Diceritakan sekarang salah seorang murid terkemuka Ki Balian Batur bernama I Gede Mecaling,
anak ke empat dari Dukuh Jumpung yang tinggal di Tegallinggah Banjaran Jungut, di desa
Baturan. I Gede Mecaling memiliki sifat usil suka mengganggu orang yang datang ke desa
Baturan dengan menggunakan kedigjayaan ilmu hitamnya.
Dewa Agung Anom mendengar hal tersebut memerintahkan kepada Dewa Babi
dan Kyai Batu Lepang untuk menuntaskan membebaskan bumi Timbul dari ilmu hitam.
Singkat cerita Dewa Babi dan I Gede Mecaling sepakat mengadu kesaktian, dengan
menggunakan sarana Babi Guling. Ada dua pilihan tali, yaitu tali benang dan tali kupas
(tali dari pohon pisang). Dewa Babi memilih tali benang dan I Gede Mecaling memilih
tali kupas. Kaki belakang dan depan babi guling diikat lalu dipanggang sampai matang.
Dewa Babi dan I Gede Mecaling sama – sama memusatkan pikiran, ternyata tali kupas
putus sebelum Babi Guling matang. Berarti ini merupakan kekalahan I Gede Mecaling
dan harus pergi meninggalkan bumi Timbul sesuai dengan kesepakatan sebelumnya.
Sebelum memenuhi perjanjian tersebut I Gede Mecaling menuju ke suatu tempat untuk
meninjau daerah yang akan dituju. Tempat untuk melihat atau meninjau daerah yang
akan dituju disebut Peninjoan sekarang. Dari tempat ini I Gede Mecaling melihat daerah
tujuannya yaitu: desa Jugut Batu, Nusa Penida.
BERDIRINYA KERAJAAN
DHALEM SUKAWATI
PEREBUTAN KEKUASAAN
DI KERAJAAN DHALEM SUKAWATI
Terjadi perselisihan 2 bersaudara antara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made.
Dewa Agung Made menghendaki kerajaan dibagi 2, namun ditolak oleh Dewa Agung Gede.
Perseteruan ini membuat rakyat jadi berpihak-pihak.
I Gusti Ngurah Padang Tegal memihak Dewa Agung Gede, sedang I Gusti Made Taman
memihak Dewa Agung Made. Terjadi perang hebat antara laskar Padang Tegal dan laskar
Taman. Pasukan Dhalem Sukawati datang utnuk mendamaikan perang tersebut. Laskar Padang
Tegal lari ke tempat yang sekarang disebut desa Punggul, sementara laskar Taman lari ke tempat
yang sekarang di sebut desa Taman. Untuk menjaga keamanan, Dewa Agung Gede memutuskan
untuk menempatkan adik-adiknya, seperti:
1. Cokorda Ngurah Tabanan, tinggal di Peliatan
2. Cokorda Tangkeban, tinggal di Ubud
3. Cokorda Gunung, tinggal di Petulu
4. Cokorda Tiyingan, tinggal Gentong.
Pemerintahan Kolektif
Setelah situasi dapat dipulihkan Dewa Agung Gede didaulat untuk menduduki tahta Puri
Agung Sukawati, sementara Dewa Agung Made beristana di Puri Agung Peliatan. Namun Dewa
Agung Gede tidak suka beristana di Puri Agung, beliau mendirikan Puri baru di sebelah Timur
Puri yang lama. Sebagai tanda hubungan yang baik antara Dewa Agung Gede dan Dewa Agung
Made, salah seorang putera dari Dewa Agung Made yang bernama Dewa Agung Mayun yang
beribu dari Pejeng dititahkan untuk mekandelin Dewa Agung Gede.
Putera-putera Dewa Agung Made yang lain seperti: Cokorda Putu Kandel mendirikan Puri Mas
(sebelum ke Ubud), Cokorda Raka berpuri di Bedulu, dan Cokorda Perasi berpuri di Keliki
Tegallalang. Sedangkan Dewa Agung Batuan tinggal bersama ayahnya di Puri Agung Peliatan.
Adapun putera dari Dewa Agung Gede bernama Dewa Agung Ratu membuat Puri di sebelah
Barat Pura Penataran Agung, di sebelah puri Kaleran.
Demikianlah kerajaan Sukawati diperintah secara kolektif oleh 2 saudara dari 2 Puri, Puri
Agung Sukawati dan Puri Agung Peliatan, Dewa Agung Gede dan Dewa Agung Made beserta
dengan para putera. Setelah berdua sama – sama lanjut usia Dewa Agung Gede wafat, kemudian
tidak lama disusul oleh Dewa Agung Made.
Pengisian Kekosongan
Untuk mengisi tahta Puri Agung Sukawati, Dewa Manggis Jorog menitahkan putera
beliau Dewa Made Rai, yang kemudian diganti oleh Dewa Gede Oka cucu dari Dwa Manggis
Jorog. Sementara itu Cokorda Putu Kandel yang bersembunyi di desa Tumbak Karsa
Tegalllalang disuruh kembali pulang dan kesalahannya diampuni. Cokorda Putu Kandel
bersedia pulang, beliau berkedudukan di Ubud. Sedangkan di Puri Agung Peliatan diisi oleh
Dewa Agung Jelantik putera dari Dewa Agung Batuan pada tahun 1823 M, yang dinikahkan
dengan salah seorang puteri dari I Gusti Ngurah Jelantik dari Blahbatuh.
Dewa Agung Jelantik memerintah dalam keadaan terjepit oleh dominasi Dewa Manggis dari
Gianyar. Beliau wafat dalam usia muda tahun 1835 M, meninggalkan 2 orang putera laki-laki
yang masih kecil, yaitu: Dewa Agung Bungbungan beribu dari permaisuri puteri Blahbatuh, dan
Cokorda Rai beribu dari penawing.
PERISTIWA
DI PURI TEGALLALANG