Anda di halaman 1dari 4

MILENIAL DI PERSIMPANGAN

Beberapa pekan lalu publik dikejutkan dengan peristiwa bom bunuh diri yang dilakukan
dua orang pasangan muda di Gereja Katedral Makassar. Pasangan yang baru menikah
sekitar tujuh bulan ini kompak untuk mengakhiri hidupnya sebagai martir bom bunuh diri
di usia yang baru 26 tahun.

Belum selesai dengan keterkejutannya, publik kembali dibuat terkejut dengan aksi
seorang ZA, 26 tahun, perempuan muda usia yang melakukan aksi ightiyalat (mencari
kematian) dengan menerobos Mabes Polri.

Publik pun kembali dibuat bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan hingga kaum milenial
hingga mereka bisa bergabung dan terlibat dengan kegiatan Extraordinary Crime seperti
terorisme?

Rebel with a cause


Sebetulnya agak telat jika publik baru merasa ngeh dengan keterlibatan anak-anak muda
dan kaum milenial di kancah terorisme dan organisasi teror. Dalam artikelnya tanggal 1
April 2021, dibawah judul; "Daftar Pelaku Teror Berusia Muda: Dari Usia 18 hingga 26
Tahun" detik.com memang telah merangkum beberapa nama anak-anak muda yang
terlibat dalam aksi teror dan organisasi terorisme. Namun bukan berarti bahwa jumlah
kaum muda yang terlibat dalam terorisme hanya sejumlah itu.

Dari pengalaman yang penulis dapatkan selama menjalani masa penahanan di Rutan
Mako Brimob medio 2016-2017, penulis dapat menghitung bahwa jumlah kaum muda
usia 16-30 tahun penghuni rutan Mako Brimob Kelapa Dua - Depok yang notabene
terlibat dalam terorisme lebih dari 20 orang. Mereka-mereka itu ada yang telibat dalam
jaringan MIT, aksi pemboman, perencanaan pemboman, perencanaan chaos, dan lain-
lain. Bahkan sebagaimana dirilis dari laman detik.com di atas, keterlibatan kaum muda di
kancah terorisme telah ada sejak 12 tahun silam. Lalu apakah yang menjadi daya tarik
terorisme hingga membuat kaum muda ikhlas untuk terjun di dalamnya?
Pengamat terorisme Al Chaidar sebagaimana dilansir kompas.com, 2 April 2021,
menyampaikan bahwa rendahnya pemahaman agama menjadi salah satu faktor penyebab
mudahnya kaum muda milenial terpapar ajaran radikalisme dan terorisme.

Sebelumnya, dalam artikel lain di kompas.com, Pimpinan Yayasan Prasasti Perdamaian,


Noor Huda Ismail juga menyampaikan bahwa ada 3 hal yang memicu orang-orang
kelompok usia muda tertarik mengikuti aksi terorisme, yaitu: Pencarian jati diri dan
identitas diri, cara pengekspresian diri dan sebagai dampak interaksi kaum muda dan
media sosial.

Senada dengan Noor Huda Ismail, Pendiri Speak Peace Indonesia Boaz Simanjuntak
dalam komunikasi onlinenya dengan penulis juga bertutur bahwa selain sangat rentan di
dunia digital, anak muda juga akan mengalami tiga tahapan proses dimana proses
tersebut sangat rentan untuk terpapar faham terorisme. Tahap pertama adalah proses
pencarian jati diri, proses kedua mereka juga akan melalui masa-masa kegalauan yang
membutuhkan solusi dan terakhir adalah tahap kompetisi untuk mendapatkan pengakuan
dari orang lain.

Pendapat para pengamat di atas memang benar. Fase-fase kehidupan yang dilalui kaum
muda dapat menjadi sebab awal ketertarikan mereka pada dunia terorisme. Ditambah
dengan beberapa faktor eksternal lainnya seperti dunia internet, keluarga dan lingkungan,
pada akhirnya membawa mereka untuk bergabung dan direkrut oleh para teroris.

