Anda di halaman 1dari 12

HUKUM UDARA DAN HUKUM ANGKASA

KONSEP RUANG UDARA DAN ANGKASA 

Hukum udara dan angkasa luar (antariksa) merupakan salah satu cabang hukum internasional yang
relative baru karena mulai berkembang pada permulaan abad ke 20 setelah munculnya pesawat udara.
Mengenai kelautan Negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von Glahn mengemukakan
sejumlah teori yaitu :
• Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti di laut lepas.
• Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki diatas bumi dengan status udara yang
diatasnya yang bebas seperti di laut lepas.
• Seluruh ruang udara di atas Negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional
dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di Negara-negara sahabat.
• Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian.

1. HUKUM UDARA

A. PENGERTIAN HUKUM UDARA

Hukum udara adalah seluruh norma-norma hukum yang khusus mengenai penerbangan , pesawat-
pesawat terbang dan ruang udara dalam peranannya sebagai unsur yang perlu bagi penerbangan (otto
riese dan jean T. Lacour).
Hukum udara dapat ditafsirkan sebagai segala peraturan hukum yang mengatur obyek tertentu, yaitu
udara. Dengan tafsiran ini maka pengertian hukum udara akan menjadi sangat luas, karena akan
meliputi hukum public nasional dan internasional mengenai udara.

B. KONVENSI-KONVENSI HUKUM UDARA

 Konvensi Paris 13 Oktober 1919


Pada tanggal 13 oktober 1919, di paris ditandatangani konvensi internasional mengenai navigasi
udara yang telah disiapkan oleh suatu komosi khusus yang dibentuk oleh dewan tertinggi Negara-
negara sekutu. Konvensi paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara
umum mengenai penerbangan udara. Disamping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat
kesepakatan-kesepakatan bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang
dimuat dalam konvensi. Terhadap Negara-negara bekas musuh, pasal 42 konvensi paris memberikan
persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak setelah masuk menjadi
anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara
pihak pada konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvesi dengan protocol 15 juni 1929 yang bertujuan
untuk menerima keanggotaan jerman dalam LBB, konvensi paris 1919 betul-betul menjadi konvensi
yang bersifat umum karena sejak mulai berlakunya protocol tersebut tahun 1933,53 negara telah
menjadi pihak. 

Perubahan tersebut dilakukan oleh komisi Internasional Navigasi Udara dalam sidangnya di paris
tanggal 10-15 juni 1929. Rezim baru tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
• Negara-negara bukan pihak pada konvensi 1919 dapat diterima tanpa syarat apakah Negara-negara
tersebut ikut serta atau tidak dalam perang dunia 1.
• Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan khusus dengan Negara-
negara yang bukan merupakan pihak pada konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan
tersebut tidak bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip umum konvensi.
• Protocol 1929 meletakkana prinsip kesama yang absolute bagi semua Negara dalam komisi
internasional. Masing-masing Negara pihak tidak boleh lebih dari dua wakil dalam komisi dan hanya
memiliki satu suara.

 Konvensi Chicago 1944


Konferensi Chicago membahas 3 konsep yang saling berbeda yaitu:
• Konsep internasionalisasi yang disarankan australi dan selandia baru.
• Konsep amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free enterprise.
• Konsep intermedier inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan.
Setelah melalui pendebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep inggris diterima oleh
konferensi. Pada akhir konverensi sidang menerima tiga insrtumen yaitu :
 Konvensi mengenai penerbangan sipil internasional
 Persetujuan mengenai transit jasa-jasa udara internasional
 Persetujuan mengenai alat angkutan udara internasional.

