Anda di halaman 1dari 3

Akhir Hidup Sang Proklamator! Dari Pimpinan jadi Tahanan!

Seluruh rakyat indonesia pasti mengenal Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia
dan juga seorang proklamator kemerdekaan. Namun tak banyak yang mengetahui bagaimana
kehidupan Soekarno setelah dia tidak lagi menjadi seorang presiden. Semua berawal dari
pemberontakan PKI yang melakukan aksi pembantaian di lubang buaya menewaskan 6 Jendral
TNI AD, dan satu perwira menengah. Ketika TNI AD berhasil meredam pemberontakan PKI
yang saat itu di bawah komando Soeharto, menjadi pukulan mematikan untuk PKI dan antek-
anteknya.
Saat itu tanggal 6 Oktober 1965, Presiden Soekarno mengumpulkan menteri-menteri
Kabinet Dwikora di Istana Bogor untuk melakukan sidang mengenai pembunuhan 6 Jendral
utama angkatan darat. Dalam sidang itu, PKI dituding berada di balik layar Peristiwa G30S,
diwakili Njoto dan M.H. Lukman. Sedangkan D.N. Aidit, sang ketua, belum diketahui
keberadaanya. Njoto membela PKI dan menyatakan bahwa PKI tak terlibat dan peristiwa itu
adalah masalah internal Angkatan Darat. Wartawan secara terbatas dibolehkan meliput sidang
itu, dan saat itu TVRI pun menyiarkannya. Di layar TV Soekarno tampak tenang dan banyak
senyum, seolah-olah tak terjadi apa-apa. Soekarno tampak santai guyonan dengan wartawan dan
merokok. Dewi kecewa dengan tingkah Soekarno di TV kemudian menulis surat untuk
memperingatkan Soekarno. Di tengah situasi yang tak menentu seperti saat itu, sikap Soekarno
jelas rawan disalahartikan. Terlebih Soekarno tak hadir dalam pemakaman para jenderal sehari
sebelumnya.
Dua hari kemudian, Soekarno membalas surat Dewi. Sebagaimana dikutip Willem
Oltmans dalam Bung Karno Sahabatku (2001: 226), Soekarno menjawab, “Kamu jangan salah
memahami saya. Pada rapat kabinet itu saya tersenyum untuk menunjukkan kepada dunia bahwa
saya aman dan bahwa situasi sudah kukendalikan. Saya juga tertawa untuk memberi kepercayaan
dan kekuatan kepada rakyat saya.” Ternyata Soekarno salah perhitungan dan kekhawatiran Dewi
terjadi. Desas-desus bahwa presiden kemungkinan terlibat atau minimal tahu lebih dulu Peristiwa
G30S segera tersebar liar. Dan lagi, sejak itu Soekarno tak lagi punya kendali penuh atas politik
sebagaimana yang dia yakini.
Setelah PKI dan semua bawahan-bawahannya di babat habis, TNI Angkatan Darat seakan
tak terbendung. Soeharto perlahan-lahan mengambil alih panggung kekuasaan dan mengikis
kekuasaan Soekarno. Setelah Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966. Besoknya
Soeharto membubarkan PKI dan pada 18 Maret menangkap 15 menteri yang memihak Soekarno.
Lalu pada 27 Maret, Soekarno dengan sangat terpaksa mengumumkan kabinet baru bentukan
Soeharto.
John D. Legge dalam Sooekarno: Sebuah Biografi Politik (1996) menyebut itulah tengara
kematian karier politik Sukarno. Selanjutnya Soeharto yang memegang kendali dan mulai
menjalankan kebijakan-kebijakan yang sebagian besar bertolak belakang dengan kebijakan
Soekarno. Ia bahkan dibatasi berbicara di hadapan publik.
