PENDAHULUAN
Penyakit infeksi kini masih menjadi masalah kesehatan di dunia dan bila tidak
tertangani baik akan menjadi sepsis berat serta syok sepsis dengan angka kematian
yang tinggi. Sepsis masih menjadi penyebab kematian utama di beberapa negara
Eropa setelah infark miokard akut, stroke, dan trauma (Aristo et al., 2019).Sepsis
adalah adanya respon sistemik terhadap infeksi di dalam tubuh yang dapat
berkembang menjadi sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat dan syok septik adalah
masalah kesehatan utama dan menyebabkan kematian terhadap jutaan orang setiap
tahunnya (Irvan et al., 2018). Syok sepsis merupakan abnormalitas sirkulasi dan
metabolisme seluler (Aristo et al., 2019)
Respiratory Distress Syndrome merupakan suatu kondisi yang terdiri dari satu
gejala atau lebih seperti berikut: takipnea atau laju pernapasan lebih dari 60x/menit,
retraksi dinding dada (subcostal, intercostal, sternal, suprasternal), dan adanya bising
pernapasan dalam bentuk merintih, stridor atau mengi (Mathai et al., 2007). Kondisi
ini sering terjadi pada neonatus kurang bulan sehingga menimbulkan dampak yang
1
cukup berat bagi bayi. Gangguan pada sistem pernafasan mengakibatkan terjadinya
kekurangan oksigen (hipoksia) pada tubuh. Bayi akan beradaptasi terhadap kondisi
hipoksia dengan mengaktifkan metabolisme anaerob. Apabila keadaan hipoksia
semakin berat dan lama, metabolisme anaerob akan meningkatkan kadar asam laktat.
Saat terjadi kerusakan otak dan organ lain karena hipoksia dan iskemia, hal ini akan
menyebabkan kematian neonatus (Sweet et al., 2010).
Studi dari akhir 1990-an pada kejadian Respiratory Distress Syndrome di unit
perawatan intensif di Eropa menemukan kejadian dari 77,6 per 100.000 di Swedia,
Denmark, dan Islandia dan 88,6 per 100.000 di Jerman; tingkat kematian adalah
sekitar 40%. Di AS, jumlah rawat inap karena kegagalan pernapasan akut meningkat
dari 1.007.549 pada tahun 2001 untuk 1.917.910 pada tahun 2009. Selama periode
yang sama, penurunan angka kematian dari 27,6% menjadi 20,6% diamati. Tingkat
ventilasi mekanik (non-invasif atau invasif) tetap stabil selama periode 9 tahun ini;
Namun, penggunaan ventilasi non-invasif memang meningkat dari 4% menjadi 10%
(Stratton, Samuel J, MD, 2016)
Menurut data WHO kematian bayi yang baru lahir juga dapat di sebab kan
prematuritas sebesar 28% dari berat lahir rendah, infeksi 36%, asfiksia 23% dan
trauma keahiran. Penyebab ini menyebabkan hampir 80% kematian pada kelompok
usia ini (WHO, 2016:3).
2
hidup (Kemenkes RI, 2016:125). Hasil Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS)
2015 menunjukkan Angka Kematian Bayi(AKB)sebesar22.23 per 1.000 kelahiran
hidup, yang artinya sudah mencapai target Millenium Development Goals (MDGs)
2015 sebesar 23 per 1.000 kelahiran hidup. Begitu pula dengan Angka Kematian
Balita (AKABA) hasil SUPAS 2015 sebesar 26.29 per 1.000 kelahiran hidup, juga
sudah memenuhi target MDGs 2015 sebesar 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kemenkes
RI, 2016:125)
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Definisi
ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome ) adalah kondisi mengancam
jiwa yang diakibatkan oleh karena infeksi atau trauma pada paru. Adanya inflamasi
pada parenkim paru akan mengakibatkan gangguan pertukaran gas, hipoksemia dan
kegagalan fungsi organ. (Mackay A, Haddad M. 2009).
Acute respiratory syndrome (ARDS), juga dikenal sebagai Respiratory
Disstress syndrome atau Acute Respiratory Disstress syndrome merupakan reaksi
serius terhadap berbagai bentuk cedera pada paru-paru. ARDS adalah penyakit paru-
paru yang disebabkan oleh masalah baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini
ditandai adanya peradangan pada parenkim paru yang menyebabkan gangguan
pertukaran gas, keluarnya mediator inflamasi, hipoksemia dan sering menyebabkan
multiple organ failure. (Raghavendran K, Napolitano L. 2012).
2.1.2 Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab yang
dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai
penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko yang paling tinggi,
mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap
parenkim paru dan merupakan faktor risiko terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis
menyebabkan ARDS berkisar antara 30-50%. (Fanelli, V, et. Al. 2013).
Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor risiko
ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH pH<2,5 akan menyebabkan
penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru dan menimbulkan kerusakan
berat pada epitel alveolar. (Fanelli, V, et. Al. 2013).
4
Faktor risiko umum ARDS dibagi menjadi faktor risiko langsung dan tidak
langsung. Berikut adalah tabel faktor risiko umum pada ARDS :
2.1.3 Patofisiologi
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada
ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan
kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium
alveolar ini menentukan prognosis. Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel,
yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit tipe II. (Jonathan A. 2013).
Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih
yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah
pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi
10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik
intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap
kerusakan. Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. (Ariano RE. 2004).
Kerusakan pada fase akut terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan
alveolar, diikuti dengan pembentukan membran hialin yang kaya protein pada
membran basal epitel yang gundul. Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak
dan jaringan interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein. (Ariano RE. 2004).
5
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists,
soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8
dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar. Perubahan patofisiologi yang terjadi pada
ARDS adalah edema paru interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional
(KRF) karena atelektasis kongestif difus. Kerusakan endotel kapiler atau epitel
alveoli atau keduanya pada ARDS menyebabkan peningkatan permeabilitas membran
alveoli-kapiler (terutama sel pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan
berkumpul didalam jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk
ke dalam rongga alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps
(mikroatelektasis) dan compliance paru akan lebih menurun. (Jonathan A. 2013).
Merembesnya cairan yang banyak mengandung protein dan sel darah merah
akan mengakibatkan perubahan tekanan osmotik. Cairan bercampur dengan cairan
alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru menjadi kaku, keadaan ini akan
memperberat atelektasis yang telah terjadi. Mikroatelektasis akan menyebabkan
shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan
menurunnya KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting
intrapulmoner menyebabkan curah jantung akan menurun 40%. (Jonathan A. 2013).
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat
menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran
udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi. (Saguil A& Fargo M. 2012).
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:
1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan
dinding alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi
6
seluler/ membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh
atau menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya.
7
pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine). (Amin Z,
Purwoto J. 2009).
2.1.6 Penatalaksanaan
Aspek esensial dalam tata laksana pasien dengan ARDS adalah mengobati
penyebab presipitasi, menyediakan perawatan suportif yang baik, dan mencegah
komplikasi lanjut. Ventilasi volume tidal rendah (6 mL/kg BB ideal) sebaiknya
diberikan pada semua pasien dengan ARDS. Hal ini dapat menurunkan ventilasi per
menit lalu meningkatkan PaCO₂. Positive end expiratory pressure (PEEP) biasanya
diperlukan untuk menjaga oksigenasi dalam level yang adekuat. (Amin Z, Purwoto J.
2009).
Pronasi juga dapat dilakukan untuk meningkatkan oksigenasi namun tidak
berkaitan dengan penurunan mortalitas. Tidak ada terapi spesifik yang efektif untuk
pasien dengan ARDS. Penerapan strategi pemberian cairan, menjaga tekanan vena
sentral serendah mungkin akan mempersingkat masa pemakaian ventilasi mekanik.
Berdasarkan beberapa penelitian, penggunaan kortikosteroid dan nitric oxide tidak
direkomendasikan pada ARDS. Terapi non-konvensional seperti memposisikan
pasien dalam posisi tengkurap (prone position), memberikan efek dalam
meningkatkan oksigenasi dan berhubungan dengan menurunkan mortalitas. (Amin Z,
Purwoto J. 2009).
8
Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.
Dukungan nutrisi.
9
Ventilasi Volume Tidal Rendah
Volume tidal merupakan volume udara yang dihantarkan oleh ventilasi
mekanis setiap sekali bernapas. Umumnya diatur antara 5-15 ml/kgBB, tergantung
compliance, resistensi dan jenis kelainan paru. Pemakaian volume tidal rendah pada
pasien ARDS mentoleransi terjadinya hiperkapnea dengan membiarkan PaCO2 tinggi
> 45 mmHg, tetapi PaO2 normal dengan cara menurunkan volume tidal yaitu 4-6
mL/kgBB yang ini bertujuan menghindari terjadinya barotrauma. (Peter JV. 2008).
Penelitian prospektif secara random yang membandingkan antara pasien
ARDS yang mendapat volume tidal tinggi dan mendapat volume tidal rendah terdapat
penurunan mortalitas dari 40% menjadi 31%. Pemakaian volume tidal rendah saat ini
dipertimbangkan sebagai terapi penunjang pasien ARDS karena dapat menurunkan
angka mortalitas dan mengurangi waktu penggunaan ventilator. Pengaturan ventilasi
volume tidal rendah, PEEP tinggi, manuver pengisian alveolar dan memposisikan
pasien telentang akan berguna pada pasien hipoksemia berat tetapi metode ventilasi
tersebut tidak meningkatkan angka keberhasilan penanganan ARDS. (Girard TD,
Bernard GR. 2007).