Konvensi Chicago 7 desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 april 1947. Uni soviet baru menjadi
Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini membatalkan konvensi paris 1919, demikian juga
konvensi inter amerika Havana 1928. Seperti konvensi paris 1919, konvensi Chicago mengakui
validitas kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini
jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

C. STATUS YURIDIK RUANG UDARA


1) Wilayah Udara Nasional
Pasal 1 konvensi paris 1919 secara tegas menyatakan : Negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-
tiap Negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara ang terdapat di atas
wilayah. Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam konvensi
paris 1919. Kedua konvensi tersebut dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah Negara juga terdiri
dari laut wilayahnya yang berdekatan. 
Hal ini juga dinyatakan oleh pasal 2 konvensi jenewa mengenai laut wilayah dan oleh pasal 2 ayat 2
konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara,
termasuk udara diatas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur
pelayaran maritime. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperolehkan secara
bebas lintas terbang diatas wilayah Negara,yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di
perairan nasional suatu Negara.
Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamatan atas pesawat-pesawat udara
merupakan aspek sangat penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang dibuat oleh Negara-
negara. Demikianlah untuk memperkuat ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi, Negara-
negara sering membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral atau regional di bidang kerja sama
pengawasan ataupun keamanan.

2) Ruang Udara Internasional


Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya. Kedaulatan ini
tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona dimana Negara-
negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen. Atas alasan
keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat absolute. Pasal 12
konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas laut lepas ketentuan
yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO sehubungan dengan penerbangan
dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari konvensi.
Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan pengaturan oleh ICAO
terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawat-pesawat udara public walaupun
majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara pihak untuk memasukkan dalam
legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang juga diberlakukan kepada pesawat-
pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang terdapat dalam annek II dari konvensi.
ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada masing-masing pihaklah diberikan
wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara yang mempunyai kebangsaan dari Negara
tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-
ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku (pasal 12 konvensi).

D. PEMBENTUKAN ORGANISASI PENERBANGAN SIPIL INTERNASIONAL (ICAO).


Fungsi ICAO adalah untuk mengembangbangkan prinsip-prinsip dan teknik navigasi internasional
dan memperkuat perencanaan dan pengembangan alat angkutan udara internasional sehingga dapat
melaksanakan perkembangan penerbangan sipil internasional secara teratur dan aman.
Walaupun terdapat interprestasi yang ekstensif atas wewenang yuridiksional dewan dari ICAO,
Negara lebih suka menyelesaikan sengketa-sengketa bilaretal mereka melalui cara penyelesaian
sengketa yang biasa seperti ke Mahkamah Internasional atau membentuk suatu tribunal arbitral.
Selama perang dingin banyak Negara yang mengajukan pengaduannya ke mahkamah internasional
yang menyangkut keamanan penerbangan sipil. Sebagai contoh insiden udara yang terjadi antara iran
dan amerika serikat pada tanggal 3 juli 1988.

E. SUMBER-SUMBER HUKUM PENERBANGAN DI INDONESIA


• Undang-undang dan peraturan-peraturan penerbangan yang nasional dalam arti dibuat oleh pembuat
undang-undang nasional.
• Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum udara dan hukum penerbangan tidak
dapat kita abaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang sebagaimana
dikatakan diatas merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah
berdasarkan,kalau kita hendak dikatakanhampir merupakan turunan semata-mata dari pada perjanjian
warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama warsa convenstion.
• Sebagai sumber hukum penerbangan ketiga di Indonesia persetujuan-persetujuan pengangkutan.
Sebagai suatu organisasi internasional, dalam man tergabung sebagian besar dari pada pengangkutan-
pengangkutan udara seluruh dunia ang besar-besar, maka IATA (international Air Transport
Association) mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya. 
• Sumber hukum terakhir ialah ilmu pengetahuan. Telah menjadi suatu pendapat yang umum dalam
dunia ilmu hukum, bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sumber hukum.

