Anda di halaman 1dari 5

Polemik Pemekaran Tanah Papua, dari Konflik Sosial hingga

Anggaran
Jumat, 1 November 2019 | 18:18 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke Papua, seusai


dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, membuat rencana pemekaran di wilayah
paling timur Indonesia itu semakin terlihat.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkapkan, ada dua aspirasi yang masuk
terkait pemekaran Papua, yaitu Papua Selatan dan Papua Pegunungan.

Namun, dari kedua wilayah itu yang dinilai sudah cukup siap i yualah wilayah Papua Selatan.

"Pemerintah pusat kemungkinan mengakomodasi hanya penambahan dua provinsi. Ini yang
sedang kami jajaki. Yang jelas, Papua Selatan sudah oke," kata Tito di Jakarta, Selasa
(29/10/2019).
Jauh sebelum wacana ini dimunculkan Tito Karnavian, sejumlah perwakilan tokoh
masyarakat Papua bertemu dengan Jokowi di Istana Negara pada 10 September.

Dalam pertemuan yang diikuti sekitar 60 tokoh itu, salah satu aspirasi yang disampaikan ialah
terkait rencana pemekaran wilayah Papua dan Papua Barat.

Awalnya, para tokoh Papua yang hadir meminta agar ada pemekaran sebanyak lima wilayah
di Papua dan Papua Barat.

Jokowi pun menyetujui pemekaran itu. Namun, ia hanya menyetujui dua atau tiga wilayah.

Kekhawatiran konflik

Adapun pertemuan Jokowi dengan tokoh Papua sudah direncanakan sejak aksi protes yang
berujung kericuhan di sejumlah wilayah di Papua pada Agustus lalu.

Akan tetapi, wacana pemekaran disertai sejumlah kekhawatiran yu bagi sebagian besar
warga.

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Cendrawasih, Diego Romario de Fretes, khawatir


pemekaran yang direncanakan pemerintah justru akan menimbulkan potensi konflik baru,
terutama antara militer dan masyarakat.

Hal itu didasarkan atas kemungkinan pembangunan markas militer dan kantor kepolisian
baru sebagai dampak dari pemekaran ini.

"Menurut masyarakat yang saya temui, mereka takut, mereka ada di bayang-bayang militer,"
kata dia.

Hal yang sama disampaikan tokoh pemuda Papua, George Saa. Ia pun merujuk data konflik
yang dirilis Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menyebut
setidaknya ada 37 korban jiwa akibat konflik yang terjadi di wilayah Papua.

Selain itu, ia khawatir pemekaran ini justru tidak akan dirasakan dampaknya oleh masyarakat
asli Papua.

"(Jika) pemekaran wilayah masuk, pembangunan masuk, ini akan mengundang siapa pun
dengan segala bentuk kapital yang ada masuk (ke Papua) dan ujung-ujungnya orang Papua
dengan tanah wilayahnya menjadi obyek pembangunan," ujara George.
Berdasarkan analisis

Meski demikian, Mendagri Tito Karnavian meyakini bahwa rencana ini tidak akan
menimbulkan persoalan di kemudian hari.

Terutama, menurut Tito, terkait ancaman munculnya kecemburuan sosial dari


daerah lain yang sebelumnya juga mengusulkan pemekaran wilayah, hingga konflik
sosial dalam skala yang lebih besar.

Seperti diketahui, sejak 2014 pemerintah menerapkan kebijakan moratorium


pemekaran wilayah. Hal itu didasari atas kurangnya performa daerah yang
dimekarkan pada masa pemerintahan sebelumnya.

Bahkan, banyak daerah yang justru dinilai membebani Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) karena harus disokong pemerintah pusat terus-menerus.

"Ini kan situasional. Kita kan dasarnya data intelijen. Kemudian data-data lapangan
kita ada. Situasi nasional," ucap Tito.
Hal yang sama disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan Mahfud MD.

"Pemekaran akan dilakukan, tapi tentu dicari jalan-jalan proseduralnya agar tidak
terjadi apa yang disebut kecemburuan. Kalau Papua itu kan memang nampaknya
alternatifnya dimekarkan," kata dia.

Sejauh ini, Kepala Negara telah menerima 183 usulan pemekaran, baik untuk provinsi
maupun kabupaten/kota. Namun, hingga kini belum ada satu pun usulan yang
disetujui.

Anggaran diatur

Tidak hanya persoalan konflik dan kecemburuan sosial, wacana pemekaran juga mendapat
sorotan dalam hal anggaran.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah siap mengatur


anggaran untuk wacana pemekaran Provinsi Papua Selatan.

Namun, sebelum anggaran pemekaran wilayah dia siapkan, berbagai ketentuan


termasuk dari sisi landasan hukum juga sudah harus diselesaikan.
"Dalam rangka pembentukan daerah Provinsi baru, tentu ada langkah-langkah dari
sisi legal, peraturan untuk mendukungnya dan nanti implikasi anggarannya," ujar Sri
Mulyani di Jakarta, Selasa (29/10/2019).

Namun, pembentukan Provinsi Papua Selatan tersebut tidak bisa begitu saja
dianggarkan dalam APBN 2019 yang segera tutup buku dua bulan lagi.

Sri Mulyani pun belum bisa memberi gambaran bakal seberapa besar anggaran yang
dibutuhkan untuk membentuk Provinsi Papua Selatan meski dirinya menyatakan
alokasi anggaran pemekaran mungkin tidak begitu besar.

Sebab, prosesnya bisa berjalan secara bertahap dan infrastruktur provinsi


pemekaran tidak melulu harus selalu baru.

"Karena dari gedung pemerintah dan lain-lain menggunakan yang ada dulu. Bertahap
bisa dipenuhi," ucapnya

Anda mungkin juga menyukai