Secara spesifik, direkomendasikan penggunaan protokol ventilasi yang
digariskan oleh peneliti ARDS Network dalam suatu publikasi Respiratory
Management in ALI/ARDS (ARMA) tahun 2000. Protokol ini menyebutkan lebih
banyak mengenai penggunaan volume tidal rendah, sebagai berikut (Girard TD,
Bernard GR. 2007) :
1. Volume tidal secara sistematik disesuaikan (4-6 mL/kgBB) untuk
mempertahankan tekanan plateau 30 cmH2O.
2. Respiratory rate harus dititrasi sesuai kebutuhan (6-35 kali/menit) untuk
mempertahankan pH sebesar 7,3 hingga 7,45.
3. Kombinasi tepat dari fraction of inspired oxygen (FIO2) dan positive end-
expiratory pressure (PEEP) untuk mencapai oksigenasi yang adekuat (PaO2
55 -80 mmHg atau saturasi pulsasi oksimetri ± 88%-95%).
Pemakaian ventilasi volume tidal rendah disertai dengan hiperkapnea akan
menyebabkan pasien tidak nyaman, demikian juga peningkatan PaCO2 yang akut
10
dapat mengakibatkan abnormalitas fisiologis seperti vasodilatasi, takikardi, dan
hipotensi.
B. Terapi Farmakologis
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih sangat terbatas.
Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang
bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih kontroversi. Studi
review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan manfaat penggunaan
surfaktan pada ARDS dewasa. (Wilson DF, et. al.2005, Peter JV, et. al. 2008).
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa randomized
controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan kortikosteroid sedini
mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat. Kortikosteroid seperti
methiprednisolon diberikan dengan dosis 1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu
ditapering off. Penggunaan kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan
ventilator dalam hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak terbukti
menurunkan angka mortalitas. (Wilson DF, et. al.2005, Peter JV, et. al. 2008).
Pemberian nitrit okside inhalasi (iNO) dan prostasiklin (PGI2) mungkin dapat
menurunkan shunt pulmoner dan afterload ventrikel kanan dengan menurunkan
impedansi arteri pulmoner. 40-70% ARDS mengalami perbaikan oksigenasi dengan
iNO. Penambahan almitrin intravena mempunyai dampak aditif pada perbaikan
oksigenasi. Sementara pemberian PGI2 dengan dosis sampai 50 ng/kg.bb/menit
ternyata memperbaiki oksigenasi sama efektifnya dengan iNO pada pasien ARDS.
(Wilson DF, et. al.2005, Peter JV, et. al. 2008).
11
Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri < 90 mmHg atau
40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama sekurangkurangnya
1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan vasopressor untuk
mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥ 90 mmHg atau tekanan arterial
rata-rata ≥ 70 mmHg. (Caterino JM,2012).
Sepsis adalah sindrom inflamasi respon sistemik dengan bukti infeksi.
Sindrome inflamasi respons sistemik adalah bila ditemukan dua dari kondisi :
1. Demam ( Suhu oral >38oc) atau hipotermia (< 36oc)
2. Takipneu (>24x/menit)
3. Takikardia (denyut jantung >90x/menit)
Leukositosis (>12.000/L), Leukopenia (<4000) atau >10% neutrofil batang.
2.2.2 Pembagian Sepsis
a) Early onset sepsis (EOS), timbul dalam 3 hari pertama, berupa gangguan
multisistem dengan gejala pernapasan yang menonjol
b) Late onset sepsis (LOS), timbul setelah umur 3 hari, lebih sering diatas 1
minggu. Pada sepsis awitan lambat, biasanya ditemukan fokus infeksi dan
sering disertai dengan meningitis
c) Sepsis nosokomial, ditemukan pada bayi resiko tinggi yang dirawat,
berhubungan dengan monitor invasif dan berbagai teknik yang digunakan
di ruang rawat intensif.
2.2.3 Diagnosa
Anamnesa dari sepsis terdiri dari riwayat ibu mengalami infeksi intrauterin,
riwayat persalinan yang kurang higenis, riwayat lahir asfiksia berat, bayi kurang
bulan, berat lahir rendah, riwayat keadaan bayi lunglai, mengantuk aktivitas
berkurang, muntah, perut kembung, tidak sadar, kejang.
Pemeriksaan fisik dari sepsis yaitu keadaan umum, gastrointestinal, kulit,
kardiopulmonal, neurologis, Untuk pemeriksaan penunjang terdiri atas pemeriksaan
jumlah leukosit, kultur urin, darah, dan cairan serebrospinal, analisa gas darah
(hipoksia, asidosis metabolik, asidosis laktat). Selain itu juga dilakukan pemeriksaan
radiologis (foto toraks). (IDAI,2010).
12
2.2.4 Presentasi Klinis
Tanda dan gejala sepsis dini bervariasi dan meliputi demam, menggigil, dan
perubahan status mental. Hipotermia dapat terjadi sebagai pengganti demam. Pasien
mungkinmenjadi hipoksia. Perkembangan sepsis yang tidak terkontrol menyebabkan
bukti disfungsi organ, yang mungkin terjaditermasuk oliguria, ketidakstabilan
hemodinamik dengan hipotensi atau syok, asidosis laktat, hiperglikemia atau
hipoglikemia, kemungkinan leukopenia, DIC, trombositopenia,ARDS, perdarahan GI
(gastrointestinal), atau koma. (Dipiro, ed. 9)
2.2.5 Terapi
Dasar pengobatan adalah temuan yang berhubungan dengan sepsis. Pada
dugaan sepsis pengobatan ditujukan pada temuan khusus serta dilakukan pemantauan
13
(IDAI,2010)
- Jika dicurigai P. aeruginosa, atau dengan sepsis dari infeksi yang didapat di
rumah sakit,sefalosporin antipseudomonal (ceftazidime atau cefepime),
antipseudomonal, fluoroquinolone (ciprofloxacin atau levofloxacin), atau
aminoglikosida harustermasuk dalam rejimen.
- Rejimen antimikroba harus dinilai kembali setelah 48 sampai 72 jam
berdasarkan data mikrobiologis dan klinis.
- Durasi rata-rata terapi antimikroba pada pejamu normal dengan sepsis adalah
7 sampai10 hari, dan infeksi jamur membutuhkan 10 hingga 14 hari.
14
Pilihan Kombinasi Antibiotik Empiris untuk sepsis anak dengan penyebab belum
diketahui (IDAI, 2016)
15
2.2.6 Komplikasi
- Sindrom distress pernapasan dewasa (ARDS, adult respiratory distress
syndrome)
- Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC)
- Gagal ginjal akut (ARF)
- Perdarahan usus
- Disfungsi sistem saraf pusat
- Gagal jantung
- Kematian
Sepsis adalah sindrom inflamasi respon sistemik dengan bukti infeksi.
Sindrome inflamasi respons sistemik adalah bila ditemukan dua dari kondisi :
1. Demam ( Suhu oral >38oc) atau hipotermia (< 36oc)
2. Takipneu (>24x/menit)
3. Takikardia (denyut jantung >90x/menit)
Leukositosis (>12.000/L), Leukopenia (<4000) atau >10% neutrofil batang.
2.3 Berat Badan Lahir Rendah ( BBLR)
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram atau sampai dengan 2499 gram
(Saifuddin,2010). BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500
gram tanpa memandang masa kehamilan (Proverawati, 2010). Bayi berat lahir rendah
(BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram tanpa memandang usia
gestasi. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (<37 minggu) atau pada bayi
cukup bulan (intrauterine growth restriction)(Pudjiadi, dkk., 2010).
Bayi berat lahir rendah merupakan masalah penting dalam pengelolaannya
karena mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan terjadinya infeksi, kesukaran
mengatur nafas tubuh sehingga mudah untuk menderita hipotermia. Selain itu bayi
dengan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) mudah terserang komplikasi tertentu
seperti ikterus, hipoglikomia yang dapat menyebabkan kematian. Kelompok bayi
berat lahir rendah yang dapat di istilahkan dengan kelompok resiko tinggi, karena
16
pada bayi berat lahir rendah menunjukan angka kematian dan kesehatan yang lebih
tinggi dengan berat bayi lahir cukup.
17
umur <20 tahun kondisi ibu masih dalam pertumbuhan sehingga asupan makanan
lebih banyak digunakan untuk mencukupi kebutuhan ibu. Sedangkan kehamilan lebih
dari 35 tahun organ reproduksi kurang subur serta memperbesar resiko kelahiran
dengan kelainan kongenital dan beresiko untuk mengalami kelahiran prematur.
Manuaba (2010), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan usia
dibawah 20 tahun mempunyai risiko: sering mengalami anemia, gangguan tumbuh
kembang janin, keguguran, prematuritas atau BBLR, gangguan persalinan,
preeklampsi dan perdarahan antepartum.
