Farmakologi………………………..……………………..63
3.6 Analisa permasalahan (DRP) ………………..……………………71
BAB IV Pembahasan…………………………………………………………..76
BAB V Penutup………………………………………………………………..79
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………79
5.2 Saran………………………………………………………………..79
Daftar Pustaka………………………………………………………………….80

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih cukup tinggi dibandingkan


dengan negara berkembang lainnya. AKB di Indonesia tahun 2012 sebesar 32
kematian per 1.000 kelahiran hidup, angka tersebut masih berada dibawah target
Millenium Development Goals (MDGs) yaitu 23 kematian per 1000 kelahiran hidup
pada tahun 2015.AKB merupakan salah satu ukuran derajat kesehatan suatu wilayah.
Mayoritas kematian bayi di Indonesia saat ini terjadi pada periode neonatus.
Perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi
penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 59% kematian bayi
(Kemenkes RI, 2014).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, ikterus neonatarum
patologis menyebabkan kematian sebesar 6% dari tujuh penyebab tertinggi kematian
neonatus (Kemenkes RI, 2014). Ikterus umumnya mulai tampak pada sklera (bagian
putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke
arah dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak dapat
dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka mata. Ikterus pada
bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80%
bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Walaupun demikian,
sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan
dan tatalaksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian. Ikterus
neonatorum endiri merupakan pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit
yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin (Bobak, 2005).
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih pada bayi ikterus dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu berat lahir, masa gestasi, riwayat asfiksi, hipoksia, sindrom
gangguan nafas pada neonatus, infeksi/sepsis, trauma pada kepala, hipoglikemia,
hiperkarbia dan proses hemolisis akibat inkompatibilitas darah (Mansjoer, 2010).
Menurut statistik kira-kira 20% dari seluruh kehamilan terlibat dalam ketidak
selarasan golongan darah ABO dan 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan
darah O dan janin golongan darah A atau B (Hasandan Alatas, 2007).

1
inkompatibilitas ABO berawal dari ketidaksesuaian golongan darah orang tua
sehingga menyebabkan golongan darah ibu dan janin berbeda yang dapat memicu
darah ibu dan bayi mengakibatkan zat anti dari serum darah ibu bertemu dengan
antigen dari eritrosit bayi dalam kandungan. Inkompatibilitas ABO disebabkan
golongan darah ibu O yang secara alami mempunyai antibodi anti-A dan anti-B pada
sirkulasinya. Jika janin memiliki golongan darah A atau B, eritoblastosis dapat terjadi
karena IgG melewati plasenta. (Hoeffbrand, 2006)
Inkompatibilitas golongan darah ABO lebih sering ditemukan di Indonesia
dibanding inkompatibilitas golongan darah lainnya (Wiknjosastro, 2007).
Ketidaksesuaian golongan darah merupakan salah satu penyebab terbanyak
hiperbilirubinemia pada neonates, (Baskobadi et al, 2011).
Selain Inkompatibilitas golongan darah ABO yang menjadi faktor resiko dari
ikterus neonatarum, infeksi/sepsis juga menjadi mortabilitas dari ikterus neonatarum
(Bobak, 2005). Sepsis neonatal adalah sindrom klinik penyakit sistemik, disertai
bakteremia yang terjadi pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan. Angka
kejadian sepsis neonatal adalah 1-10 per 1000 kelahiran hidup. Sepsis neonatal dapat
terjadi secara dini, yaitu pada 5-7 hari pertama dengan organisme penyebab didapat
dari intrapartum atau melalui saluran genital ibu (Pusponegoro, 2000).
Parameter disfungsi hati yang bermakna dalam kondisi sepsis adalah bilirubin.
Berbagai gangguan yang terjadi selama sepsis dapat meningkatkan biomarker hati
lain seperti aspartat aminotransferase, alanin aminotransferase, atau laktat
dehidrogenase, namun tidak memiliki makna yang signifikan karena produksi
biomarker tersebut juga dapat dihasilkan oleh organ lain yang juga mengalami
(Nesseler et al., 2012).
Peningkatan kadar bilirubin terjadi akibat kerusakan fungsi hati selama sepsis.
Peningkatan ini disebabkan oleh gangguan transpor, penyerapan, dan pembuangan
zat tersebut oleh hati. Gangguan ini merupakan akibat dari kerusakan saluran empedu
yang terjadi akibat proses inflamasi selama sepsis, dan akibat gangguan perfusi pada
aliran darah portal. Peningkatan bilirubin dalam plasma dapat mencetuskan apoptosis
jaringan dan memperberat inflamasi. Bilirubin mencetuskan apoptosis dengan
mengaktifkan reseptor N-metil-D-aspartat sehingga terjadi proses apoptosis sel
melalui jalur mitokondria (Tutak et al., 2013).

2
Kriteria yang ditetapkan untuk diagnosis sepsis adalah bila terdapat dugaan kuat
infeksi, walaupun tanpa dokumentasi klinis. Hal ini menunjukkan bahwa identifikasi
pasien sepsis berdasarkan gejala klinis sangat sulit dilakukan sehingga membutuhkan
pemeriksaan penunjang laboratorium biomarker (Zou et al., 2014).

1.2 Rumusan masalah


1. Apakah ada kemungkinan teriadi Drug Related Problem (DRP) dari obat-
obatan yang diberikan kepada pasien?
2. Bagaiman solusi jika terjadi Drug Related Problem (DRP) dari obat-obatan
yang diberikan kepada pasien?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kemungkinan teriadi Drug Related Problem (DRP) dari
obat-obatan yang diberikan kepada pasien?
2. Untuk mengetahui solusi jika terjadi Drug Related Problem (DRP) dari
obat-obatan yang diberikan kepada pasien?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

3
2.1 Ikterus neonatorum
2.1.1 Defenisi
Akumulasi bilirubin yang berlebihan dalam darah yang ditandai dengan jaundice
pada kulit, sklera, mukosa dan urin (Mitayani, 2009). Ikterus terjadi ketika bilirubin
disimpan di dalam jaringan subkutan dan terlihat ketika tingkat serum bilirubin
melebihi enam mg/dL (Mansjoer, 2000). Ikterus disebabkan oleh proses normal
terjadi pada 25% sampai 50% dari semua bayi yang baru lahir cukup bulan yang
sehat (Deslidel, 2012). Peningkatan kadar bilirubin lebih sering terjadi pada bayi
kurang dari 38 minggu masa gestasi (American Academy of Pediatrics, 2004).
2.1.2 Klasifikasi
Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis :
2.1.2.1 Ikterus Fisiologis
Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua dan ke tiga. Kadar
bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12 mg/dL pada bayi cukup bulan,
masih dianggap fisiologis (Mishra dkk., 2007). Penurunan kadar bilirubin total akan
terjadi secara cepat dalam 2-3 hari, kemudian diikuti penurunan lambat sebesar 1
mg/dL selama 1- 2 minggu. Pada bayi kurang bulan kadar bilirubin serum total 10-12
mg/dL, bahkan dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa adanya gangguan
pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2007). Kadar bilirubin total yang aman
untuk bayi kurang bulan sangat bergantung pada usia kehamilan.
2.1.2.2 Ikterus Patologis
Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24 jam. Kadar bilirubin serum
total meningkat > 0,5 mg/dL/jam. Ikterus biasanya bertahan setelah 8 hari pada bayi
cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan. Keadaan klinis bayi tidak baik
seperti muntah, letargis, tidak mau menyusu, penurunan berat badan yang cepat, suhu
tubuh yang tidak stabil, apnea (Martin dan Cloherty, 2004).

2.1.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum
dapat dibagi:

4
a. Produksi yang berlebihan
Pada ikterus fisiologis biasanya disebabkan karena volume eritrosit
yang meningkat, usia eritrosit yang menurun, meningkatnya siklus
enterohepatik. Pada ikterus patologis terjadi oleh karena hemolisis yang
meningkat seperti pada inkompatibilitas golongan darah sistem ABO,
inkomptabilitias rhesus, defek pada membran sel darah merah (Hereditary
spherocytosis, elliptocytosis, pyropoikilocytosis, stomatocytosis),
defesiensi berbagai enzim (defisiensi enzim Glucose-6-phosphate
dehydrogenase (G6PD), defesiensi enzim piruvat kinase, dan lainnya),
hemoglobinopati (pada talasemia). Keadaan lain yang dapat meningkatkan
produksi bilirubin adalah sepsis, Disseminated Intravascular Coagulation
(DIC), ekstravasasi darah (hematoma, perdarahan tertutup), polisitemia,
makrosomia pada bayi dengan ibu diabetes (Mishra dkk., 2007).
b. Gangguan pada proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Sindrom
Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar
yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar (Mishra dkk.,
2007).
c. Gangguan pada transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat
ke sel otak (Lauer dan Nancy, 2011).

d. Gangguan pada ekskresi


Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh
penyebab lain (Mishra dkk., 2007; Lauer dan Nancy, 2011).

5
2.1.4 Patofisiologi
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah
pertama oksidasi, biliverdin terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan
terjadi pelepasan besi dan karbon monoksida. Besi dapat digunakan kembali,
sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui paru-paru.
Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak
larut dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen intramolekul).
Bilirubin tak terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin.
Bila terjadi gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik
oleh faktor endogen maupun eksogen (misalnya obat-obatan), bilirubin yang bebas
dapat melewati membran yang mengandung lemak (double lipid layer), termasuk
penghalang darah otak, yang dapat mengarah ke neurotoksisitas.
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin
terikat ke ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan
denganterjadinya peningkatan konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan
rendah pada saat lahir namun akan meningkat pesat selama beberapa minggu
kehidupan. Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat di retikulum endoplasmik
retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil transferase
(UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air
menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke
usus, bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di
usus besar. Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja
B-glukuronidase. Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk
ke dalam sirkulasi sehingga meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi,
konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik.
Proses ini berlangsung sangat panjang pada neonatus, oleh karena asupan gizi yang
terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.
2.1.5 Manifestasi klinik

6
Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-kadang
kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kernicterus).
Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula,
muntah, opistotonus, mata ter-putar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa
menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental,
kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

2.1.6. Diagnosa

Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (Szabo dkk., 2001). Lokasi
penentuan derajat kuning berdasarkan Kramer dapat dlihat pada Gambar.

Gambar 2.2 Hubungan antara derajat ikterus di kulit dan perkiraan kadar bilirubin
serum (Szabo dkk., 2001)

7
Pemeriksaan dilakukan dengan menekan jari telunjuk pada tempat-tempat
yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat
yang ditekan akan tampak pucat atau kuning (Szabo dkk., 2001).
Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi mengalami hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan
tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara
lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan hapusan darah,
hitung retikulosit, skrining Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan bilirubin
direk (Mishra dkk., 2007).
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar atau transfusi tukar.