2. HUKUM ANGKASA
A. Sejarah Perkembangan
Bila status yuridik laut lepas merupakan bagian dari ketentuan-ketentuan hukum internasional yang
paling tua, maka sebaliknya statusnya yuridik angkasa luar merupakan karya yang paling baru karena
hanya berkembang semenjak permulaan tahun 1960 an. Hukum angkasa ini bersifat orisinil bila
ditinjau dari kondisi bagaimana lahirnya, dan dari beberapa aspek, hukum angkasa ini juga bersifat
klasik kalau dilihat dari karakteristik pokok rejim yuridiknya seperti halnya dengan rezim laut lepas.
Pembentukan hukum angkasa luar ini ditandai oleh kecepatan dan kelancaran relative dimana
masyarakat internasional dengan segala telah dapat merumuskan kesepakatan-kesepakatan atas
sekumpulan prinsip-prinsip dasar segara sesudah peluncuran satelit pertama sputnik oleh uni soviet
pada bulan oktober 1957 dan kemudian disusul oleh peluncuran manusia pertama ke angkasa luar,
yuri Gagarin, juga dari uni soviet pada tahun 1961.
Kegiatan Negara-negara dibidang eksplorasi dan peman.faatan angkasa luar dengan peluncuran ke
angkasa luar berbagai satelit dengan cepat tela menjadi beraneka ragam seperti pengawasan wilayah-
wilayah yang dilintasi, pencarian sumber-sumber alam darat dan laut, siaran radio dan televise
langsung, hubungan telepon, penentuan posisi kapal-kapal, meteorology, observasi astronom dan
berbagai eksperimen lainnya.

B. Resolusi-Resolusi Majelis Umum


Hukum angkasa luar ini berbeda dari cabang-cabang hukum internasional lainnya mempunyai ciri-
ciri khusus yaitu sifat hukumnya yang asli, menyangkut kepentingan yang bersifat universal dan
peranan penting yang diamainkan oleh Negara-negara adi daya uni soviet dan amerika serikat. Ciri-
ciri khas ini terutama peranan kedua Negara adi daya tersebut telah menyebabkan prosedur
pembuatan hukum antariksa cukup unik yang dimulai dengan perundingan-perundingan bilateral
antara kedua Negara diatas yang dilanjutkan dengan pembahasan-pembahasan di majelis umum PBB.
Majelis umum merumuskan prinsip-prinsip umum yang dimuat oleh resolusi-resolusi dan perjanjian-
perjanjian yang bersifat universal.
Pada permulaan awal November 1963, majelis umum menerima sesuatu resolusi mengenai pelucutan
senjata (res.1149-Xll) yang berisikan kepeduliannya atas bahaya penggunaan angkasa luar untuk
tujuan militer. Kemudian dalam semangat yang sama, majelis umum pada tanggal 17 oktober 1973
menerima resolusi yang meminta Negara-negara anggota untuk tidak menempatkan di orbit benda-
benda yang membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah missal lainnya.
Pada tahun 1961 di tahun peluncuran yuri Gagarin dengan pesawat ruang angkasanya, majelis umum
pada tanggal 20 desember 1961 menerima resolusi pertamanya bersifat substantive yang
mencanangkan prinsip kebebasan ruang angkasa. Dua tahun kemudian pada tahun 1963, majelis
umum menerima deklarasi prinsip-prinsip yuridik yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bidang
eksplorasi dan penggunaan angkasa luar . deklarasi yang juga diterima oleh amerika serikat dan uni
soviet tersebut talah memungkinkan masyarakat internasional untuk merumuskan suatu perjanjian
internasional umum mengenai ruang angkasa. Berkat perundingan-perundingan yang berhasil dengan
baik antara uni soviet dan amerika serikat dan hasil-hasil karya dari komite penggunaan secara damai
angkasa luar, akhirnya majelis umum pada tanggal 19 desember 1966 menerima perjanjian
internasional mengenai prinsip-prinsip yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara dibidang eksplorasi
dan penggunaan angkasa luar termasuk bulan dan benda-benda angkasa alamiah lainnya. Perjanjian
ini dapat dianggap sebagai dokumen hukum induk bagi kegiatan-kegiatan di ruang angkasa luar.
Perjanjian ini secara serentak dibuka untuk penandatanganan di London, moskow dan Washington
tanggal 27 januari 1967 dan dengan cepat mulai berlaku tanggal 10 oktober tahun yang sama. Sesuai
dengan namanya dan atas keinginan uni soviet dokumen hukum tersebut hanya semacam kerangka
yang menyebutkan prinsip-prinsip umum yang selanjutnya harus diperjelas, dirinci dan dilaksanakan.

