Anda di halaman 1dari 5

Metal telah digunakan dalam bidang kedokteran gigi selama ribuan tahun untuk

menggantikan struktur gigi yang hilang. (Powers et Wataha: 2008). Macam-macam restorasi
yang terbuat dari logam, seperti crown, inlay, onlay, partial denture dan bridge. (van Noort:
2007). Beberapa logam murni, termasuk emas (Au) dan platinum (Pt) masih digunakan dalam
bidang kedokteran gigi sampai saat ini. Namun, logam tersebut sifatnya kurang sesuai untuk
digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Untuk alasan tersebut, maka metal dan non metal
dicampur sehingga terbentuk alloy. Alloy memiliki sifat fisik dan mekanik yang sesuai dan
banyak digunakan dalam bidang kedokteran gigi. (Powers et Wataha: 2008).
Alloy memiliki sifat yang khas yaitu ketika diberikan tekanan, pada awalnya
menyebabkan perubahan bentuk secara elastis (dapat kembali ke bentuk semula), kemudian
ketika tekanan menjadi lebih besar, sebagian dari material yang diberi tekanan ini berubah
bentuk menjadi permanen. Awalnya, tekanan yang diberikan dilawan dengan ikatan antar
atom dan material menjadi elastis, dan bentuk semula didapatkan kembali setelah tekanan
dihilangkan. Pemberian tekanan yang lebih besar dan melewati batas elastis menyebabkan
rusaknya ikatan antar atom dan perpindahan antar satu atom dengan atom yang lain, sehingga
bentuknya berubah secara permanen dan material menjadi mudah dibentuk atau bersifat
plastis. (Anderson, 1977)
Baja adalah alloy besi-karbon (Fe-C). Kata stainless steel ditujukan kepada alloy
besi-karbon yang tersusun atas kromium, nikel, mangan dan logam lain untuk memperbaiki
sifat dan kualitas baja agar tidak mudah berkarat. Dalam kedokteran gigi pada umumnya
stainless steel digunakan untuk preparasi ortodontik dan pembuatan instrument endodontic
seperti alat kikir dan reamur. Stainless steel juga diaplikasikan secara khusus untuk space
maintainers sementara, instrumen yang digunakan sebelum pembuatan mahkota, atau
aplikasi lain yang ditempatkan di dalam mulut, dan untuk berbagai macam peralatan klinik
serta laboratorium. (Sakaguchi and Powers,2006)
Stainless steel terbagi menjadi tiga jenis yaitu ferritic, martensitic, dan austenitic,
yang memiliki perbedaan komposisi, sifat, dan aplikasi. (Sakaguchi and Powers,2006.) Dua
unsur penting yang terkandung dalam stainless steel kedokteran gigi adalah kromium dan
nickel (Van Noort, 2007)
Alloy stainless steel yang sering digunakan adalah jenis austenitic stainless steel yang
memiliki sifat ketahanan yang besar terhadap korosi dan tarnish. Unsur kromium yang
terdapat dalam stainless steel berfungsi untuk mempertahankan alloy dari korosi, dan tidak
ada elemen lain yang ditambahkan ke dalam besi sebagai elemen yang efektif untuk
mempertahankan alloy dari korosi. Sekitar 11% kromium diperlukan untuk mempertahankan
besi murni dari korosi, dan proporsinya meningkat dengan penambahan karbon untuk
membentuk baja. Kromium dapat melawan korosi dengan baik karena membentuk lapisan
kromium oksida yang kuat pada permukaannya, yang melindungi reaksi lebih lanjut dengan
logam dibawah permukaan yang dilindunginya. Pembentukan lapisan oksida ini disebut
passivation. Tingkat kepasifan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti komposisi alloy,
tekanan, kondisi permukaan, dan heat treatment. Dalam kedokteran gigi karakteristik
stainless steel dari alloy dapat berubah atau hilang oleh penggunaan cleansing agent yang
abrasif yang dapat merubah kondisi permukaan instrument, oral hygiene yang buruk dalam
jangka waktu yang lama, serta pemanasan yang berlebihan selama pemasangan. (Sakaguchi
and Powers,2006).
Heat treatment adalah proses pemanasan atau pendinginan dari suatu material yang
terkontrol, untuk mengubah sifat – sifat fisik atau mekanik tetapi tanpa mengubah bentuk dari
produk. Heat treatment kadang dilakukan saat proses manufacturing, seperti
membengkokkan atau membentuk.(Sakaguchi and Powers,2006)
Pemberian perlakuan panas (heat treatment) dilakukan untuk mengkontrol kekuatan
mekanik kawat. Pada kawat austenitic, adanya nikel mencegah transformasi austenit menjadi
cementite dan ferrite saat pendinginan, sehingga kawat menjadi lebih stabil pada saat proses
pendinginan cepat. Hal ini dapat terjadi karena ketika kawat austenitic ini didinginkan dalam
air, ferrrite dan cementite tidak dapat terbentuk karena kurangnya waktu untuk difusi dan
pembentukan atom. Derajat konversi dapat dikendalikan dengan mengatur temperatur dan
durasi pemanasan yang dikenal dengan tempering. Pemanasan pada austensitic stainless steel
tidak dapat mengubah kekuatannya, tetapi pendinginan cepat dapat digunakan untuk
meningkatkan yield stress – nya. ( Van Noort, 2007 )
Pada praktikum ini, dilakukan sebanyak 3 percobaan dengan perlakuan yang berbeda-
beda. Kawat yang digunakan adalah kawat stainless steel berdiameter 0,9 mm. Kawat ini
digunakan karena kawat dengan diameter 0,9 mm lebih tebal sehingga tidak mudah putus
apabila digunakan dalam percobaan ini. Dengan kawat 0,9 mm, didapatkan jumlah
pembengkokkan kawat yang cukup untuk melihat perbandingan perlakuan yang berbeda pada
masing – masing kawat.
Pada percobaan yang pertama, kawat tidak diberi perlakuan apa-apa (langsung
dibengkokkan). Percobaan ini dilakukan sebanyak tiga kali. Pada ketiga percobaan ini kawat
patah pada tekukan yang ke lima. Kawat lebih mudah patah karena susunan atomnya rapat
dan tidak teratur, sehingga kawat tersebut bersifat getas. ( Combe, 1992)
Percobaan kedua dilakukan dengan memanaskan kawat pada zona reduksi api.
Pemanasan ini dilakukan selama 5 menit didaerah kawat yang akan ditekuk. Zona reduksi
merupakan bagian terpanas dari api. Pemanasan tidak dilakukan pada zona oksidasi karena
temperaturnya lebih rendah dan dapat mengoksidasi logam sehingga dapat mengubah struktur
atom pada kawat stainless stell. (annusavice, 2003). Pemanasan pada kawat bertujuan untuk
membuat susunan atom pada kawat menjadi tidak teratur di bawah titik leleh.
Setelah kawat dipanaskan selama 5 menit, kawat tersebut didinginkan ditempat
terbuka selama 5 menit. Proses pendingian ditempat terbuka ini disebut dengan slow cooling.
Percobaan ini juga dilakukan sebanyak tiga kali. Pada percobaan pertama, kawat patah pada
tekukan ke 11. Kawat pada percobaan kedua patah pada tekukan ke 9 dan kawat ketiga patah
pada tekukan ke 10. Perbedaan jumlah tekukan ini dikarenakan perlakuan proses pemanasan
yang berbeda pada tiap orang, yaitu ada yang terlalu dekat dengan zona reduksi atau
menjauhi zona reduksi. Selain itu, kekuatan tiap inidividu yang melakukan penekukan kawat
juga mempengaruhi jumlah tekukan.
Berdasarkan hasil percobaan ini disimpulkan bahwa kawat yang dipanaskan lalu
dibiarkan di udara terbuka selama beberapa saat menjadi lebih lentur sehingga tidak mudah
patah. Hal ini dikarenakan pemanasan dilakukan pada suhu tinggi namun masih dibawah titik
leleh kawat, sehingga proses penyusunan atom-atom terjadi secara cepat. Proses penyusunan
kembali (rekristalisasi) atom mengurangi tekanan yang timbul pada saat proses
pembengkokan kawat sehingga kawat menjadi lebih lentur dan lebih sulit untuk dipatahkan.
(Ferracane, 2001).
Percobaan ketiga dilakukan dengan memanaskan kawat pada zona reduksi api selama
5 menit, kemudian dimasukkan dalam air selama 5 menit. Pendinginan dalam air ini disebut
juga dengan rapid cooling. Percobaan ini juga dilakukan sebanyak 3 kali. Dari ketiga
percobaan tersebut, masing-masing kawat patah pada tekukan ke 11, 12, dan 15. Hal ini
sangat berbeda jauh bila dibandingkan denngan perlakuan normal. Hal ini dikarenakan
adanya adaptasi kembali pada lingkungan sekitar setelah dilakukan pemanasan. Pada proses
pemanasan, terjadi rekristalisasi pada struktur mikro kawat dan perubahan komposisi kawat,
sehingga dapat menurunkan sifat mekanik dan ketahanan terhadap erosi. Pada saat
didinginkan pada air dingin, stainless steel beradaptasi pada lingkungan sekitar untuk
mengembalikan sifat-sifat aslinya sehingga stainless steel tersebut menjadi mengeras (strain
hardening) dan sulit untuk dipatahkan (Craig, 2002: 496). Hal ini biasanya menguntungkan
bagi manipulasi untuk orthodontic. Hal ini disebabkan karena kawat tersebut mudah untuk
dibentuk dan susah untuk dipatahkan.
Teori lain menyebutkan bahwa, metal dan alloy stainless steel dapat menjadi lebih
keras dan kuat bila diberi perlakuan yang berbeda yang dapat membuat kawat tersebut sulit
untuk berdislokasi. Perlakuan pendinginan dalam air yang dilakukan selama beberapa saat
dapat menghambat gerakan untuk terjadi dislokasi. Beberapa struktur kristal dari metal atau
alloy, seperti intermetallic compounds membuat kawat sulit untuk berubah bentuk.
Intermetallic compounds tersebut mampu menghasilkan suatu susunan atom yang membuat
kawat sulit untuk berubah bentuk dan dipatahkan (O’Brien, 2002). Teori lain menyebutkan
bahwa, metal dan alloy stainless steel dapat menjadi lebih keras dan kuat bila diberi
perlakuan yang berbeda yang dapat membuat kawat tersebut sulit untuk berdislokasi.
Perlakuan cold working yang berlangsung selama beberapa saat dapat menghambat gerakan
untuk terjadi dislokasi. Beberapa struktur kristal dari metal atau alloy, seperti intermetallic
compounds membuat kawat sulit untuk berubah bentuk. Intermetallic compounds tersebut
mampu menghasilkan suatu susunan atom yang membuat kawat sulit untuk berubah bentuk
dan dipatahkan (O’Brien, 2002). Selain itu, pada saat dilakukan pendinginan, ferrite dan
cementite (unsur dalam stainless steel) tidak dapat terbentuk karena tidak adanya waktu untuk
berdifusi dan berdislokasi (pembentukan seperti bentukan awal) kembali. Sebagai gantinya,
terjadilah pembentukan secara cepat atom tetragonal yang disebut martensite. Martensite ini
yang membuat stainless steel saat perlakuan cold working menjadi lebih keras. (Van Noort,
2007)

DAFTAR PUSTAKA :
1. Anderson, nanti nurul sms kamu, dia tak tanyai ga jwb2
2. Anusavice, KJ. Philips’ Science of Dental Materials. 11th Edition. 2003. Elsevier :
Missouri
3. Combe, E.C. 1992. Sari Dental Material. Balai Pustaka : Jakarta. Hal 71 – 73.
4. Craig, RG., Powers, JM. 2002. Restorative Dental Materials. 11th ed. USA: Mosby.
pp: 496
5. Ferracane, Jack L.2001. Materials in Dentistry.2nd edition. p 153.
6. O’Brien, WJ. 2002. Dental Materials and Their Selection. 3rd ed. Hanover Park:
Quintessence Publishing Co, Inc. pp: 22
7. Powers et Wataha, John. 2008. Dental Materials: Properties and Manipulation. 9th
edition. USA: Mosby Elsevier. pp: 240-241
8. Powers JM & Sakaguchi RL .(2006). Craig’s Restorative Dental Materials, 12 th ed. St
Louis:Mosby Elsevier. P.396.
9. Van Noort, Richard. 2007. Introduction to Dental Materials. 2nd ed. USA: Mosby. pp:
tanya nurul
10. William 2002 (nanti ami sms kamu)

Anda mungkin juga menyukai