Pada wanita yang hamil pada umur lebih dari 35 tahun juga menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya komplikasi kehamilan, terutama meningkatnya kasus
melahirkan bayi dengan BBLR. Hal ini disebabkan karena risiko munculnya masalah
kesehatan kronis. Anatomi tubuhnya mulai mengalami degenerasi sehingga
kemungkinan terjadi komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan, akibatnya akan
terjadi kematian perinatal (Saimin, 2008). Sedangkan menurut Departemen
Kesehatan RI (2008), wanita yang berusia 35 tahun atau lebih, lebih rentan terhadap
tekanan darah tinggi, diabetes atau fibroid dalam rahim serta gangguan persalinan.
Faktor-faktor yang berhubungan dengan bayi BBLR secara umum yaitu ibu
hamil pada usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Pada usia tersebut
pemenuhan nutrisi yang kurang akan lebih cenderung melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah. Usia reproduksi optimal bagi seorang wanita adalah usia antara
20-35 tahun, di bawah dan di atas usia tersebut akan meningkatkan risiko kehamilan
maupun persalinan, karena usia dibawah 20 tahun perkembangan organ-organ
reproduksi yang belum optimal, kematangan emosi dan kejiwaan kurang serta fungsi
fisiologi yang belum optimal, sehingga lebih sering terjadi komplikasi yang tidak
diinginkan dalam kehamilan. Sebaliknya pada usia diatas 35 tahun telah terjadi
kemunduran fungsi fisiologis maupun reproduksi secara umum. Hal-hal tersebutlah
yang mengakibatkan proses perkembangan janin menjadi tidak optimal dan
menghasilkan anak yang lahir dengan berat badan rendah (Proverawati, 2010).
b. Paritas
18
Paritas adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari atau sama dengan
500 gram yang pernah dilahirkan hidup maupun mati. Bila berat badan tak diketahui
maka dipakai umur kehamilan, yaitu 24 minggu. Pada umumnya BBLR meningkat
seiring dengan meningkatnya paritas ibu. Risiko untuk terjadinya BBLR tinggi pada
paritas pertama kemudian menurun pada paritas kedua atau ketiga, selanjutnya
meningkat kembali pada paritas keempat (Siantury, 2007). Paritas yang beresiko
melahirkan BBLR adalah paritas 0 yaitu bila ibu pertama kali hamil dan paritas lebih
dari 4 karena dapat berpengaruh pada kehamilan. Paritas yang aman ditinjau dari
sudut kematian maternal adalah paritas 1-4 (Sistriani, 2008).
Menurut Depkes RI (1999, p.40) jumlah anak >4 orang perlu diwaspadai
kemungkinan persalinan lama, karena makin banyak anak, rahim ibu makin lemah.
c. Status Gizi Ibu Hamil
Status gizi adalah keadaan tingkat kecukupan dan penggunaan nutrien atau
lebih yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Status gizi seseorang pada
hakekatnya merupakan hasil keseimbangan antara konsumsi zat-zat makanan dengan
kebutuhan dari orang tersebut.Status gizi wanita merupakan salah satu faktor yang
harus diperhatikan. Rendahnya status gizi dapat mengakibatkan kualitas fisik yang
rendah dan berpengaruh pada efisiensi reproduksi. Semakin tinggi status gizi
seseorang, makasemakin baik pula kondisi fisiknya, sehingga secara tidak langsung
mempengaruhi efisiensi reproduksi (Almatsier, 2011).
Status gizi janin ditentukan antara status gizi ibu sebelum dan selama dalam
kehamilan dan keadaan ini dipengaruhi oleh status gizi ibu sewaktu konsepsi
dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi, keadaan kesehatan dan gizi ibu, paritas
danjarak kehamilan jika yang dikandung bukan anak yang pertama. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu hamil antara lain memantau
pertambahan berat badan selama hamil, mengukur Lingkar Lengan Atas (LILA) dan
mengukur kadar Hb (Saimin, 2008).
Berat badan sebelum hamil dan perubahan berat badan selama kehamilan
berlangsung merupakan parameter klinik yang penting untuk memprediksikan berat
badan bayi lahir rendah. Wanita dengan berat badan rendah sebelum hamil atau
19
kenaikan berat badan rendah sebelum hamil atau kenaikan berat badan tidak cukup
banyak pada saat hamil cenderung melahirkan bayi BBLR. Kenaikan berat badan
selama kehamilan sangat mempengaruhi massa pertumbuhan janin dalam kandungan.
Pada ibu hamil yang status gizinya jelek sebelum hamil maka kenaikan berat badan
pada saat hamil akan berpengaruh terhadapberat bayi lahir. Kenaikan tersebut
meliputi kenaikan komponen janin yaitu pertumbuhan janin, plasenta dan cairan
amnion. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau
pertumbuhan janin.Padaakhir kehamilan kenaikan berat hendaknya 12,5-18 kg untuk
ibuyang kurus. Sementara untuk yang memiliki berat ideal cukup 10-12kg sedangkan
untuk ibu yang tergolong gemuk cukup naik < 10 kg .
Berat badan sebelum hamil dan perubahan berat badan selama kehamilan
berlangsung merupakan parameter klinik yang penting untuk memprediksikan berat
badan bayi lahir rendah. Wanita dengan berat badan rendah sebelum hamil atau
kenaikan berat badan rendah sebelum hamil atau kenaikan berat badan tidak cukup
banyak pada saat hamil cenderung melahirkan bayi BBLR. Kenaikan berat badan
selamakehamilan sangat mempengaruhi massa pertumbuhan janin dalam kandungan.
Pada ibu hamil yang status gizinya jelek sebelum hamilmaka kenaikan berat badan
pada saat hamil akan berpengaruh terhadapberat bayi lahir. Kenaikan tersebut
meliputi kenaikan komponen janin yaitu pertumbuhan janin, plasenta dan cairan
amnion. Pertambahan berat badan ini juga sekaligus bertujuan memantau
pertumbuhan janin.Pada akhir kehamilan kenaikan berat hendaknya 12,5-18 kg untuk
ibu yang kurus. Sementara untuk yang memiliki berat ideal cukup 10-12kg sedangkan
untuk ibu yang tergolong gemuk cukup naik < 10 kg .
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengetahui status gizi ibu
hamil antara lain memantau pertambahan berat badan selama hamil, mengukur
lingkar lengan atas ( LILA) dan mengukur kadar hemoglobin, pertambahan berat
badan selama hamil sekitar 10 -12 kg, dimana trimester I pertambahan kurang dari 1
kg, trimester II sekitar 3 kg, dan trimester III sekitar 6 kg.pertambahan berat badan ini
juga sekaligus bertujuan memantau pertumbuhan janin. Pengukuran LILA
dimaksudkan untuk mengetahui apakah seseorang menderita Kurang Energi Kronis
20
(KEK), sedangkan pengukuran kadar hemoglobin untuk mengetahui kondisi ibu
apakah megalami anemia besi ( kristyanasari, 2010, p.66). Menurut Sitorus (1999,
p.41) dalam Setianingrum (2005), Sebagai ukuran sekaligus pengawasan bagi
kecukupan gizi ibu hamil bisa di lihat dari kenaikan berat badannya. Ibu yang
kurus dan selama kehamilan disertai penambahan berat badan yang rendah atau turun
sampai 10 kg, mempunyai risiko paling tinggi untuk melahirkan bayi dengan BBLR.
Sehingga ibu hamil harus mengalami kenaikan berat badan berkisar 11-12,5 Kg atau
20% dari berat badan sebelum hamil. Sedang Lingkar Lengan Atas (LLA) adalah
antropometri yang dapat menggambarkan keadaan status gizi ibu hamil dan untuk
mengetahui resiko Kekurangan Energi Kalori (KEK) atau gizi kurang. Ibu yang
memiliki ukuran Lingkar Lengan Atas (LILA) di bawah 23,5 cm berisiko melahirkan
bayi BBLR (kristyanasari, 2010, p. 68). Pengukuran LILA lebih praktis untuk
mengetahui status gizi ibu hamil karena alat ukurnya sederhana dan mudah dibawa
kemana saja, dan dapat dipakai untuk ibu dengan kenaikan berat badan yang ekstrim.
Seorang ibu yang sedang hamil mengalami kenaikan berat badan sebanyak 10-12 kg.
Pada trimester I kenaikan berat badan seorang ibu tidak mencapai 1 kg, namun
setelah mencapai trimester II penambahan berat badan semakin banyak yaitu 3 kg dan
pada trimester III sebanyak 6 kg. kenaikan tersebut disebabkan karena adanya
pertumbuhan janin, plasenta dan air ketuban . Kenaikan BB yang ideal untuk ibu
yang gemuk yaitu antara 7 kg dan 12,5 kg untuk ibu yanng tidak gemuk, jika BB ibu
tidak normal maka akan memungkinkan terjadinya keguguran, lahir premature,
BBLR, gangguan kekuatan rahim saat kelahiran, dan perdarahan setelah persalinan
(Proverawati, 2009, p.53).
c. Kadar Hemoglobin (Hb)
Kadar hemoglobin (Hb) ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang
dilahirkan. Menurut Sitorus (1999, p.63) dalam Setianingrum (2005) menyatakan
bahwa Seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobinnya
dibawah 11 gr%. Hal ini jelas menimbulkan gangguan pertumbuhan hasil konsepsi,
sering terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan, atau janin lahir dengan berat
badan yang rendah (Soebroto, 2009, p.76).
