Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Hari Buruh Sedunia

Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan
sebutan May Day sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket,
Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886. Peristiwa Haymarket sangat
berkaitan dengan aksi mogok kerja yang sudah berlangsung pada April 1886.

Saat itu kemuakan kaum pekerja atas dominasi kelas borjuis telah mencapai
puncaknya. Hal tersebut memicu ratusan ribu orang dari kelas pekerja memilih bergabung
dengan organisasi pekerja 'Knights of Labour' yang bercita-cita menghentikan dominasi kelas
borjuis. Perjuangan kelas pekerja saat itu menemukan momentumnya di kota Chicago.
Chicago pada masa itu merupakan salah satu kota yang menjadi pusat pengorganisiran
serikat-serikat pekerja di negara AS. Gerakan serikat pekerja di Chicago sangat dipengaruhi
ide-ide International Workingsmen Association. Mereka juga telah melakukan berbagai
propaganda tanpa henti sebelum bulan Mei tiba.

Masih di bulan April menjelang 1 Mei 1886, sekitar 50.000 pekerja sudah melakukan
aksi mogok kerja dengan cara turun ke jalan. Mereka mendesak pemerintah memberlakukan
peraturan delapan jam kerja dalam sehari.

"Tahun 1830-an telah muncul tuntutan agar jam kerja dijadikan 10 jam. Tetapi, itu
pun kemudian dianggap terlalu lama, dengan patokan sebaiknya kehidupan seorang individu
dalam sehari terbagi menjadi delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, dan delapan jam tidur
atau istirahat," kata Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh
Seyogianya Libur Nasional', 1 mei 2004.

Pada hari-hari berikutnya, jumlah buruh yang ikut aksi mogok makin bertambah. Para
buruh saat itu membawa anak-anak serta istrinya untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan
tuntutan mereka. Dampak dari aksi mogok kerja yang berlangsung secara masif ini
melumpuhkan sektor industri di Chicago. Bahkan, membuat panik kalangan borjuis.

Pada 1 Mei 1886, sekitar 350.000 buruh yang diorganisir oleh Federasi Buruh
Amerika melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja di berbagai negara bagian AS. Dua
hari kemudian, pemerintah setempat kian khawatir karena aksi mogok terus berlanjut dan
semakin membesar akhirnya mengutus sejumlah aparat polisi untuk meredam aksi
demonstrasi yang berlangsung di pabrik McCormick. Polisi yang diutus pemerintah saat itu
menembaki demonstran secara membabi-buta. Para buruh pun berhamburan untuk
menyelamatkan diri. Dalam kejadian ini empat orang dinyatakan tewas sementara yang
mengalami luka-luka tak terhitung jumlahnya.

Kejadian itu menimbulkan amarah di kalangan buruh. Sebagian dari mereka


menganjurkan aksi balas dendam menggunakan senjata. Di antaranya yang sepakat dengan
aksi itu yakni kaum anarkis yang dipimpin Albert Parsons dan August Spies. Keduanya
merupakan anggota aktif organisasi Knights of Labour. Mereka menyerukan kepada para
buruh agar mempersenjatai diri dalam demonstrasi yang dilakukan pada hari berikutnya. Pada
4 Mei 1886, para buruh kembali menggelar aksi di bundaran lapangan Haymarket. Kali ini
skalanya sangat besar.

Demonstrasi yang berlangsung saat itu tidak hanya menuntut soal pemberlakuan
delapan jam kerja tapi juga sebagai bentuk protes tindakan represif polisi terhadap buruh.
Demonstrasi berjalan damai pada awalnya. Bahkan beberapa waktu berselang, sebagian
demonstran memilih membubarkan diri karena cuaca buruk. Kaum buruh yang tersisa dalam
aksi itu hanya sekitar ratusan orang. Tapi pada saat itu malah  datang sekitar 180 polisi yang
meminta demonstrasi segera dibubarkan.

Ketika orator terakhir hendak turun dari mimbar, tiba-tiba terjadi satu ledakan bom
dari barisan polisi. Satu orang tewas pada kejadian itu, sementara 70 orang lainnya
mengalami luka serius. Pihak polisi merespons ledakan tersebut dengan menembaki
kerumunan buruh yang masih berkumpul. Akibatnya, delapan buruh tewas dan 200 orang
buruh mengalami luka-luka.

"Peristiwa The Haymarket Martyr itu yang dikenang sampai sekarang setelah
International Working Men's Association dalam sidangnya di Paris tahun 1889 menetapkan
hari itu sebagai Hari Buruh Sedunia," ucap Asvi Warman Adam, seperti dikutip dari Harian
Kompas edisi 1 mei 2004.
Sejarah Hari Buruh di Indonesia

Di Indonesia, penetapan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah
panjang. Bahkan sempat mengalami perubahan beberapa kali. Hal itu terkait kondisi politik
yang berkembang di masa itu. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day
diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya.
Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat
ditiadakan.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day
dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi
Departemen Tenaga Kerja. Presiden Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin menjadi Menteri
Tenaga Kerja pertama era Orde Baru. Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira
polisi. Menurut Soeharto, Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu
karena dinilai mampu menghadapi kaum buruh.
"Bulan Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi
karena dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh
masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus," ucap Asvi Warman
Adam, dalam kolom Opini Kompas, 8 Oktober 2003. "Indonesia pernah memiliki serikat
buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh
berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga
sekarang," kata Surya Tjandra, dikutip dari kolom opini Kompas, 1 mei 2012.
Karena serikat buruh saat itu masih kuat maka Peringatan hari buruh Pada 1  Mei
1966  masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto. “Kalau
tidak ada peringatan, pasti terjadi geger yang enggak perlu. Saya putuskan, harus diperingati.
Maka tanggal 1 Mei 1966, pemerintah Orde Baru ikut melakukan upacara tersebut. Tahun
berikutnya langsung saya hapuskan. Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang
internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale segala,” ucap Menteri Tenaga
Kerja pertama rezim Soeharto, Komisaris Besar Polisi Awaloedin Djamin, seperti dilansir
Kompas, 7 Mei 2006.
Peringatan diadakan cukup meriah dengan di isi acara pawai kendaraan melewati
istana. Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu tidak
cocok untuk peringatan buruh nasional. Selain itu, peringatan may day selama ini telah
dimanfaatkan oleh SOBSI/PKI. "Sementara itu, secara diam-diam saya mempersiapkan
ketentuan pemerintah untuk mencabut tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh," demikian
pengakuan Awaloedin Djamin yang kemudian juga pernah menjadi Kepala Polri itu, seperti
dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh
Seyogianya Libur Nasional', 1 mei 2004.
Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Hal
itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (SPSI). "Penataan hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga
Kerja pada era Soeharto sebagai peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh
Indonesia (FSBI) pada tahun 1973," Kompas, 20 Februari 1986.
FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang
sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi. FSBI pada masa Orde Baru sangat
dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih
tidak banyak berubah. Bahkan, banyak pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan
organisasi ini.
Selain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai
pemerintah. Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya. Selama
masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak
ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini. Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan
upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan.
Komisi Upah yang saat itu dibentuk unutuk mengakomodasi kepentingan buruh juga
mulai bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh. Teten Masduki
yang ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di
Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya mereka
terima. 
Badan pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena
serikat buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.  "Pemerintah selama ini
cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan
mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak
bicara," teten dalam Kompas, 13 Januari 1996.
 
 

Anda mungkin juga menyukai