Anda di halaman 1dari 3

Ajudan Setia yang Rela Berkorban Nyawa!

Kapten Pierre Tendean, Pahlawan


Revolusi yang Menjadi Korban Kekejaman PKI
Mengingat kembali ke masa silam dimana indonesia pernah mengalami masa yang kelam.
Peristiwa itu bernama Gerakan 30 September (G30S/PKI), merupakan peristiwa yang sangat
tragis dan masih menyimpan pilu bagi masyarakat Indonesia. Pada tanggal 30 September 1965
dini hari, PKI di bawah pimpinan D.N Aidit dan Syam Kamaruzzaman melakukan pembunuhan
berencana terhadap 7 Jendral yang menjadi Pahlawan Revolusi Indonesia. Aksi pembantaian di
lubang buaya menewaskan 6 Jendral TNI AD, dan satu perwira menengah.
Jendral yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut di antaranya Panglima TNI Letnan
Jenderal Ahmad Yani, Mayjen MT Haryono, dan Brigjen TNI DI Pandjaitan menjadi korban
yang dibunuh di rumahnya. Sedangkan, Mayjen Soeprapto, Mayjen S. Parman, dan Brigjen
Sutoyo dibawa hidup-hidup. Jendral yang menjadi target penculikan lain adalah Menteri
Koordinator Pertahanan dan Keamanan serta Kepala Staf TNI Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pada keadaan malam yang gelap saat penculikan, jendral A.H. Nasution berhasil melarikan diri
walaupun keluarganya yang lain menjadi korban penembakan. Selain anggota keluarganya di
rumah saat itu, ada seorang ajudan yang sangat setia bahkan harus menjadi korban penculikan.
Karena keadaan yang gelap dia ditangkap karena dia mengaku sebagai Jendral A.H. Nasution,
sehingga ia dibawa oleh orang-orang yang ingin menculik jendral A.H. Nasution. Nama ajudan
tersebut adalah Kapten Pierre Tendean.
A. Biografi Kapten Pierre Tendean
Kapten Anumerta Pierre Tendean lahir pada tanggal 21 Februari 1939 di Jakarta. Dia
merupakan salah satu korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan
nasional Indonesia. Kapten Pierre Tendean adalah Putera dari DR. A.L Tendean yang berasal
dari Minahasa, sedang ibunya seorang berdarah Perancis bernama Cornel ME. Pierre adalah anak
kedua dari tiga bersaudara, kakak dan adiknya masing-masing bernama Mitze Farre dan
Rooswidiati. Dia mengawali sekolah dasarnya di Magelang, lalu melanjutkan SMP dan SMA di
Semarang. Sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menjadi tentara, namun kedua orangtuanya
berharap agar dia dapat menjadi seorang dokter seperti ayahnya. Karena tekadnya yang kuat
maka dia dapat bergabung dengan Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung pada tahun
1958. Sewaktu menjadi taruna, Pierre pernah ikut tugas praktik lapangan dalam operasi militer
penumpasan pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera.
Dari sinilah awal permulaan kisah cintanya dengan seorang gadis asal Deli Sumatera Utara,
bernama Rukmini.
Setelah lulus dari akademi militer pada tahun 1961 dengan pangkat letnan dua, Tendean
menjadi Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan di Medan. Setahun
kemudian, ia mengikuti pendidikan di sekolah intelijen di Bogor. Setamat dari sana, dia
ditugaskan di Dinas Pusat Intelijen Angkatan Darat (DIPIAD) untuk menjadi mata-mata ke
Malaysia sehubungan dengan konfrontasi antara Indonesia dengan Malaysia. Dia bertugas
memimpin sekelompok relawan di beberapa daerah untuk menyusup ke Malaysia. Berkat kerja
keras dan kemampuannya, Pierre Andreas Tendean dipandang sebagai TNI yang unggul. hal ini
terbukti dari berebutnya tiga jenderal untuk menjadikan Pierre Andreas Tendean sebagai ajudan.