Perjanjian-perjanjian Internasional Yang Diterima Majelis Umum


Sebagai kelanjutan deklarasi 1963 dan perjanjian internasional 1967, majelis umum menerima 4
perjanjian tambahan yang melengkapi dari mengembangkan dokumen-dokumen yang telah ada yaitu:
a) Persetujuan mengenai penyelamatan astronot, pengembalian astronot dan resitusi benda-benda
yang diluncurkan keruang angkasa tanggal 22 april 1968, Res. No.2345 (XXII).
b) Konvensi mengenai tanggung jawab internasional untuk kerugian yang disebabkan benda-benda
spasil tanggal 29 maret 1972, Res. 2223 (XXIX) 19 desember 1966.
c) Konvensi mengenai imatrikulasi benda-benda yang duiluncurkan ke angkasa luar tanggal 14
januari 1975, Res. 3235 (XXIX).
d) Persetujuan yang mengatur kegiatan-kegiatan Negara di bulan dan benda-benda ruang angkasa
lain, tanggal 18 desember 1979, Res 34/68.

Komite Penggunaan Secara Damai Ruang Angkasa Luar


Pada tahun 1958 segera setelah peluncuran satelit buatan pertama, majelis umum PBB memutuskan
untuk mendirikan suatu AD Hoc Commite On the Peacefull Usus of the outer Space untuk membahas
:
a. Kegiatan-kegiatan dan sumber-sumber PBB, badan-badan khusus dan badan-badan internasional
lainnya mengenai penggunaan secara damai ruang angkasa luar.
b. Kerjasama internasional dan program-program di bidang yang kiranya dapat dilakukan dibawah
naungan PBB.
c. Pengaturan-pengaturan organisasi untuk mempermudah kerjasama internasional dalam rangka
PBB.
d. Masal-masal hukum yang dapat muncul dalam kegiatan eksplorasi ruang angkasa
Ada Juga Beberapa Teori Yang Dilahirkan Dari Organisasi Internasional, Perjanjian Internasional,
Cara Bekerja Sebuah Pesawat Angkasa, Cara Bekerja Transmisi Gelombang Radio, Teori Orbit
Satelit. Antara lain:

• Teori ICAO (International Civil Aviation Organization). 


Teori ini berdasarkan pada bunyi konvensi Chicago tahun 1944 dengan segenap annex-nya yang
menggunakan batas berlakunya ketentuan hukum udara internasional. Dimulai batas maksimum yang
dapat dipakai oleh pesawat udara (aircraft) dengan mendefinisikan pesawat udara sebagai”. Setiap
alat yang mendapat gaya angkat aerodinamis di atmosfir karena reaksi udara (any machine can derive
support in the atmosphere from the reaction of the air). Konvensi ini tidak menyebutkan secara jelas
dan pasti batas ketinggian kedaulatan suatu negara atas ruang udaranya. Dapat dikatakan bahwa
ruang angkasa dimulai pada saat tidak ada reaksi udara menurut teknologi penerbangan berkisar 25
mil sampai 30 mil dari permukaan bumi atau sekitar 60.000 kaki.

• Teori Transmisi Radio. 