21
Menurut Depkes RI (1999, p. 8) kadar hemoglobin tidak normal pada ibu
hamil akan menambah risiko mendapatkan bayi berat lahir rendah (BBLR), dan
gangguan perkembangan otak, resiko perdarahan sebelum dan pada saat persalinan,
bahkan dapat menyebabkan kematian ibu dan bayinya, jika ibu hamil tersebut
menderita anemia berat. Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai darah
nutrisi akan oksigen pada placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta
terhadap janin.
d. Jarak Kehamilan /Kelahiran
Jarak kehamilan ibu hamil sangat mempengaruhi berat bayi yang dilahirkan.
Seorang ibu yang jarak kehamilannya dikatakan berisiko apabila hamil dalam angka
kurang dari dua tahun, karena dapat menimbulkan gannguan hasil konsepsi, sering
terjadi immaturitas, prematuritas, cacat bawaan atau janin lahir dengan BBLR.
Keadaan ini disebabkan karena kurangnya suplai darah nutrisi akan oksigen pada
placenta yang akan berpengaruh pada fungsi plasenta terhadap janin.
Menurut Depkes RI (1999, p.41) menyatakan kehamilan yang perlu
diwaspadai adalah jarak persalinan terakhir dengan awal kehamilan sekarang kurang
dari 2 tahun, bila jarak terlalu dekat , maka rahim dan kesehatan ibu belum pulih
dengan baik. Pada keadaan ini perlu diwaspadai kemungkinan pertumbuhan janin
kurang baik, persalinan lama atau perdarahan.
22
darah otak apabila bayi terdapat keadaan berat badan lahir rendah, hipoksia dan
hipoglikemia (Markum H, 2005).
Ikterus neonatorum ialah suatu gejala yang sering ditemukan pada bayi baru
lahir yang terbagi menjadi ikterus fisiologi dan ikterus patologi. (Hidayat, 2008)
Ikterus disebabkan hemolisis darah janin dan selanjutnya diganti menjadi darah
dewasa. Pada janin menjelang persalinan terdapat kombinasi antara darah janin dan
darah dewasa yang mampu menarik O2 dari udara dan mengeluarkan CO2 melalui
paru-paru. Pengahncuran darah janin inilah yang menyebabkan terjadi ikterus yang
sifatnya fisiologis. Sebagai gambaran dapat dikemukakan bahwa kadar bilirubin
indirek bayi cukup bulan sekitar 15 mg % sedangkan bayi cukup bulan 10 mg %. Di
atas angka tersebut dianggap hiperbilirubinemia. (Manuaba, 2010)
2.4.3 Klasifikasi
23
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga.
Kadar billirubinnya tidak melewati kadar yang membahayakan. Ikterus ini biasanya
menghilang pada akhir minggu pertama atau selambat-lambatnya 10 hari pertama.
Ikterus dikatakan Fisiologis bila :
Ikterus Patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologik atau kadar
bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Dasar patologis ini
misalnya, jenis bilirubin, saat timbulnya dan menghilangnya ikterus dan
penyebabnya. Menurut Ngastiyah (2005) Ikterus dikatakan patologis bila :
24
2.4.4 Etiologi dan Faktor Resiko
2.4.4.1 Etiologi
Etiologi ikterus pada neonatus dapat berdiri sendiri atau disebabkan oleh
beberapa faktor menurut (Ngastiyah, 2005) :
4. Gangguan ekresi
Obstruksi saluran empedu
Obstruksi usus
Obstruksi pre hepatic
1. Faktor Maternal
25
c) Penggunakan oksitosin dalam larutan hipotonik.
d) ASI
e) Mengonsumsi jamu-jamuan
2. Faktor perinatal
3. Faktor neonates
a) Prematuritas
Pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan yang kurang bulan bisa
menyebabkan bayi mengalami hipoksia, hipoglikemi, dan kelainan susunan syaraf
pusat sehingga bilirubin mudah masuk ke dalam sawar darah otak yang akan
menyebabkan peningkatan kadar bilirubin indirek.
b) Faktor genetik
26
Berikan kolostru karena dapat membantu untuk membersihkanmekonium
dengan segera. Mekonium yang mengandung bilirubintinggi bila tidak
segera dikeluarkan, bilirubinnya dapat diabsorbsikembali sehingga
meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.
Bayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali dalam
sehari
Jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI
keluar karena akan mengurangi asupan susu.
Monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat BAK bayi danBAB
bayi.
e) Hipoglikemia
f) Hiperbilirubinemia
2.4.5 Penilaian
27
1. Midazolam
Struktur Kimia
Komposisi Midazolam
Kelas Terapi Golongan Benzodiazepin
Indikasi Terapi sedative untuk meminimalkan rasa tidak nyaman,
mengurangi resiko agitasi serta memudahkan sinkronisasi
pasien dengan ventilator.
Mekanisme Kerja Berikatan dengan reseptor gamma-aminobutyric acid A
(GABAA) disusunan saraf pusat dengan bantuan gamma-
aminobutyric acid (GABA)
Dosis 1-4 mcg/kg/menit (Frank Shann, 2014)
Pemberian Obat Intravena
Kontraindikasi Hipersensitif terhadap midazolam
Efek Samping Penurunan pernafasan, Apnea.
Peringatan Penyakit jantung, penyakit saluran nafas, miasthenia
gravis. Hindari pernggunaan jangka panjang, penghentian
terapi mendadak, gannguan fungsi hati dan ginjal
Farmakokinetika Absorbsi
Mean peak plasma concentration dicapai dalam waktu
10,2-12,5 menit dengan bioavaibilitas 55 dan 57%.
Distribusi
Vd = 0,6-1,9 L/kg. Misazolam berikatan dengan plasma
protein hingga 97% terutama albumin
Metabolisme
Midazolam di metabolisme di hati melalui jalur
hidroksilasi melalui CYP3A4 dan CYP3A5. Hasil
metabolisme adalah alfa-hydroxy midazolam (60%) dan 4-
hydroxy midazolam (5%), dimana keduanya tersedia dalam
28
bentuk aktif.
Eksresi
Waktu paruh eliminasi midazolam adalah 1,5-3,5 jam. Di
ekskresi melalui urin
Gambar sediaan
2. Fluconazole
Struktur Kimia
Komposisi Fluconazole
Indikasi Sebagai lini pertama antijamur pada pasien sepsis
yang dirawat di ruang intensif.
Mekanisme Kerja Farmakodinamik
Fluconazole bekerja pada enzim sitokrom P-450
lanosterol 14-alpha-demethylase yang berfungsi
dalam biosintesis ergosterol. Mekanisme spesifik
berupa pembentukan ikatan atom nitrogen bebas dari
cincin azol dengan atom besi pada heme dari enzim.
Kondisi ini akan mencegah aktivasi oksigen dan
demetilasi lanosterol, sehingga menghambat
29
biosintesis ergosterol yang merupakan komponen
penting dari membran sel jamur. Hilangnya sterol
normal tersebut sejalan dengan akumulasi 14 alpha-
methyl sterols yang bersifat toksik pada membran sel
jamur dan dapat menghentikan pertumbuhan sel.
Farmakokinetik
Penyerapan fluconazole sangat baik di saluran
pencernaan tanpa dipengaruhi makanan. Studi klinis
pada pasien sehat yang mendapat 50 mg/kg
fluconazole menunjukan Tmax tercapai dalam 3 jam.
Absorsi
Konsentrasi puncak plasma pada pasien sehat berpuasa
dicapai dalam 1-2 jam setelah konsumsi obat. Steady-
state concentration tercapai dalam 5-10 hari setelah
konsumsi per oral dosis 50-400 mg sekali sehari.
Rerata Area Under the Curve (AUC) adalah 20,3 pada
pasien sehat yang mendapat fluconazole 25 mg
Distribusi
Fluconazole memiliki tingkat kelarutan air yang tinggi
dengan volume distribusi mendekati total body
water sekitar 0,7-1 L/kg dan ikatan dengan protein
plasma yang rendah. Fluconazole dapat ditemukan
pada urine, kulit dan kuku, vagina dan sekret vagina,
saliva, sputum, mata, ASI, hingga cairan serebrospinal
melewati sawar darah otak. Permeabilitas meningen
terhadap fluconazole dapat meningkat pada keadaan
inflamasi seperti pada kasus meningitis.
30
Metabolisme
Fluconazole dimetabolisme secara minimal di hati.
Obat ini merupakan inhibitor CYP2C9, CYP3A4, dan
CYP2C19. Dua jenis metabolit dapat terdeteksi di
urine pasien sehat yang mengonsumsi 50 mg
fluconazole. Metabolit ini adalah metabolit
glukoronidasi dan N-oksida.
Eliminasi
Waktu paruh fluconazole adalah sekitar 22-31 jam.
Proses eliminasi melalui ekskresi ginjal dalam
bentuk unchanged drug (80%) dan metabolit (11%)
pada urin. Farmakokinetik fluconazole dapat
dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal, dimana
klirens kreatinin berbanding terbalik dengan waktu
paruh eliminasi, sehingga perlu pengurangan dosis
pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
31
Beri tahu dokter jika Anda menderita atau pernah
menderita kanker; acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS); denyut jantung tidak teratur; kadar
kalsium, natrium, atau magnesium yang rendah dalam
darah Anda, penyakit turunan seperti intoleransi
terhadap laktosa atau sukrosa, atau penyakit jantung,
ginjal atau hati.
Gambar Sediaan
3. Morfin
Struktur Kimia
32
nyaman pada saat penggunaan ventilator.