Pada tanggal 22 Juni 1966, di hadapan MPRS, Soekarno menyampaikan pidato
pertanggungjawaban selama jadi presiden dan soal Peristiwa G30S. Pidato berjudul Nawaksara
itu ditolak MPRS. Soekarno lalu menyampaikan Pelengkap Nawaksara pada 10 Januari 1967
yang lagi-lagi ditolak MPRS. Itu adalah usaha terakhirnya untuk mempertahankan diri dan ia
kalah. Pada 12 Maret 1967 MPRS mengumumkan secara resmi pencabutan mandat Soekarno
sebagai presiden dan kemudian menunjuk Soeharto sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian
Soeharto baru dilantik jadi presiden.
Pasca terjadinya G30S sekitar tahun 1966 hingga 1967, ibukota dipenuhi aksi demonstrasi
dengan tuntutan memberhentikan Soekarno dari jabatannya sebagai presiden. Adapun di dalam
memorandumnya pada tanggal 23 Februari 1967, pemerintah Orde Baru menyimpulkan bahwa
Soekarno telah terlibat G30 S. Atas perintah Soeharto, Soekarno dan keluarganya diultimatum
untuk angkat kaki dari Istana Merdeka dan Istana Bogor sebelum 17 Agustus 1967. Jika dulu
Soekarno masuk istana dengan seluruh kebesarannya sebagai pemimpin. Kini, ia keluar dari
istana dengan hanya berkaos oblong dan celana piyama. Segala kekayaan yang ia bawa adalah
bendera merah putih, beberapa botol minuman ringan, kue-kue, dan obat-obatan.
Status Soekarno saat itu adalah tahanan Orde Baru. Mulanya ia ditahan di rumahnya di
daerah Batu Tulis, Bogor, lalu dipindahkan ke Wisma Yasoo (sekarang Museum Satria
Mandala), Jakarta pada 1969. Penahanan itu rupanya berefek buruk bagi kesehatan Bung Besar.
Ini karena tim dokter kepresidenan sebelumnya, yang tahu detail soal kondisi medis Bung Karno,
telah dibubarkan.
Soekarno diketahui mengidap sakit ginjal parah. Ginjal kanannya sudah mati, sedangkan
ginjal kiri hanya berfungsi 25 persen. Selain itu, ia juga mengidap sakit jantung dan darah tinggi.
Sejak ditahan, diagnosis baru muncul seperti rematik dan gejala katarak. Dalam kondisi
demikian, ia pun masih harus menjalani interogasi dari Kopkamtib soal keterlibatannya dalam
G30S. Tapi yang paling tragis dari Soekarno kini adalah kenyataan bahwa ia harus menghadapi
semua itu nyaris sendirian. Ia dijaga demikian ketat dan diputus dari dunia luar. Bahkan anak-
anak dan istrinya harus dapat ijin khusus untuk sekadar menemuinya itu pun dengan waktu
terbatas.

Soekarno mendesak Dewi untuk pergi ke Jepang demi keamanannya. Tak berapa lama
Dewi melahirkan bayi perempuan buah cintanya dengan Soekarno di sana. Pada awal 1970
keduanya bercerai. Begitu juga Haryati dan Yurike Sanger. Fatmawati, meski tak bercerai, sudah
putus hubungan dengan Soekarno sejak menikahi Hartini pada 1953. Sejak itu hanya sekali ia
bertemu lagi dengan Soekarno, saat pernikahan Guntur Soekarno putra pada 1970. Pada akhirnya
pun keduanya bercerai setelah itu. Hanya Hartini yang bertahan hingga saat-saat terakhir
Soekarno. Terpencil dan kesepian, itulah warna dunia Soekarno saat itu. “Sampai akhirnya Bung
Karno terkena depresi. Setiap hari hanya duduk sambil termenung. Malah kadang-kadang
ngomong sendirian. Memorinya berubah, kesehatannya terus-menerus semakin merosot,”
kenang Ketua Tim Dokter Kepresidenan yang merawat Bung Karno, Mahar Mardjono,
sebagaimana dikutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang
(2011:80).