Teori ini didasarkan pada sifat gelombang yang memancar melalui perantaraan konduktor atmosfir
udara dapat ditentukan bahwa batas ruang angkasa dimulai dari batas maksimum udara dimana
gelombang radio tidak dapat menembus batas tersebut melainkan kembali memantul ke bumi
ketinggian berdasarkan teori berkisar 150 mil sampai 300 mil dari permukaan bumi.
• Teori Outer Space Treaty 1967.
Teori ini memberi batas antara ruang udara dan ruang angkasa berdasarkan teori titik terendah orbit
suatu satelit atau suatu space objects. Pembatasan teori outer space treaty bersifat tidak pasti. Hal ini
bergantung pada karakteristik suatu satelit buatan dan kepadatan atmosfir di suatu orbit pada waktu
tertentu. Menurut teori ini, ruang angkasa dimulai pada ketinggian 80 Km diatas permukaan bumi
yang merupakan batas ketinggian minimum (lower limit) dari suatu orbit satelit.
• Teori GSO (Geo Stationary Orbit). 
Teori ini dipakai oleh negara-negara “kolong” dimana negaranya dilalui garis khatulistiwa termasuk
Indonesia untuk memperjuangkan klaim hak-hak berdaulat, mengeksplorasi dan mengeksploitasi
kekayaan alam di ruang angkasa yang berbentuk cincin ketinggian berkisar 36.000 km dari
permukaan bumi. Teori ini lahir dari kegigihan perjuangan negara-negara equator (khatulistiwa)
untuk memperoleh preferential rights atas GSO (Ida Bagus Rahmadi Supancana, E Saefullah
Wiradipradja, Mieke Komar Kantaatmadja, 1988). Ide ini diusulkan pada sidang ke-22 sub komite
hukum UNCOPOUS (United Nations Committee of Peacefull of Outer Space) untuk memperkuat
argumentasi yuridis atas kekayaan alam ruang angkasa bagi negara-negara khatulistiwa. 
• Teori Pesawat Lockheed U-2 Milik Amerika Serikat dengan kemampuan terbang berkisar 78. 000
kaki. Pesawat LU-2 jenis pengintai ini ditembak jatuh oleh USSR. Sehingga menimbulkan perang
argumentasi antara Uni Soviet dan Amerika Serikat. Pihak Uni Soviet memprotes Amerika karena
pesawat udaranya telah memasuki wilayah udara Uni Soviet. Sebaliknya, Amerika berdalih bahwa
pesawatnya terbang pada ketinnggian yang dikategorikan sebagai wilayah ruang angkasa yang bebas
dari klaim kedaulatan dari negara manapun. Pihak USSR berpegang pada Air Code Soviet yang
berbunyi “The Complete and exclusive sovereignity over the airspace of USSR shall be long to the
USSR.Air space of USSR shall be deemed to be the air space above the land and water territory of
the USSR including the space above territorial waters as determined by laws of USSR and by
international treaties” 
• Teori Space Shuttle atau teori Orbiter. Untuk,memperkuat argumentasi yuridis masalah status
hukum pesawat ulang-alik yang banyak menimbulkan silang pendapat di kalangan ilmuan hukum
udara. Beberapa ilmuan hukum udara masih belum bisa menarik kesimpulan tentang penundukan
hukum atas pesawat ulang alik. Di satu sisi tunduk pada hukum ruang angkasa dan di sisi lain tunduk
pada hukum udara internasional. Karena sifat-sifat kendaraan tersebut selalu berubah-ubah, kadang
sifatnya sebagai pesawat angkasa dan juga sebagai pesawat udara biasa (K Martono, 1987). Untuk
memperkuat argumen yuridis berkenaan dengan batas delimitasi ruang udara dan ruang angkasa
dapat dilihat dari proses kerja pesawat ulang alik pada saat menjalankan misinya. Meluncur ke ruang
angkasa melalui tiga tahapan yakni tahap ascend/launching (peluncuran), tahap orbital (penempatan
ke orbit), dan tahap descend (pulang turun kembali ke bumi memasuki atmosfir). Turunya pesawat
dengan gaya aerodinamis menggunakan reaksi udara mirip pesawat udara komersial biasa. Dari
proses kerja pesawat ini dapat diambil teori penentuan delimitasi ruang udara dan ruang angkasa.
Teori tersebut adalah batas ruang udara berlaku pada saat tangki luar bahan bakar pecah dan terbakar
disusul dua roket pendorong lepas pada ketinggian 50 mil dari permukaan bumi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
`Masalah penetapan garis batas antara ruang udara dan ruang angkasa.
Adalah suatu kenyataan bahwa Negara-negara di dunia ini mengakui perlu adanya penegasan
mengenai perbatasan antara ruang udara yang berada dalam kedaulatan penuh suatu Negara dan
ruang angkasa yang bebas dan hanya digunakan untuk kepentingan kemanusiaan dan perdamaian.
Status hukum pesawat angkasa bolak-balik ini telah mulai dipersoalkan sejak tahun 1974, pada saat
pembuatan konvensi tentang registrasi benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa(registration
convention 1974).
Para ahli hukum pada umumnya berpendpat bahwa “space shuttle” mempunyai status hukum pesawat
angkasa, bukan sebagai pesawat udara, karenanya tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum angkasa
dan tidak pada konvensi Chicago 1944 serta peraturan-peraturan hukum udara lainnya. Teori ini lahir
untuk memperkuat argumentasi klaim batas kedaulatan sebuah negara atas ruang udara sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum udara internasional. Namun teori ini juga dapat diterapkan untuk mengetahui
batas ketinggian jelajah pesawat udara komersial. Sehingga apabila terjadi kecelakaan pesawat udara.
dapat dipakai sebagai dasar argumentasi

