TENTANG
LARANGAN PRAKTEK PROSTITUSI
Menimbang:
a. bahwa prostitusi adalah merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
norma dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan
masyarakat;
b. bahwa dalam upaya menertibkan dan melestarikan nilai-nilai luhur budaya
masyarakat yang tertib dan dimanis serta dalam rangka pengendalian dan
pengawasan terhadap praktek-praktek prostitusi di Indonesia;
c. bahwa prostitusi merupakan perbuatan yang mengganggu ketertban umum,
keamanan, kesehatan, dan nilai-nilai kesusilaan yang hidup dalam masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-undang tentang Larangan Praktek
Prostitusi.
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3019);
3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3039);
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan
Perempuan;
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209).
BAB II
LARANGAN
Pasal 2
Setiap orang dilarang untuk melakukan perbuatan prostitusi.
Pasal 3
Larangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 berlaku juga bagi siapapun yang
karena tingkah lakunya diduga dapat menimbulkan akibat perbuatan prostitusi.
Pasal 4
Setiap orang baik sendiri, bersama-sama mmmaupun kelompok dilarang
mendirikan dan/atau mengusahakan serta menyediakan tempat untuk melakukan
praktek prostitusi.
Pasal 5
Setiap orang atau badan dilarang membentuk, menjadi perantara dan/atau
menyediakan orang untuk melakukan prostitusi.
Pasal 6
Setiap orang di tempat umum atau di tempat dimana umum dapat masuk, dilarang
dengan perkataan isyarat, tanda atau cara lain menunjuk atau memaksa orang lain
untuk melakukan perbuatan prostitusi.
BAB III
PENINDAKAN
Pasal 7
Kepala daerah berhak memerintahkan untuk menutup tempat-tempat yang
menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat perbuatan
prostitusi.
Pasal 8
Kepala daerah berhak mencabut izin usaha dan membongkar tempat yang diduga
dan diyakininya digunakan untuk melakukan prostitusi setelah terlebih dahulu
diberikan peringatan pertama, kedua, dan ketiga.
Pasal 9
Penanggung jawab tempat yang telah ditutup sebagaimana yang dimaksud Pasal 7
ini, dilarang menerima tamu ditempatnya dengan maksud untuk melakukan
perbuatan prostitusi.
Pasal 10
Tidak termasuk tamu sebagaimana yang dimaksud Pasal 9 ini adalah :
a. Orang yang berdomisili di tempat tersebut yang status domisilinya dapat
dipertanggung jawabkan.
b. Keluarga penanggung jawab yang terkait dengan perkawinan yang sah.
c. Mereka yang kedatangannya ke tempat itu karena menjalankan suatu
pekerjaan yang tidak bertentangan dengan kesusilaan.
d. Pegawai atau pejabat yang karena kepentingannya melakukan tugasnya.
BAB IV
PEM BINAAN DAN REHABILITASI
Pasal 11
(1). Bagi pelanggaran sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan 3 undang-undang ini
terutama bagi yang masih di bawah umur dapat dikembalikan kepada orang
tuanya atau diserahkan kepada Negara.
(2). Berdasarkan putusan pengadilan sebagaimana yang dimaksud pasal 12 ayat
(4) undang-undang ini, maka terhadap pelanggarnya dapat dilakukan
pembinaan dan rehabilitasi pada panti rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh
Negara.
(3). Pembinaan dan rehabilitasi sebagaimana yang dimaksud ayat (2) pasal ini,
dilakukan oleh Dinas Sosial bekerja sama dengan dinas atau instansi terkait.
(4). Pemerintah daerah membentuk tim pemberantas prostitusi di tiap-tiap daerah
di Indonesia.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 12
(1). Barang siapa yang melanggar sebagaimana dimaksu Pasal 2 dan 3 undang-
undang ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah).
(2). Barang siapa yang melanggar sebagaimana dimaksud Pasal 4 undang-undang
ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
(3). Barang siapa yang melanggar sebagaimana dimaksud Pasal 5 undang-undang
ini dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 70.000.000,00 (tujuh puluh
juta rupiah).
(4). Jika seseorang melakukan lagi pelanggaran yang dengan pelanggaran
pertama sebelum lewat jangka waktu 1 tahun sejak putusan pengadilan atas
pelanggaran pertama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap
pelanggaran kedua dan seterusnya ditambah sepertiga dari pidana penjara
yang diancam untuk pelanggaran tersebut.
BAB VI
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 13
(1). Penyidikan terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, 3, 4,
dan 5 undang-undang ini dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Daerah.
(2). Dalam melakukan tugas penyidikan, para penyidik sebagaimana yang
dimaksud ayat (1) pasal ini berwenang:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian serta
melakukan pemeriksaan.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka.
d. Melakukan penyitaan benda dan/atau surat.
e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
f. Memanggil orang untuk didengar sebagai tersangka atau saksi.
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara.
h. Menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum
bahwa tidak terdapat alat bukti atau peristiwa tersebut bukan tindak pidana
dan selanjutnya penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada
Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya.
i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggung
jawabkan.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Hal-hal yang tidak diatur dalam undang-undang ini akan diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal …
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
…
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal …
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
…
Kelompok III
Anggota Kelompok :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2009