Penulis pun mengakui bahwa peran dunia digital dalam hal ini internet dalam penyebaran
konten-konten intoleran, radikalisme dan terorisme sangat besar, terutama sejak
kemunculan ISIS di Timur Tengah. Konten-konten kekerasan dan sadisme bertaburan di
internet dan sengaja disebarkan sebagai corong propaganda dan kampanyenya. Selain itu
materi-materi narasi yang mendukung aksi terorisme tak kalah berserakannya bahkan
hingga hari ini, dengan ketelitian dan kesabaran, kita masih dapat mengaksesnya di
internet. Sekali lagi, internet sebagai ruang publik dunia menjadi sebuah habitat dalam
penyebaran konten-konten terorisme.

Selain itu peran lingkungan terdekat juga tak kalah hebatnya. Semasa dalam tahanan,
penulis pun menjumpai beberapa anak muda yang mewarisi estafeta terorisme dari orang
tua dan kerabatnya. Bahkan ada juga beberapa orang yang anak dan orangtuanya sama-
sama terlibat dalam terorisme. Entah orangtuanya yang tertangkap duluan, anaknya
duluan, atau tertangkap bersamaan. Sebagai contoh MS yang ditangkap Densus 88 di
Poso, Sulawesi Tengah karena terlibat dalam jaringan MIT bertemu dengan ayahnya yang
juga telah ditangkap karena terlibat peristiwa Thamrin. Demikian juga AD yang sama-
sama dengan ayahnya terlibat dalam peristiwa pemboman Gereja Oikumene di
Samarinda. Padahal waktu itu usianya baru 16 tahun.

Dari contoh di atas jelas tergambar bahwa pola pendidikan dalam rumah juga dapat
menjadi ajang kaderisasi dan penanaman ideologi terorisme. Transfer ideologi dapat
berlangsung dimana saja, bahkan di lingkungan terdekat semacam keluarga.

Fokus, Sinergi dan Komprehensif


Penanganan terhadap bahaya intoleransi, radikalisme dan terorisme memang
membutuhkan tenaga ekstra dan melibatkan banyak pihak dari segenap elemen
masyarakat, tidak hanya aparatur pemerintah. Selain itu perlu gerakan masif dan
menyentuh akar rumput.

Mungkin masih bisa dibayangkan beberapa tahun silam para rekruter terorisme
memasarkan ideologinya pada kalangan tertentu dan di tempat-tempat khusus seperti
pondok pesantren, majelis-majelis dan masjid. Namun kini para rekruter telah merambah
segala sendi masyarakat dari internet, media sosial, sekolah, instansi pemerintahan
hingga door-to-door ke tiap individu dengan tanpa lagi memandang target kalangan.

BNPT sebagai lembaga koordinasi dan kepolisian sebagai aparat penegak hukum
memang sebagai kunci dalam penanggulangan terorisme. Namun tugas dalam mencegah,
mewaspadai bahkan menjaga keutuhan negera ini khususnya dari ancaman ideologi
terorisme adalah kewajiban kita bersama sebagai anak bangsa.

Sudah saatnya kita bahu-membahu memposisikan diri kita untuk ikut serta dalam upaya
penanggulangan terorisme. Dan itu bisa dimulai dengan tidak membiarkan rekan-rekan
kita para milenial dan kaum muda melewati fase-fase kerentanan dalam hidupnya agar
tidak terjerumus dalam terorisme. Kita juga jangan membiarkan kaum muda untuk berdiri
sendiri di tiap persimpangan hidupnya dan menghadapi tanda tanya-tanda tanya besar
(uqdatul qubra) yang dapat dimanfaatkan oleh para rekruter terorisme untuk menarik
simpati mereka. Bersama, kita pasti bisa. []

Referensi:

https://news.detik.com/berita/d-5516385/daftar-pelaku-teror-berusia-muda-dari-usia-18-
hingga-26-tahun

https://www.kompas.com/nasional/read/2021/04/01/18222151/aksi-teroris-milenial-
mengapa-fenomena-ini-terjadi

https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/02/11081701/kaum-milenial-disasar-
kelompok-teroris-untuk-jadi-martir-kenapa

Anda mungkin juga menyukai