B. Saran 
Dari pernyataan diatas maka harus ada penegasan pembatasan antara pesawat udara dan pesawat
angkasa agar tidak terjadi kesalahan paham atas batas-batasnya. Oleh karena itu dibuatlah hukum-
hukum mengenai keduanya itu.
Hukum Udara, adalah hukum yang mengatur obyek udara, telah
dikenal sejak jaman Romawi, dengan adanya Prinsip ”Cuius est solum,
eius est usque ad coelum” (yang memiliki tanah, memiliki juga udara
diatasnya sampai ke langit), persoalan yang sering diperdebatkan
adalah masalah kedaulatan di ruang udara, terutama antara mereka
yang berpendapat bahwa ” ruang udara adalah bebas” dan antara
mereka yang berpendapat bahwa ”negara masing-masing berdaulat
diruang udara diatasnya”.
1. Mare Liberum
Sebenarnya, sebelum terbit dan dikembangkannya ajaran Mare Liberum dalam tahun 1609 oleh
Grotius, ajran ini telah dianut oleh Negara-negara lain. Selama abad ke-16 Ratu Inggris, Elizabeth
menganut teori ini. Francoise Alfonso Castro dalam bukunya De Potestate Legis Poenalis, Vasculus
Menchaca (1509-1569)di Portugal dalam bukunya Controverslae Illustris, Alberto Gentilldi Italia
dalam bukunya de Jure Belli menganut teori ini.

Di antara penulis penganut teori ini yang paling terkenal adalah Hugo de Groot, yang menulis
pandangannya mengenai kebebasan laut dalam bukunya Mare Liberum yang terbit tahun 1608
tersebut. Sesuai ajarannya tentang mare liberum, Grotius berpendapat laut tak dapat dimiliki oleh
negara. Pendapat ini sejalan dengan konsepsinya mengenai pemilikan (ownership).
Menurutnya,ownership (termasuk laut) hanya dapat terjadi melalui possession, danpossession hanya
bias terjadi melalui pemberian atau melalui occupation.Occupation atas barang-barang bergerak
dapat terjadi melalui hubungan fisik atas barang tersebut, sedangkan occupation atas benda tidak
bergerak dapat terjadi dengan membangun sesuatu di atasnya (“by power of standing and sitting"). 
 
Karena itu pemilikan hanya dapat terjadi atas barang-barang yang dapat dipegang teguh. Dan untuk
dapat dipegang diteguh benda-benda tersebut harus ada batasnya. Laut adalah sesuatu yang tidak
berbatas, karena itu tidak dapat diokupasi. Selain itu laut itu cair, dan sesuatu yang cair hanya dapat
dimiliki dengan memasukkan ke tempat yang lebi padat. Dengan demikian, tuntutan pemilikan laut
berdasarkan penemuan (discovery), penguasaan dalam jangka waktu
lama (prescription) ataupun servitude tak dapat diterima karena semua itu bukan alas an untuk
memperoleh ownership atas laut. Meskipun demikian, Grotius mengakui bahwa anak laut, inner sea,
dan sungai sekalipun cair dapat dimiliki karena ada batasnya, yaitu tepinya dapat dianggap
sebagai per allud