Mekanisme Kerja
Morfin adalah obat yang digunakan untuk
mengatasi rasa sakit dengan intensitas sedang
hingga parah, seperti nyeri pada kanker atau
serangan jantung. Untuk mengatasi nyeri, morfin
dapat dikonsumsi sebagai obat tunggal atau
dikombinasikan dengan obat pereda nyeri lainnya.
33
Gambar sediaan
4. Bactesynᴿ
Struktur
Kimia
Mekanisme Kerja Bactesyn adalah antibiotik yang berisi kombinasi Ampicillin dan
Sulbactam atau yang biasa disebut Sultamicilin. Bactesyn
digunakan untuk mengatasi infeksi bakteri, terutama infeksi
pada saluran pernafasan (bagian atas maupun bawah), ginjal,
perut bagian dalam, kulit, tulang dan sendi, serta keracunan
darah akibat infeksi. Bactesyn bekerja dengan menghambat
pembentukan dinding sel bakteri sehingga bakteri menjadi lisis
34
(rusak/pecah). Bactesyn tersedia dalam 2 macam sediaan yaitu
kaplet dan injeksi.
Dosis 25 – 50 mg/kgBB/6jam ( Frank Shann, 2014)
Pemberian Intravena, Intramuskular
Obat
Kontra Sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang sensitif terhadap
Indikasi ampisilin dan sulbactam serta antibiotik golongan Beta laktam
yang lain misalnya penisilin.
Efek samping
Diare, Tromboplebitis, ruam.
Gambar
sediaan
5. Dobutamin
Struktur Kimia
35
Dobutamine secara langsung menstimulasi reseptor beta-1 di
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas miokardium dan isi
sekuncup, yang menyebabkan peningkatan curah jantung.
Aliran darah koroner dan konsumsi oksigen miokardium
meningkat karena terjadi peningkatan kontraktolitas
miokardium.
Dosis Pemberian dobutamin secara infus intravena, pada rentang
dosis 2,5-40mcg/kg/menit. Dosis lazimnya adalah 2,5-
10mcg/kg/menit. Dosis disesuaikan secara individual
berdasarkan denyut jantung dan irama jantung, tekanan darah,
dan diuresis.
Pemberian Obat Infus intravena. Larutan steril untuk injeksi diencerkan dalam
larutan fisiologis NaCl 0,9% atau Dekstrose 5%.
Kontraindikasi Pasien dengan stenosis subaorta hipertrofik idiopatik,
hipersensitivitas terhadap dobutamine
Efek Samping Mual, sakit kepala, palpitasi, sesak napas, dan nyeri dada
Peringatan -Selama pengobatan tekanan darah dan EKG harus dimonitor
-Hipovolumia harus selalu dikoreksi sebelum melakukan
terapi dengan dobutamine
-Dapat menimbulkan nyeri dada pada pasien dengan penyakit
jantung koroner. Dosis harus dipertimbangkan dengan hati-
hati
Farmakokinetika Absorbsi: Setelah pemberian IV, mulai kerja dobutamine
timbul dalam 2 menit. Konsentrasi puncak plasma terjadi
dalam waktu 10 menit.
Distribusi:Tidak diketahui apakah dobutamine dapat melewati
plasenta atau ke air susu ibu
Eliminasi: waktu paruh plasma lebih kurang 2 menit.
Dobutamine dimetabolisme di hati dan jaringan lain oleh
cathecol-O-methyltransferase dan terkonjugasi dengan asam
glukoronat. Konjugat dobutamine dieksresi terutama di dalam
urine dan dalam jumlah kecil dieksresi di dalam feses
36
Gambar sediaan
6. Injeksi Gentamisin
Struktur Kimia
Komposisi Gentamisin
Kelas Terapi Antibiotik golongan aminoglikosida
Indikasi Infeksi oleh kuman yang sensitif pada penyakit bakteremia,
meningitis, osteomielitis, pneumonia, infeksi luka bakar,
infeksi saluran kencing, infeksi telinga hidung tenggorokan
Mekanisme Kerja Berikatan dengan ribosom 30 S dan menghambat sintesis
protein. Terikatnya aminoglikosida pada ribosom
mempercepat transpor aminoglikosida ke dalam sel diikuti
dengan kerusakan membran sitoplasmadan disusul oleh
kematian sel
Dosis Anak 2 minggu – 12 tahun : dosis 2 mg/kgBB tiap 8 jam
Pemberian Obat Intravena
Kontraindikasi Hipersensitif, kehamilan, miastenia gravis
Efek Samping Gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis
karena antibiotik
Peringatan Gangguan fungsi ginjal, bayi dan lansia, hindari
penggunaan jangka panjang
Farmakokinetika Absorpsi
37
Absorpsi gentamicin pada saluran cerna rendah. Absorpsi
cepat jika diberikan secara intramuskular, dengan waktu
mencapai konsentrasi plasma tertinggi berkisar antara 30-
60 menit.
Distribusi
Gentamicin terdistribusi secara luas ke jaringan, limfe,
pleura, cairan sendi maupun peritoneum. Gentamicin dapat
menembus sawar plasenta. Akan tetapi penetrasi
menembus sawar darah otak serta jaringan okular rendah.
Distribusi gentamicin berikatan dengan protein plasma
<30%.
Metabolisme
Gentamicin tidak mengalami perubahan bentuk karena
tidak dimetabolisme oleh tubuh.
Eliminasi
Gentamicin terutama dieliminasi di ginjal. Eliminasi
gentamicin pada empedu hanya sedikit. Gentamicin
dieliminasi dalam bentuk aktif tanpa perubahan bentuk.
Gambar sediaan
7. Dexamethasone
38
Struktur Kimia
39
deksametason
-Glaukoma
Efek Samping -Efek samping berhubungan dengan terapi sistemik jangka
panjang:
-Gangguan endokrin dan metabolik: cushing syndrome,
haid tidak teratur, menurunnya toleransi glukosa
-Gangguan cairan dan elektrolit: retensi natrium dan cairan,
hipertensi, alkalosis hipokalemia
-Efek dermatologik: menghambat penyembuhan luka,
jerawat, wajah kemerahan
Peringatan Pasien dengan kondisi berikut harus dimonitor:
-Gagal jantung, gagal ginjal, hipertensi
-Osteoporosis, glukortikoid mengganggu keseimbangan
kalsium
-Infeksi parasit tertentu seperti amubiasis
Farmakokinetika Absorpsi sistemik terjadi lebih lambat setelah injeksi IM
dibandingkan dengan pemberian IV. Pada pengobatan
edema serebral dengan IV kemudian injeksi IM, respon
biasanya dicatat dalam 12-24 jam.
Durasi aktivitas antiinflamasi deksametason kira-kira sama
dengan durasi penekanan sumbu HPA, sekitar 2,75 hari
untuk dosis tunggal 5 mg.
Distribusi dengan cepat dari darah dan didistribusikan ke
otot, hati, kulit, usus, dan ginjal. Pengikatan Protein Plasma
terikat dengan lemah pada transkortin. Dimetabolisme oleh
CYP3A4
40
Gambar sediaan
8. Nebu Ventolin®
41
protein seperti: kedelai, kacang tanah, atropine
dan turunannya. (susu protein)
(AHFS, 2011)
Interaksi Obat - Furosemid: menurunkan serum kalium
- Dobutamin: menurunkan serum kalium
dan menurunkan sedasi, meningkatkan
efek simpatis (adrenergic)
- Gentamicin: menurunkan serum
kalium
- Ibuprofen: ibuprofen meningkatkan
potassium serum, albutamol
menurunkan potassium serum
Efek Samping - Tremor (20%)
- Nervousness pada anak usia 2-6 tahun
- Imsomnia pada anak usia 6-12 tahun yang
menerima dosis 4-12 mg tiap 12 jam
Peringatan - Asma Akut atau Memburuk: Penggunaan
β2-agonis kerja pendek menjadi perlu,
terapi maintanance (mis: kortikosteroid
inhalasi, bronkodilator kerja panjang [mis:
salmeterol inhalasi] atau obat pelepasan
diperpanjang oral) dan hentikan
penggunaan reguler short-acting β2-
agonis pada pasien tersebut; sebagai
gantinya, gunakan β2-agonis kerja pendek
hanya sebagai suplemen untuk
menghilangkan gejala asma akut.
Kegagalan untuk menanggapi dosis
albuterol yang sebelumnya efektif dapat
mengindikasikan asma yang memburuk
secara serius.
42
- Bronkospasme paradoks. Sering terjadi
dengan penggunaan pertama dari tabung
atau vial baru (aerosol inhalasi oral).
Hentikan terapi segera jika terjadi
bronkokonstriksi dan berikan terapi
alternatif.
- Efek kardiovaskular. Termasuk aritmia
jantung (misalnya, fibrilasi atrium,
takikardia supraventrikular, ekstrasistol),
peningkatan atau penurunan TD, dan
gejala terkait.
- Pasien dengan gangguan kardiovaskular
(misalnya, insufisiensi koroner, aritmia
jantung), hipertensi, dan mereka yang
sensitif terhadap amina simpatomimetik.
(AHFS, 2011)
Farmakokinetika Absorbsi: efikasi inhalasi lebih baik dari pada
absorpsi sistemik. Onset aerosol inhalasi
adalah dalam 5-15 menit, dengan durasi 3-6
jam.
Distribusi: salbutamol melintasi plasenta.
Eksresi: Secara substansial dieliminasi oleh
ginjal. Sekitar 72% dari dosis (inhalasi oral)
diekskresikan dalam urin sebagai obat dan
metabolit yang tidak berubah dalam waktu 24
jam. Waktu paruh inhalasi 3,8 - 6 jam pada
orang dewasa sehat, dan 1,7 - 7,1 jam pada
pasien asma.
Bentuk Sediaan Inhalasi
43
Contoh Gambar
Sediaan
9. Kaen mg3
44
Nyeri pada tempat injeksi
Hiperkalemia
Contoh Gambar
Sediaan
Komposisi Cefoperazol+sulbactam
45
Struktur kimia obat
Demam
Mual
Muntah
46
(urtikaria), dan gatal (pruritis)
Contoh Gambar
Sediaan
11. Ca glukonat
Struktur kimia
47
Di gunakan ntuk mengatasi hipokalsemia
(kalsium ionisasi < 1,1 mmol/L pada
- Instabilitas kardiovaskular
(hipotensi, perfusi buruk,
asidosis metabolik, PPHN)
- Tranfusi tukar
48
kalsium karbonat atau natrium bikarbonat
(baking soda) selama jangka waktu lama)
dan hiperkalsemia (terlalu banyak kalsium
dalam darah)
Dapat mempotensiasi toksisitas terhadap
digoxin
Kalsitriol (metabolit vitamin D): dapat
meningkatkan penyerapan
Contoh Gambar
Sediaan
12. Nystatin
49
Komposisi Nystatin 100000 IU
Contoh Gambar
Sediaan
50
51
BAB III
TINJAUAN KASUS
Masuk RS 18/4/2021
Keluar RS 25/5/2021
52
Tanggal Pemeriksaan
Tanda vital 18- 26-
4 19-4 20-4 21-3 22-3 23-4 4 27-4 28-4
Suhu 36,20 36,80 36,3 36,3
160
HR x
15
Laju Napas 2 147x 145x 160x 150 140 151
SpO2 %) 90 99 98 95 95 96 98 98 92
53/2 57/3 57/3
TD (mmHg) 5 4 5
N Hasil Pemeriksaan
Data Laboratorium Nilai Rujukan
o 18/4 21/4 24/4 4/5 24/5
HEMATOLOGI
15, 16,
1 Hemoglobin 14.5-24.5 g/dL 18 3 5 13,4 10,7
4,3 4,7
2 Eritrosit 4,1-6,1 x106/µL 5 6 3 3,94 3,52
43, 46,
3 Hematokrit 44-64 % 52 1 1 37,9 32,0
Nilai-nilai MC
98, 97,
4 MCV 98-112 fL 104 9 5 96,2 90,9
35, 34,
5 MCH 34-40 pg 36 1 9 34,0 30,4
35, 35,
6 MCHC 33-37 g/dL 34,4 5 8 35,4 33,4
17, 17,
7 RDW-CV 11,5-14,5 % 18,4 2 2 16,9 15,9
19,
8 Leukosit 9-29 x103/µL 13,3 5,8 1 18,5 9,0
9 Trombosit 150-450 x103/µL 162 148 266 259 305
IMUNOLOGI
53
Procalsitonin 0,7 0,1 0,2
10 (PCT) <0,1 mg/dL 8 1 8
KIMIA KLINIK
11 Albumin 2,9-5,3 g/dL 3,03
12 Kalsium
13 SGOT <38 U/L
14 SGPT <40 U/L
15 Ureum 20-50 mg/dL
16 Kreatinin 0,5-1,5 mg/dL
Elektrolit Serum
(Na-K-Cl
17 Natrium (Na) 135-145 mEq/L
18 Kalium (K) 3,5-5,5 mEq/L
19 Klorida (Cl) 98-108 mEq/L
Analisa Gas
Darah
7,17
20 pH 7,35-7,45 9
62,1
21 PCO2 35-45 mmHg 0
74,8
22 PO2 80-100 mmHg 0
Bikarbonat
23 (HCO3) 22-26 mEq/L 23,3
Kelebihan Basa
24 (BE) -2 - +2 mEq/L -6
90,1
25 SO2 94-100 % 0
54
3.4 Follow Up
Dokter Apoteker
Tanggal S O
A P A P
18/04/2021 - Sesak (+), spo2 88-90% -Intubasi Pasien mendapatkan Pasien diberikan
retraksi (+), -pemasangan venti terapi sesuai dengan midazolam dan
Berat badan -Midazolam kondisi medis. morfin sebanyak
1455 gram, - Morfin Semua terapi yang 0,28 cc.
panjang diberikan Midazolam ><
badan 40 cm, menyesuaikan kondisi morphine
cyanosis (+), pasien : Moderate :
Morfin dan pemberian
midazolam digunakan midazolam dan
untuk mengatasi nyeri morfin dapat
yang di akibatkan oleh meningkatkan efek
pemasangan venti samping seperti
pusing, kantuk,
kebingungan dan
kesulitan
konsentrasi
19/04/2021 - Sesak Tekanan Respiratory - Venti 1. Pasien mendapat - Gentamisin ><
55
menurun, darah 53/25, failure ec. - PTV terapi sesuai ampicillin
nadi 156x/ HMD gr
- PEEP 7 dengan kondisi sulbactam
desat (-), menit, nafas 3,4, syok
56 x/ menit, kardiogenik - Fio2 60% medis. Semua Moderate : dapat
OGT jernih, spo2 99%, , BBLSR
- RR 50X/ menit terapi yang di mengurangi efek
udem (+)
vie tercapai - Ti 0,45 berikan gentamisin jika
- Cairan 100 menyesuaikan dicampur dalam
fi02 menurun
cc/kg/hari = 150 kondisi dengan wadah atau saluran
- As 10% Dio + Ca kondisi pasien IV yang sama.
5,1 Gentamisin Disarankan
- Smofiloid 20% digunakan penggunaan nistatin
0,3 sebagai antibiotic 1x sehari.
- dobu 0,2
- ASI 12x1 cc
- Nistatin 3x
- 0,5 cc oles
- 0,5 cc OGT
- Bactecyn 2
- Gentamicyn 2
20/04/2021 - Sesak (-), vie Ku sus tv Respiratory - Venti Pasien mendapatkan penggunaan
stabil failure ec nistatin di sarankan
- Ptv terapi sesuai dengan
tercapai, HMD, Syok 1 x sehari,
56
slem sepsis, - PIP 16 kondisi medis. pemberian kaen mg
BBLSR 3 + ca 5,6 cc
- PEEP 6 Semua terapi yang
berkurang, B
- SiO2 30% diberikan
– 148, D 6,1
- RR 50 menyesuaikan kondisi
- Ti 0,45 pasien :
- Cairan 120 Gentamisin
cc/kg/hari 180 sebagai antibiotic
- AS 10% 1,2 Flukonazol
- (29/kg) sebagai anti fungi
- KaEn Mgs + Ca Kaen mg 3 + ca
6,1 berfungsi sebagai
- ASI 12x2 pengatur
- Nobu 0,25 elektrolit
- Bactecyn 3 Nobu digunakan
- Gentamicyn 3 sebagai
- Nystatin bronkodilator
57
min baik sepsis, - Fio2 30%
BBLSR, - RR 40, Ti 0,5
Neonatal - Cairan 140
jaundice cc/kg/hari
210
- ASI/SF 6x3
- ASI/SF 6X5
- AS 10% 1,9
- KaEn Mg3 + Ca
4,4
- Stop dobu
22/4/2021 - Sesak (-), Respiratory - Ptv Pasien mendapatkan Gentamisin><
failure ec
- Press 13/5 terapi sesuai dengan cefoperazone
desat (-), HMD, Syok
sepsis - STO2 30% kondisi medis. Moderate :
ikterik (-) (perbaikan),
- RR 40X/ menit Semua terapi yang pemberian bersama
SNAL,
BBLSR, - TiO2 0,5 diberikan aminoglikosida dan
Neonatal
- Cairan 160 cc/kg menyesuaikan kondisi sefalosporin dapat
Jaundice
→ 240 pasien : meningkaatan
o ASI 6x7 Gentamisin risiko
o ASI 6X10 sebagai antibiotic nefrotoksisitas.
58
- KaEn Mg3 + Ca Flukonazol
5,7 sebagai anti fungi
- AFF AS
- Fluconazole 2
- Cefoperazone
sulb 2
- Gentamicyn 5
- Aff fotath
- nystatin
- Dexa 4 x 0,2 mg
23/4/2021 - Sesak (+), Ku rl, tv Post ekstub - CPAP 7/40 Pasien mendapatkan Fluconazole ><
stabil,
H1e.c HMD, - Cairan 750cc/kg terapi sesuai dengan dexamethasone
desat (-), tol retraksi (+)
SNAL, = 225 kondisi medis. Moderate :
min baik fluconazole dapat
BBLSR ASI 6X12 Semua terapi yang
meningkatkan
ASI 6X15 diberikan kadar darah dan
efek
- KaEn Mg3 + Ca menyesuaikan kondisi
dexamethasone
2,6 pasien :
- Fluco 3 Gentamisin
- Cefosulb 3 sebagai antibiotic
- Genta 6 Flukonazol
59
- Aff dexa sebagai anti fungi
- Nebu ventolin + Nebuventolin di
pulmicort gunakasan
(terakhir) sebagai
bronkodilator
Kaen mg3 + ca di
gunakan untuk
mengatur
elektrolit
26/4/2021 Sesak (-), desat Fu, tv stabil Post ekstub - ASI + similac 2x20 Pasien mendapatkan
(-), instub H5, SNAL, - Fluco 7 terapi sesuai dengan
(-),cedera BBLSR - Cefosulb 7 kondisi medis.
takikardi, tol - Genta 10 Semua terapi yang
min baik diberikan
menyesuaikan kondisi
pasien :
Gentamisin
sebagai antibiotic
Flukonazol
sebagai anti fungi
60
Asi + similac
digunakan
sebagai
penambah nutrisi
27/4/2021 Sesak (-), desat Fu, tv stabil Post ekstub - ASI + similac Pasien mendapatkan
(-), instub H5, SNAL, 2x20 terapi sesuai dengan
(-),cedera BBLSR - Fluco 6 kondisi medis.
takikardi, tol - Cefosulb 6 Semua terapi yang
min baik - Genta 9 diberikan
menyesuaikan kondisi
pasien :
Gentamisin
sebagai antibiotic
Flukonazol
sebagai anti fungi
Asi + similac
digunakan
sebagai enambah
nutrisi
28/4/2021 Sesak (-), desat Fu, tv stabil, Post ekstub - ASI + similac Pasien mendapatkan
61
(-), instub (-), retraksi min, H5, SNAL, 2x20 terapi sesuai dengan
tol min baik, stagen : st4 BBLSR - Fluco 8 kondisi medis.
B<15, D<5,1 - Cefosulb 8 Semua terapi yang
- Genta 11 diberikan
menyesuaikan kondisi
pasien :
Gentamisin
sebagai antibiotic
Flukonazol
sebagai anti fungi
62
3.5 Analisa Farmakologi
3.6.1. Terapi Farmakologi
Tanggal Pemberian
18/ 19/ 20/ 21/ 22/ 23/ 26/ 27/ 28/4
No 4 4 4 4 4 4 4 4
Nama Obat dan Dosis
Regimen
1 Midazolam1mg/ml 0,3cc √
5 Ivpd kaen mg 3 + Ca √ √ √ √
6 AS 10% √ √ √ √
7 Smaflipid 0,3 √
11 Ivfd P10% + Ca 10
12 Dobutamin √ √
14 Gentamicyn 2x7 mg √ √ √ √ √ √ √
63
No Nama Obat Dosis Sesuai Literatur Perhitungan Komentar
4 Morfin 1 mg/ ml Bayi dan anak: 0.1-0.2 Perhitungan : 1,4 kg x 0,1- Dosis tidak
mg/kg tiap 2-4 jam 0,2 mg /kgBB = 0,14 mg – sesuai literature,
0,3cc
0,28 mg / tiap 2-4 jam disarankan
untuk mencapai
efek terapi yang
maksimal dosis
diturunkan
menjadi 0,28 cc
Nebu ventolin
(Salbutamol sulfat)
Terapi tepat, karena diberikan sebagai
6 4 x 1 cc Bronkodilator
bronkodilator
(100mcg/inhalasi)
Flukonazole infus 1
7 Antifungi Terapi tepat diberikan
x 24 mg
65
Jenis Permasalahan
No Analisa Masalah Komentar/Rekomendasi
Permasalahan Terkait Obat
1 Korelasi 1. Adakah ada 1. Tidak ada 1. Obat yang diberikan sudah
antara terapi Obat tanpa sesuai indikasi
obat dengan indikasi?
penyakit 2. Adakah 2. Tidak ada 2. Semua kondisi klinis sudah
pengobatan yang diterapi
tidak dikenal?
3. Adakah kondisi 3. Tidak ada 3. Semua kondisi klinis sudah
klinis yang tidak diobati
diterapi?
2 Pemilihan 1. Bagaimana 1. Sudah 1. Obat yang diberikan sesuai
obat yang pemilihan obat? dengan gejala penyakit dan
sesuai Apakah sudah lini terapi
efektif dan
merupakan obat
terpilih pada
kasus ini?
2. Apakah 2. Sudah 2. Tidak terdapat masalah
pemilihan obat selama masih dilakukan
tersebut relatif pemantauan
aman?
3. Apakah terapi 3. Bisa 3. Terapi obat dapat
obat dapat ditoleransi oleh pasien
ditoleransi oleh
pasien?
3 Regimen 1. Apakah dosis, 1. Tidak 1. Ada beberapa obat yang
Dosis frekuensi dan sesuai perlu diturunkan dosis atau
cara pemberian dinaikkan dosis
mempertimbang pemberiannya pada bayi
kan efektifitas
keamanan dan
66
kenyamanan
sesuai dengan
kondisi pasien?
2. Apakah jadwal 2. Bisa 2. Jadwal pemberian dosis bisa
pemberian dosis memaksimalkan efek terapi,
bisa kepatuhan, meminimalkan
memaksimalkan efek samping dan interaksi
efek terapi, obat
kepatuhan,
meminimalkan
efek samping,
interaksi obat,
dan regimen
yang kompleks?
3. Apakah lama 3. Tidak 3. Ada obat yang disarankan
terapi sesuai sesuai digunakan 1x sehari
dengan indikasi?
4 Duplikasi 1. Apakah ada 1. Tidak ada 2. Ada duplikasi terapi pada
terapi duplikasi terapi? permasala obat pasien yaitu pemberian
han prednison dan dexametason
5 Alergi Obat 1. Apakah pasien 1. Tidak ada 1. Tidak ada riwayat alergi
atau intoleran alergi atau permasala pasien
intoleran han
terhadap salah
satu obat?
2. Apakah pasien 2. Tidak ada
telah tahu yang permasala
harus dilakukan han
jika terjadi
alergi?
67
3.6.5 Lembar Pengkajian Masalah Obat
68
dapat meningkatkan kadar
darah dan efek
dexamethasone
69
3.6.6. Monitoring Rencana Pelayanan Farmasi
70
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang bayi yang baru dilahirkan di Rumah Sakit ananda pada tanggal 18 april 2021
pukul 08.45 dengan jenis kelamin laki-laki, berat badan 1400 gram dan panjang badan 42 cm
dengan temuan pemeriksaan fisik retraksi dinding dada (+), keluhan respiratory failure dan Bayi
Berat Lahir Sangat Rendah (BBLSR), pemeriksaan fisik nadi 165/menit, SPO2 90-95%, GDR
114 g/dl obat-obat yang telah diberikan IVFD D 10% + Ca Glukonas dosis 5 tetes dengan rute
pemberian iv, injeksi gentamisin dosis 7 mg rute pemberian iv, injeksi bactesin 70 mg, injeksi
Vitamin K di rujuk ke M. Natsir solok.
Setelah sampai di M. Natsir Solok pada tangal 18 april 2021 bayi dalam keadaan sesak
dibawa keruangan NICU di beri tindakan diagnostik intubasi + ventilasi mekanik. Pengobatan
yang diberikan yaitu morfin 0,3 cc dan midazolam 0,3 cc. Morfin merupkan Analgeik opioid.
Morfin mempengarungi sistem saraf pusat dan otot polos. Morfin berikatan dengan reseptor
opiat dalam sistem saraf pusat yang mengubah persepsi dan respon nyeri sehingga tubuh tidak
merasakan sakit. Midazolam adalah Golonga Obat Psikotropika obat ini digunakan untuk sedasi
(penggunaan obat yang memberikan efek mengantuk) sebelum melakukan prosedur diagnostik
dan intervensi terapeutik dengan anestesi lokal, premedikasi (pemberian obat sebelum induksi
anesthesia) sebelum operasi, induksi anestesi. Intubasi merupakan prosedur medis yang
memasukkan tabung sebagai alat bantu pernapasan ke dalam tenggorokan. Prosedur intubasi
akan menyebabkan rasa sakit pada tenggerokan pasien, sehingga saat prosedur intubasi
pemberian morfin dan midazolam berguna untuk anastesi untuk memudahkan intubasi pada
bayi. Pada hari kedua perawatan pada tanggal 19 april 2021 sesak pada bayi menurun, dokter
mendiagnosa bayi mengalami respiratory failure, syok kardiogenik dan BBLSR. pengobatan
yang diberikan dobutamin 0,2 cc, nistatin 0,5 cc, bactecyn, gentamicin, amino steril 10 % dan
smoflipid 0,3 cc, Amino steril 10 % adalah salah satu larutan steril berisi nutrisi parenteral
(diberikan bukan melalui mulut tetapi melewati pembuluh darah) yang mengandung asam amino
10% diindikasikan untuk perawatan Kekurangan asam amino. Pemberian larutan nutrisi ini
berguna agar kebutuhan nutrisi dan nitrogen tetap seimbang dan optimal. Smoflipid
diindikasikan untuk memberikan energi, dan memberikan lemak esensial secara parenteral.
71
Pada tanggal 20 april sesak pada bayi (-), terapi yang diberikan masih sama dengan
adanya penambahan KaEn Mg3 + Ca. Pemberian KA-EN Mg3 merupakan cairan infus yang
mengandung natrium, kalium, klorida, lactate, glucose. KA-EN MG3 digunakan untuk
membantu pengobatan ketidakseimbangan karbohidrat dan elektrolit pada keadaan insufisiensi
asupan makanan per oral. Perlu pemberian kalsium glukonas setelah lahir untuk mengantisipasi
timbulnya gejala hipokalsemia. Hipokalsemia adalah suatu kondisi yang dapat menyebabkan
gangguan serius, terutama pada bayi baru lahir. Menurut Tsang dkk, Kasus BBLR 13 (19,7%)
bayi mengalami hipokalsemia, 7 (10,6%) di antaranya hipokalsemia berat dan 6 (9,1%)
hipokalsemia sedang. Pada bayi >2500 gram, 31 (47%) bayi mengalami hipokalsemia, 3 (4,5%)
di antaranya hipokalsemia berat dan 28 (42,4%) hipokalsemia sedang. Kejadian hipokalsemia
merupakan kejadian yang sering terjadi pada bayi lahir yang dapat disebabkan karena
terlambatnya fungsi hormon paratiroid dalam metabolisme kalsium pada tubuh bayi.
Pada tanggal 21 april 2021 ada tambahan diagnosa oleh dokter yaitu neonatal joundice
terapi yang diberikan masih sama dengan hari sebelumnya. Tetapi terapi dobutamin di stop. Pada
tanggal 22 april terapi yang diberikan pada bayi yaitu fluconazole pemberian fluconazole
berguna sebagai anti jamur karena kulit bayi memiliki kemampuan absorbsi lebih tinggi dan
mempunyai risiko lebih besar terhadap cedera kulit dan infeksi kulit. Bayi dengan BBLR harus
diwaspadai tanda-tanda infeksi sistemik (Paller, dkk 2006) .Selanjutnya diberikan cefoperazone
sulbactam, gentamisi, dexametasone, nebu ventolin + pulmicort + NaCl 3cc/ 6 jam. Pada tanggal
23 april 2021 terapi dexametason diberhentikan.
Kemudian dilakukan pemeriksaan laboratorium sebanyak 5 kali selama masa perawatan.
Pada pemeriksaan hemaglobin dimana pada tanggal 24 mei 2021 nilai hemaglobin 10,7 g/dl hasil
ini dikategorikan rendah. Nilai normal hemaglobin adalah 14,5- 24,5 g/dl. Pemeriksaan Eritrosit
dimana pada tanggal 4 mei 2021 nilai eritrosit yang diperoleh rendah yaitu 3,94 g/dl dan pada
tanggal 24 mei 2021 nilai eritrosit juga rendah yaitu 3,52 g/dl. Nilai normal eritrosit 4,1-6,1 x
106/ µL. Pada pemeriksaan Hematokrit pada tanggal 21 april 2021 nilai yang diperoleh 43,1%
pada tanggal 4 mei 2021 37,9% pada tanggal 24 mei 32,0% . nilai yang diperoleh rendah dari
nilai normal hematokrit yaitu 44-64 %. Pada pemeriksaan nilai MCV pada tanggal 24 april 2021
nilai yang diperoleh 97,5 fL. pada tangga; 4 mei 2021 nilai MCV 96,2 fL. Pada tanggal 24 mei
2021 nilai MCV 90,0 fL hasil yang diperoleh rendah dari nilai normal MCV yaitu 98-112 fL.
Pada pemeriksaan RDW-CV pada tanggal 18 april 2021 pemeriksaan nilai RDW-CV 18,4%
72
hasil ini dikategorikan tinggi. Nilai normal RDW-CV adalah 11,5-14,5%, namun jika nilai
RDW-CV <11,5% maka dapat dikatakan rendah, jika nilai RDW-CV >14,5% maka dapat di
katakan tinggi. Pada tanggal 21 april 2021 dan 24 april 2021 nilai RDW-CV 17,2% pada
tanggal 4 mei 2021 nilai RDW-CV 16,9% pada tanggal 24 mei 2021 nilai RDW-CV15,9 % dari
pemeriksaan RDW-CV dapat dilihat nilai RDW-CV sedikit menurun dari hari pertama tetapi
masi dikategorikan tinggi dari nilai normalnya. Pada pemeriksaan leukosit pada tanggal 21 april
2021 nilai yang diperoleh 5,8 nilai ini dikategorikan rendah dari nilai normal leukosit yaitu 9-29
x 103/ µL. Pada pemeriksaan trombosit pada tanggal 21 april 2021 nilai yang diperoleh 148 nilai
ini dikategorikan rendah dari nilai normal trombosit yaitu 150-450 x 10 3/ µL. Pada pemeriksaan
procalsitonim (PCT) pada tanggal 21 april 2021 nilai yang diperoleh 0,78 mg/dL. dan pada
tanggal 24 mei 2021 nilai yang diperoleh 0,28 mg/dL. nilai ini dikategorikan tinggi dari nilai
normal procalsitonim (PCT) yaitu <0,1 mg/dL.
73
BAB V
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan kajian pengobatan yang dilakukan terhadap AZ, terapi yang didapatkan
pasien telah sesuai dengan indikasi tetapi pemilhan obat juga telah sesuai dengan kondisi
2. Kondisi pasien belum juga membaik sehingga pasien dilarikan ke IGD RSUD. M Natsir Solok.
5.2 Saran
1. Disarankan ke pasien agar hidup bersih agar tidak mudah terjangkit penyakit.
2. Edukasi terhadap pasien dan keluarganya tentang penyakit yang di derita akan sangat
74
DAFTAR PUSTAKA
Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. BalaiPenerbit FK UI; 2009. Hal: 4072-4079.
Ariano RE. Acute respiratory distress syndrome. Acute respiratory distress syndrome. Intensive
Care Med. 2004.30:51-61
Bartlett JG. Aspiration pneumonia in adults. Updated on July 6, 2015. Available from:
www.uptodate.com. Downloaded on April 10, 2016.
Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute respiratory distress syndrome :
new definition, current and Fanelli V, future therapeutic options. Journal of Thoracic
Disease. 2013, 5 (3) : 326-334.
Fowler AA, Truwit, Hite HD, Morris P, DeWilde C, Priday A , Dkk. Effect of vitamin C
infusion on organ failure and biomarkers of inflammation and vascular injury in patients
with sepsis and severe acute respiratory failure: the CITRIS-ALI randomized clinical trial.
JAMA. 2019; 13: 1261–1270.
75
Shann, Frank. 2014. Drug Doses Sixteenth Edition. Australia.
Girard TD, Bernard GR. Mechanical ventilation in ARDS: A state-of-the-art review. Chest
2007;131:921-9.
Guntur. 2006, ‘Sepsis’ dalam : SIRS & Sepsis (Imunologi, Diagnosis, Penatalaksanaan), ed.,
D.A. Prasetyo, Y.S. Sutanto. SebelasMaret University Press. Surakarta, hal. 1-13.
Gunardi, H. 2013. Efektivitas Vasopresin dan Norepinefrin dalam Memperbaiki Fungsi Ginjal
pada Pasien Syok Sepsis yang Disertai Acute Kidney Injury. eJKI. 1(3).
IDAI. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Jilid 1. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
IDAI. 2016 Konsensus dan Tatalaksana Sepsis pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Jonathan A, Fergusson ND. Clinical review: Acute respiratory distress syndrome – clinical
ventilator management and adjunct therapy. Critical Care 2013, 17:225.
Lee W and Slutsky A. Acute Hypoxemic Respiratory Failure and ARDS. In: Broaddus VC, Ernst
JD, Jr TEK and Lazarus SC, (Eds.). Murray &Nadel's Textbook of Respiratory Medicine.
6th Ed. Philadelphia: Elsevier, 2016, P. 1740-60.
Mackay A, Haddad M.Acute lung injury and acute respiratory distres syndrome. Cont Edu
AnaesthCrit Care and Pain. 2009; 9(5): 152–156.
Mayr FB, Yende S, Angus DC. Epidemiology of severe sepsis. Virulence. 2013; 5(1): 4-11
Nugroho, R.K. 2018. Efek Pemberian Midazolam atau Propofol terhadap Lama Penggunaan
Ventilator Mekanik di ICU RSUP Dr. Kariadi. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Volume
(X) No (1).
76
Olsen E. M. Failure to thrive: Still a problem of definition. ClinPediatr. 2006;45:1-6.
Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A. Corticosteroids in the
prevention and treatment of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in adults:
metaanalysis. BMJ. 2008;336(7651):1006-1009.
Saguil A& Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and Management. Am
Fam Physician. 2012;85(4):352-358
SCN, 2004. 5th Report on the World Nutrition Situation: Nutrition for Improved Development
Outcomes. United Nations System (online), (http://www.unsystem.
org/scn/Publications/AnnualMeeting/SCN31/ SCN5Report.pdf) diaksespadatanggal 3
Januari 2015.
Terragni PP, Rosboch G, Tealdi A, Corno E, Menaldo E, Davini O, et al. Tidal hyperinflation
during low tidal volume ventilation in acute respiratory distress syndrome. Am J RespirCrit
Care Med 2007; 175:160-6.
Widianto, R. 2014. Sedasi dan Analgesia di Ruang Rawat Intensif. Anesthesia and Critical Care.
Vol (32) No (3).
77
Wilson DF, Thomas NJ, Markovitz BP, Bauman LA, DiCarlo JV, Pon S, et al. Effect of
exogenous surfactant (calfactant) in pediatric acute lung injury. A randomized controlled
trial. JAMA 2005; 293:470-476.
78