Pada 6 Juni 1970 Soekarno merayakan ulang tahunnya yang ke-69. Kelima anaknya dari
Fatmawati serta Hartini dan dua anaknya, Bayu dan Taufan, hadir di Wisma Yasoo di hari
bahagia itu. Tak ada karangan bunga, ucapan selamat, atau hadiah-hadiah sebagaimana tahun-
tahun sebelumnya. Yang ada hanyalah Soekarno yang semakin ringkih digerogoti penyakit dan
depresi.
Pada 11 Juni Soekarno dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto karena kondisi tubuhnya
memburuk. “Sukarno terbaring lemah di sebuah ruangan yang terletak di ujung rumah sakit,
bercat kelabu. Untuk mencapai kamar itu harus melalui beberapa koridor yang dijaga militer
dengan persenjataan lengkap,” tulis Peter Kasenda dalam Hari-hari Terakhir Sukarno (2013:
230).
Di saat-saat kritis itu, datanglah tamu yang barangkali bisa memberi sedikit kelegaan di
hati Soekarno. Tamu pertama adalah sahabat lamanya, Mohammad Hatta, yang datang
menjenguk pada 19 Juni. Dua proklamator yang pecah kongsi sedari 1956 itu akhirnya bertemu
dalam momen yang amat menyentuh. Perbedaan jalan politik tak melunturkan persahabatan
mereka. Bagaimanapun, Soekarno dan Hatta pernah menghadapi masa sulit bersama-sama.
Rachmawati Soekarno putri begitu bahagia mendengar kabar bahwa Dewi telah diizinkan
Soeharto untuk menjenguk Soekarno. Ia tahu benar perempuan jelita itulah yang bisa melipur
hati Soekarno yang lama kering. Setidak-tidaknya di saat terakhir ada sedikit kebahagiaan untuk
bapaknya. Dewi membawa serta buah hatinya dengan Soekarno, Kartika Sari Dewi. Kala itu
Kartika, yang lebih akrab disapa Karina, baru berumur tiga tahun. Karena lahir di Jepang,
Soekarno belum pernah melihat anaknya hingga saat itu.
Setelah keduanya bertemu, Dewi mengatakan pada Karina Bahwa Soekarno adalah
ayahnya. Antara sadar dan tidak, tangan Soekarno bergerak seakan-akan ingin menggapai putri
kecilnya. Sayang sekali Soekarno sudah tak punya daya apa-apa lagi. Bahkan untuk
mempertahankan kesadaran adalah perjuangan tersendiri baginya. Usai kedatangan Dewi dan
Karina, kesadaran Soekarno berangsung hilang. Menjelang tengah malam ia koma. Keesokan
paginya, 21 Juni 1970, Soekarno menyerah dan meninggal.
“Bung Karno sewaktu hidupnya sangat mencintai ibunya. Beliau sangat menghormatinya.
Kalau beliau bepergian jauh, ke mana pun beliau sungkem dahulu, meminta doa restu kepada
ibunya. Melihat kebiasaan Bung Karno begitu, maka saya tetapkan alangkah baiknya kalau
Proklamator itu dimakamkan di dekat makam ibunya di Blitar,” demikian yang dikatakan
Soeharto. Pemakaman Soekarno dihadiri banyak warga simpatisan Soekarno, dan yang
memimpin shalat adalah Buya Hamka sesuai dengan yang dia wasiatkan.
Itulah keadaan Soekarno di akhir hidupnya, dimana dia menjadi tahanan Orde Baru.
Terlihat tragis memang, tetapi di lain sisi Soeharto juga tak ingin PKI bangkit kembali dengan
memanfaatkan keadaan Soekarno. Banyak media yang bahkan menyudutkan Soekarno ataupun
Soeharto. Maka dari itu kita tidak boleh hanya melihat dari satu sisi saja, kita harus dapat
memahami dari sudut pandang lainnya. Karena mencari kesalahan selalu menjadi kebiasaan
orang-orang yang memiliki hati yang dengki. Mereka akan mencari kesalahan-kesalahan agar
salah satunya terlihat buruk.
Referensi : harapanrakyat.com
kompasiana.com
Liputan6.com
tirto.id
Tribunnews.com

Anda mungkin juga menyukai