I. UMUM
Antariksa merupakan ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara, serta
yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara. Secara alamiah Antariksa terletak
sekitar 100--110 km di atas Ruang Udara atau atmosfer bumi. Dalam pengaturannya
secara internasional, Ruang Udara tunduk pada Konvensi Internasional tentang
Penerbangan Sipil (Chicago Convention on Civil Aviation 1944). Indonesia telah
mematuhinya sejak 27 April 1950 dan mengakui adanya kedaulatan setiap negara
yang penuh dan eksklusif di atas wilayah udara teritorialnya. Antariksa tunduk pada
ketentuan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara
dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, termasuk Bulan dan Benda-Benda
Langit Lainnya, 1967 (Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies,
1967), yang mengakui Antariksa sebagai kawasan bersama umat manusia (province of
all mankind). Sesuai dengan ketentuan tersebut Antariksa bebas untuk dieksplorasi
dan digunakan oleh semua negara, tanpa diskriminasi berdasarkan asas persamaan,
dan sesuai dengan hukum internasional.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967 dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 dan 3 (tiga) perjanjian internasional
Keantariksaan yang merupakan peraturan pelaksanaannya berkewajiban
melaksanakan ketentuan tersebut dalam wilayah kedaulatan dan wilayah
yurisdiksinya. Ketiga perjanjian internasional tersebut adalah sebagai berikut:
(1) Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects of 1972
disingkat Liability Convention 1972, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden
Nomor 20 Tahun 1996.
(2) Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space disingkat
Registration Convention 1975, yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden
Nomor 5 Tahun 1997.

(3) Agreement . . . - 2 -
(3) Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronouts and the Return of
Objects Launched into Outer Space, 1968 disingkat Rescue Agreement 1968, yang telah
diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999.

Bagi bangsa Indonesia, Antariksa dipandang sebagai ruang gerak, media, dan sumber
daya alam yang harus didayagunakan dan dilestarikan bagi kemakmuran rakyat
Indonesia dengan cara damai untuk mencapai tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa mutlak memerlukan ilmu pengetahuan dan
teknologi Keantariksaan yang bersifat teknologi canggih (high technology), berbiaya
tinggi (high cost), berisiko tinggi (high risk), serta dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan kesejahteraan, pertahanan, dan keamanan. Sistem Keantariksaan yang
terdiri atas teknologi ruas bumi, ruas Antariksa, dan ruas pengguna juga menuntut
keterpaduan dalam penelitian, pengembangan, dan pemanfaatannya. Kondisi inilah
yang menyebabkan bahwa setiap negara bertanggung jawab secara internasional
terhadap setiap kegiatan Keantariksaan nasionalnya, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun nonpemerintah (badan hukum dan perseorangan). Pentingnya
kegiatan Keantariksaan tercermin pada sistem Keantariksaan yang memberikan
informasi dan jasa-jasa yang melindungi kehidupan dan lingkungan, meningkatkan
kesejahteraan dan keamanan, serta memacu IPTEK, industri, dan pembangunan
ekonomi. Kegiatan Keantariksaan menyediakan prakiraan cuaca, siaran melalui
satelit, dan navigasi global serta membuka peluang baru pendidikan jarak jauh (tele-
education) dan pelayanan kesehatan jarak jauh (tele-medicine). Kegiatan
Keantariksaan juga mampu meningkatkan sektor ekonomi dan sektor pembangunan
lainnya. Kegiatan Keantariksaan telah menjadi kepedulian global yang menawarkan
keuntungan spesifik dan menjadi tantangan baru seperti pemantauan dan
pemahaman terhadap perubahan iklim dan pemanasan global serta mendukung
pembangunan berkelanjutan. Posisi geografis wilayah Indonesia terbentang di sekitar
garis khatulistiwa serta terletak di antara dua benua dan dua samudra. Posisi
tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki ketergantungan dalam
pemanfaatan teknologi Keantariksaan dan sekaligus memiliki keunggulan komparatif
dalam Penyelenggaraan Keantariksaan. Kondisi ini menyebabkan banyak negara yang
ingin memanfaatkan potensi wilayah Indonesia melalui kerja sama internasional yang
saling menguntungkan.
Dalam . . . - 3 -
Dalam menyadari peran kegiatan Keantariksaan dan potensi wilayah Indonesia tersebut,
Penyelenggaraan Keantariksaan harus ditata dalam satu kesatuan sistem Keantariksaan nasional secara
terpadu. Sistem Keantariksaan harus mampu mendinamiskan sarana dan prasarana Keantariksaan,
metode, prosedur, dan peraturan sehingga berdaya guna serta berhasil guna untuk mewujudkan
kemandirian dalam Penyelenggaraan Keantariksaan. Saat ini sudah terdapat beberapa peraturan
perundang-undangan nasional yang mengatur aspek tertentu, khususnya aspek pemanfaatan dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan, seperti di bidang telekomunikasi dan penyiaran. Indonesia pun telah
meratifikasi beberapa perjanjian internasional Keantariksaan. Kondisi tersebut belum mampu menjawab
kebutuhan peraturan perundang-undangan di bidang Keantariksaan dan tuntutan perkembangan
Keantariksaan ke depan, termasuk kegiatan komersial Keantariksaan. Dalam rangka mengisi kekosongan
hukum, Undang-Undang tentang Keantariksaan ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan tersebut.
Secara umum Undang-Undang ini memuat materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut:
kegiatan Keantariksaan; Penyelenggaraan Keantariksaan; pembinaan; Bandar Antariksa; Keamanan dan
Keselamatan; penanggulangan benda jatuh Antariksa serta pencarian dan pertolongan antariksawan;
pendaftaran; kerja sama internasional; tanggung jawab dan ganti rugi; asuransi, penjaminan, dan
fasilitas; pelestarian lingkungan; pendanaan; peran serta masyarakat; dan sanksi. Untuk mewujudkan
semua hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang
bersifat teknis dan operasional diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan
Lembaga.

1. Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang
mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara.
2. Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan
eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa.
3. Ruang Udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan
bumi yang mengandung udara yang bersifat gas.
4. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah setiap kegiatan eksplorasi dan
pemanfaatan Antariksa yang dilakukan, baik di dan dari bumi, Ruang Udara,
maupun Antariksa.
5. Penyelenggara Keantariksaan adalah pihak atau subjek yang melaksanakan
Penyelenggaraan Keantariksaan.
6. Asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau
pemerintah asing.
7. Benda Antariksa adalah setiap benda, baik buatan manusia maupun benda
alamiah yang terkait dengan Keantariksaan.
8. Wahana . . . - 3 -
8. Wahana Antariksa adalah benda buatan manusia yang terkait dengan
Keantariksaan dan bagian-bagiannya.
9. Roket adalah bagian Wahana Antariksa yang digunakan untuk mengantarkan
muatan ke Antariksa dan/atau mengembalikan Wahana Antariksa, termasuk
muatannya ke bumi.
10. Bandar Antariksa adalah kawasan di daratan yang dipergunakan sebagai
landasan dan/atau peluncuran Wahana Antariksa yang dilengkapi dengan fasilitas
Keamanan dan Keselamatan serta fasilitas penunjang lainnya.
11. Keselamatan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan Keselamatan dalam
pemanfaatan wilayah Indonesia, Wahana Antariksa, kawasan Bandar Antariksa,
transportasi Antariksa, navigasi Keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang
dan fasilitas umum lainnya.
12. Keamanan adalah segala upaya dan komitmen secara internasional bagi setiap
Penyelenggara Keantariksaan untuk memelihara dan/atau menjamin pemanfaatan
Antariksa dan benda-benda langit lainnya untuk maksud-maksud damai dan tidak
menimbulkan kerusakan bagi lingkungan bumi dan Antariksa melalui keterpaduan
pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur.
13. Kerugian adalah suatu keadaan yang menimbulkan kematian, luka-luka, atau
bentuk lain dari terganggunya kesehatan seseorang, hilang atau rusaknya harta milik
negara, milik pribadi, atau badan hukum, atau harta benda organisasi internasional
antarpemerintah.
14. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
15. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
16. Instansi Pemerintah adalah kementerian dan/atau lembaga pemerintah
nonkementerian.

17. Menteri . . . - 4 -
17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
riset dan teknologi.
18. Lembaga adalah Instansi Pemerintah yang melaksanakan urusan pemerintahan di
bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya serta
Penyelenggaraan Keantariksaan.

Pasal 2 Undang-Undang ini bertujuan:


a. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam
Penyelenggaraan Keantariksaan;
b. mengoptimalkan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kesejahteraan rakyat dan
produktivitas bangsa;
c. menjamin keberlanjutan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kepentingan
generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. memberikan landasan dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan
Keantariksaan;
e. mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan;
f. melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan
dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
g. mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional Keantariksaan demi
kepentingan nasional; dan
h. mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang menjadi komponen pendukung
pertahanan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai