Anda di halaman 1dari 139

IDEOLOGI PENGARANG

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG


KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA
PENDEKATAN EKSPRESIF

SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana S-1

Disusun oleh
Maria Bekti Lestari
NIM: 034114026

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
JUNI 2008
ii
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 1 Juli 2008

Penulis

Maria Bekti Lestari

v
ABSTRAK

Lestari, Maria Bekti. 2008. Ideologi Pengarang Dalam Novel Kitab Omong Kosong
Karya Seno Gumira Ajidarma: Pendekatan Ekspresif. Skripsi S-1.
Yoyakarta: Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini mengkaji ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong


Kosong karya Seno Gumira Ajidarma dengan pendekatan ekspresif. Analisis struktur
dibatasi pada alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama. Metode yang dipakai
dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Langkah- langkah yang
ditempuh adalah menganalisis alur, tokoh utama, penokohan tokoh utama, dan
pengarang implisit, kemudian menggunakan pendekatan ekspresif untuk memahami
ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong.
Tokoh utama dalam novel Kitab Omong Kosong adalah Satya, Maneka,
Hanoman, Walmiki, dan Rama. Tokoh-tokoh utama dalam sebuah karya sastra
menjadi alat penting pengarang dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga
biasa menjelma sebagai orang lain yang berada di belakang karyanya atau yang
biasa disebut sebagai pengarang implisit. Keberadaan pengarang implisit merupakan
jalan untuk memaha mi ideologi pengarang. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan
keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.
Penelitian mengenai pengarang implisit mengkaji keberadaan pengarang
nyata sebagai sosok lain dalam karyanya. Pengarang implisit berusaha
menyampaikan pandangannya mengenai dunia dan kekompleksannya. Melalui
analisis mengenai pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong, didapat
enam pokok ideologi pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi
pengarang mengenai kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran,
ideologi pengarang mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta,
ideologi pengarang mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu
pengetahuan.
Ideologi adalah sistem kepercayaan, pandangan dunia yang menjadi acuan
seseorang dalam menerangkan setiap permasalahan hidup. Ideologi pengarang
mengenai kekuasaan, penguasa harus mampu membedakan kepentingan pribadi dan
kepentingan negara. Ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, mereka sering
menjadi korban atas setiap tindakan penguasa. Ideologi pengarang mengenai
perempuan, perempuan seringkali menjadi korban atas setiap peristiwa, seperti yang
dialami Maneka dan Sinta. Ideologi pengarang mengenai cinta, cinta adalah sesuatu
yang suci, sakral dan cinta tidak membutuhkan pembuktian. Dalam ideologi Seno
mengenai kebebasan, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya sendiri dan
kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Dalam ideologi Seno mengenai
ilmu pengetahuan, proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh pengetahuan.

vi
ABSTRACT

Lestari, Maria Bekti. 2008. The Author’s Ideology In Novel Kitab Omong Kosong
Written By Seno Gumira Ajidarma: An Expressive Approah. An
Undegraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters, Sanata Dharma
University.

This study examines the author’s ideology in the novel Kitab Omong Kosong
written by Seno Gumira Ajidarma using expressive approach. The structural analysis
is limited on the plot, the main charaters, and the characterization of the main
charaters. The step which are done are analyzing the plot, the main charaters, the
characterization of the main charaters, and the implied authour. Thus, using
expressive approach to understand the author’s ideology in the novel Kitab Omong
Kosong.
The main charaters are Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan Rama. The
main charaters in a literary work becomes an important tool of the author to convey
his idealism. The author usually take a role as the other person behind his work or
usually called as implied author. The existence of implied author is a way to
understand the author’s ideology. The plot, the main charater, the characterization of
the main charaters, and the implied authour becomes a tool to know the author’s
ideology.
The study about implied author examines the existence of the author as the
other character in his works. The implied author try to explain the perspective about
the world and its complexity. After analyzing the implied author in the novel Kitab
Omong Kosong, there are six primary ideologies of the author. Those six primary
ideologies are the author’s ideology about authority, about marginal people, about
women, about love, about freedom, and about knowledge.
Ideology is the trust system which becomes reference to explain every
problem in life.The author’s ideology about authority, the authority must be able to
differentiate between personal and national interest. The author’s ideology about
marginal people, they always become the victim of the authority’s action. The
author’s ideology about women that women always become the victim of every
incident.. The author’s ideology about love, love is pure, sacred, and has no proof. In
Seno’s ideology about freedom, people have a right to determine they way of life
and freedom must be struggled. In Seno’s ideology about knowledge, learning
process is way to get knowledge.

vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta :
Nama : Maria Bekti Lestari
Nomor Mahasiswa : 034114026
demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG
KARYA SENO GUMIRA JIDARMA PENDEKATAN EKSPRESIF
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata
Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,
mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas,
dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis
tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 30 Juni 2008
Yang menyatakan,

Maria Bekti Lestari


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya skripsi ini. Penulis menusun skripsi ini

dalam rangka menyelesaikan Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Sastra

Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi menyempurnakan skripsi ini.

Skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan, bimbingan, dan dukungan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat

kepada pihak-pihak yang penulis sebutkan sebagai berikut:

1. Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum selaku pembimbing I yang sudah

membimbing penulisan skripsi ini dan menjadi sosok yang bisa dijadikan

tempat mengadu.

2. Ibu S. E. Peni Adjie, S.S, M. Hum selaku pembimbing II yang telah

memberikan spirit pada penulis untuk maju dan tidak berhenti di tengah

jalan. Selamat atas kelahiran putrinya.

3. Bapak Drs. Hery Antono, M. Hum selaku pembimbing akademik angkatan

2003 yang selalu setia ngopyak-opyak dan memberikan dukungan.

4. Seluruh dosen di Fakultas Sastra, terutama para dosen Program Studi Sastra

Indonesia. Pak Prap, Pak Ari, Pak San, Bu Candra, terima kasih atas ilmu

yang dibagikan dan perhatian yang diberikan.

viii
5. Segenap keluarga besar Program Studi Sastra Indonesia untuk rasa nyaman

dan persahabatan yan indah.

6. Segenap karyawan perpustakaan USD dan staf secretariat Fakultas Sastra,

Mbak Ros dan Mas Tri, untuk pelayanannya.

7. Bapak, Mamak, Mbak Ari, Apri. Terima kasih atas kepercayaan, dukungan,

dan cinta yang membuat penulis termotivasi untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabatku, Dhita, Erlita, dan Surya, yang selalu mendorong penulis

untuk cepat lulus. Terima kasih atas persahabatan indah kita yang telah

terjalin 10 tahun ini. Heheheheh…akhirnya aku lulus!!!

9. Pour mon coeur R. Adhitya Respati Maulidarma, terima kasih atas segala

rasa sayang, cinta, dukungan dan doanya. Terima kasih telah mengajarkan

banyak hal untuk bertahan dalam setiap cobaan.

10. Teman-teman di Sastra Indonesia 2003 yang telah mengisi kisah hidupku dan

memberi kenangan indah dalam kehidupanku di bangku kuliah. Ayo kita

lulus bareng! Semangat!

11. Astri, Aning, Anton, Aic, Bayu, Dita, Doan, Diar, Ecix, Emak, Epita, Firla,

Gondhez, Helen ‘Teteh’, Icha, Jati, Rinto, Simply, Uci, Nenex, dan Yeni.

Nuwun atas persahabatan, tingkah aneh kalian yang selalu membuat penulis

tersenyum, cerita-cerita konyol maupun mengharukan, serta kesempatan

nongkrong di kantin yang selalu penulis rindukan. Terima kasih sudah

menjadi bagian terindah dalam hidupku.

ix
12. Teman-teman di Pik@ Grup. Terima kasih atas chatting yang membuat

penulis tidak jenuh. Mbak Wuri, Mas Made, terima kasih sudah

diperbolehkan nunut ngetik dan browsing gratis.

13. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran penulisan

skripsi ini. Tidak ada kata yang mampu mengungkapkan syukur ini selain

ucapan terima kasih yang tulus dari dalam hati.

Semoga Tuhan Yang Maha Kasih membalas semua kebaikan dan kasih

sayang yang telah diberikan. Penulis memohon maaf jika terjadi kesalahan yang

disengaja maupun yang tidak disengaja dalam penulisan skripsi ini. Segala bentuk

kesalahan yang terjadi dalam penulisan skripsi ini merupakan tanggung jawab

penulis. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang

membutuhkan.

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

MOTO .................................................................................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

ABSTRACT ........................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR.......................................................................................... viii

DAFTAR ISI........................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah.................................................................................... 8

1.3 Tujuan Penelitian...................................................................................... 8

1.4 Manfaat Hasil Penelitian.......................................................................... 9

1.5 Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 10

1.6 Landasan Teori......................................................................................... 12

1.6.1 Alur .................................................................................................. 12

1.6.2 Tokoh dan Penokohan..................................................................... 15

1.6.3 Pengarang Implisit........................................................................... 17

xi
1.6.4 Ideologi............................................................................................ 17

1.6.5 Pendekatan Ekspresif ...................................................................... 20

1.7 Metode Penelitian..................................................................................... 21

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data .............................................................. 21

1.7.2 Pendekatan ...................................................................................... 21

1.7.3 Metode............................................................................................. 22

1.8 Sumber Data ............................................................................................. 22

1.9 Sistematika Penyajian .............................................................................. 23

BAB II ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG KARYA SENO GUMIRA

AJIDARMA ................................................................................................... 24

2.1 Alur ........................................................................................................... 25

2.2 Tokoh Utama ............................................................................................ 40

2.3 Penokohan Tokoh Utama ......................................................................... 42

2.3.1 Maneka............................................................................................ 42

2.3.2 Satya ................................................................................................ 46

2.3.3 Hanoman ......................................................................................... 50

2.3.4 Walmiki........................................................................................... 57

2.3.5 Rama ................................................................................................ 61

2.4 Rangkuman Alur, Tokoh Utama, dan Penokohan Tokoh Utama ............ 66

xii
BAB III PENGARANG IMPLISIT DALAM NOVEL KITAB OMONG

KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ...................................... 68

3.1 Pengarang Implisit.................................................................................... 68

3.2 Rangkuman Pengarang Implisit ............................................................... 79

BAB IV IDEOLOGI PENGARANG DALAM NOVEL KITAB OMONG

KOSONG KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA ...................................... 81

4.1 Ideologi Pengarang................................................................................... 82

4.1.1 Ideologi Pengarang Mengenai Kekuasaan...................................... 83

4.1.2 Ideologi Pengarang Mengenai Kaum Pinggiran ............................. 89

4.1.3 Ideologi Pengarang Mengenai Perempuan...................................... 93

4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta ............................................... 95

4.1.5 Ideologi Pengarang Mengenai Kebebasan...................................... 99

4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan........................... 105

4.2 Rangkuman Ideologi Pengarang .............................................................. 112

BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 115

5.1 Kesimpulan............................................................................................... 115

5.2 Saran......................................................................................................... 121

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 122

BIOGRAFI PENULIS.......................................................................................... 125

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelahiran suatu karya sastra tidak bisa dipisahkan dari keberadaan karya-

karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah dicerap oleh sang sastrawan (Pradopo,

1987: 228). Cerita inti Ramayana diperkirakan ditulis oleh Walmiki dari India

disekitar tahun 400 SM yang kisahnya dimulai antara 500 SM sampai tahun 200, dan

dikembangkan oleh berbagai penulis (http://www.karatonsurakarta.com/

ramayana.html). Salah satu contoh bentuk akulturasi Ramayana adala h wayang yang

banyak menggunakan pakem atau cerita Ramayana. Ramayana juga diadaptasi oleh

R.A. Kosasih sebagai dasar cerita dalam komiknya yang berjudul Ramayana.

Sindhunata mengangkat cerita Ramayana dalam novelnya yang berjudul Anak Bajang

Menggiring Angin. Novel Kitab Omong Kosong (selanjutnya disingkat KOK) karya

Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya Seno) juga menjadikan Ramayana sebagai dasar

cerita.

Penggunaan Ramayana sebagai dasar cerita membentuk suatu karya baru

yang menuntut pemahaman dan pendala man para pembaca atau penikmatnya.

Perbedaan maupun kejanggalan cerita sering ditemui dalam bentuk modifikasinya.

Hal ini bukanlah sesuatu yang tidak sengaja terjadi. Berbagai kejanggalan cerita ini

menjadi salah satu sarana pengarang untuk menuangkan ideologinya. Wellek dan

Austin Warren (1989: 134) mengungkapkan bahwa sastra sering dilihat sebagai suatu

1
2

bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Jadi,

sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.

Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin setia menggali cerita

Ramayana sesuai dengan pakem-nya, tetapi diekspresikan melalui bahasa yang indah

dan puitis. Karena gaya bahasa sastranya yang khas, karena imajinasi simboliknya

yang kaya, dan karena penggalian makna- makna filosofis yang dalam, buku ini tak

dapat dianggap sebagai sekadar salah satu versi dari kisah Ramayana, melainkan

sebagai penciptaan kembali kisah tradisional Ramayana ke dalam bentuk sebuah

kisah sastra (www.gramedia.com). Seno mengeksploitasi cerita Ramayana dengan

cara yang lebih unik. Seno memilih bahan dari kitab Ramayana yang tidak popular,

yaitu tragedi keluarga Rama setelah perang besar dengan Rahwana. Seno juga

memberi tafsir baru dalam cerita Ramayana. Rama yang biasanya merupakan tokoh

hero bagi masyarakat Jawa ditelanjanginya sebagai pemimpin yang tak menghargai

kesetiaan, ambisius, dan haus akan kekuasaan. Di tangan Seno, cerita-cerita dari

parwa terakhir Ramayana menjadi sangat membumi. Hal ini diwujudkan dengan

ditampilkannya dua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai penggerak cerita.

kehadiran Satya dan Maneka membuat cerita Ramayana tidak lagi terfokus pada

tokoh-tokoh raja dan ksatria.

Karya sastra menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam

interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, dan juga Tuhan. Karya sastra berisi

penghayatan sastrawan terhadap lingkungannya. Karya sastra bukan hasil kerja

lamunan belaka, melainkan juga penghayatan sastrawan terhadap kehidupan yang


3

dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab sebagai sebuah karya seni

(Nurgiyantoro, 1998: 3). Dalam proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra,

seorang sastrawan tidak begitu saja menuliskan semuanya. Melalui hasil pengamatan

dan penghayatan terhadap lingkungannya seorang sastrawan menciptakan sebuah

karya yang bisa dipertanggungjawabkan. Tidak jarang pula apa yang ditulis seorang

sastrawan merupakan pengalaman yang sungguh-sungguh dialaminya sendiri.

Seno Gumira Ajidarma dilahirkan di Boston, USA pada tanggal 19 Juni 1958.

Dia menyelesaikan program diploma dan S-1 dalam bidang film di Institut Kesenian

Jakarta (IKJ). Seno menempuh jenjang S-2 dalam bidang Filsafat di FIB UI. Dia

meraih gelar doktor dalam bidang Ilmu Susastra dengan disertasi berjudul Tiga Panji

Tengkorak: Kebudayaan dalam Perbincangan.

Latar belakang pendidikan yang pernah ditempuh Seno berpengaruh dalam

proses kreatif KOK. Ide maupun gagasan yang tertuang dalam karya sastra tentu

mengekspresikan pula jiwa pengarangnya. Sebuah karya sastra menjadi wadah

tersendiri bagi pengarang untuk menuangkan seluruh ide dan gagasannya ke dalam

bentuk yang tidak nyata. Tidak nyata yang dimaksudkan di sini adalah

ketersembunyian maksud yang terletak di dalam karya sastra. Selanjutnya karya

sastra juga mengusung ideologi yang dianut oleh pengarang. Ideologi

(http://id.wikipedia.org/wiki) adalah sebuah pemikiran yang mempunyai ide berupa

konsepsi rasional, yang meliputi akidah dan solusi atas seluruh problem kehidupan

manusia. Pemikiran tersebut harus mempunyai metode, yang meliputi metode untuk

mengaktualisasikan ide dan solusi tersebut, metode mempertahankannya, serta


4

metode menyebarkannya ke seluruh dunia. Metode yang digunakan Seno dalam KOK

adalah dengan mengungkapkan kehidupan kaum terpinggirkan sebagai bentuk

penyampaian aspirasinya. Pemikiran Seno diaktualisasikan dengan memunculkan

tokoh Satya dan Maneka. Kedua tokoh dari kalangan rakyat biasa sebagai tokoh

utama dalam alur Ramayana merupakan cara Seno mengungk ap sisi lain sebuah

cerita.

Rasa seni atau sense of art pengaranglah yang sebenarnya membuat kenyataan

menjadi kisah yang menarik dalam fiksi. Dalam rasa ini, kreativitas mengambil

peranan. Seorang pengarang yang memiliki rasa seni tinggi atau kreatif, tidak akan

melihat kenyataan sebagai kenyataan begitu saja. Kenyataan yang ia lihat tidak ia beri

makna umum sebagaimana masyarakat kebanyakan mengartikannya. Namun, ia

dapat melihat dengan sudut pandang yang berbeda, menciptakan dunia makna yang

tersendiri sehingga kenyataan atau pengalaman tersebut menjadi suatu hal yang

mengesankan bahkan memberi banyak pelajaran (Dahana, 2001: 59-60). KOK

sebagai karya sastra memuat ideologi Seno sebagai pengarang. Hal tersebut tentu

saja berhubungan erat pula dengan proses kreatif yang dilalui Seno sebelum menulis

KOK. Kreativitas itu tampak pada penambahan tokoh sentral Maneka dan Satya,

selain Rama dan Sinta. Adanya beberapa perbedaan ini menunjukkan hasil

pengendapan pengarang atas cerita Ramayana.

Seno tidak melihat Ramayana sebagai cerita yang mutlak harus diterima

kebenarannya. Seno membuat Ramayana-nya sendiri dalam KOK sebagai sarana

dalam penyampaian pandangan-pandangannya. Bukanlah hal yang mengherankan,


5

jika ditemui beberapa bagian ya ng dirasa tidak sesuai sama sekali dengan cerita

aslinya. Salah satu ketidaksamaan itu salah satunya terdapat dalam kutipan berikut:

Perempuan itu merangkak.


“Tidak juga Rama, titisan Batara Wisnu yang maha
Dan maha menghancurkan….” (Ajidarma, 2004:26)

Dalam kutipan tersebut digambarkan bahwa di balik sifatnya yang perkasa, Rama

titisan Batara Wisnu juga maha menghancurkan. Dalam budaya Hindu, Wisnu adalah

dewa pemelihara alam semesta, sedangkan dewa penghancur adalah Siwa.

Penjungkirbalikkan yang dilakukan Seno ini tentu berkaitan pula dengan ideologi dan

kepercayaan yang dianutnya. Ada maksud lain yang hendak disampaikan lewat cerita

ini. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 42) mengatakan bahwa dengan mengatakan semua

ini, saya bukannya ingin menjadi pahlawan. Saya hanya ingin menjelaskan gagasan-

gagasan macam apa yang ada di kepala saya ketika menulis cerita-cerita itu.

Ada yang berpendapat bahwa dalam berekspresi sastrawan bebas

memperlakukan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Akan tetapi, sastrawan dituntut

membuat alur cerita yang logis bagi tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang dari awal

dicitrakan dengan sifat tertentu, tidak logis bila memerankan cerita yang di luar

kemampuannya. Tidak logis tokoh yang sejak awal dicitrakan berprilaku buruk

kemudian menjadi baik tanpa sebab. Tokoh-tokoh ciptaan itu harus dihormati

kedaulatannya agar mereka berbicara sendiri, bukan karena kekuasaan sastrawan.

Keyakinan agama, pandangan hidup, bahkan ideologi politik seorang sastrawan juga
6

berpengaruh pada karyanya, tetapi kelogisan alur cerita harus dipertahankan oleh

sastrawan (Lubis, 1997: 4, 5, 7). Bukan tanpa sebab Seno menggambarkan tokoh

Rama sebagai dewa penghancur. Semula Rama seorang yang bijaksana dan lemah

lembut. Akan tetapi dia dibutakan oleh rasa cemburu dan kehilangan kepercayaannya

kepada Sinta sehingga Rama pun menjadi brutal dan kejam. Gelembung Rahwana

pembawa benih-benih kejahatan itupun mampu merasuk ke dalam diri Rama dan

membuatnya menjadi penghancur.

Sastrawan menulis karya sastra, antara lain, untuk menyampaikan model

kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat para tokoh. Dengan

karya sastranya, sastrawan menawarkan pesan moral yang berhubungan dengan sifat-

sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia. Sifat-sifat itu

pada hakikatnya universal, artinya diyakini oleh semua manusia. Pembaca diharapkan

dalam menghayati sifat-sifat ini dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan

nyata (Nurgiyantoro, 1998: 321). Pengarang kadang menjelmakan diri sebagai tokoh

dalam karyanya atau sekadar sebagai pencerita. Di sinilah pengarang mulai

menuangkan ide maupun gagasan, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penelitian ini akan menganalisis alur, tokoh, penokohan, dan pengarang implisit

sebelum menganalis ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong karya

Seno Gumira Ajidarma. Tokoh-tokoh utama dalam sebuah karya sastra biasanya

menjadi alat penting pengarang dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga

biasa menjelma sebagai orang lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa
7

disebut sebagai pengarang implisit. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan

keberadaan pengarang implisit menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang.

Plot merupakan cerminan atau bahkan berupa perjalanan tingkah laku para

tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan bersikap dalam menghadapi berbagai

masalah kehidupan (Nurgiyantoro, 1998:114). Dalam perjalanan ceritanya, para

tokoh mengalami konflik dan tegangan yang membuat karakter maupun

pemikirannya ikut berkembang pula. Dalam hal ini alur atau plot cerita berpengaruh

pada perkembangan pola pikir atau ideologi tokoh.

Ideologi merupakan suatu kerangka berpikir dalam menanggapi suatu

permasalahan. Seorang pengarang memiliki suatu ideologi yang terkandung dalam

karyanya. Ideologi pengarang adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut dan

dipercayai oleh seorang pengarang ketika dia hendak menuangkannya dalam karya

sastra. Althusser (dalam Barker, 2005: 76) mengatakan bahwa ideologi membentuk

kondisi-kondisi nyata kehidupan manusia, membentuk pandangan dunia yang dipakai

orang untuk hidup dan mengalami dunia.

Penelitian ini memfokuskan masalah ideologi pengarang dalam novel KOK

karya Seno melalui pendekatan ekspresif. Topik ini dipilih sebagai bahan penelitian

karena selama ini studi sastra mempunyai kecenderungan hanya tertuju pada karya

sastra itu sendiri. Karya sastra secara menyeluruh setidaknya melibatkan empat

aspek, yaitu aspek semesta yang menjadi latar penciptaan, pencipta yang menciptakan

sebuah karya, pembaca yang mengapresiasi karya, dan karya sastra itu sendiri sebagai

hasil dari proses kreatif yang dilakukan oleh seorang pengarang. Oleh karena itu,
8

studi sastra yang ideal seharusnya tidak hanya tertuju pada karya sastra semata, tetapi

harus pula memperhatikan aspek-aspek lain yang berhubungan dengan proses

penciptaan karya sastra tersebut. Salah satu aspek yang selama ini kurang mendapat

perhatian peneliti sastra adalah penelitian terhadap karya sastra sebagai proses kreatif

yang telah dituliskan pengarang, padahal terdapat banyak kemungkinan informasi

yang dapat digali untuk mendukung penelitian terhadap karya sastra.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, penulis

membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam

novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma?

1.2.2 Bagaimana pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma?

1.2.3 Bagaimana ideologi pengarang dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1.3.1 Mendeskripsikan alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama

dalam novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.


9

1.3.2 Menganalisis dan mendeskripsikan pengarang implisit dalam novel

Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

1.3.3 Menganalisis dan mendeskripsikan ideologi pengarang dalam novel

Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

1.4 Manfaat Hasil Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebut di atas, penelitian diharapkan

memberi manfaat sebagai berikut.

1.4.1 Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan

kritik sastra dan ilmu sastra, khususnya dalam telaah sastra dengan

pendekatan ekspresif.

1.4.2 Hasil penelitian ini diharapkan bisa membantu pembaca, peneliti,

maupun sastrawan dalam memahami ideologi pengarang yang

terkandung dalam sebuah karya sastra.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun

sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh

dalam karya sastra dengan ideologi pengarangnya.

1.4.4 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun

sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara pengarang implisit

dan ideologi pengarang.


10

1.4.5 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun

sastrawan dalam menafsirkan keterkaitan antara ideologi tokoh-tokoh

dalam karya sastra dengan perkembangan alur.

1.4.6 Penelitian ini diharapkan membantu pembaca, peneliti, maupun

sastrawan dalam memahami proses kreatif seorang pengarang dan

keterkaitannya dengan karya yang dihasilkan.