2.1.7 Komplikasi

Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak dan sel-
sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan kematian.
Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi saraf ini masih
belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek
toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada beberapa nuklei
batang otak (Lauer dan Nancy, 2011). Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama
di ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut bilirubin ensefalopati terdiri dari 3 fase
yaitu:

a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya geraka bayi


dan reflek hisap buruk.

b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,


iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam
muncul selama fase ini.

8
c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang. Manifestasi
klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid cerebral
palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan
displasia dentalenamel (American Academy of Pediatrics, 2004).

2.1.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk


mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kernikterus atau ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus. Ada beberapa algoritma panduan tatalaksana pada ikterus
neonatorum dengam mempertimbangkan aspek usia gestasi, risiko, dan nilai bilirubin
serum, yaitu:

1. Usia Gestasi 35-376/7 minggu dengan faktor resiko

9
2. Usia Gestasi 35-376/7 minggu dengan faktor resiko dan usia gestasi ≥ 38
Minggu dengan faktor resiko

3. Usia Gestasi ≥ 38 tanpa faktor resiko

2.1.8.1
Farmakologi
Terapi farmakologis Fenobarbital telah digunakan sejak pertengahan tahun 1960
untuk meningkatkankonjugasi dan ekskresi bilirubin dengan mengaktivasi
enzim glukoronil-transferase, tetapi penggunaanya kurang efektif. Percobaan yang
dilakukan padamencit menunjukkan fenobarbital mengurangi metabolisme
oksidatif bilirubindalam jaringan saraf sehingga meningkatkan resiko efek
neurotoksik. Pemberianfenobarbital akan membatasi perkembangan ikterus fisiologis
pada bayi baru lahirbila diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam sebelum
persalinan atau padasaat bayi baru lahir dengan dosis 10 mg/kg/24 jam.

10
Meskipun demikianfenobarbital tidak secara rutin dianjurkan untuk mengobati
ikterus pada neonates karena:
a. Pengaruhnya pada metabolisme bilirubin baru terlihat setelah beberapa hari
pemberian.
b. Efektivitas obat ini lebih kecil daripada fototerapi dalam menurunkan kadar
bilirubin.
c. Mempunyai pengaruh sedatif yang tidak menguntungkan.
d. Tidak menambah respon terhadap fototerapi
Immunoglobulin intravena (IglV) merupakan terapi tambahan pada
hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh penyakit isoimmune hemolytic (ABO dan
Rh). IgIV direkomendasikan jika kadar bilirubin tidak menurun setelah sebelumnya
diberikan fototerapi. IgIV (0,5-1 g/kgBB/dosis; diulang per 12 jam) menurunkan
kejadian dari transfuse tukar pada hemolisis ABO dan Rh (Maheshwari, et al. 2016 &
Mitra,et al.2017)

2.2 Inkompatibilitas ABO


2.2.1 Defenisi
Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah antara ibu
dan bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis golongan darah, yaitu A,
B, AB dan O. Golongan darah ditentukan melalui tipe molekul (antigen) pada
permukaan sel darah merah. Sebagai contoh, individu dengan golongan darah A
memiliki antigen A, dan golongan darah B memilki antigen B, golongan darah AB
memiliki baik antigen A dan B sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen
(Joyce Poole, 2010).
2.2.2 Klasifikasi
Inkompatibilitas dapat dibedakan menjadi dua yaitu inkompatibilitas ABO dan
inkompatibilitas Rhesus.
2.2.2.1 Inkompatibilitas Rh adalah suatu kondisi yang terjadi ketika
seorang wanita hamil memilikidarah Rh-negatif dan bayi dalam
rahimnya memiliki darah Rh-positif. Selama kehamilan, sel darah merah dari
bayi yang belum lahir dapat menyeberang ke aliran darah ibu melalui
plasenta. Jika ibu memiliki Rh-negatif, sistem kekebalan tubuhnya

11
memperlakukan sel-sel Rh-positif janin seolah-olah mereka adalah substansi2
asing dan membuat antibodi terhadap sel-sel darah janin. Antibodi anti-Rh ini
dapat menyeberang kembali melalui plasenta ke bayi yang sedang
berkembang dan menghancurkan sel-sel darah merah bayi (Joyce Poole,
2010).

2.2.2.2 Inkompatilitas ABO


Inkompatibilitas ABO adalah kondisi medis dimana golongan darah
antara ibu dan bayi berbeda sewaktu masa kehamilan. Terdapat 4 jenis
golongan darah, yaitu A, B, AB dan O. Golongan darah ditentukan melalui
tipe molekul (antigen) pada permukaan sel darah merah. Sebagai contoh,
individu dengan golongan darah A memiliki antigen A, dan golongan darah B
memilki antigen B, golongan darah AB memiliki baik antigen A dan B
sedangkan golongan darah O tidak memiliki antigen.(Joyce Poole, 2010).
2.2.3 Etiologi
Sistem penggolongan darah secara ABO merupakan sistem penggolongan
terpenting karena menyebabkan beberapa reaksi hemolytic saat transfusi darah serta
dapat menyebabkan hemolytic disease of th enewborn. Sistem penggolongan ABO
merupakan satu-satunya yang memiliki antigen dan antibodi sekaligus. Setiap
individu mempunyai antibodi (isohemagglutinins) dalam plasma darahnya dan
antigen pada sel darah merahnya (RBCs) (Hendra, 2017)
Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi anti-B, golongan darah B
memiliki antigen B dan antibodi anti-A. Golongan darah AB memiliki antigen A dan
antigen B tetapi tidak memiliki antibodi pada serumnya. Golongan darah O tidah
memiliki antigen pada permukaan eritrositnya tapi memiliki antibodies anti-A dan
anyibodi anti-B (Abo Grouping ,2013)
Pengecekan golongan darah berfungsi untuk mencegah reaksi transfusion yang
dapat menyebabkan inkompabilitas ABO antara pasien dan pendonor. Inkompabilitas
ABO dapet disebabkan karena interaksi antara antigen dan antibodi yang
menimbulkan aglutinasi. Aglutinasi berapa perlekatan antara antigen yang terdapat
pada permukaan RBCs dan antibodi pada plasma sehingga menyebabkan suatu
anyaman yang menyebabkan sel-sel darah terjerat dan mengelompok.

12
2.2.4 Patofisiologi
Aglutinasi ini terjadi melalui 2 tahap yaitu perlekatan antigen dan antibodi saat
pertama bertemu. Pada tahap ini aglutinasi belum terjadi, tetapi hanya menyelubungi
sel. Tahap kedua berupa terbentuknya anyaman menimbulkan gumpalan
(aglutinasi).Antibodi yang berperan dalam reaksi antigen dan antibodi ini adalah IgM
dan IgG. IgM ukuranjya lebih besar dan dapat mengaglutinasi sel-sel secara langsung.
Sedangkan IgG ukurannya lebih kecil dan tidak dapat secara langsung mengaglutinasi
sel-sel tetapi dapat menyelubungi atau mensensitisasi sel-seldarah merah.
Berdasarkan stadiumnya, aglutinasi yang merupakan reaksi imunitas antigen antibod:
a) Sensitasi.
Perlekatan antibodi pada RBCs secara fisik. Sebelum terjadi aglutinasi
antibodi akan melakukan perlekatan dengan antigen sehingga terbentuk
kompleks antigen antibodi. Hal ini akan tampak seperti RBCs dielubungi
oleh antibodi.
b) Aglutinasi.
Pada stadium ini, setelah terjadi sensitasi, akan terbentuk jembatan-
jembatan yang antara sel-sel yang telah melekat sehingga terjadi aglutinasi.
(Hendra, 2017)

2.2.5 Diagnosis
Inkompatibilitas ABO dapat terdiagnosa apabila saat transfusi darah pasien
mengindikasikan adanya reaksi-reaksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan urin lengkap (UL) sangat dianjurkan untuk
memastikan adanya sel darah merah yang lisis atau hemoglobin pada urin sebagai
akibat hancurnya sel darah merah.
2.2.5.1 Pemeriksaan Darah Lengkap
Demi menegakkan diagnosa dari terjadinya hemolisis intravaskular maka perlu
dilakukan pemeriksaan DL. Dianjurkan untuk melakukan anamensa terlebih dahulu
untuk menegakkan penyebab dan tingkat keperahan dari hemolisis intravaskular.
Anamnesa yang dianjurkan seperti riwayat anemia pada keluarga, riwayat penyakit
terakhir atau kondisi medis tertentu, konsumsi obat-obatan, paparan zat kimia, dan
penggunaan artificial heart valve atau alat medis lainnya yang kemungkinan merusak

13
sel darah merah. Setelah anamnesa, kemudian pemeriksaan fisik dilakukan untuk
melihat tanda dan gejala hemolisis intravaskular.

Tanda fisik yang kemungkinan muncul seperti jaundice (kekuningan pada kulit
dan mata), tachycardia atau arrhythmia, tachypnea atau pernafasan yang tidak teratur,
pembesaran organ spleen, dan pendarahan dalam (internal bleeding). Pemeriksaan DL
kemudian dilakukan untuk memeriksa kadar hemoglobin, hematocrit, sel darah
merah, sel darah putih, dan platelet dalam darah. Hasil yang abnormal menunjukkan
kemungkinan hemolisis, kelainan darah, atau infeksi. Namun perlu diperhatikan
bahwa nilai normal dari komponen darah tersebut bervariasi antara individu yang
berbeda ras atau etnik. Pemeriksaan DL juga dilakukan untuk melihat Mean
Corpuscular Volume (MCV) atau rata-rata ukuran sel darah merah sebagai data
penunjang dalam menentukan kemungkinan penyebab anemia.