Mereka adalah Jenderal AH Nasution, Jenderal Hartawan, dan Jenderal Kadarsan. Dan akhirnya
Jendral A.H. Nasution yang mendapatkan Kapten Pierre Tendean sebagai Ajudannya.
Pada tanggal 15 April 1965, Tendean dipromosikan menjadi letnan satu, dan ditugaskan
sebagai ajudan Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. Saat diangkat menjadi ajudan dia
menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata
(KSAB). Dia adalah sosok ajudan termuda Jendral A.H. karena saat itu berusia 26 tahun. Dia
menggantikan posisi kapten Manullang yang gugur saat bertugas di Kongo. Tak hanya sebagai
ajudan sang Jendral, dia juga menjadi teman akrab bagi putri Jendral A.H. Nasution.
Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution
bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan
Revolusi, kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis.
Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan
Senayan. Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke
kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau
seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam
kunjungan di luar kota.
B. Peristiwa G30S/PKI
Sebelum tanggal 30 september, Lettu Pierre Tendean biasanya pulang ke Semarang
merayakan ulang tahun sang ibu. Namun, ia menunda kepulangannya karena tugasnya sebagai
pengawal Jenderal AH Nasution. Pada pagi hari pada 1 Oktober 1965, Pierre sedang tidur di
ruang belakang rumah Jenderal Nasution. Suara tembakan dan ribut-ribut membuatnya
terbangun dan berlari ke bagian depan rumah. keberingasan tembakan gerombolan itu mengenai
anak perempuannya, Ade Irma Nasution yang masih berusia 5 tahun. Saat itu Ade baru bangun
dan keluar kamar, dan salah satu peluru mengenai dirinya. Nasution sendiri mulanya ingin
menyelematkan anaknya, namun oleh istrinya Jonna, dipaksa untuk segera menyelematkan diri.
Sementara gerombolan pasukan Tjakrabirawa yang sudah kelabakan karena tidak menemukan
Nasution yang sudah melarikan diri, kemudian bertemu dengan Pierre Tendean.
Kapten Pierre Tendean mengaku bahwa dia adalah Jendral A.H. Nasution, Kemudian dia
diikat kedua tangannya dan dibawa dengan truk ke Lubang Buaya. Di lubang Buaya Pierre
besama dengan Brigjen TNI Sutoyo dimasukan ke dalam rumah yang terletak dekat sumur tua.
Setelah disiksa secara kejam oleh anggota-anggota G 30 S/PKI berdasarkan giliran paling akhir
dibunuh dan dimasukan ke dalam Lubang Buaya bersama Pimpinan TNI AD lainnya. Tendean
bersama keenam perwira lainnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Untuk menghargai jasa-jasanya, Pierre dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi Indonesia pada
tanggal 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 111/KOTI/Tahun 1965.
Pasca kematiannya, ia secara anumerta dipromosikan menjadi kapten.
Itulah cerita singkat Kapten Pierre Tendean seorang pahlawan revolusi yang menjadi
korban kekejaman PKI. Selain menjadi kisah sedih bagi kedua orangtuanya, kematian Kapten
Pierre Tendean juga menjadi pukulan menyakitkan bagi Rukmini. Rencananya pada bulan
November 1965 Tendean dan Rukmini akan melangsungkan pernikahan. Namun sayang cinta itu
tak pernah sampai karena peristiwa G30S/PKI yang merenggut nyawa Pierre. Rukmini yang
mendengar kabar bahwa kekasihnya meninggal tentu saja hancur hatinya. Butuh waktu hingga 5
tahun sebelum dia move on dan menikah dengan pria lain.

Referensi : brilio.net
historia.id
merdeka.com
sosok-tokoh.blogspot.com
tribunnews.com
Wikipedia.org

Anda mungkin juga menyukai