2.2.5.2 Pemeriksaan Urin Lengkap


Pemeriksaan UL dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang dengan menemukan
hemoglobin pada sampel urin. Apabila terjadi lisis sel darah merah intravaskular,
hemoglobin yang berada di plasma darah akan diikat oleh haptoglobin, hemopexin,
dan albumin. Namun apabila kapasitas hemoglobin melebihi protein pengikatnya,
maka hemoglobin bebas akan diabsorbsi di tubulus renalis. Apabila kapasitas
hemoglobin bebas melebihi yang dapat diabsorbsi, maka hemoglobin dapat
ditemukan dalam urine. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi lisis sel darah
merah yang sangat banyak sebagai akibat dari inkompatibilitas ABO pada sel darah
merah (Strobel, 2008)
2.2.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Inkompatibilitas ABO pada Neonatus Penatalaksanaan kasus
inkompatibilitas ABO pada neonatus umunya lebih berfokus pada penanganan
hiperbilirubinemia. Pada beberapa penelitian, IVIG (Intravenous Immunoglobulin)
dinyatakan sangat efektif ketika diberikan di awal terapi. Namun, ada pula beberapa
penelitian lain yang menyatakan bahwa terapi dengan IVIG tidak memberikan
dampak yang signifikan, akan tetapi cocok dilakukan apabila kadar bilirubin serum
sudah mencapai ambang transfusi tukar terlepas dari fototerapi.18 Selain itu,porfirin

14
tin (Sn), sebuah inhibitor heme oksigenase yang poten, telah dinyatakan dapat
menurunkan produksi dari bilirubin dan mengurangi kebutuhan untuk melakukan
transfusi tukar. Fokus utamaditekankan pada manajemen dari hiperbilirubinemia.
(Kliegman, 2011)
Pada inkompatibilitas ABO yang terjadi pada neonates, penatalaksanaan secara
umum dibagi menjadi 2 yakni penatalaksanaan secara farmakologi dan non
farmakologi.
2.2.6.1 Farmakologi
Penatalaksanaan farmakologi pertama adalah pemberian obat pengikat bilirubin.
Pemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin
rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik
modalitas ini belum diteliti secara ekstensif.Penatalaksanaan farmakologis yang
kedua yaitu blokade perubahan heme menjadi bilirubin. Modalitas terapi ini ialah
dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan menghambat heme oksigenase yang
akan menghambat penguraian heme menjadi bilirubin. Umumnya, metaloporfirin
sintetik seperti protoporfirin timah sering digunakan karena yang terbukti dapat
menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum, dan meningkatkan
ekskresi heme yang tidak dimetabolisme melalui empedu. Karena potensi toksisitas
dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini
belumditerapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga
protoporfirin seng atau mesoporfirin.

15
2.2.6.2 Non Farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologi yang paling lazim dilakukan adalah fototerapi.
Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik pada bayi dengan ikterus dan
merupakan terapi primer pada neon atus dengan hiperbilirubinemia tidak
terkonjugasi. Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi
apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang
gelombang420nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin.
Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut
dalam air danakan lebih mudah `diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah
yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara
irreversible yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut
diekskresikan melalui urine danempedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada
bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju
akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar (Hassan, 2007).

16
2.3 Sepsis Neonatal
2.3.1 Definisi
Sepsis neonatal merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang
terjadi dalam satu bulan pertama kehidupan. Bakteri, virus, jamur, dan protozoa dapat
menyebabkan sepsis pada neonatus (IDAI, 2011)
2.3.2 Klasifikasi
Sepsis dibedakan menjadi: (IDAI, 2011)
1. Early onset sepsis (EOS), timbul dalam 3 hari pertama, berupa gangguan
multisistem dengan gejala pernapas an yang menonjol; dintai denga awitan
tiba-tiba dan cepat berkembang mejadi syok septik dengan mortalitas
tinggi.
2. Late onset sepsis (EOs), timbul setelah umur 3 hari, lebih sering di atas 1
minggu. Pada sepsis awitan lambat, biasanya ditemukan fokus infeksi dan
sering disertai dengan meningitis.
3. Sepsis nosokomial, ditemukan pada bayi resiko tinggi yang dirawat,
berhubungan dengan monitor invasif dan berbagai teknik yang idgunakan
di ruang rawat intensif.
2.3.3 Epidemilogi
Insiden sepsis lebih tinggi pada kelompok neonatus dan bayi <1 tahun
dibandingkan dengan usia >1-18 tahun (9,7 versus 0,23 kasus per 1000 anak). Pasien
sepsis berat, sebagian besar berasal dari infeksi saluran nafas (36-42%), bakteremia,
dan infeksi saluran kemih. Di unit perawatan intensif anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), sejumlah 19,3% dari 502 pasien anak yang dirawat
mengalami sepsis dengan angka mortalitas 54%.6 Sepsis berat lebih sering dialami
anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imunitas seperti
keganasan, transplantasi, penyakit respirasi kronis dan defek jantung bawaan.1,2,7
Penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT) pada tahun
2015 mengumpulkan data PICU dari 26 negara, memperoleh data penurunan
prevalensi global sepsis berat (Case Fatality Rate) dari 10,3% menjadi 8,9% (95%IK;
7,6-8,9%). Usia rerata penderita sepsis berat 3,0 tahun (0,7-11,0), infeksi terbanyak
terdapat pada sistem respirasi (40%) dan 67% kasus mengalami disfungsi multi

17
organ. Angka kematian selama perawatan di rumah sakit sebesar 25% dan tidak
terdapat perbedaan mortalitas antara PICU di negara berkembang dan negara maju.8
2.3.4 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi.3,5 Bakteri
merupakan penyebab infeksi yang paling sering, tetapi dapat pula berasal dari jamur,
virus, atau parasit.3 Respon imun terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi
organ atau sepsis dan syok septik dengan angka mortalitas relative tinggi. Organ
tersering yang merupakan infeksi primer, adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit,
dan abdomen. Faktor risiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan
sistem imun seperti pada pasien keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka
bakar mayor.9,10
Mikroorganisme patogen penyebab sepsis, sangat tergantung pada usia dan
respons tubuh terhadap infeksi itu sendiri (tabel 1).2,7

18
2.3.5 Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya:
1. Infeksi, meliputi
a. faktor predisposisi infeksi
b tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung,
c. respon inflamasi;
2. Tanda disfungsi/gagal organ. Alur
penegakan diagnosis sepsis tertera pada gambar 1

2.3.5.1 Infeksi
Kecurigaan infeksi didasarkan pada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan
reaksi inflamasi. Faktor-faktor predisposisi infeksi, meliputi: faktor genetik, usia,
status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas (asplenia, penyakit kronis, transplantasi,
keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat terapi (steroid, antibiotika, tindakan
invasif). Tanda infeksi berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Secara klinis
ditandai oleh demam atau hipotermia, atau adanya fokus infeksi. Secara laboratoris,
digunakan penanda (biomarker) infeksi: pemeriksaan darah tepi (lekosit, trombosit,
rasio netrofil:limfosit, shift to the left), pemeriksaan morfologi darah tepi (granula
toksik, Dohle body, dan vakuola dalam sitoplasma), c-reactive protein (CRP), dan
prokalsitonin. Sepsis memerlukan pembuktian adanya mikroorganisme yang dapat
dilakukan melalui pemeriksaan apus Gram, hasil kultur (biakan), atau polymerase

19
chain reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan dengan
pemeriksan analisis urin, feses rutin, lumbal pungsi, dan pencitraan sesuai indikasi.
Secara klinis respon inflamasi terdiri dari:
1. Demam (suhu inti >38,5°C atau suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti
<36°C).
2. Takikardia: rerata denyut jantung di atas normal sesuai usia tanpa adanya stimulus
eksternal, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat
dijelaskan lebih dari 0,5 sampai 4 jam (lampiran 1)
3. Bradikardia (pada anak <1 tahun): rerata denyut jantung di bawah normal sesuai
usia tanpa adanya stimulus vagal eksternal, beta-blocker, atau penyakit jantung
kongenital; atau penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan selama lebih
dari 0,5 jam (lampiran 1)
4. Takipneu: rerata frekuensi nafas di atas normal (lampiran 1) Secara laboratoris,
respon inflamasi berdasarkan pada jumlah leukosit, CRP, transaminase serum, dan
prokalsitonin (tabel 2).13-15

20
21
2.3.6. Faktor resiko
Faktor Risiko untuk Terjadinya Sepsis Neonatal ialah:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah, disebabkan fungsi dan anatomi
kulit yang masih imatur, dan lemahnya sistem imun,
2. Ketuban pecah dini (>18 jam),
3. Ibu demam pada masa peripartum atau ibu dengan infeksi, misalnya
khorioamnionitis, infeksi saluran kencing, kolonisasi vagina oleh
GBS, kolonisasi
4. perineal dengan E. coli, Cairan ketuban hijau keruh dan berbau,
5. Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir,
6. Kehamilan kembar.
7. Prosedur invasif,

22
8. Tindakan pemasangan alat misalnya kateter, infus, pipa
endotrakheal,
9. Bayi dengan galaktosemi,
10. Terapi zat besi,
11. Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,
12. Pemberian nutrisi parenteral,
13. Pemakaian antibiotik sebelumnya.
2.3.7. Patofisiologi

Sepsis dimulai dari patogen yang menginfeksi tubuh dimana komponen


membran luar organisme gra negatif (misalnya, lipopolisakarida, lipid A, endotoksin)
atau organisme gram positif (misalnya, asam lipoteichoic, peptidoglikan), serta jamur,
Virus, dan komponen parasit selanjutnya menghasilkan respon imun. Respons imun
mengoptimalkan kemampuan sel-sel imun (eutrophil, limfosit, dan makrofag) untuk
meninggalkan sirkulasi dan memasuki tempat infeksi. Signal oleh mediator ini terjadi
melalui sebuah reseptor trans-membran yang dikenal sebagai Toll-like rececptors.
Dalam monosit, nuclear factor-kB NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada produksi
sitokin proinflamasi, tumor necrosis factor a (TNF-a), dan interleukin 1 (IL-1). TNF-a
dan IL-I memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk prostaglandin,
leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini merusak
lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain itu,

23
Sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui
pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida
nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi yang
mengarah ke Syok septik (Dipiro, 2020).
2.2.8 Penatalaksanaan
Tata laksana
Tata laksana sepsis ditujukan pada penanggulangan infeksi dan disfungsi
organ.
2.2.8.1 Tata laksana Infeksi
2.2.8.1.1 Antibiotika
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi,
diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab sepsis belum jelas,
antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya
dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan
menggunakan antibiotika tunggal berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab
diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman.18,19
Prinsip Penggunaan Antibiotik Empirik pada Sepsis dengan Penyebab yang
Belum Diketahui
Prinsip utama paradigma terapi empiris
• Berikan pilihan antibiotik pertama secara efektif dan tepat
• Dasarkan pemilihan antibiotik, baik empiris maupun bertarget, pada pengetahuan
pola kepekaan lokal (antibiogram lokal)
• Optimalkan dosis dan rute pemberian antibiotik
• Berikan antibiotik tunggal, spektrum luas dengan durasi sesingkat mungkin
DAN
• Sesuaikan atau hentikan terapi antibiotik sedini mungkin untuk mengurangi
kemungkinan resistensi (de-eskalasi)

24
25
26
2.2.8.2 Tata laksana disfungsi organ
2.2.8.2.1 Transfusi darah
A. Transfusi packed red cell
Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan saturasi vena
cava superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dan ScvO2 <70%, disarankan tercapai kadar
hemoglobin >10 g/dL. Setelah syok teratasi, kadar Hb <7 g/dL dapat
digunakan sebagai ambang transfusi.2,55,56
B. Transfusi konsentrat trombosit
Transfusi trombosit diberikan pada pasien sepsis sebagai profilaksis
atau terapi, dengan kriteria sebagai berikut: 2,46
- Profilaksis diberikan pada kadar trombosit <10.000/mm3 tanpa
perdarahan aktif, atau kadar <20.000 /mm3 dengan risiko
bermakna perdarahan aktif. Bila pasien akan menjalani
pembedahan atau prosedur invasif, kadar trombosit dianjurkan
>50.000/mm3.
- Terapi diberikan pada kadar trombosit <100.000/mm3 dengan
perdarahan aktif.
C. Transfusi plasma
Tranfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma, FFP) diberikan
pada pasien sepsis yang mengalami gangguan purpura trombotik, antara
lain: koagulasi intravaskular menyeluruh (disseminated intravascular
coagulation, DIC), secondary thrombotic microangiopathy, dan
thrombotic thrombocytopenic purpura.2,46
2.2.8.3. Kortikosteroid
Hidrokortison suksinat 50 mg/m2/hari diindikasikan untuk pasien syok
refrakter katekolamin atau terdapat tanda-tanda insufisiensi adrenal.
2.2.8.4. Kontrol glikemik
Gula darah dipertahankan 50-180 mg/dL. Bila gula darah >180 mg/dL,
glucose infusion rate (GIR) diturunkan sampai 5 mg/kg/menit. Bila gula darah >180
mg/dL, dengan GIR 5 mg/kg/menit, GIR dipertahankan dan titrasi rapid acting
insulin 0,05-0,1 IU/kg.

27
2.2.8.5 Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil, diutamakan secara
enteral dengan kebutuhan fase akut 57 kCal/kg/hari dan protein 60% dari total
kebutuhan protein (0-2 tahun: 2-3 g/kg/hari; 2-3 tahun: 1,5-2 g/ kg/hari; 3-18 tahun:
1,5 g/kg/hari).62-64
2.2.8.3. Menghilangkan sumber infeksi
Melakukan debridemen, mengeluarkan abses dan pus, membuka alat dan
kateter yang berada dalam tubuh merupakan bagian dari eradikasi sumber infeksi.

28
2.4 Tinjauan obat
1. KAEN Mg3
Kelas Terapi Elektrolit

Komposisi Tiap liter mengandung, sodium klorida 1.75


gram, potassium klorida 1.5 gram, sodium
laktat 2.24 gram, dektroksa anhidrat 100
gram.

Indikasi KA-EN Mg3 merupakan cairan infus yang


mengandung natrium, kalium, klorida, lactate,
glucose. KA-EN Mg3 digunakan untuk
membantu pengobatan ketidak seimbangan
karbohidrat dan elektrolit pada keadaan
insufisiensi asupan makanan peroral, prosedur
pembedahan, neonatologi, dan asidosis
diabetikum.

Dosis Dosis lazim 500-1000 ml

Kontra Indikasi Pasien yang memiliki riwayat hipersensitif


terhadap salah satu komposisi dari KA-EN
Mg3

Efek Samping  Hipersensitif

 Nyeri pada tempat injeksi

 Pembengkakan paru-paru dan otak

 Hiperkalemia

Bentuk Sediaan Cairan infus

29
Contoh Gambar
Sediaan

30
2. Sibital
Struktur kimia

Komposisi Phenobarbital
Kelas terapi Antikonvulsan
Indikasi Sedasi, hipnotik (tatalaksana jangka pendek insomnia),
premedikasi, kejang umum tonik-klonik, kejang fokal dan
status epileptikus. (IDAI, 2013)
Mekanisme Fenobarbital adalah penurun ambang stimulasi sel saraf
kerja di korteks motorik sehingga terjadi hambatan
penyebaran aktivitas listrik (lepas muatan) dari fokus
aktivitas epilepsi di otak. Fenobarbital bekerja pada
reseptor GABA sehingga menyebabkan peningkatkan
inhibisi sinaptik. Hal tersebutlah yang menyebabkan
adanya efek terangkatnya ambang kejang, Selain itu, hal
tersebut pula dapat mengurangi penyebaran aktivitas
kejang dari fokus kejang. Fenobarbital juga dapat
menghambat saluran kalsium, mengakibatkan penurunan
pengeluaran transmitter yang memiliki fungsi untuk
merangsang.
Dosis Antikonvulsi I, IM: 20 mg/kgBB. Dapat diulang
(maksimal total 40 mg/kgBB) namun dapat
mengakibatkan depresi nafas, sehingga mungkin perlu
ventilasi mekanik (IDAI, 2013)
Pemberian obat Oral dan intravena
Kontraindikasi Pasien yang sensitif terhadap fenobarbital, gangguan
fungsi hati, penderita nefritis (dosis besar) serta penyakit
distres pernapasan yang berat ( terdapat dispnea dan

31
obstruksi). Obat tidak boleh diberikan pada pasien dengan
riwayat adiksi terhadap obat golongan hipnotik-sedasi.
Efek samping Mengantuk, letargi, depresi mental, dan hiperaktif pada
anak, resah dan bingung pada lansia; reaksi alergi pada
kulit, hipoprotrom binemia, anemia megaloblastik. (PIO
Nas)
Peringatan Lansia, anak, gangguan fungsi hati dan ginjal, depresi
pernapasan, hamil, menyusui, hindari pemutusan obat
mendadak. (PIO Nas)
Farmakokinetika Setelah pemberian obat secara oral obat diserap dengan
baik dari lambung dan usus halus, dengan kadar puncak
terjadi 2 sampai 20 jam kemudian. Fenobarbital adalah
asam lemah yang diserap dan dengan cepat
didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan dengan
konsentrasi tinggi di otak, hati, dan ginjal. Metabolisme
fenobarbital terjadi di hati berupa hidroksilasi dan
konjugasi ke sulfat atau asam glukuronat, diikuti oleh
ekskresi melalui ginjal. Waktu paruh fenobarbital adalah
dari 50 sampai 100 jam. Sekitar 25 sampai 50 persen dari
dosis fenobarbital dihilangkan tidak berubah dalam urin
Gambar sediaan

3. Pycin

32
Struktur kimia

Komposisi Ampisilin
Kelas terapi Aminopenisilin (AHFS,2011)
Indikasi Mastoiditis; Infeksi ginekologik; septikemia; peritonitis;
endokarditis; meningitis; kolesistitis; osteomielitis yang
disebabkan oleh kuman yang sensitif. (IDAI, 2013)
Interaksi Alopurinol : Risiko peningkatan ruam.
Metotreksat : Mengurangi ekskresi metotreksat (risiko
peningkatan toksisitas).
Warfarin : Dari hasil studi menunjukkan interaksi, tapi
pengalaman lazim klinis antikorgulan bahwa INR dapat
diubah oleh pemberian ampisilin.
Antasida (aluminium hidroksida; magnesium hidroksida)
Catatan : Antasida sebaiknya tidak digunakan pada waktu
yang sama dengan obat-obat lain karena dapat
mengganggu absorpsi
Asam asetilsalisilat : Ekskresi dari asetilsalisilat
meningkat dalam basa urin.
Digoksin : Kemungkinan mengurangi penyerapan
digoksin
Doksisiklin : Kemungkinan mengurangi penyerapan
doksisiklin.
Isoniazid : Kemungkinan mengurangi penyerapan
isoniazid.
Klorokuin : Mengurangi penyerapan dari klorokuin
Klorpromazin : Mengurangi penyerapan dari
klorpromazin.
Ofloksasin : Kemungkinan mengurangi penyerapan
ofloksasin.

33
Penisilamin : Kemungkinan mengurangi penyerapan
penisilamin.
Fenitoin : Kemungkinan mengurangi penyerapan fenitoin.
Dosis IV Neonatus : 25 – 50 mg/kgBB/dosis; usia 1 minggu:
12 jam, usia 2-4 minggu: setiap 6-8 jam (IDAI, 2013)
Pemberian Injeksi intravena
obat
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap penisilin
Efek samping Mual dan muntah, diare; ruam (hipersensitivitas atau
reaksi toksik bila serius, maka pengobatan dihentikan);
reaksi hipersensitivitas termasuk urtikaria, angioedema,
anafilaksis, reaksi serum sickness, anemia hemolitik,
nefritis interstitial.
Jarang : kolitis; neutropenia, trombositopenia, gangguan
koagulasi. (IDAI, 2013)
Peringatan Riwayat alergi, gangguan ginjal. Pemakaian dosis tinggi
atau jangka lama dapat menimbulkan superinfeksi
terutama pada saluran pencernaan. Jangan diberikan pada
bayi baru lahir dan ibu yang hipersensitif terhadap
penisilin. Pada penderita ginjal, takaran harus dikurangi.
Keamanan pemakaian pada wanita hamil belum diketahui
dengan pasti. Hati-hati kemungkinan terjadi syok
anafilaktik. (PIO Nas)
Farmako Diabsorbsi secara oral sebesar 30-40%, waktu paruh 1-2
kinetika jam, dan ikatan protein plasma sebesar 20%
Gambar
sediaan

34
35
4. Gentamycin
Struktur kimia

Komposisi Gentamisin
Kelas terapi Aminoglikosida
Indikasi Pneumonia, kolesistisis, peritonitis, septikemia,
pyelonefritis, infeksi kulit, inflamasi pada tulang panggul,
endokarditis, meningitis, listeriosis, tularaemia,
brucellosis, pes, pencegahan infeksi setelah pembedahan.
Interaksi Antibiotik beta laktam (sefalosporin, penisilin),
chloramphenicol, diuretik, tetrasiklin. (AHFS, 2011)
Dosis 5 mg/kgBB/dosis (IDAI, 2013)
Pemberian obat Injeksi intravena
Kontraindikasi Kehamilan, miasthenia gravis (IDAI, 2013)
Efek samping  Gangguan pendengaran dan keseimbangan,
ototoksisitas dan nefrotoksisitas berhubungan dengan
besar dosis.
 Pada gagal ginjal interval dosis diperpanjang, bila
gagal ginjal berat, dosis diturunkan. Monitor kadar
plasma mencegah dosis berlebih dan subterapi,
mencegah toksisitas menjamin efektivitas. .
 Nefrotoksisitas Jarang: hipomagnesemia pada terapi
jangka panjang, kolitis, mual, muntah dan ruam.
Peringatan Gangguan fungsi ginjal, bayi (sesuaikan dosis, monitor
ginjal, fungsi pendengaran dan kesetimbangan, dan kadar
gentamisin dalam darah). Hindari penggunaan jangka
panjang, kelemahan otot, obesitas (monitor kadar
gentamisin). Monitor kadar puncak plasma (1 jam) < 10
mg/L, kadar nadir (trough) / sebelum dosis berikut < 2
mg/L.
Farmakokinetika Bioavailabilitas : rendah jika diminum
Ikatan protein : 0-10%

36
Waktu paruh : 2 jam
Ekskresi : Ginjal
Gambar sediaan

37
5. Cefotaxim
Struktur Kimia

Komposisi Cefotaxim 2 gram

Indikasi Infeksi traktus respiratorius bawah, infeksi kulit atau


struktur kulit, infeksi tulang dan sendi, infeksi intra-
abdomen, dan infeksi traktus genitourinarius. Terapi
proven atau suspected meningitis yang disebabkan oleh
organisme seperti H. influenzae dan N. meningitidis;
infeksi Neisseria gonorhoeae; infeksi bakteri batang gram
negatif nonpseudomonas pada pasien dengan risiko
mengalami nefrotoksisitas dan/atau ototoksisitas akibat
aminoglikosida.Infeksi bakteri yang terbukti sensitif
terhadap sefotaksim.
Dosis Neonatus IM,IV: Usia postnatal <7 hari: 1200-2000 g:
100 mg/kgBB/hari dibagi setiap 12 jam >2000 g : 100-
150 mg/kgBB/hari dibagi setiap 8-12 jam.
Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap sefotaksim, sefalosporin, atau
komponennya.

Bentuk sediaan Serbuk injeksi 500 mg, 1000 mg, vial.

Efek samping Kardiovaskular: aritmia; susunan saraf pusat: demam,


nyeri kepala; dermatologik: ruam, pruritus;
gastrointestinal: kolitis pseudomembranosa terkait
antibiotik, diare, mual, muntah; hematologik: neutropenia
transien, trombositopenia, eosinofilia, leukopenia; hepatik:
peningkatan sementara enzim hepar; reaksi lokal: flebitis,

38
nyeri pada lokasi penyuntikan; renal: peningkatan
sementara ureum dan kreatinin.
Gambar sediaan

39
6. Amino Steril 6%

Komposisi Tiap 500 mL mengandung Asam asetat, Glycine, L-


Alanine, L Arginine, L-Histidin, L-Isoleusin, L-Leusin, L-
Lysine Acetate, L-Metionin, L-Ornitin, L Aspartat, L-
Fenilalanin, L-Proline, L Serine, L-Threonine, L-
Tryptophan, L Valine, N-Acetyl-L-Tyrosine, Taurin.
Indikasi Aminosteril digunakan untuk mempertahankan atau
memperbaiki keseimbangan nitrogen pada pasien yang
kekurangan asupan protein terutama pada pasien dengan
pemberian per oral atau mulut tidak dimungkinkan, serta
sebelum atau sesudah operasi kemoterapi.
Kelas terapi Nutrisi Parenteral.

Dosis Dosis: 1-2 gram/kg berat badan/hari.

Kontra Indikasi Pasien dg kelainan metabolisme asam amino sejak lahir;


koma hepatik & anuria yg tdk diobati, insufisiensi kardiak,
hipokalemia & hiperhidrasi.

Bentuk sediaan Infus 6%

Efek Samping Efek samping yang mungkin terjadi selama pemberian


Aminosteril, antara lain:
1. Mual, muntah.
2. Menggigil, sakit kepala.
3. Kemerahan pada kulit atau reaksi hipersensitif yang lain
jarang dilaporkan dan pemberian harus dihentikan bila
ditemukan tanda-tanda seperti diatas.
4.Pemberian dosis besar dan cepat: Asidosis (penumpukan
asam darah) bisa terjadi setelah pemberian Aminosteril
Infus dalam dosis besar dan cepat.

40
Gambar sediaan

41
7. NaCl
Struktur Kimia

Komposisi Natrium Chloride/ Sodium Chloride 0,9%

Indikasi Obat ini digunakan untuk pengobatan dehidrasi isotonik


ekstraseluler, deplesi natrium dan juga dapat digunakan
sebagai pelarut sediaan injeksi.
Dosis Kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan pasien
Kebutuhan cairan rumatan
Berat Badan anak Cairan (ml/kgBB/hari)
2 kg 200 ml/hari
4 kg 400 ml/hari
6 kg 600 ml/hari
8 kg 800 ml/hari
10 kg 1000 ml/hari
12 kg 1200 ml/hari
14 kg 1400 ml/hari
Kontra Indikasi Kondisi kesehatan yang Anda miliki bisa memengaruhi
penggunaan obat ini, seperti:
- Pasien dengan riwayat asidosis metabolisme
dikarenakan klorida pada natrium klorida dapat
meningkat dalam tubuh.

- Pasien dengan masalah retensi cairan akan


menyebabkan kondisi berbahaya lain pada tubuh
seperti hipernatremia, hipokalemia, dan gagal jantung.

Bentuk sediaan Cairan infus dalam satuan Softbag @ 500 mL

42
Gambar sediaan

43
8. Dobutamin
Struktur Kimia

Komposisi Dobutamin injeksi 250mg/5ml, tiap ml mengandung:


Dobutamine setara dengan Dobutamine 50mg
Kelas Terapi Selektif beta-1 agonis adrenergic
Indikasi Memiliki efek yang lebih baik dalam meningkatkan curah
jantung dibanding dopamin dan mempunyai efek minimal
pada tekanan darah. Digunakan untuk meningkatkan
kontraktilitas miokard dan curah jantung. Dobutamin dapat
digunakan bersamaan dengan dopamin.
Mekanisme Dobutamine merupakan amina simpatomimetik yang
Kerja mempunyai efek stimulasi yang kuat pada reseptor beta-1 dan
efek yang lemah pada reseptor beta-2 dan alfa-1 di jantung.
Dobutamine secara langsung menstimulasi reseptor beta-1 di
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium dan isi
sekuncup, yang menyebabkan peningkatan curah jantung.
Aliran darah koroner dan konsumsi oksigen miokardium
meningkat karena terjadi peningkatan kontraktolitas
miokardium.
Dosis 5 - 20 mikrogram/kgBB/menit, mulai dari 5
mikrogram/kgBB/menit, jika diperlukan dapat ditingkatkan 10
menit kemudian.
Pemberian Obat Infus intravena. Larutan steril untuk injeksi diencerkan dalam
larutan fisiologis NaCl 0,9% atau Dekstrose 5%.
Kontraindikasi Hipovolemia harus dikoreksi sebelum pemberian dobutamin.
Waspada pada pasien hipertensi dan stenosis subaorta
hipertofi.
Efek Samping Dapat mengakibatkan hipotensi pada pasien hipovolemia,
takikardia, aritmia, hipertensi, vasodilatasi bawah kulit
(gambaran flushing).

44
Peringatan -Selama pengobatan tekanan darah dan EKG harus dimonitor
-Hipovolumia harus selalu dikoreksi sebelum melakukan
terapi dengan dobutamine
-Dapat menimbulkan nyeri dada pada pasien dengan penyakit
jantung koroner. Dosis harus dipertimbangkan dengan hati-
hati
Farmakokinetika Absorbsi: Setelah pemberian IV, mulai kerja dobutamine
timbul dalam 2 menit. Konsentrasi puncak plasma terjadi
dalam waktu 10 menit.
Distribusi:Tidak diketahui apakah dobutamine dapat melewati
plasenta atau ke air susu ibu
Eliminasi: waktu paruh plasma lebih kurang 2 menit.
Dobutamine dimetabolisme di hati dan jaringan lain oleh
cathecol-O-methyltransferase dan terkonjugasi dengan asam
glukoronat. Konjugat dobutamine dieksresi terutama di dalam
urine dan dalam jumlah kecil dieksresi di dalam feses
Gambar sediaan

45
9 Dopamin
Struktur Kimia

Komposisi Dopamin

Kelas Terapi Kardiovaskular

Indikasi Untuk penanganan hipotensi pada kondisi syok

Mekanisme Kerja Bekerja sebagai agonis reseptor Beta 2 adrenergik.


Meningkatkan kontraktilitas miokard dan meningkatkan
frekuensi denyut jantung. Efek klinis yang diharapkan
setelah pemberian dopamin adalah peningkatkan cardiac
output dan tekanan darah. Efek renal tidak ada. Efek
takikardi lebih ringan dari dopamin.

Dosis Neonatus: infus kontinyu 1-20 mcg/kgBB/menit, titrasi


hingga diperoleh respons yang diinginkan. (IDAI,2013)

Kontra Indikasi Hipersensitivitas terhadap dopamin, fibrilasi ventrikel,


takiaritmia yang tidak dikoreksi

Efek Samping Mual dan muntah; vasokonstriksi perifer; hipotensi disertai


pusing, pingsan, muka merah; takikardia, denyut ektopik,
palpitasi, nyeri angina; sakit kepala; dispnea; hipertensi
terutama pada overdosis.

Peringatan Gunakan dengan hati-hati pada syok kardiogenik dengan


gagal jantung kongestif. Dapat menyebabkan takiaritmia,
vasokontriksi eksesif. Jangan dikombinasi dengan larutan
alkali (natrium bikarbonat).

46
Bentuk sediaan Injeksi : 20 mg/5 ml, 40 mg/ml

Gambar Sediaan

47
9. Epinefrin
Struktur
Kimia

Komposisi Epinefrin injeksi 1mg

Indikasi Sebagai pilihan terapi vasoaktif pada syok anak

Mekanisme Secara farmakologi, epinefrin atau adrenalin bekerja dengan


Kerja cara menstimulasi saraf simpatis melalui reseptor alfa dan beta
adrenergik. Obat ini memiliki onset yang cepat dan durasi kerja
yang singkat ketika diberikan secara parenteral dan intraocular.
Epinefrin merupakan katekolamin endogen yang dapat
menstimulasi saraf simpatis melalui reseptor alfa dan beta
adrenergik. Obat ini dapat meningkatkan kontraktilitas jantung,
denyut jantung, dan cardiac output. Dalam dosis rendah,
epinefrin memicu vasodilatasi yang dimediasi reseptor beta-2.
Namun, dalam dosis tinggi, obat ini memicu vasokonstriksi dan
kenaikan tekanan darah yang dimediasi reseptor alfa-1
Dosis 0,05 – 0,5 mcg/kg/menit ( Frank Shann, 2014)
Pemberian Intra vena
Obat
Kontra Hipertensi, pada pasien penyakit jantung koroner
Indikasi
Efek Ansietas, khawatir, dysnea, sakit kepala.
samping

Peringatan Peringatan epinefrin perlu diperhatikan pada pasien dengan


hipertensi, hipertiroid, dan penyakit jantung.

48
Gambar
sediaan

49
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Data Umum

No. MR 21.61.XX

Nama Pasien By. Ny. N. S

Agama Islam

Jenis Kelamin Perempuan

Umur/Tanggal Lahir 3 Hari/ 25 Mei 2021

Ruangan Perinatologi- NICU

Diagnosa Sepsis Neonaturum, Ikterik ec. ABO


Incompatibility

Mulai Perawatan 28 Mei 2021

Dokter Yang Merawat dr. IW, Sp, A

3.2 Riwayat Penyakit


3.2.1 Keluhan Utama
- Sesak sejak lahir
- Badan bayi kuning
- Bayi kejang 1 hari sebelum masuk RS
- Bayi tidak mau menyusu
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
- Sepsis Neonaturum
- Ikterik ec ABO incompatibility
3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
- Tidak ada

3.2.4 Riwayat pengobatan


- Tidak ada
3.2.3 Riwayat Alergi
- Tidak ada

50
3.3 Data Penunjang
3.3.1. Data Pemeriksaan Fisik
- Mata : Konjugtiva anemis (+), Sklera ikterik (+/+)
- THT : Nafas cuping hidung (-)
- Dada : Retraksi interkostal (+)
- Abdomen : Supel (normal)
- Ekstremitas : Ikterik, Kramer grade 5, akral hangat, CRT <2 detik,
udem (+)
- Nadi (HR) : 130x/menit (Normal 120-160x/menit)
- Suhu : 36,5C (normal 36,5 – 37,5C)
- Tekanan Darah : 30/9 mmHg (Normal 60-80/40-45 mmHg)
- Berat badan : 2700 gram
- Pernafasan : 40x/menit (Normal 30-60x/menit)
- SaO2 : 98%

51
3.3.2 Pemeriksaan Vital
: Rendah : Tinggi

IGD Perinatolog
Data Klinik Normal 28/05/21 i 28/05/2
14.45 WIB 28/05/21 28/05/21 29/05/21
28/05/21 1
18.00 22.32 05.35
16.57 21.15
TD (mmHg) Nafas tidak
60-80/40-45 30/9 30/9 31/9 31/10 32/10
ada, denyut
Suhu (°C)
36.5 – 37.5 36,5 36,5 36,5 36,5 36,5 jantung
Nadi (x/menit) tidak
120-160 130 115 140 121 100
terdengar,
Nafas( x/menit)
Pasien
30-60 20
dinyatakan
meninggal

3.3.3 Data Laboratorium

52
: Rendah : Tinggi
NO Data Laboratorium Nilai Rujukan Hasil pemeriksaan

28/05/2021

HEMATOLOGI

1. Hemoglobin 14.5-24.5 g/dL 16.0

2. Eritrosit 4,1-6,1 x106/µL 4,34

3. Hematokrit 44-64 % 48,7

NILAI- NILAI MC

4. MCV 98-112 fL 112,2

5. MCH 34-40 pg/cell 36,9

6. MCHC 33-37 g/dL 32,9

7. RDW-CV 11,5-14,5 % 23,1

8. Leukosit 9-29 x103/µL 17,1

9. Trombosit 150-450 x103/µL 11

KIMIA KLINIK

10. Bilirubin Total 1-10 mg/dL 22,06

53
11. Bilirubun Direk 0 – 10 mg/dL 13,8

12. Bilirubin Indirek 0 – 10 mg/dL 8,26

13. Glukosa Darah 40 – 65 mg/dL 64

14. Ureum 7,6 – 10,4 mg/dL 7,71

ELEKTROLIT SERUM (NA-K-CL)

15. Natrium (Na) 135-145 mEq/L 131,5

16. Kalium (K) 3,5-5,5 mEq/L 8,2

17. Klorida (Cl) 98-108 mEq/L 105,2

54
3.3.4 Hasil Pemeriksaan Radiologi Toraks
- Jantung tidak membesar
- Aorta baik, mediastinum superior melebar (thymus)
- Trakea di tengah. Kedua hillus suram
- Tampak infiltrate halus perihiler dan parakardial bilateral terutama paru kanan
- Hemidiafragma licin. Kedua sinus kostofrenikus lancip
- Jaringan lunak dinding dada terlihat baik

55
3.4 Follow Up

Dokter Apoteker
Tanggal S O
A P A P
28/05/2021 Bayi usia 3 hari, -Nadi: -Sepsis - Pasang CPAP
riwayat 130x/menit neonaturum - Fototerapi 1) Disarankan
IGD 1) Dobutamin dan
persalinan - KA-EN Mg3 monitor kadar
14.45 WIB -Suhu : 36,5C -Ikterik ec gentamisin sama-
normal, bayi IVFD 8,25 kalium pasien
ABO sama menurunkan
lahir di bidan -Tekanan Darah: cc/jam 2) Disarankan
incompatibility serum kalium.
cukup bulan 30/9 mmHg - Amino steril 6% monitor temperatur
2) sibital menurunkan
dengan berat 2cc/jam pasien
-Pernafasan: efek atau level dari
2700 gram, - Dobutamin 1 3) disarankan
40x/menit gentamisin oleh P-
nafas sesak sejak cc/jam monitor kesadaran
glycoprotein (MDR1)
lahir, badan -berat badan: - Sibital injeksi pasien
efflux transporter
kuning, kejang 2x7mg (IV)
2700 gram 3) Sibital meningkatkan
sejak 1 hari - Pycin 2x15 mg
efek sedasi dan
SMRS, bayi -SaO2 : 98% (IV)
dobutamin menurunkan
tidak mau - Gentamisin
efek sedasi
menyusu 1x12mg (IV)
- Cefotaxime 2x15

56
mg (IV)
28/05/21 Bayi sesak Tekanan darah - -Sepsis - dobutamin 45mg 1) Dobutamin dan 1) disarankan
16.57 30/19 neonaturu dalam 25cc NaCl epinefrin keduanya monitor kadar
Nadi 115x/menit m 0,9% : 1 cc/jam menurunkan serum kalium pasien
- -Ikterik ec - epinefrin 4,5 mg kalium 2) Disarankan
ABO dalam 25 cc 2) Dobutamin dan monitoring
incompatib NaCl : 0,3 epinefrin keduanya kesadaran pasien
ility cc/jam menurunkan efek sedasi
- Antibiotik ganti 3) Dobutamin dan 3) Disarankan
dengan epinefrin keduanya monitor tekanan
cefoperazone meningkatkan efek darah pasien
sulbactam adrenergic dan
2x150mg (IV) meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
28/05/21 -Bayi sesak Tekanan darah: -Sepsis - Dobutamin 45 1) Dobutamin dan 1) disarankan
18.00 -Badan bayi 31/9 map 19 neonaturum mg dalam 25 cc epinefrin keduanya monitor kadar
kuning NaCl : 1 cc/jam menurunkan serum kalium pasien
Nadi ; -Ikterik ec
- Epinefrin 4,5 mg kalium
140x/menit ABO
dalam 25 cc 2) Dobutamin dan 2) disarankan
incompatibility
NaCl : 0,3 epinefrin keduanya monitoring

57
cc/jam menurunkan efek sedasi kesadaran pasien
- Drip 3) Dobutamin dan 3) Disarankan
hidrokortison 20 epinefrin keduanya monitoring tekanan
mg dalam 24 meningkatkan efek darah pasien
NaCl : 0,5 adrenergic dan
cc/jam meningkatkan tekanan
- Dopamin 45 mg darah dan denyut jantung
dalam 25 cc 4) dobutamin dan
NaCl : 0,5 dopamine keduanya
cc/jam menurunkan efek sedasi
5) dobutamin dan
dopamine keduanya
meningkatkan efek
adrenergic dan
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
6) Epinefrin dan
dopamine keduanya
meningkatkan efek
adrenergic dan

58
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
28/05/21 Kondisi umum -Nadi: -Sepsis -dobutamin 45 mg 1) Dobutamin dan 1) disarankan
21.15 lemah 121x/menit neonaturum dalam 25 cc NaCl : 1 epinefrin keduanya monitor kadar
cc/jam menurunkan serum kalium pasien
SaO2 : 95-96% -Ikterik ec
kalium
ABO -Epinefrin 4,5 mg
2) Dobutamin dan 2) disarankan
incompatibility dalam 25 cc NaCl :
epinefrin keduanya monitoring
0,3 cc/jam
menurunkan efek sedasi kesadaran pasien
- Hidrokortison drip 3) Dobutamin dan 3) Disarankan
20 mg dalam 24 epinefrin keduanya monitoring tekanan
NaCl : 0,5 cc/jam meningkatkan efek darah pasien
adrenergic dan
- Dopamin 45 mg
meningkatkan tekanan
dalam 25 cc NaCl :
darah dan denyut jantung
0,5 cc/jam
4) Dobutamin dan
dopamine keduanya
menurunkan efek sedasi
5) Dobutamin dan
dopamine keduanya

59
meningkatkan efek
adrenergic dan
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
6) Epinefrin dan
dopamine keduanya
meningkatkan efek
adrenergic dan
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
28/05/21 Bayi sesak Tekanan darah; -Sepsis - Dobutamin 45 1) Dobutamin dan 1) disarankan
22.32 32/10 map 19 neonaturum mg dalam 25 cc epinefrin keduanya monitor kadar
NaCl : 1 cc/jam menurunkan serum kalium pasien
Nadi 100x/menit -Ikterik ec
- Epinefrin 4,5 mg kalium
ABO
SPO2: 93% dalam 25 cc 2) Dobutamin dan 2) disarankan
incompatibility
NaCl : 0,3 epinefrin keduanya monitoring
cc/jam menurunkan efek sedasi kesadaran pasien
- Drip 3) Dobutamin dan 3) Disarankan
hidrokortison 20 epinefrin keduanya monitoring tekanan
mg dalam 24 meningkatkan efek darah pasien

60
NaCl : 0,5 adrenergic dan
cc/jam meningkatkan tekanan
- Dopamin 45 mg darah dan denyut jantung
dalam 25 cc 4) Dobutamin dan
NaCl : dopamine keduanya
- 0,5 cc/jam menurunkan efek sedasi
5) Dobutamin dan
dopamine keduanya
meningkatkan efek
adrenergic dan
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
6) Epinefrin dan
dopamine keduanya
meningkatkan efek
adrenergic dan
meningkatkan tekanan
darah dan denyut jantung
29/05/21 Pasien mengalami apnea
04.55

61
Dilakukan resusitasi ±30 menit

Injeksi epinefrin 1:10.000 sebanyak 0,3 cc sebanyak 6x

29/05/21 Nafas tidak ada


05.35
Denyut tidak terdengar

Pupil midriasis maksimal

Bayi dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan petugas.

62
3.5 Analisa Farmakologi

3.5.1 Terapi Farmakologi

Nama Obat Pemberian Obat 28/05/2021


Rute
Dosis 14.45 16.57 18.00 21.15 22.32 04.55

KA-EN Mg3 8,25 cc/jam IV


Amino steril 6% 2 cc/jam IV
Drip dobutamin 1cc/jam IV
Dobutamin 45mg dalam 25 cc NaCl 0,9% ; 1 cc/jam IV
Sibital 2x7 mg IV
Pycin 2x150mg IV
Gentamisin 1x12mg IV
Cefotaxime 2x15mg IV
Cefoperazone sulbactam 2x150mg IV
Epinefrin 4,5 mg dalam 25 cc NaCl 0,9% : 0,3 cc/jam IV
Hidrokortison bolus 10 mg lanjut drip 20 mg dalam 25 cc IV
NaCl 0,9%: 0,5 cc/jam
Dopamine 45 mg dalam 25 cc NaCl 0,9% : 0,5 cc/jam IV
Epinefrin 1:1000 0,3 cc/jam sebanyak 6x IV

63
3.5.2 Perhitungan dosis

NO Nama Obat Dosis Literatur Dosis yang diberikan Komentar

1 KA-EN MG3 4 mL/kgBB/jam 8,25 cc/jam Dosis yang diberikan


sudah sesuai
Dosis: 4Ml/kgBB/jam x 2,7 kg =
10,8 cc/jam

2 Amino steril 6% Asam amino neonates BB>1000 g 2 cc/jam Dosis yang diberikan
= 1g/kgBB/hari sudah sesuai dosis
literature
Dosis= 1 g/kgBB/harix 2,7
g/hari= 2,79 g/hari

2 cc/jam = 48 cc/hari

Dosis AS 6%= 6/100 x 48


cc/hari= 2,88 g/hari

3 Dobutamin 5-20 mikrogram/kgBB/menit Dobutamin 45 mg Dosis yang diberikan


(IDAI,2013) dalam 25 cc NaCl sudah sesuai dengan
0,9%=1cc/jam literatur
Dosis

5-20 mcg/kgBB/menit x 2,7 Kg=

64
13,5 mcg- 54 mcg/menit

45 mcg/25 cc = x mcg/1 cc

X= 1,8 mg = 1 jam

X = 0,03 mg/menit = 30
mcg/menit

4 Sibital (fenobarbital) 20 mg/KgBB dapat diulang 2x7 mg (IV)= 14 Dosis yang diberikan
maksimal total 40 mg/kgBB mg/hari sudah sesuai literatur
(IDAI,2013)

Dosis : 20 mg/1 mg x 2,7 kg= 54


mg/kg

5 Ampisilin Sulbactam 25-50 mg/kgBB 2x150 mg IV Dosis yang diberikan


melebihi literatur
Dosis:

= 25 -50 mg/kgBB/dosis x 2,7 kg

= 67,5 mg-135 mg/ 1 x dosis

Dosis: 67,5-135 mg/ dosis

65
6 Gentamisin 5mg/KgBB/dosis Gentamisin IV Dosis yang diberikan
melebihi literatur
Dosis : 5 mg/kgBB/dosis. 1x12 mg

5 mg/kg x 2,7 kg= 13,5 mg/dosis

7 Cefotaxime 100-150 mg/kgBB/hari dibagi Cefotaxime 2 x 150 mg Dosis yang diberikan


setiap 8-12 jam sudah sesuai literatur

Dosis

=100-150 mg/kgBB/hari x 2,7 kg

= 270 mg – 405 mg/hari

Cefotaxime 2 x 150 mg IV = 300


mg / hari

8 Loading NaCl 0,9 % 1 cc/jam x 24 jam = 24 cc NaCl 0,9 % = 30 cc Dosis yang diberikan
sesuai dengan literature
Dosis jumlah cairan perhari
neonates BB > 1,5 kg

< 24 Jam = 60-80 cc

9 Epinefrin 0,05 – 1mg/ KgBB/menit (IDAI, Epinefrin 4,5 mg dalam Dosis yang diberikan

66
2013) 25 cc NaCl 0,3 cc/jam sudah sesuai literature
Dosis
0,05 – 1 mcg/KgBB/menit x 2,7
kg
0,3 cc/jam = 25 cc/jam
0,3 x= 25 cc
x = 25cc/0,3 = 83,3 Jam
83,3 jam = 3,472 hari
4,5 mg/25 cc = 0,9 cc/1 jam
0,054 mg = 1 jam
1 menit = 0,9 mcg/menit
10 Cefoperazone sulbactam 2x150 mg (IV)

11 Hidrokortison IV 1-2 mg/kgBB/6 jam Hidrokortison 10 mg Dosis yang diberikan


lanjut drip 20 mg dalam sudah sesuai literature
Dosis
24 NaCl 0,5 cc/jam
Hidrokortison 10 mg lanjut drip
20 mg dalam 24 NaCl 0,5 cc/jam

10 mg/24 ml = x mg/0,5 cc

67
X= 0,208 mg/jam

0,00347 mg/menit

= 3,47 mg/menit

Rentang dosis yang dapat


diberikan

= 1-2 mg/kgBB x2,7 kg

= 2,7 – 5,4 mg

68
3.6 Analisa Permasalahan / Drug Related Problem (DRP)

Pasien : By. Ny NS Diagonosa : Sepsis Neonaturum, Ikterik ec ABO Dokter Penanggung Jawab:
Incompatibility
Dr I, Sp A, M.Biomed

Ruangan : Perinatologi Apoteker : apt. RS, S.Farm

Check
No Drug Therapy Problem Penjelasan
List
1 Terapi obat yang tidak diperlukan
Obat telah diberikan sesuai dengan indikasi
Terdapat terapi tanpa indikasi medis Tidak
 KA-EN Mg3 untuk terapi nutrisi parenteral

 Amino steril 6% untuk terapi nutrisi parenteral

 Dobutamin diberikan untuk terapi syok sepsis

 Sibital diberikan sebagai antikonvulsan dan obat penenang

 Pycin diberikan untuk mengatasi infeksi

 Gentamisin diberikan untuk mengatasi infeksi

69
Check
No Drug Therapy Problem Penjelasan
List
 Cefotaxime diberikan untuk mengatasi infeksi

 Dopamin diberikan untuk terapi syok sepsis

 Epinefrin diberikan untuk terapi syok sepsis

 Hidrokortison diberikan untuk terapi syok sepsis

Pasien mendapatkan terapi tambahan


Tidak Pasien tidak mendapatkan terapi tambahan yang tidak diperlukan
yang tidak di perlukan
Pasien masih memungkinkan menjalani Pasien harus menjalani terapi farmakologi untuk membantu
Tidak
terapi non farmakologi penyembuhan dan pasien.
Terdapat duplikasi terapi Tidak Pasien tidak mendapat terapi yang duplikasi
Pasien mendapat penanganan terhadap
Pasien tidak mendapatkan penanganan terhadap efek samping obat
efek samping yang seharusnya dapat Tidak
yang seharusnya dapat dicegah
dicegah
2 Kesalahan obat
Bentuk sediaan yang diberikan tepat yaitu dalam bentuk injeksi
Bentuk sediaan tidak tepat Tidak
karena mempertimbangkan kondisi pasien
Terdapat kontra indikasi Tidak Tidak terdapat kontraindikasi
Kondisi pasien tidak dapat disembuhkan Kondisi pasien dapat diatasi oleh obat untuk mengurangi keluhan
Tidak
oleh obat pasien

70
Check
No Drug Therapy Problem Penjelasan
List
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi
Tidak Tidak ada obat yag tidak diindikasikan untuk pasien
pasien
Terdapat obat lain yang lebih efektif Tidak Pengobatan yang diberikan sudah efektif
3 Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah Tidak Dosis yang didapat pasien sudah sesuai kondisi pasien

Frekuensi penggunaan tidak tepat Tidak Frekuensi penggunaan obat yang diterima pasien sudah tepat

Durasi penggunaan tidak tepat Tidak Durasi penggunaan sudah tepat

4 Reaksi yang tidak diinginkan


Obat aman untuk pasien dan memberikan efek yang sesuai dengan
Obat tidak aman untuk pasien Tidak
yang diharapkan

Terjadi reaksi alergi Tidak Pasien tidak menunjukan reaksi alergi dari penggunaan obat

Terjadi interaksi obat Ya  Dobutamin dan epinefrin keduanya menurunkan serum


kalium
 Dobutamin dan epinefrin keduanya menurunkan efek
sedasi

71
Check
No Drug Therapy Problem Penjelasan
List
 Dobutamin dan epinefrin keduanya meningkatkan efek
adrenergic dan meningkatkan tekanan darah dan denyut
jantung
 Dobutamin dan dopamine keduanya menurunkan efek
sedasi
 Dobutamin dan dopamine keduanya meningkatkan efek
adrenergic dan meningkatkan tekanan darah dan denyut
jantung
 Epinefrin dan dopamine keduanya meningkatkan efek
adrenergic dan meningkatkan tekanan darah dan denyut
jantung
Dosis obat dinaikkan atau diturunkan
Tidak Dosis obat tidak dinaikkan atau diturunkan terlalu cepat
terlalu cepat
Muncul efek yang tidak diinginkan Tidak Tidak muncuk efek yang merugikan untuk pasien
5 Ketidak sesuaian kepatuhan pasien
Tidak ada masalah untuk penyediaan obat pasien, semua obat yang
Obat tidak tersedia Tidak
dibutuhkan pasien telah tersedia di apotek rumah sakit
Pasien tidak mampu menyediakan obat Tidak Pasien mampu menyediakan obat
Pasien tidak mengerti intruksi
Tidak Pasien mengerti instruksi penggunaan obat
penggunaan obat

72
Check
No Drug Therapy Problem Penjelasan
List
Pasein tidak patuh atau memilih untuk
Tidak Pasien patuh dalam penggunaan obat
tidak menggunakan obat
6 Pasien membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang tidak diterapi Tidak Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan kondisinya.
Pasien membutuhkan obat lain yang T Pasien telah mendapatkan obat yang bekerja sinergis.
Sinergis Tidak
Pasien membutuhkan terapi profilaksis T Pasien sudah mendapat terapi profilaksis
Tidak

73
BAB IV
PEMBAHASAN

Seorang bayi laki-laki dari ibu MS lahir tanggal 25 Mei 2021 secara
normal dibidan cukup bulan, berat badan bayi ketika lahir yaitu 2700 gram. Pasien
datang ke IGD RSUD M. Natsir Solok tanggal 28 Mei 2021 pukul 14.45 WIB
rujukan dari puskesmas Tanah garam dengan keluhan utama nafas bayi sesak
sejak 1 hari setelah lahir, badan berwarna kuning, bayi menangis, ketuban ibu
jernih, 1 hari setelah lahir bayi tidak mau menyusu, bayi mengalami kejang sejak
kemarin. Kondisi pasien saat datang ke IGD yaitu suhu tubuh 36,5 °C, laju
pernapasan 40 x/menit, Nadi 130 x/menit, Tekanan darah 30/9 mmHg, SaO 2 98%.
Pasien didiagnosa sepsis neonaturum dan ikterik ec ABO incompatibility, pasien
sudah mendapat injeksi bolus D 10% 6 cc, injeksi gentamisin 1x10 mg, injeksi
dexametason 3x0,5 mg, injeksi sibital 2x 7mg, injeksi urdafalk 3x30mg, injeksi
fenitoin 2x 6mg, injeksi vitamin K 3x 2mg, paracetamol drip 4x 0,4 cc, injeksi
pycin 2x150 mg, bolus NaCl 30 cc.
Ketika di IGD pasien mendapat terapi CPAP (Continuous Positive Airway
Pathway), Fototerapi, KA-EN MG3 IVFD 8,25 cc/jam, Aminosteril Infant 6%
2cc/jam, drip dobutamin 1 cc/jam, sibital injeksi 2x7mg, pycin 2x 150mg,
gentamisin 1x12mg, cefotaxime 2x 15 mg. Pemberian KA-EN Mg3 merupakan
cairan infus yang mengandung natrium, kalium, klorida, lactate, glucose. KA-EN
MG3 digunakan untuk membantu pengobatan ketidakseimbangan karbohidrat dan
elektrolit pada keadaan insufisiensi asupan makanan per oral. Aminosteril Infant
6% mengandung asam amino digunakan untuk menambah nutrisi secara parental
mencegah dan mengobati kekurungan protein pada bayi. Dobutamin sebagai
inotropik (senyawa yang dapat mempengaruhi kontraksi otot jantung) yang
bekerja dengan menstimulasi atau merangsang reseptor ß pada otot jantung dan
dapat meningkatkan kontraktilitas jantung. Pemberian dobutamin untuk mengatasi
syok sepsis. Pasien diberikan antibiotik spectrum luas yaitu ampisilin dan
gentamisin. Ampisilin sulbactam merupakan antibiotik golongan penicillin yang
digunakan sebagai terapi lini pertama sepsis pada bayi. Ampisilin sulbactam
adalah bakteriosidal yang bekerja dengan cara menghambat secara irreversible
aktivitas enzim transpeptidase yang dibutuhkan untuk sintesis dinding sel bakteri.
Gentamisin merupakan bakteriosidal yang bekerja dengan cara menghambat
sintesis protein pada bakteri. Cefotaxime merupakan antibiotik golongan

74
sefalosporin yang bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan bakteri. Sibital
injeksi mengandung fenobarbital Na yang diindikasikan untuk antikonvulsan (anti
kejang) dan sebagai obat penenang. Mekanisme kerja sibital yaitu bekerja dengan
menekan korteks sensorik, megurangi aktivitas motorik
Pasien dipindahkan ke Perinatologi pukul 16.57 WIB dengan keadaan bayi
sesak, badan kuning, tekanan darah 30/9 mmHg, Nadi 115 x/menit dengan terapi
yang diberikan yaitu 45mg dobutamin dalam 25 cc NaCl 0,9% dengan 1 cc/jam,
Epinefrin 4,5 mg dalam 25 cc NaCl 0,9% dengan 0,3 cc/jam, antibiotik ganti
dengan cefoperazone sulbactam 2x 150 mg. Mekanisme kerja epinefrin yaitu
menstimulasi saraf simpatis melalui reseptor alfa dan beta adrenergic sehingga
meningkatkan vasokontriksi, kontraktilitas otot jantung, denyut nadi, dan tekanan
darah. Epinefrin diberikan untuk mengatasi syok sepsis pada pasien.
Pada pukul 18.00 WIB tekanan darah pasien 31/9 mmHg, pasien diberikan
dobutamin 45 mg dalam 25 cc NaCl dengan 1 cc/jam, epinefrin 4,5 mg dalam 25
cc NaCl dengan 0,3 cc/jam, hidrokortison bolus 10 mg lanjut drip 20 mg dalam 25
NaCl dengan 0,5 cc/jam, dopamine 45 mg dalam 25 cc NaCl dengan 0,5 cc/jam.
Hidrokortison injeksi merupakan kortikosteroid yang digunakan untuk syok
sepsis. Dopamin merupakan obat untuk membantu kerja jantung dalam memompa
darah saat terjadi syok.
Pada pukul 22.32 WIB tekanan darah bayi 32/10 mmHg map 19, SPO 2
93%, urin tidak ada, terapi masih lanjut. Pukul 22.52 WIB keluar hasil
laboratorium yaitu untuk pemeriksaan hematologi yaitu hemoglobin 16 g/dL
normal, eritrosit 4,34 1 x106/µL menyatakan normal, hematokrit 48% normal,
nilai MCV 112,2 fL yang tinggi dari nilai normal, Nilai MCV yang
terlalu tinggi dapat mengindikasikan kekurangan vitamin B12 atau folat dalam
darah. Nilai MCH 36,9 pg/cell yang normal, nilai MCHC 32,9 g/dL yang rendah
dari nilai normal, Jika dalam tes darah MCHC rendah, berarti kadar hemoglobin
dalam setiap sel darah merah lebih rendah dari normal. Hal ini mengindikasikan
bahwa sel-selnya bersifat hypochromic yang ditandai dengan warna yang kurang
pekat alias pucat. Nilai RDW-CV 23,1% yang tinggi dari normal, leukosit 17,1 x
103/ µL yang normal, trombosit 11 x 103/ µL yang rendah dari normal.
Pemeriksaan kimia klinik bilirubin total didapatkan hasil 22,06 mg/dL yang
menyatakan tinggi dari nilai normal, bilirubin direk 13,8 mg/dL yang menyatakan
tinggi dari normal, bilirubin indirek 8,26 mg/dL yang normal, glukosa darah 64

75
mg/dL, ureum 7,71 mg/dL. Pada pemeriksaan elektrolit serum (Na-K-Cl)
didapatkan hasil Natrium (Na) 131,45 mEq/L yang menyatakan rendah dari nilai
normal, Kalium 8,2 mEq/L menyatakan tinggi dari nilai normal, klorida (Cl)
105,2 mEq/L yang normal. Terapi yang didapat pasien masih lanjut.
Pada pukul 24.00 pasien mendapat terapi fototerapi. Fototerapi atau terapi
sinar ultraviolet adalah salah satu metode perawatan untuk menangani kondisi
bayi kuning atau untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi pada bayi.
Pada tanggal 29 Mei 2021 pukul 04.55 WIB pasien mengalami apnea
kemudian dilakukan resusitasi lebih kurang selama 30 menit kemudian injeksi
epinefrin 1: 1000 sebanyak 0,3 cc sebanyak 6x. Pada pukul 05.35 WIB nafas
pasien tidak ada, denyut jantung tidak terdengar, pupil midriasis maksimal. Pasien
dinyatakan meninggal dihadapan keluarga dan petugas.

76
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan laporan case study didapatkan kesimpulan:
1. Dari pengobatan yang diterima pasien terdapat Drug Related Problem (DRP)
yaitu penggunaan dosis yang berlebih pada penggunaan amino steril IV,
ampisilin, gentamisin.
2. Terdapat interaksi obat pada terapi yang diterima pasien yaitu:
 Dobutamin dan epinefrin keduanya menurunkan serum kalium
 Dobutamin dan epinefrin keduanya menurunkan efek sedasi
 Dobutamin dan epinefrin keduanya meningkatkan efek adrenergic dan
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung
 Dobutamin dan dopamine keduanya menurunkan efek sedasi
 Dobutamin dan dopamine keduanya meningkatkan efek adrenergic dan
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung
 Epinefrin dan dopamine keduanya meningkatkan efek adrenergic dan
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung
5.2 Saran
Disarankan untuk pemberian dosis disesuaikan dengan literatur, untuk
obat yang mengalami interaksi antara obatnya dapat diatasi dengan melakukan
monitoring terkait interaksi yang terjadi dan pastikan terapi yang diberikan sesuai
dengan kondisi pasien.

77
DAFTAR PUSTAKA

Ahern, R, Nancy dan Wilkinson, M. (2011). Buku Saku Diagnosis Keperawatan


Nanda Edisi 9. Jakarta: EGC.
American Academy of Pediatrics. Subcommitteee on hyperbilirubinemia.
Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Clinical Practice Guidelines. Pediatrics. 2004;114:297-316.
Arif, Mansjoer, dkk., 2000 , Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica
Aesculpalus, FKUI, Jakarta. Ahern, R, Nancy dan Wilkinson, M. (2011).
Buku Saku Diagnosis Keperawatan Nanda Edisi 9. Jakarta: EGC.
Baskobadi, H., Maamouri, G., Shahin M., Rezagholizadeh, F.. 2011. Clinical
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., Jensen, M.D., Perry, C.E. 2005.Buku Ajar
Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2, Penerbit Buku Kedokteran EGC,Jakarta. hal:
66-88.
Course and Prognosis of Hemolytic Jaundice inNeonates in North East of
Dipiro, J.T et al. Pharmacotherapy Handbook. sixth edit. USA: The Mc., Graw
Hill Company.; 2020. 1023–1048 p.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Hyperbilirubinemia. In:
Gomella TL, editor. Neonatology; Management procedures, on-call
problems, disease and drugs. New York: Lange Medical Book/McGraw-Hill
Co, 2004; p.381-95.
Hasan, R., Alatas, H. 2007. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
Infomedika jakarta.
Hoeffbrand, A.V.J.E. (2006). Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
Jakarta:Indomedika;2007.h.1101-14.
Indian Journal of Pediatrics, 75: 157-163.
Iran.Macedonian Journal of Medical Sciences. 2011 Dec 15; 4(4):403-407.
Joyce Poole, International Blood, and Group Reference, ‘Blood Group
Incompatibility’, 2010.
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, et al. Nelson textbook of pediatrics.19th
ed.Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011.p.619.
Mansjoer, A. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aescupalius

78
Martin, Cloherty. 2004. Neonatal Hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty, Stark,
eds, Manual of Neonatal Care., 5 th edition. Boston: Little Brown & Co. hal.
185-221.
Mishra S, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK (2008). Jaundice in the newborn.
Mitayani. (2011). Asuhan keperawatan maternitas. Jakarta: Salemba Medika.
Pusponegoro A.D. (2005). Luka dalam Sjamsuhidajat R, De Jong W, Penyunting.
Strobel E. Hemolytic Transfusion Reactions. Transfusion Medicine and
Hemotherapy. 2008;35(5):346-353.
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. In: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku Ajar Neonatologi (Edisi Ke-1). Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2010; p.147-53.
Vincent JL, Zhang J, Szabo C, Preiser JC. Effect of Nitric Oxide in Septic Shock.
Am J Respir Crit Care Med. 2000;16(1):1781-85
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Zou, Y., Lu, Y., Wei, D., 2004, Antioxidant Activity of Flavonoid-Rich Extract
of Hypericum perforatumL. In Vitro, Journal Agriculture and Food
Chemistry, 52, 5032-5039

79

Anda mungkin juga menyukai