1.5 Tinjauan Pustaka

Mursidi (2005) dalam artikel berjudul Epik Ramayana dalam Berbagai

Narasi mengatakan bahwa setelah Walmiki tiada, kisah Ramayana lalu menjelma

menjadi ilham bagi para pujangga untuk menyalin serta menyadurnya dalam cerita

yang terus memikat sepanjang zaman. Menurutnya Seno bisa dikategorikan menulis

cerita Ramayana dengan ”versi lain”. Dalam KOK, Seno tak saja membongkar alur

cerita Ramayana dan mencoba menjadikan kisah Ramayana sebagai entry point,

untuk merangkai peristiwa demi peristiwa, tetapi juga memberikan sisipan cerita

dengan menambahkan dua tokoh sentral, Maneka dan Satya .

Mursadi (Ibid) juga menyebutkan bahwa meski terdapat perbedaan jalan

cerita, antara satu versi dengan versi yang lain, tetap saja inti dari kisah Ramayana

(karya Walmiki) tak terkurangi. Pesan dan nilai pelajaran itu, setidaknya bentuk

keteladanan tokoh utama yang bisa dijadikan cermin dalam menjalani hidup ini.

Sebab, di tengah ”krisis” keteladanan sekarang ini, figur Rama, Sinta (juga Maneka

dan Satya) telah memberikan gambaran akan sifat-sifat seorang ksatria, raja dan istri
11

yang baik. Apalagi, ”gelembung kejahatan” Rahwana —meminjam istilah Seno—

sampai kapan pun membumbung terus sebelum bumi ini kiamat, dan tugas kesatria

adalah menumpas kejahatan, berlaku adil, dan bijak.

Widijanto (2007) dalam tulisannya yang berjudul Membongkar Mitos Wayang

Kitab Omong Kosong Seno Gumira Ajidarma mengungkapkan bahwa pengarang

mencoba mengukuhkan kembali mitos pewayangan Ramayana sekaligus, pada

beberapa hal, mencoba memberontak dan membongkar mitos dan nilai- nilai tentang

Ramayana yang sudah mengakar di masyarakat.

Dalam tulisan Widijanto juga dipaparkan keberpihakan Seno kepada kaum

yang selama ini dipandang sebelah mata, yakni mereka yang tidak pernah dicatat

bahkan cenderung disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan. Widijanto

mengungkapkan bahwa munculnya tokoh baru, Satya dan Maneka, merupakan upaya

Seno untuk membongkar dan memberontak terhadap mitos pewayangan di Jawa.

Mitos pewayangan Jawa adalah kebudayaan ksatria, dalam arti bahwa konsep

manusia ideal dalam budaya wayang adalah satriya pinandita, cita-cita ksatria.

Munculnya tokoh Satya dan Maneka sebagai tokoh protagonis dari rakyat jelata yang

berhasil menyelamatkan kebudayaan dunia, maka robohlah mitos kebudayaan satriya.

Para satriya tak lebih mulia dari rakyat jelata. Rama, Laksmana, Wibisana, Sugriwa,

tak lebih luhur, lebih unggul, dan lebih mulia dibanding Satya anak petani atau

Maneka seorang pelacur.

Narendra (2007) dalam tulisannya yang berjudul Pengetahuan, Paranoia

Masa Depan dan Omong Kosong Tentang Dunia, Membaca Kitab Omong Kosong
12

Karya Seno Gumira Ajidarma mengatakan bahwa karya Seno ini seolah

merupakan penjelasan pasca-Ramayana. Dengan demikian, pertanyaan tentang

bagaimana kisah Ramayana berlanjut seolah terjawab. Pengetahuan yang dicari

dalam Kitab Omong Kosong disebut Narendra pada praktiknya menjadi proyeksi

pemenuhan hasrat manusia, yang disalahfungsikan sebagai alat untuk merayu,

mengorupsi, menipu, serta menggoda. Hal itu akan terjadi jika pengetahuan

dihubungkan secara intim dengan hasrat. Namun hasrat manusia tidak selalu “jahat”.

Terkadang hasrat itu muncul semata karena keingintahuan manusia akan masa

depannya. Suatu hal yang tubuh manusia tak sanggup lakukan adalah mengetahui

masa depan dan hal itulah yang menjadi kelemahan utama tubuhnya, dengan berbagai

kelengkapan indera yang ada. Pengetahuan seolah menjadi jawaban manusia

untuk mengatasi tubuhnya. Lebih lanjut lagi, semakin manusia mengekplorasi

pengetahuan, semakin pula ia mengetahui bahwa masih sangat banyak hal yang

belum diketahuinya, dan semakin merasa terkurunglah ia dalam penjara tubuhnya.

Narendra (ibid) juga menyebut jika pada akhirnya pertanyaan manusia

sepanjang hayat tentang masa depan kembali pada “desire”, maka tidak heran jika

Kitab Keheningan yang menjadi bagian penutup Kitab Omong Kosong itu

hanya berisi lembaran kosong. Siklus paranoia masa depan, hasrat dan pengetahuan

akan terulang. Pengetahuan diciptakan manusia untuk omong kosong belaka. Berarti,

manusia menjadi paranoid oleh omong kosongnya sendiri.


13

Dengan demikian, dari paparan penelitian yang pernah dilakukan terhadap

novel KOK di atas, topik penelitian mengenai ideologi pengarang belum pernah

dibahas.

1.6 Landasan Teori

1.6.1 Alur

Nurgiyantoro (1998: 111) mengatakan bahwa untuk menyebut plot,

secara tradisional, orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan

cerita. Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1998:113) mengemukakan bahwa plot

adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Plot sebuah cerita bagaimanapun tentulah mengandung unsur urutan

waktu, baik dikemukakan secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu,

dalam sebuah cerita, sebuah teks naratif, tentulah ada awal kejadian, kejadian-

kejadian berikutnya dan barangkali ada pula akhirnya. Namun, plot sebuah

karya fiksi sering tak menyajikan urutan peristiwa secara kronologis dan

runtut, melainkan penyajian yang dapat dimulai dan diakhiri dengan kejadian

yang mana pun juga tanpa adanya keharusan untuk memulai dan mengakhiri

dengan kejadian awal dan kejadian (ter-)akhir. Dengan demikian, tahap awal

cerita tidak harus berada di awal cerita atau di bagian awal teks, melainkan

dapat terletak di bagian mana pun.


14

Menurut Aristoteles untuk memperoleh keutuhan sebuah plot


cerita, sebuah plot haruslah terdiri dari tahap awal (beginning), tahap
tengah (middle), dan tahap akhir (end).
1. Tahap awal
Tahap awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap
perkenalan. Pada tahap awal cerita, di samping untuk
memperkenalkan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita, konflik
sedikit demi sedikit juga sudah mulai dimunculkan.
2. Tahap tengah
Tahap tengah cerita yang dapat juga dicebut sebagai tahap
pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah
mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin
meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat
berupa konflik internal, konflik yang terjadi dalam diri seorang
tokoh, konflik eksternal, konflik atau pertentangan yang terjadi
antar tokoh cerita, antara tokoh (-tokoh) protagonist dan tokoh (-
tokoh) antagonis, atau keduanya sekaligus. Dalam tahap tengah
inilah klimaks ditampilkan, ya itu ketika konflik (utama) telah
mencapai titik intensitas tertinggi.
3. Tahap akhir
Tahap akhir sebuah cerita, atau dapat juga disebut tahap peleraian,
menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks.
(dalam Nurgiyantoro, 1998:142-146)

Tasrif membedakan plot menjadi lima bagian. Kelima tahapan


itu adalah sebagai berikut.
1. Tahap situation: tahap penyituasian
2. Tahap generating circumstances: tahap pemunculan konflik
3. Tahap rising action: tahap peningkatan konflik
4. Tahap climax: tahap klimaks
5. Tahap denouement : tahap penyelesaian
(dalam Nurgiyantoro, 1998:149-150)

Nurgiyantoro (1998:153) mengemukakan bahwa pembedaan plot

berdasarkan kriteria urutan waktu, secara teoritis dapat dibedakan plot ke

dalam dua kategori: kronologis dan tak kronologis. Yang pertama disebut

sebagai plot lurus, maju, atau dapat juga dinamakan progresif, sedang yang
15

kedua adalah sorot-balik, mundur, flash back, atau dapat juga disebut sebagai

regresif.

Plot sebuah novel dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa ya ng

dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti oleh

(atau:menyebabkan terjadinya) peristiwa-peristiwa yang kemudian. Atau,

secara runtut cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan,

pemunculan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir

(penyelesaian), sedangkan urutan kejadian yang dikisahkan dalam karya fiksi

yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak dimulai dari tahap

awal (yang benar-benar merupakan awal cerita secara logika), melainkan

mungkin dari tahap tengah atau bahkan akhir, baru kemudian tahap awal

cerita dikisahkan (Nurgiyantoro, 1998:154).

1.6.2 Tokoh dan Penokohan

Tokoh menurut Abrams adalah orang-orang yang ditampilkan dalam

suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki

kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti diekspresikan dalam ucapan

dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Nurgiyantoro, 1988: 165).

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 1998:165) penokohan adalah

pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam

cerita. Sudjiman (1988:23) mengatakan bahwa penyajian watak tokoh dan

penciptaan citra tokoh disebut penokohan.


16

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam

novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak

diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian,

tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui dalam

tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1998: 176).

Pada novel- novel lain, tokoh utama tidak muncul dalam setiap

kejadian, atau tak langsung ditunjuk dalam setiap bab, namun ternyata dalam

kejadian atau bab tersebut tetap erat berkaitan, atau dapat dikaitkan, dengan

tokoh utama (Nurgiyantoro, 1998: 177).

Karena tokoh utama paling banyak diceritakan dan selalu berhubungan

dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara

keseluruhan. Ia selalu hadir sebagai pelaku atau yang dikenai kejadian dan

konflik penting yang mempengaruhi perkembangan plot. Tokoh utama dalam

sebuah novel, mungkin lebih dari seorang, walau kadar keutamaannya tak

(selalu) sama (Nurgiyantoro, 1998: 177).

1.6.3 Pengarang Implisit

Penulis nyata adalah pengarang sendiri yang terlibat dan bertanggung

jawab terhadap kalimat-kalimat yang diajukan dalam karyanya. Jadi kalimat-

kalimatnya sesuai dengan intensi pengarang itu sendiri, namun intensi itu

bukanlah rencana yang dipikirkan sebelum penciptaan/motif yang mendorong


17

penulisan, melainkan apa yang diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan

dalam karyanya (Taum, 1997:29).

Implied author atau pengarang adalah seseorang yang ada di balik

pengarang dan dipakai pada saat menulikan karyanya (Taum, 1997: 28). Yang

dimaksud implied author ialah sebuah instansi yang tersembunyi diandaikan

oleh erita dan yang lain daripada juru cerita. Setiap cerita merupakan hasil

sebuah seleksi, evaluasi dan merupakan perpaduan dari unsur- unsur sosial,

moral dan emosional. Implied author berdiri di tengah-tengah si juru cerita

dan pengarang sendiri. Juga disebut persona poetica yang lain dari persona

practica (pengarang sendiri) (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 64).

1.6.4 Ideologi

Ideologi adalah ajaran yang menjelaskan suatu keadaan, terutama

struktur kekuasaan,sedemikian rupa sehingga orang menganggapnnya sah,

padahal tidak sah. Ideologi melayani kepentingan kelas berkuasa karena

memberikan legitimasi kepada suatu keadaan yang sebenarnya tidak memiliki

legitimasi (Magnis-Suseno,2001: 22)

Gramsci menyebut ideologi dalam pengertian yang luas adalah suatu

konsepsi mengenai dunia yang secara implisit memanifestasikan dirinya

dalam seni, hukum, aktivitas ekonomi, dan dalam kehidupan individual

maupun kolektif. Fungsi dari ideologi adalah pemeliharaan persatuan blok

sosial yang menyeluruh, sebagai penyemen dan alat pemersatu antara


18

kekuatan-kekuatan sosial yang sesungguhnya bertentangan (Pujiharto 2001:

9).

Lebih lanjut Pujiharto (2001: 9) menyatakan bahwa dalam praktiknya,

ideologi ini dijabarkan kaum intelektual dalam rangka mengemban tugas

melaksanakan reforma si moral dan intelektual. Tugas yang dilaksanakan itu

bukan dalam ruang kosong. Sifat perjuangan ideologi tidaklah sepenuhnya

dari permulaan. Perjuangan itu adalah proses transformasi beberapa unsur

untuk disusun kembali dan dikombinasikan dengan cara yang berbeda dengan

inti baru atau prinsip pokok. Sistem ideologi tidak bisa dibuat sekali jadi

sebagai jenis konstruksi intelektual yang dikerjakan oleh para pemimpin

partai politik. Ia harus dihadapkan dan secara bertahap dibangun melalui

perjuangan politik dan ekonomi dan karakternya akan bergantung pada

hubungan berbagai kekuatan yang ada selama ia dibangun.

Menurut arti yang umum ideologi menunjukkan ide- ide yang

mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok

tertentu. Dalam kalangan Marxis ideologi berarti sejumlah keyakinan yang

dianut oleh suatu golongan tertentu dan yang dianggap tidak perlu dibuktikan

lagi, tetapi yang sebetulnya menghalalkan kepentingan golongan tertentu itu.

Di sini ideologi berarti ideologi yang sedang berkuasa tetapi yang keliru dan

menyesatkan. Alam pikiran yang ditentukan oleh hubungan ekonomis

mempergunakan sarana-sarana ideologis yang melestarikan dan meneguhkan

ideologi tertentu itu. Adapun sarana-sarana itu misalnya tata hukum, sistem
19

pendidikan, kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan

sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut Cicero dan kaum Humanis juga

mengandalkan suatu ideologi. Sastra pun dapat dijadikan sarana untuk

mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian

kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa.

Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi

tertentu (Hartoko dan B. Rahmanto, 1986: 62).

Menurut Magnis-Suseno (1992: 43), ideologi dimaksud sebagai

keseluruhan sistem berpikir, nilai- nilai dan sikap dasar rohaniah sebuah

gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat dimengerti sebagai

suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok sosial, sejarahnya

dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu bentuk

hubungan kekuasaaan. Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi

mempolakan, mengkonsolidasikan dan menciptakan arti dalam tindakan

masyarakat. Ideologi yang dianutlah yang pada akhirnya akan sangat

menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok orang memandang sebuah

persoalan dan harus berbuat apa untuk menyikapi persoalan tersebut. Dalam

konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat penting, namun seringkali

diabaikan.

Ideologi merupakan pandangan dunia (world view) yang, menurut

Geertz, berupa konsepsi-konsepsi tentang alam, diri, dan masyarakat. Ideologi

atau pandangan dunia inilah yang menjadi latar belakang bagi sudut pandang
20

yang diambil tokoh-tokoh cerita untuk melihat di dalam atau di luar dirinya

(Budiman, 1994: 46).

Berdasarkan berbagai teori mengenai ideologi yang telah diungkapkan

di atas, penulis membatasi pengertian ideologi sebagai sistem kepercayaan,

kerangka berpikir, pandangan dunia yang menjadi acuan seseorang dalam

menerangkan setiap permasalahan hidup.

1.6.5 Pendekatan ekspresif

Pendekatan ekspresif menurut Ratna (2004:68) lebih banyak

memanfaatkan data sekunder, data yang sudah diangkat melalui aktivitas

pengarang sebagai subjek pencipta, jadi sebagai data literer. Menurut Taum

(1997: 28) teori ekspresif adalah pendekatan yang digunakan dalam

berpedoman atau berpegang pada biografis pengarang.

Kritik ekspresif (expressive criticism) memandang karya sastra

terutama dalam hubungannya dengan penulis sendiri. Kritik ini

mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau

ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja

dengan persepsi-persepsinya, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya

(Pradopo, 1988: 32).

Ekspresivisme pertama kali dipelopori oleh Longinus. Ia menyatakan

bahwa ciri khas dan ukuran seni sastra yang bermutu adalah keluhuran (yang

luhur, agung, unggul, mulia) sebagai sumber utama pemikiran dan perasaan
21

pengarang. Sumber keluhuran itu antara lain karya yang mengekspresikan

daya wawasan yang agung, emosi yang mulia, retorika yang unggul,

pengungkapan dan penggubahan yang mulia (Ibid).

1.7 Metode Penelitian

1.7.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

teknik catat atau library search. Teknik catat atau library search dilakukan

dengan mempelajari berbagai literasi mengenai topik yang diangkat. Teknik

catat atau library search yaitu teknik penyediaan data dengan cara mencatat

data-data yang dijadikan objek penelitian. Menurut Ratna (2004: 39)

penelitian ini terbatas pada pemanfaatan teknik kartu data. Pelaksanaannya

yaitu dengan menelaah data-data kepustakaan yang berhubungan dengan

objek penelitian ini, yaitu ideologi pengarang dalam novel KOK karya Seno

dengan menggunakan pendekatan ekspresif.

1.7.2 Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan ekspresif dan pendekatan

struktural. Pendekatan ekspresif untuk menganalisis pengarang implisit dan

ideologi pengarang dalam KOK. Pendekatan struktural yang digunakan hanya

untuk telaah alur, tokoh dan penokohan. Telaah alur, tokoh dan penokohan
22

melalui pendekatan struktural digunakan untuk mendeskripsikan alur, tokoh

utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK.

1.7.3 Metode

Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitik. Menurut

Keraf (1981) metode analisis merupakan cara membagi suatu objek yang

berupa gagasan-gagasan, organisasi, makna struktur maupun proses ke dalam

komponen-komponennya. Metode ini digunakan untuk menguraikan suatu

pokok permasalahan agar memperoleh pengertian dan pemahaman yang tepat.

Sedangkan metode deskriptif adalah metode melukiskan sesuatu yang

digunakan untuk memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang

dilakukan.

1.8 Sumber Data

Novel : Kitab Omong Kosong

Pengarang : Seno Gumira Ajidarma

Tahun terbit : 2004

Tebal buku : vii + 623

Cetakan : Pertama

Penerbit : Bentang
23

1.9 Sistematika Penyajian

Penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Sistematika penyajian dalam

penelitian ini sebagai berikut:

Bab I merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, sumber data, dan sistematika penyajian.

Bab II berisi analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam

novel Kitab Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

Bab III berisi analisis pengarang implisit dalam novel Kitab Omong Kosong

karya Seno Gumira Ajidarma.

Bab IV berisi analisis ideologi pengarang yang terdapat dalam novel Kitab

Omong Kosong karya Seno Gumira Ajidarma.

Bab V merupakan penutup yang berisi kesimpulan hasil analisis data dan

saran. Bagian ini diakhiri dengan daftar pustaka.


BAB II

ALUR, TOKOH UTAMA, DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Alur dan tokoh merupakan bagian penting dalam sebuah cerita. Melalui

tokohlah sebuah cerita dapat disampaikan kepada para pembaca. Melalui watak dan

kebiasaannya, tokoh meleburkan diri dalam penceritaan. Melalui tokoh-tokoh pula,

seorang pengarang menyampaikan ide dan gagasannya. Berbagai hal yang mewakili

pikiran pengarang disampaikan melalui tokoh-tokoh dalam karyanya. Melalui alur,

dapat dilihat perkembangan karakter tokoh. Perkembangan alur membuat tokoh

memiliki cara berpikir yang juga ikut berkembang.

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 1998: 165) tokoh adalah orang-orang

yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau dalam drama yang oleh pembaca

akan ditafsirkan secara moral. Penafsiran ini cenderung melihat pada ekspresi,

ucapan, dan tindakan yang dilakukan oleh tokoh. Menurut Sudjiman (1988: 30)

sesungguhnya pengaluran adalah pengaturan urutan penampilan peristiwa untuk

memenuhi beberapa tuntutan. Dengan demikian peristiwa-peristiwa dapat juga

tersusun dengan memperhatikan hubungan kausalnya (sebab-akibat).

Tokoh utama merupakan pemegang peranan paling penting dalam sebuah

cerita. Kehadiran tokoh utama menjadikan sebuah cerita lebih hidup dan penuh

makna. Melalui tokoh-tokoh utama pula konflik berkembang. Terjadinya interaksi

24
25

antara tokoh utama dengan tokoh lain serta lingkungannya dalam perkembangan alur

membuat seorang tokoh memiliki pola pikir atau pandangan tertentu dalam

memahami masalah- masalah kehidupan. Interaksi tokoh utama dengan tokoh lain

maupun lingkungannya terjalin dalam satu kesatuan alur.

Analisis ideologi pengarang dalam KOK dapat dilakukan setelah melihat

bagaimana alur, tokoh utama dan penokohan kelima tokoh utama, yaitu Rama,

Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data

tentang cara berpikir, karakter dan ideologi para tokoh utama melalui ekspresi,

ucapan, dan tindakan yang dilakukannya. Melalui tokoh dan penokohan dapat dilihat

bagaimana tokoh-tokoh utama menuangkan ideologi ataupun pemikirannya. Melalui

penelusuran alur, dapat dilihat bagaimana perkembangan pola pikir maupun karakter

para tokoh utama.

2.1 Alur

KOK beralur maju. Cerita dalam KOK disusun urut dari awal sampai akhir.

Peristiwa dalam KOK disusun secara kronologis. Di bagian tengah novel ini,

diselipkan beberapa dongeng dan cerita yang dituturkan Satya. Akan tetapi, kehadiran

cerita lain ini tidak mengubah alur KOK.

KOK dibagi dalam tiga bab. Bab I Persembahan Kuda, bab II Perjalanan

Maneka, bab III Kitab Omong Kosong. Tiap bab mempunyai fokus penceritaan yang

berbeda-beda, tetapi saling berhubungan. Bab I menceritakan riwayat Rama dan Sinta

pasca-penculikan Sinta oleh Rahwana. Di sini juga diceritakan bagaimana Rama


26

meragukan kesetiaan Sinta. Sinta meyakinkan Rama dan seluruh rakyat Ayodya

bahwa dirinya masih suci dan cintanya tetap kepada Rama. Akan tetapi, rakyat

Ayodya tidak mempercayainya. Rama yang masih mencintai Sinta akhirnya

terpengaruh omongan rakyatnya, dan ia memilih keinginan rakyatnya untuk mengusir

Sinta. Cinta dan kuasa, dilema bagi Rama, tetapi kuasalah akhirnya yang dipilih oleh

Rama.

Rama yang mulai terpengaruh Gelembung Rahwana melakukan Persembahan

Kuda untuk menaklukkan anak benua. Persembahan Kuda adalah upacara memantrai

kuda, kemudian melepaskan kuda tersebut lari sebebasnya. Daerah-daerah yang

dilewati oleh kuda yang telah dimantrai tersebut harus tunduk dan takhluk pada

negara atau raja yang melakukan Persembahan Kuda. Akibatnya, hancurlah semua

wilayah yang dilalui oleh pasukan tersebut. Kuda ya ng digunakan untuk

Persembahan Kuda tersebut berasal dari rajah di punggung seorang pelacur. Bab ini

juga menceritakan perpecahan yang mulai terjadi antara Rama dan Hanoman. Bab ini

berjalan terus hingga pasukan Ayodya dan balatentara Gua Kiskenda dikalahkan oleh

dua orang anak kembar berusia belasan tahun bernama Lawa dan Kusa yang tak lain

adalah anak kandung Rama. Bab ini ditutup dengan kematian Rama dan Sinta.

Bab II dimulai dengan perkenalan pelacur bernama Maneka yang mempunyai

rajah kuda yang digunakan dalam Persembahan Kuda. Maneka bertemu Satya, anak

laki- laki berusia 16 tahun yang menjadi salah satu korban kekacauan Persembahan

Kuda. Ditemani Satya, Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki. Mereka


27

berdua melakukan petualangan berkeliling negeri untuk mencari Walmiki sang

pendongeng yang konon sang pembuat cerita Ramayana.

. Bab ini berisi perjuangan Maneka dan Satya, dua orang anak muda yang

berusaha mengubah nasibnya. Satya menemani Maneka yang ingin menggugat

Walmiki atas nasibnya yang malang. Dalam perjalanannya, mereka mengalami

banyak petualangan. Selama petualangan itulah lebih banyak kisah pewayangan

diungkap. Selama perjalanan ini pula mereka menemukan sebuah misi baru, yaitu

mencari Kitab Omong Kosong yang terbagi menjadi lima bagian. Bab ini ditutup

dengan ditemukannya bagian pertama Kitab Omong Kosong.

Bab III dimulai dengan pertemuan Maneka-Satya dengan Hanoman. Setelah

melalui perjuangan panjang keduanya berhasil mencapai Gunung Kendalisada dan

bertemu Hanoman yang menyimpan Kitab Omo ng Kosong. Selama pertemuan itu,

Hanoman memberi petunjuk tentang pencarian Kitab Omong Kosong. Setelah itu

Satya dan Maneka melanjutkan perjalanan untuk mencari bagian-bagian lain dari

Kitab Omong Kosong. Bab ini menceritakan penemuan-penemuan bagian Kitab

Omong Kosong oleh Satya dan Maneka. Bab ini ditutup dengan kematian Hanoman

dan kelanjutan hidup Maneka-Satya.

Bagian awal cerita dimulai dengan peristiwa Persembahan Kuda yang

dilakukan Rama sebagai Raja Ayodya untuk menaklukkan anak benua. Awal cerita

dimulai dengan kegemparan yang diakibatkan balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda

yang menghancurkan dan memusnahkan apa pun yang mereka lewati. Negara yang

tunduk dan mau menyerah akan aman, tetapi negara yang menolak untuk tunduk pada
28

Ayodya akan dibumihanguskan. Peristiwa ini merupakan tahap pengenalan dalam

KOK, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut.

(1) Dari atas bukit, anak-anak itu melihat seekor kuda putih berlari
melintasi padang rumput (Ajidarma, 2004: 9)
(2) Balatentara yang membuat bumi berge tar itu menyapu para
jagabaya dan penduduk desa bagaikan air bah. Orang-orang itu
mati dilindas kaki-kaki kuda tanpa sempat berteriak lagi, yang
masih berdiri dihujam sekian banyak tombak begitu rupa sehingga
tubuhnya terpancang tidak menyentuh bumi. Sejuta pasukan kuda
yang perkasa masuk desa, memburu siapa pun yang masih
berlarian dengan panah, tombak, maupun kelewang. Tanpa ampun
desa itu dibakar. Rumah-rumah diambrukkan, patung-atung
dilempar ke dalam api, tempat pemujaan dihancurkan, segalanya
dilenyapkan sampai tidak ada lagi yang tersisa. Sapi, kambing,
kucing, dan ayam pun dimusnahkan. Ketika desa itu mereka
tinggalkan, semuanya sudah rata dengan tanah. (Ajidarma, 2004:
13)

Cerita berlanjut dan dikisahkan Shinta yang terlunta- lunta di hutan setelah

dirinya pergi dari Ayodya karena kesetiaannya pada Rama diragukan rakyat Ayodya

dan oleh Rama sendiri. Sinta yang sedang mengandung putra Rama, menjadi

pemaisuri yang terusir dari negerinya sendiri. Ia tersaruk-saruk di hutan, meratapi

nasibnya seperti telihat dalam kutipan (3). Para siluman pun merasa iba dengan

keadaan Sinta yang sangat menyedihkan itu. Mereka membawa Sinta keluar dari

hutan dan meletakkannya di rumah seorang pertapa bernama Walmiki. Bagian ini

mulai menampilkan konflik

(3) Dari hari ke hari, dari malam ke malam, perempuan itu berjalan
tersaruk-saruk kadangkala bahkan merangkak-rangkak dan
merayap-rayap. (Ajidarma, 2004: 23)
(4) Maka para siluman yang tidak memiliki tubuh, tetapi memiliki
hati itu berusaha meringankan penderitaannya. Ketika perempuan
itu tertidur, mereka memindahkannya keluar dari rimba.
Perempuan itu merasa seperti bermimpi ketika merasa dirinya
29

terbang melayang menembus rimba raya. Para siluman


meletakkannya di tepi sebuah sungai di luar rimba, tak jauh dari
pondok seorang pertapa. (Ajidarma, 2004: 33)

Konflik berlanjut ketika Hanoman dan Rama mulai berselisih paham.

Hanoman yang tidak setuju dengan tindakan Rama mengusir Sinta dan melakukan

Persembahan Kuda, memutuskan untuk pergi dari Ayodya seperti terlihat dalam

kutipan (5). Pada bagian awal cerita juga mulai ditampilkan tokoh Satya dan Maneka

sebagai korban Persembahan Kuda. Pada bagian ini juga mulai diceritakan

pengenalan konflik pada diri Satya dan Maneka.

(5) ”Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku


Hanoman tidak akan datang. Sejak semula sudah kukatakan
seluruh Ayodya bersalah ketika kesucian Sinta dipersoalkan. Aku
sendiri yang membawa cincin kesetiaan itu ke Alengka. Kita
semua sudah membuktikan sekali lagi kesucian seorang
perempuan, dengan pembakaran. Apalagi yang harus dibuktikan?
Lagi pula, di dalam cinta, kesucian tidak usah dipersoalkan...”
(Ajidarma, 2004: 76)

Konflik berlanjut ketika pasukan Ayodya dan Goa Kiskenda mendapat lawan

yang tangguh. Mereka adalah Lawa dan Kusa yang tak lain putra kembar Rama dan

Sinta. Lawa dan Kusa yang berhasil mengalahkan pasukan Ayodya dan Goa

Kiskenda membuat Rama penasaran dan memanggil mereka. Saat keduanya

menembangkan Ramayana, seperti yang diperintahkan Walmiki, Rama menyadari

bahwa mereka adalah putranya dan berniat memboyong Lawa, Kusa dan Sinta

kembali ke Ayodya. Rama yang berniat membawa Sinta serta kedua putranya

kembali ke Ayodya, lagi- lagi melakukan kesalahan fatal. Rama kembali


30

mempertanyakan kesucian Sinta. Sinta marah sehingga dia moksa ke dalam bumi.

Rama pun akhirnya menemui ajalnya dan moksa.

(6) Ketika melihat Lawa dan Kusa, Sugriwa merasa sangat kecewa.
Balatentara Ayodya dikalahkan dua remaja? (Ajidarma, 2004: 70)
(7) Di istana Ayodya, Lawa dan Kusa menembangkan Ramayana.
(Ajidarma, 2004: 79)
(8) Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta
mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan Sinta
melayang ke bawah tanpa suara. (Ajidarma, 2004: 89)

Cerita beralih pada Maneka, seorang pelacur yang malang. Maneka memiliki

rajah kuda di punggung. Rajah kuda itu adalah kuda yang digunakan Rama untuk

Persembahan Kuda. Setelah Persembahan Kuda berakhir, kuda itu kembali ke

punggung Maneka. Akibatnya, seisi kota, pria maupun wanita, ingin tidur dengan

Maneka. Maneka mengalami konflik batin karena hal tersebut. Dia sebenarnya tidak

ingin menjadi seorang pelacur. Karena ayahnyalah dirinya menjadi pelacur. Maneka

dijual ke rumah bordil dan dijadikan pelacur karena ayahnya sangat miskin dan

membutuhkan uang. Maneka semakin tersiksa ketika penduduk kota berebut ingin

tidur dengannya, hanya karena dirinya memiliki rajah kuda yang digunakan untuk

Persembahan Kuda.

(9) Semenjak peristiwa itu kehidupan Maneka penuh dengan


penderitaan. Hampir semua pria maupun wanita di kota itu ingin
tidur dengan Maneka. Maneka sang pelacur muda yang penuh
pesona kini menjadi perempuan yang paling menderita.
(Ajidarma, 2004: 105)

Karena konflik batin yang begitu menyiksanya, Maneka memutuskan untuk

melarikan diri dari rumah pelacuran itu. Ditemani Sarita, sahabatnya dan seorang pria

bersorban yang tak dikenalnya, Maneka berhasil lari. Maneka berhasil lolos dari
31

kejaran pemilik rumah bordil, tetapi Sarita dan pria bersorban mati dan menjadi

korban. Maneka bertemu Satya yang menyelamatkannya dari derasnya arus sungai.

Maneka memutuskan untuk mencari Walmiki, empu yang meriwayatkan Ramayana,

dan berniat menggugat jalan cerita yang telah dituliskan untuknya. Satya mulai

mengalami konflik batin karena dirinya jatuh cinta pada Maneka, tetapi Maneka tidak

menanggapinya. Karena rasa sayangnya pada Maneka, Satya memutuskan untuk

menemani Maneka melakukan perjalanan mencari Walmiki.

(10) Dari jendela terlihat sesosok tubuh semapai melompat langsung


masuk ke dalam keranjang di punggung keledaiitu. Kemudian
muncul sesosok lagi, juga semampai, lantas masuk juga ke dalam
keranjang. Lelaki bersorban itu lantas menutupi keranjang-
keranjang itu dengan tumpukan sabut kelapa. (Ajidarma, 2004:
110)
(11) ”Jadi kau mau mencari Walmiki ke mana pun dia pergi?”
”Ya, aku ingin mengubah nasib yang telah ditulisnya untukku.”
(Ajidarma, 2004: 123-124)
(12) Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka
memaksakan diri untuk mengantarnya. (Ajidarma, 2004: 125)

Konflik berlanjut ketika Satya dan Maneka kebingungan ke mana harus

mencari Walmiki. Keduanya kemudian menemukan petunjuk mencari Walmiki ke

arah senja. Akan tetapi, selama perjalanan mereka, keduanya selalu berselisih jalan

dengan Walmiki. Ketika keduanya tiba di suatu tempat, ternyata Walmiki telah

berada di tempat tersebut sebelumnya. Selama dalam perjalanan mencari Walmiki,

konflik batin terus melingkupi Satya dan Maneka. Satya yang menjadi korban

Persembahan Kuda semakin sedih dan perih hatinya menyaksikan kehancuran dan

kerusakan yang diakibatkannya. Satya yang memendam rasa cintanya pada Maneka,

semakin bertambah besar cintanya, tetapi cintanya tak berbalas. Sementara itu,
32

Maneka mengetahui perasaan yang dipendam Satya untuknya, tetapi masa lalunya

tidak memberinya celah untuk menerima cinta seorang pria.

(13) ”Inilah jalan ke arah senja, jika kita masih mau mencari
Walmiki.” (Ajidarma, 2004: 131)
(14) ”Lihat,” kata Satya, ”itu orang-orang yang kehilangan
keluarganya. Tidak ada seorang pun di seluruh anak benua yang
tidak kehilangan keluarganya karena Persembahan Kuda.
Banyak keluarga yang habis musnah seluruhnya, meninggalkan
rumah-rumah kosong.” (Ajidarma, 2004: 155)
(15) Maneka dengan segala kepahitan pengalamannya, tak pernah
mampu mengarahkan perasaan dan pikiran ke arah percintaan.
Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya terkadang
bergelora, dan sungguh memendam cinta diam-diam, sangat
rapat menahan diri dan menjaga kepribadian.” (Ajidarma, 2004:
161)

Selama perjalanan, Satya banyak menuturkan cerita seperti kisah Lubdhaka,

Siwaratrikalpa dan lain sebagainya. Maneka sangat senang mendengarkan kisah-kisah

yang dituturkan Satya, sehingga Maneka selalu meminta Satya untuk mendongeng

untuknya. Maneka yang bodoh selalu ingin belajar membaca dan menulis, sehingga

dia tidak malu- malu meminta satya untuk mengajarinya. Konflik lain terjadi ketika

keduanya mulai kehabisan ongkos dalam perjalana n mencari Walmiki. Satya berhasil

bekeraja di sebuah perpustakaan sebagai penyalin buku. Tugasnya adalah menuliskan

kembali buku-buku yang masih tersisa setelah bencana Persembahan Kuda.

(16) Setelah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan
asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi tim penyalin
naskah di perpustakaan negara. (Ajidarma, 2004: 159)
(17) Maka, berceritalah Satya tentang Lubdhaka...(Ajidarma, 2004:
168)

Konflik meningkat ketika Satya dan Maneka bertemu seorang penunggang

kuda yang memberi mereka sebuah peta yang menunjukkan keberadaan sebuah kitab
33

yang menjadi rebutan yaitu Kitab Omong Kosong. Kitab Omong Kosong disebut-

sebut sebagai kitab yang berisi segala ilmu pengetahuan sehingga mampu

mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang musnah akibat Persembahan

Kuda. Barangsiapa berhasil mendapatkan kelima bagian dari Kitab Omong Kosong,

dia akan mampu menguasai dunia. Maneka merasa bahwa mereka berdua harus

mencari kitab tersebut. Sementara itu, Satya mengingatkan Maneka untuk fokus ke

tujuan awal mencari Walmiki. Maneka bersikeras bahwa mencari kitab terlebih

dahulu, kemudian mencari Walmiki. Mereka pun memutuskan untuk mencari kelima

bagian Kitab Omong Kosong, walaupun arah yang mereka tempuh berlawanan

dengan arah perginya Walmiki.

(18) ”Tanda-tanda silang ini pasti suatu tempat yang penting, kalu
tidak mengapa ia harus menyelamatkannya sampai kehilangan
nyawa?” Satya bertanya-tanya.
”Ke selatan katanya,” Maneka menyahut, ”apa maksudnya?”
”Mungkin tempat-tempat ini ada di arah selatan.”
”Mungkin bukan selatan, tetapi orang yang harus menerima peta
ini ada di selatan.”
”Mungkin bukan semuanya, tapi ia meminta kita membawanya
ke selatan.”
”Tujuan kita ke arah matahari terbenam, apakah kita akan
berbelok ke selatan?” (Ajidarma, 2004: 194-195)

Masalah kembali muncul karena ternyata Kitab Omong Kosong disimpan

oleh Hanoman di Gunung Kendalisada, padahal menurut cerita gunung tersebut

hanya ada dalam dongeng. Awalnya meraka ragu bisa menemukan tempat tersebut,

tetapi Satya dan Maneka memantapkan langkah dan tetap mencari kitab tersebut.

Dalam perjalanan, Satya menceritakan riwayat Hanoman sang wanara.


34

(19) ”Kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman yang bijaksana.


Persoalan yang muncul kemudian, tidak ada seorang pun yang
mengetahui di mana Sang Hanoman bersemayam.”
”Bukankah ia tinggal di Gunung Kenalisada?”
”Memang, tapi di manakah Gunung Kendalisada itu? Kita hanya
mengetahui nama gunung yang menjadi tempat pertapaannya itu
dari cerita Walmiki. Dalam kenyataannya, tidak seorang pun
pernah mengetahui adanya Gunung Kendalisada itu.” (Ajidarma,
2004: 201)
(20) Meskipun Maneka tahu betapa kebenaran perkara ini sulit
diperiksanya, ia merasa nyaman dan bahagia membuat peta-peta
perjalanan yang akan ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko
yang siap dihadapinya. Walmiki pergi ke arah matahari
terbenam, ia pergi ke selatan. (Ajidarma, 2004: 207)
(21) Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-
kluntung, Satya bercerita... (Ajidarma, 2004: 209)

Bagian yang menceritakan riwayat Hanoman ini beralur mundur karena cerita

kembali ke masa sebelum Persembahan Kuda dan konflik antara Rama dan Hanoman

terjadi. Dikisahkan Hanoman yang perkasa berusaha membebaskan Sinta dari tangan

Rahwana. Hanoman berhasil mengobrak-abrik dan membakar Alengka serta

membawa Sinta kembali ke Ayodya. Akan tetapi, Rama justru meragukan kesetian

dan kesucian Sinta.

(22) Hanoman terbang membawa sepotong kayu yang menyala, sisa


rumah yang belum terbakar,atau masih akan lama terbakarnya,
disulut seperti menyulut sumbu yang mudah terbakar. Alengka
betul-betul terbakar, api mennari-nari menjilat langit, Hanoman
berkelebat ke sana kemari dengan ganas. (Ajidarma, 2004: 279)

Cerita kembali pada Satya dan Maneka. Konflik semakin meningkat ketika

Maneka diculik oleh bandit-bandit Gurun Thar. Satya tidak menyadari saat Maneka

dibawa lari karena dirinya sedang tertidur lelap. Para bandit Gurun Thar ini berniat

menjadikan Maneka sebagai korban persembahan agar suku mereka kembali


35

berkuasa. Syarat agar suku mereka bisa kembali berkuasa adalah dengan

mengorbankan seorang perempuan yang memiliki rajah kuda di punggung yang

digunakan untuk Persembahan Kuda. Maneka sangat ketakutan seorang diri berada di

tengah-tengah bandit. Dirinya kembali menyesalkan rajah kuda yang dimilikinya.

Karena rajah kuda itulah dirinya kembali mengalami peristiwa yang memb uatnya

sengsara. Ketika Maneka hampir dibunuh untuk dijadikan korban persembahan,

Hanoman datang menolongnya.

(23) Maneka dibekap dengan tangan. Setelah itu jalan darahnya


ditotok, sehingga ia menjadi lumpuh. Ia masih sadar,bisa
berpikir, dan melihat semuanya, tapi terkulai seperti seonggok
karung, tidak bisa berkata-kata. Sosok-sosok berbaju hitam
seperti sosok yang memanggulnya itu berkelebat cepat di antara
semak belukar dan pepohonan yang terdapat di tepi danau.
(Ajidarma, 2004: 301)
(24) ”Saudara-saudaraku, kita akan menguliti punggung perempuan
ini, memajang gambar kuda itu di kuil pemujaan kita sebagai
tolak bala, dan mengubur perempuan ini hidup-hidup di puncak
gunung, sebagai persembahan kepada para dewa!” (Ajidarma,
2004: 310)
(25) Sang Hanoman datang dari angkasa tepat pada waktunya. Pisau
melengkung itu sudah terayun menuju punggung Maneka.
(Ajidarma, 2004: 314)

Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut

dan menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang

terhukum. Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang

Gurun Thar tanpa ampun.

(26) Mereka melepaskan pisau-pisau terbang mereka, namun


Hanoman cukup mengibaskan tangan untuk menepisnya.
”Laknat! Nyahlah Kalian!”
Hanoman menjejakkan kakinya ke bumi dan melesaklah tanah
tempat berpijak orang-orang itu dan amblaslah orang-orang
36

biadab itu ditelan bumi. Lolongannya terdengar jauh dan tidak


menerbitkan rasa iba. Tiga ratus manusia, termasuk perempuan
dan kanak-kanak yang berkemungkina n besar menjadi iblis
pengacau dunia terkubur seketika. Lubang yang direncanakan
untuk mengubur Maneka masih terbuka. Hanoman mengangkat
tangannya dan tertanamlah sebuah totem di lubang itu, tinggi
menjulang di puncak bukit, berkisah tentang 300 manusia jahat
yang terhukum. (Ajidarma, 2004: 315)

Sementara itu, Satya kebingungan mencari Maneka. Satya mengikuti jejak

Maneka, menyusuri lembah, bukit, dan sungai. Dalam pencariannya Satya tiba di

sebuah desa yang mengetahui kisah bandit Gurun Thar yang menculik Maneka. Satya

tersentak karena mengetahui bandit-bandit tersebut berniat menjadikan Maneka

sebagai korban. Dia kembali terkejut karena ternyata mereka mencari perempuan

berajah kuda untuk dijadikan korban berdasarkan cerita Walmiki. Tanpa disengaja

Satya berhasil bertemu Walmiki di pasar. Satya pun mulai bercerita tentang Maneka

yang ingin menuntut nasibnya pada Walmiki sang penulis cerita. Walmiki terharu

dengan kisah Satya, padahal dirinya sendiri pun lupa telah menuliskan kisah yang

begitu mengharukan tentang seorang pelacur bernama Maneka.

(27) Satya bangkit. Ia berjalan menuju ke tepi danau. Dengan segera


tujuan hidupnya menjadi lebih pasti, yakni mencari Maneka
sampai ketemu, meski ia tak tahu apakah mungkin. (Ajidarma,
2004: 322)
(28) Cerita Satya sangat lama, Walmiki bagaikan tenggelam dalam
dunia yang dibangunnya sendiri. (Ajidarma, 2004: 365)

Cerita Satya tentang Maneka membuat Walmiki sadar betapa tiada berartinya

mereka yang kehidupannya sudah ditentukan dan takdirnya di dunia sudah

disuratkan. Walmiki berniat membebaskan mereka dari jalan cerita yang telah

ditulisnya dan memberi kebebasan pada tokoh-tokohnya untuk menulis jalan cerita
37

mereka sendiri. Walmiki pun menemui Maneka. Perbincangan antara Walmiki dan

Maneka berlangsung lama sekali karena banyak hal yang dijelaskan Maneka dan

Walmiki tidak mengerti. Maneka pun akhirnya berhasil undur diri dari cerita yang

ditulis Walmiki.

(29) ”Apakah engkau tidak pernah bahagia, anakku?”


Maneka teringat Satya. Ia mengangguk. Walmiki melihat cahaya
kabahagiaan di matanya, dan tersenyum.
”Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan itu,” katanya.
Maneka ternganga.
Engkau harus mencarinya sendiri.”

Maneka dan Satya akhirnya bertemu dan keduanya berhasil menemukan Kitab

Omong Kosong bagian pertama, Dunia Seperti Adanya Dunia. Setelah pertemuan

Walmiki dan Satya, ternyata Walmiki menuntun Satya agar dapat menemukan

Maneka dan demikian pula sebaliknya. Keduanya pun bertemu dalam suasana haru.

Dalam pertemuan itulah, tanpa sengaja keduanya berhasil menemukan Kitab Omong

Kosong.

(30) Maneka berlari ke luar dari hutan pinus dan melihat Satya. Ah,
benar-benar Satya! Ia sudah mengira! Satya menunggang kuda
zanggi yang perkasa dan sedang menuju ke arahnya. Keduanya
makin dekat. Angin menghembuskan bau tanah basah. Satya
melompat turun dan berlari. (Ajidarma, 2004: 378)
(31) Cahaya senja yang menipis berakhir pada sebuah keropak di atas
kotak batu setinggi satu meter. Satya mendekatinya, dan
membaca lembarannya yang pertama tanpa menyentuh.
Kitab Omong Kosong Bagian Pertama: Dunia Seperti Adanya
Dunia. (Ajidarma, 2004: 381-382)

Klimaks menurun ketika keduanya bertemu Hanoman. Saat pertemuan dengan

Hanoman, Maneka dan Satya saling bertukar pikiran dengan Hanoman mengenai
38

banyak hal. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Gunung

Kedalisada dan mencari keempat bagian Kitab Omong Kosong yang lain.

(32) Untuk sesaat keduanya masih ragu. Rasanya mereka telah


mengambil terlalu banyak hal tanpa pernah memberi. Namun
kehadiran Sang Hanoman tidaklah seperti sosok yang membuat
mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang penuh
kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat Satya dan
Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke piring dan
memakannya dengan lahap. (Ajidarma, 2004: 388)
(33) Mereka masih ingat apa yang dikatakan wanara berbulu putih
keperak-perakkan itu, bahwa mereka harus mencari empat
bagian Kitab Omong Kosong. (Ajidarma, 2004: 400)

Penyelesaian terjadi ketika Satya dan Maneka menemukan semua bagian

Kitab Omong Kosong dan berhasil memahami isinya. Bagian kedua adalah Dunia

Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang dikatakan

manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa disadari manusia,

keberadaan sebuah benda sebenarnya tidak pernah ada. Dunia menjadi ada, karena

manusia memandangnya dan memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah

omong kosong bila manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di

dalamnya dan masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari

bagian ketiga, Dunia Yang Tidak Ada.

Manusia hanya dapat memahami cara penggambaran dunia itu untuk

menyatakannya ada. Jika mustahil manusia menyatakan dunia itu ada karena tidak

pernah sungguh-sungguh keluar dari dalamnya, maka dibuatlah cara untuk

memahami dunia tanpa harus keluar darinya. Melalui “omong kosong” ini maka

manusia menemukan kesahihan untuk menciptakan kembali dunia yang


39

sesungguhnya masih dipertanyakan ada atau tidaknya. Hal ini merupakan

penjelasan bagian keempat, Mengadakan Dunia.

Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab Keheningan. Kitab

Keheningan berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apa pun di

dalamnya. Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa

yang dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat

menghancurkan dan membangunnya kembali.

(34) Maneka berhenti. Dari kantong dalam rompinya, Satya


mengeluarkan sebuah bungkusan. Maneka membuka bungkusan
itu. Ternyata sebuah keropak. Tak lain dan tak bukan Kitab
Omong Kosong Bagian Dua: Dunia Seperti Dipandang
Manusia. (Ajidarma, 2004: 450)
(35) Satya mulai mempelajari Kitab Omong Kosong Bagian Tiga:
Dunia yang Tidak Ada. (Ajidarma, 2004: 520)
(36) Kitab Omong Kosong Bagian Empat berbicara tentang
bagaimana mengadakan kembali dunia, bagaimanakah caranya
dunia bisa ada? (Ajidarma, 2004: 582)
(37) Ia teringat Kitab Keheningan yang tidak berhuruf itu, dan
seketika Satya mendapat pencerahan. (Ajidarma, 2004: 613)

Selesaian juga terjadi pada Walmiki. Tokoh-tokohnya bermunculan dan

menuntut untuk lepas dari cerita Walmiki. Walmiki pun memberi kebebasan pada

mereka untuk undur diri dan menulis cerita sendiri. Walmiki pun akhirnya

meninggal. Selesaian juga terjadi pada Hanoman. Hanoman yang sudah tua akhirnya

moksa.

(38) Setelah tiga hari tiga malam terus menerus diguyur hujan, Prabu
Somli mati di bawah pohon. Tubuhnya kaku kedinginan.
Walmiki menghela napas, apakah ia akan mati seperti Prabu
Somali? Udara makin lama makin terasa dingin dank abut tidak
juga berpendar. Walmiki sudah tidak bisa melihat lantai kapal,
40

juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan kemanakah


ia kan pergi? (Ajidarma, 2004: 600)
(39) Setelah mati tubuh Hanoman menyatu dengan tanah. Ia moksa
tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang
langitnya kemerah- merahan manjadi saksi kematiannya.
(Ajidarma, 2004: 616)

2.2 Tokoh Utama

Tokoh-tokoh utama dalam KOK adalah Rama, Satya, Maneka, Hanoman dan

Walmiki. Pemilihan tokoh-tokoh utama sebagai bahan penelitian karena melalui

tokoh utamalah biasanya seorang pengarang menjelmakan diri. Melalui tokoh utama

pula pengarang bebas berbicara tentang hal- hal yang disetujui maupun ditolaknya.

Tokoh utama merupakan tokoh yang memiliki intensitas kehadiran yang

tinggi dalam sebuah cerita. Tokoh utama selalu diutamakan penceritaannya. Tokoh

utama biasanya hadir dalam peristiwa-peristiwa penting dalam cerita dan mengambil

bagian dalam peristiwa tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung. Tokoh

Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki digolongkan sebagai tokoh utama

karena mereka mengambil peranan penting dalam cerita. Tokoh-tokoh ini juga

mendapat porsi paling banyak dalam penceritaan.

Satya dan Maneka merupakan tokoh utama karena keduanya selalu hadir

dalam penceritaan. Satya dan Maneka diriwayatkan sejak awal dalam KOK sebagai

rakyat biasa yang menjadi korban Persembahan Kuda yang dilakukan Rama.

Keduanya ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar

cerita. Sejak bab I sampai bab III, Satya dan Maneka terus- menerus diceritakan.
41

Dilihat dari hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, Satya dan Maneka tidak

berhubungan secara langsung dengan Rama, tetapi memiliki hubungan secara tidak

langsung. Walaupun memiliki hubungan secara tidak langsung dengan Rama, Satya

dan Maneka mendapat imbas dari Persembahan Kuda yang dilakukan Rama. Karena

kehancuran yang diakibatkannya, Satya dan Maneka bertekad mengubah nasib

mereka. Maneka bahkan memiliki rajah kuda yang digunakan Rama untuk

Persembahan Kuda.

Rama merupakan tokoh utama, karena kehadiran Rama dalam cerita adalah

sebagai penyebab segala kejadian lain dalam KOK. Walaupun Rama diceritakan pada

awal saja, tetapi dia adalah tokoh yang menentukan perkembangan plot. Persembahan

Kuda yang dilakukannya menyebabkan Satya dan Maneka menderita, Hanoman

bahkan meninggalkan Ayodya karena tidak sejalan lagi dengan Rama. Sinta yang

terlunta- lunta juga menjadi korban keragu-raguan Rama yang mulai terpengaruh

Gelembung Rahwana.

Hanoman juga menempati posisi sebaga i tokoh utama. Hanoman banyak

diceritakan dalam KOK, baik secara langsung maupun tidak langsung. Walaupun

tidak muncul dalam setiap bab, Hanoman merupakan tokoh yang berpengaruh besar

dalam perkembangan plot. Dialah pemegang Kitab Omong Kosong yang selama ini

menjadi rebutan. Hanoman dicari-cari orang banyak, termasuk Satya dan Maneka.

Walmiki merupakan tokoh utama. Walmiki adalah empu yang meriwayatkan

Ramayana. Kehadirannya dalam cerita tidak banyak, tetapi Walmiki merupakan

tokoh yang berpengaruh dalam perkembangan plot.


42

2.3 Penokohan Tokoh Utama

Penokohan merupakan cara penggambaran tokoh baik secara fisik maupun

kejiwaannya. Penokohan menjadi salah satu cara pemaknaan tokoh dalam sebuah

karya fiksi. Melalui penokohan pula dapat diungkap sikap-sikap yang mendasari

suatu tindakan yang dilakukan oleh seorang tokoh.

2.3.1 Maneka

Maneka adalah perempuan berusia 20 tahun. Saat usianya masih belia,

dia dijual ke rumah bordil. Semenjak itu Maneka menjalani kehidupan

sebagai pelacur. Secara fisik, Maneka digambarkan sebagai pelacur muda

yang cantik dan menawan. Kulitnya putih dan rambutnya panjang.

(40) Seorang pelacur memutar badan Maneka, dan di punggungnya


yang terbuka, setelah menyampingkan rambut panjangnya,
memang terlihat rajah seekor kuda yang berlari. (Ajidarma,
2004: 104)
(41) “Tahukah kamu mengapa kita dijual ayah kita?”
“Tentu, karena kita miskin dan kita bodoh dan kita orang paria.”
(Ajidarma, 2004: 107)

Maneka memiliki seorang sahabat bernama Sarita. Maneka dan Sarita

sudah saling mengenal sejak keduanya sama-sama dijual ke rumah bordil dan

dijadikan pelacur. Bersama Sarita, Maneka melarikan diri dari rumah

pelacuran yang selama ini mengurungnya.

(42) Namun Sarita dan Maneka saling menyayangi seperti saudara…


(Ajidarma, 2004: 106)
(43) Akan halnya dirinya, semua orang tahu Sarita sahabat Maneka.
Jika Maneka menghilang, tiada orang lain yang biasa dianiaya
selain Sarita. Maka ia tak mungkin hanya membantu
43

pelariannya, melainkan harus ikut lari juga. (Ajidarma, 2004:


113)

Maneka adalah perempuan yang memiliki kemauan keras. Dia juga

digambarkan sebagai perempuan yang mempunyai rasa ingin tahu yang begitu

besar. Walaupun dia bodoh dan tidak bisa membaca maupun menulis, Maneka

memiliki keinginan kuat untuk terus berkembang. Maneka juga sangat suka

mendengarkan cerita. Maneka sering meminta Satya untuk bercerita. Jika

dalam perjalanan Maneka menemukan seorang tukang cerita sedang berkisah,

Maneka selalu mendengarkan dengan saksama.

(44) Sepanjang perjalanan Maneka mempelajari huruf- huruf yang


diberitahukan Satya. Kata pertama yang ingin diketahuinya
adalah cinta, karena begitu banyak kata itu dalam Ramayana. Ia
berpikir betapa suatu hari bisa menuliskan cerita. (Ajidarma,
2004: 126)
(45) “Maneka!”
Maneka menoleh.
“Kamu jadi makan daging bakarnya atau tidak?”
“Aku mau dengar dulu.”
“Terserah, aku sudah lapar sekali, aku makan dulu.”
Maneka memerhatikan tukang cerita lagi. (Ajidarma, 2004: 133)
(46) “Aku ingin bisa menulis Satya.” (Ajidarma, 2004: 164)

Akibat Persembahan Kuda yang dilakukan Rama, kehidupan Maneka

sebagai pelacur juga mengalami perubahan. Rajah kuda yang dimilikinya

sejak lahir ternyata adalah kuda yang digunakan dalam Persembahan Kuda

yang telah membumihanguskan anak benua. Akibatnya, Maneka harus

menanggung beban berat karena seluruh penduduk kota, laki- laki maupun

perempuan, berebut untuk tidur dengannya. Karena peristiwa ini pula Maneka

mempertanyakan mengenai nasibnya. Dia memiliki keinginan kuat untuk bisa


44

mengubah nasibnya. Didorong oleh keinginan yang kuat pula Maneka

berusaha melarikan diri dari rumah bordil. Dibantu seorang pria bersorban

yang tak dikenal dan Sarita, Maneka memulai perjalanannya mencari Walmiki

untuk mengubah nasibnya.

(47) Maneka menggaruk-garuk seluruh tubuh sebisanya. Ia


meringkuk di dalam keranjang seperti seonggok karung. Risiko
perempuan yang lari dari rumah pelacuran sudah jelas,
hukumannya adalah dirajam. Para pelacur hidup seperti budak
belian, tidak memiliki kebebasan, dipergunakan tubuhnya seperti
sapi perahan. (Ajidarma, 2004: 111)
(48) Maneka kini mengerti bahwa dunia tidak terbatas kepada apa
yang bisa dilihatnya, di balik semesta ada semesta, dan ia tahu
bahwa masih terlalu banyak hal bisa dipela jarinya. (Ajidarma,
2004: 123)
(49) Itulah yang membua t Maneka ingin mencari Walmiki. Jika ia
bisa menentukan nasib para raja, kenapa ia harus tidak peduli
kepada seorang pelacur seperti Maneka? Empu yang baik bukan
hanya peduli kepada orang besar, justru terutama mereka harus
peduli kepada orang-orang kecil. Maneka percaya, jika memang
kehidupannya dituliskan oleh Walmiki, maka Walmiki bisa
mengubah suratan takdirnya yang malang. (Ajidarma, 2004: 124)

Sebagai pelacur yang telah berpengalaman menghadapi laki- laki,

Maneka tahu benar bahwa Satya menyimpan perasaan cinta padanya. Akan

tetapi, Maneka lebih suka menganggap Satya tidak lebih dari seorang teman.

Masa lalunya membuat Maneka trauma dan lebih berhati- hati dalam

menghadapi laki- laki.

(50) Maka berangkatlah mereka, dengan pedati yang ditarik sapi


Bengga la. Selama perjalanan itu, Satya mengerti betapa Maneka
tidak mempunyai perasaan yang sama dengan dirinya. Maneka
mengerti apa yang ada di hati Satya. Meski tidak bisa membaca,
ia terlalu berpengalaman dalam menafsirkan perilaku pria.
Namun ia menyukai Satya, lagi pula anak muda itulah yang
45

menolongnya di sungai itu, dan kini mengajarinya membaca


pula. (Ajidarma, 2004: 125)

Maneka memiliki rasa ingin tahu yang begitu besar tentang segala hal.

Selain itu, dia juga memiliki jiwa petualang yang selalu haus akan

pemenuhan. Maneka adalah tipe orang yang percaya bahwa tujuan hidupnya

tidak akan meninggalkannya, walaupun dia memiliki keinginan-keinginan

lain. Karena itulah, saat Maneka harus memilih antara mencari Kitab Omong

Kosong atau mencari Walmiki, Maneka dengan pasti memutuskan untuk

mencari Kitab Omong Kosong.

Maneka merasa memiliki tanggung jawab karena memilki peta yang

menunjukkan di mana Kitab Omong Kosong berada. Tanggung jawab ini

berhubungan dengan masa depan ilmu pengetahuan dan peradaban yang telah

hancur lebur akibat bencana Persembahan Kuda.

Maneka sebenarnya bimbang apakah jalan hidupnya benar harus

diubah dengan menuntut Walmiki menuliskan cerita yang berbeda atau

memang demikian adanya. Saat memutuskan untuk mencari Kitab Omong

Kosong, Maneka merasa menemukan sesuatu yang baru dalam dirinya.

(51) “Tapi adanya peta itu pasti bermakna,” ujar Maneka, “kalau
tidak, untuk apa peta itu ada?”
Mereka berdua memandangi peta itu.
“Kita tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan peta itu,”
kata Satya.
‘Tapi peta itu ikut menentukan nasib kita.” (Ajidarma, 2004:
205)
(52) “Bagaimana dengan Walmiki?”
Maneka termenung. Ia mencari Walmiki untuk mengubah
nasibnya. Menggugat sang empu ya ng telah menuliskan kodrat
46

hidupnya. Namun benarkah garis kehidupan manusia ditentukan


seperti itu? Selama dalam perjalanan Maneka merasa sesuatu
tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari
dalam dirinya, bukan seperti kodrat, bukan seperti takdir, sesuatu
yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu betapa
kebenaran perkara itu sulit diperiksanya, ia merasa nyaman dan
bahagia membuat peta-peta perjalanan yang akan ditempuhnya
sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapinya. (Ajidarma,
2004: 206-207)

Saat Maneka diculik oleh para bandit Gurun Thar, Maneka

menunjukkan sikap teguh dan berpegang pada kepribadian. Walaupun dia

hanya seorang bekas pelacur, dia tidak mau orang lain meremehkannya.

Maneka tidak mau memberikan apa pun pada para bandit itu.

(53) “Tapi karena ia diculik, sama seperti Rahwana menculik Sinta, ia


tidak akan pernah sudi memberikan apa pun yang mereka
kehendaki.

Berdasarkan analisis penokohan Maneka yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur yang

berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk

mempelajari segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta.

2.2.2 Satya

Satya adalah seorang pemuda penggembala berusia 16 tahun. Keluarga

dan sanak saudaranya telah mati terbunuh terbunuh saat balatentara Ayodya

menyerang desanya dan menghancurkan segalanya. Akibat bencana

Persembahan Kuda itu, Satya hidup sebatang kara.


47

(54) Sampai sekarang masih terasa olehnya luka ibarat sembilu


menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan handai taulan,
lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya oleh
balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-orang
tercinta dalam seketika karena pembunuhan. (Ajidarma,
2004:90)
(55) Satya masih 16 umurnya, tapi dia sedang jatuh cinta. (Ajidarma,
2004:125)

Hidup sebatang kara tidak membuat Satya lantas menjadi manusia

yang tanpa harapan. Satya adalah gambaran pemuda yang selalu optimis

menghadapi masa depannya. Hal ini terbukti saat seluruh sanak saudaranya

telah mati, Satya tetap menjalankan kegiatannya sehari- hari seperti mencangkul

dan menggembalakan ternak. Kesedihan sebenarnya masih dirasakan Satya,

tetapi dia tidak mau larut dalam kesedihan dan berusaha melupakan semuanya.

Satya pun berusaha membangun kembali kehidupannya, berusaha

mengembalikan keadaan seperti saat sebelum bencana Persembahan Kuda

menghancurkan semuanya.

(56) Setelah mencangkul seharian, rasanya tidak ada lagi yang bisa
dilakukan Satya. Untuk pertama kalinya tiba-tiba ia merasa puas.
Sudah lama perasaan seperti ini tidak dialaminya. Setidaknya
perlu satu tahun setelah bencana Persembahan Kuda itu berlalu,
ia merasa mulai bisa merasakan sesuatu yang berhubungan
dengan rasa senang. Sebelumnya dunia selalu terasa muram,
berat, dan menekan. Sampai sekarang masih terasa olehnya luka
ibarat sembilu menyilang, karena seluruh keluarga, kerabat, dan
handai taulan, lenyap musnah hilang dalam pembantaian desanya
oleh balatentara Ayodya. Betapa memilukan kehilangan orang-
orang tercinta dalam seketika karena pemb unuhan. (Ajidarma,
2004:91)
(57) Satya melihat kambing-kambingnya merumput. Ia tersenyum
riang. Bersama kawan-kawan sebayanya mereka berusaha
melupakan kesedihan. Mereka dirikan kembali pemukiman yang
telah rata dengan tanah, menjadi sesuatu mirip kehidupan. Satya
48

tak pernah menduga bahwa ia kini harus membangun kembali


semuanya seperti nenek moyangnya. (Ajidarma, 2004: 91)

Walaupun usianya masih muda, Satya adalah sosok pemuda yang

bijaksana dan penuh kesabaran. Hal ini terbukti setiap timbul permasalahan

antara Satya dan Maneka, Satya selalu mampu tampil sebagai pemecah

masalah. Satya juga mengajarkan banyak hal pada Maneka yang kurang

berpengalaman menghadapi dunia luar.

(58) “Barangkali nanti…’’ Satya berpikir tentang keadaan mereka.


Penderitaan yang disebabkan Persembahan Kuda telah
membuatnya bijaksana. (Ajidarma, 2004:126)

Satya sangat mencintai Maneka. Sejak pertama kali menemukan

Maneka terbawa arus sungai, Satya sudah menyimpan rasa cinta yang

mendalam pada Maneka. Walaupun ia tahu cintanya tak berbalas, Satya tidak

pernah putus asa. Demi rasa cintanya pula, Satya memaksa menemani Maneka

berkelana mencari Walmiki. Satya juga selalu menuruti segala permintaan

Maneka. Rasa cintanya yang begitu besar pada Maneka membuat Satya sangat

kasih dan sayang pada perempuan itu. Satya sangat berhati- hati dalam menjaga

Maneka. Dia tidak mau Maneka kembali jatuh ke jalan kelam yang pernah

dilaluinya.

(59) Satya yang sejak semula telah jatuh cinta kepada Maneka
memaksakan diri mengantarnya. Ia tak bisa membayangkan,
bagaimana perempuan muda seperti Maneka akan mencari
Walmiki yang belum jelas ada di mana. (Ajidarma, 2004: 125)
(60) Namun Satya tahu bahwa menjadi pelacur adalah pekerjaan
merana, ia sangat khawatir Maneka terjebak dalam lingkaran
setan perbudakan berikutnya. (Ajidarma, 2004:125)
49

(61) “Sampai manakah kita akan mencari Walmiki?’’ Maneka


bertanya.
“Ke mana pun kamu menghendakinya.” (Ajidarma, 2001:153)
(62) … Satya akan melakukan segalanya demi Maneka. (Ajidarma,
2004:206)

Satya adalah pemuda yang sabar dan penuh pengertian. Dia berusaha

memahami perasaan Maneka yang menutup diri pada laki- laki. Satya tidak mau

memaksakan rasa cintanya pada Maneka. Dia tahu masa lalu Maneka yang

suram tidak mudah untuk dihapuskan.

(63) Sementara Satya, yang meskipun darah mudanya bergelora, dan


sungguh memendam cinta diam-diam, sangat rapat menahan diri
dan menjaga kepribadian. (Ajidarma, 2004:161)

Walaupun hanya seorang pemuda penggembala, Satya memiliki

wawasan yang luas. Dia juga gemar bercerita. Satya sering memperdengarkan

cerita-cerita kepada Maneka selama dalam perjalanan. Kegemarannya membaca

membuat Satya memiliki keropak di dalam peti yang berisi berbagai cerita.

Satya juga memiliki kemampuan membaca dan menulis yang cukup

mengagumkan. Dengan memanfaatkan kemampuannya ini, Satya bekerja di

perpusatakaan sebagai penyalin naskah-naskah yang telah rusak akibat

Persembahan Kuda. Dia bahkan sangat menyukai pekerjaan barunya ini, bahkan

seandainya tidak merasa bertanggung jawab mengantar Maneka dan rasa

cintanya yang begitu besar pada Maneka, Satya memilih tinggal dan bekerja

sebagai penyalin naskah di perpustakaan Negara.

(64) “Aku hanya bisa bercerita tentang upacara itu, kuceritakan


padamu tentang Siwaratrikalpa,” kata Satya, “aku menyalinnya
mulai kemarin.”
50

(65) Setelah menjadi asisten tukang martabak, kurir toko sepatu, dan
asisten juru catat di pejagalan, Satya menjadi anggota tim
penyalin naskah di bekas perpustakaan Negara. (Ajidarma, 2004:
159)
(66) Satya senang dengan pekerjaannya ini karena merasa
kemampuannya membaca dan menulis ada gunanya. Selain itu ia
senang karena pebgetahuan yang didapatkan dari naskah-naskah
yang disalinnya. Kalau ia tidak ingat janjinya kepada Maneka,
untuk bersama-sama mencari Walmiki penulis Ramayana,
barangkali ia akan lebih suka tinggal di kota ini saja. (Ajidarma,
2004: 160)
(67) Satya memiliki keropak dalam peti, yang pernah ditunjukkan
kepada Maneka. Dari keropak itulahmengalir sebuah dunia yang
mungkin dijelajahi manusia. (Ajidarma, 2004:125)
(68) Maka, sembari bunyi genta sapi Benggala itu terdengar kluntang-
kluntung, Satya bercerita tentang perselingkuhan Trijata.
(Ajidarma, 2004: 209)

Berdasarkan analisis penokohan Satya yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa Satya adalah seorang pemuda yang sabar, penuh

pengertian, pandai, berkemauan kuat, dan sangat menghargai kesucian cinta.

2.2.3 Hanoman

Hanoman berwujud seekor kera putih yang memiliki kesaktian yang

luar biasa. Dia adalah anak Dewi Anjani, cucu Resi Gotama. Sejak dia

dilahirkan sudah tampak tanda-tanda kesaktian Hanoman di masa depan. Dia

menguasai segala macam ilmu dan menyerap tenaga alam secara alami.

Hanoman besar di swargaloka, tempat tinggal para dewa. Di sana dia dilatih

oleh Batara Bayu yang mengajarkannya berbagai ilmu. Hanoman juga

memiliki nama lain yaitu Bayutanaya, Maruta, dan Bayudara.


51

(69) Ketika Hanoman dilahirkan sebagai bayi monyet yang merah,


segenap cahaya yang ada dalam semesta pada detik itu meraga
sukma kepadanya, sehingga seketika ia menjadi wanara putih
cemerlang keperak-perakan, dan untuk sekejap semesta gelap
gulita bahkan tanpa setitik cahaya semesta, dan segala gagasan
tentang ahaya akan dikuasainya sama seperti penguasaan Batara
Surya. (Ajidarma, 2004: 242)
(70) Bayangkan, ada monyet putih di swargaloka, tempat pemukiman
para dewa… Anak yang berasal dari daun sinom itu dididik oleh
Batara Bayu yang sakti mandraguna. Segenap ilmu Sang Dewa
Angin itu dikuasainya, sehinggga ia juga bernama Bayutanaya
atau Maruta atau Bayudara. Batara Bayu mengajarkan kepadanya
ilmu terbang dan berjalan bersama angin. (Ajidarma, 2004: 243)

Secara fisik, Hanoman digambarkan sebagai seekor kera putih setinggi

manusia. Tingginya 180 cm dan dia selalu mengenakan kain kotak-kotak

hitam putih sebagai tanda mewarisi kesaktian Batara Bayu.

(71) Wanara putih setinggi manusia yang berbelit kain kotak-kotak


hitam putih, tanda mewarisi kesaktian Bayu. (Ajidarma, 2004:
265-266)
(72) Hanoman mendongak, makhluk 180 sentimeter di antara lautan
raksasa-raksasa 20 meter. (Ajidarma, 2004: 269)
(73) Api pendiangan menyala. Cahayanya yang merah menimpa
sesosok tubuh yang selama ini hanya bisa mereka bayangkan.
Seluruh tubuhnya ditutup oleh bulu yang lebat, putih bersih
keperak-perakkan, dan lembut seperti serat-serat sutra. Wajahnya
juga dipenuhi dengan bulu, sehingga matanya nyaris tertutup,
namun mata itu begitu jernih dan tajam, seperti kemurnian mata
kanak-kanak. Ekornya berjalin dengan rambutnya yang putih
dalam suatu Andaman yang indah. Ia mengenakan sarung kotak-
kotak hitam putih sereti yang mereka pakai. (Ajidarma,
2004:387)

Hanoman mengabdi pada Rama dan menjadi kepercayaan Rama di

Ayodya. Hanoman digambarkan sebagai tokoh yang setia dan mengabdi

dengan penuh ketulusan. Hal ini dibuktikan dengan pengabdiannya kepada

Rama yang tidak menuntut balasan. Hanoman selalu menuruti titah rajanya
52

itu, termasuk ketika dia dikirim ke Alengka untuk membebaskan Dewi Sinta

dari tangan Rahwana yang jahat. Hanoman setia menjalankan tugasnya dan

berhasil membawa Dewi Sinta kembali ke Ayodya dan menyerahkannya pada

Sri Rama.

(74) Ia bisa terbang membawa terbang Sinta, tetapi bukan itu perintah
Sri Rama kepadanya. (Ajidarma, 2004: 277)

Hanoman juga kera putih yang pemberani. Dia tidak gentar

menghadapi lawan, sekuat apapun lawannya itu. Sewaktu berada di Alengka,

Hanoman harus berhadapan dengan raksasa-raksasa yang tinggi rata-ratanya

20 meter, padahal tingginya sendiri hanya 180 cm.

(75) Hanoman melempari mereka dengan buah-buah mangga. Para


raksasa yang rata-rata tingginya 20 meter kebingungan dengan
gerakan Hanoman yang gesit dan cepat. (Ajidarma, 2004: 268)
(76) Hanoman mendongak, makhluk 180 sentimeter di antara lautan
raksasa-raksasa 20 meter. (Ajidarma, 2004: 269)

Walaupun secara fisik Hanoman berwujud seekor kera putih, dia

adalah makhluk yang sangat beradab. Disebutkan bahwa para dewa pun

terkagum-kagum dan tidak bisa mengalahkannya. Hanoman sangat suka

mempelajari berbagai hal. Hanoman juga sangat suka berdiskusi dan berdebat.

Kegemarannya belajar membuat Hanoman semakin hari semakin cemerlang

dan tidak tertandingi. Dia pun sering terlihat bersama para dewa untuk

berdebat atau mempelajari pengetahuan baru. Karena kepintarannya yang luar

biasa, para dewa dan bidadari mampu dikalahkannya.

(77) Mempelajari angin ternyata berarti mempelajari segala- galanya.


Apa pun yang digerakkan dan membuatnya suntuk mendalami
53

berbagai pengetahuan, dari ilmu pasti sampai puisi. Meskipun


jamaninya wanara, Hanoman tumbuh sebagai makhluk yang
beradab luar biasa, bahkan dewa tak bisa mengunggulinya. Ia
terlihat sering berdebat dengan Narada, dan dewa yang pandai
berdebat dipojokkannya; ia belajar meditasi dari Batara
Mahadwa, dan dewa mulia itu mengakui keteguhannya; ia
mempelajari strategi pertempuran di darat dan di laut dari Batara
Brahma, dan dewa itu menyatakan ia layak menjadi panglima; ia
belajr main catur dari para bidadari, sampai mereka semua tidak
pernah menang lagi. (Ajidarma, 2004: 249)
(78) Hanoman juga sangat rajin mengunjungi Sanghyang Sakra, dewa
penyimpan surat-surat pusaka. Di sana ia pelajari segala hal yang
mungkin ada di dunia. (Ajidarma, 2004: 249)

Keberanian Hanoman mampu mengecilkan nyali para raksasa, bahkan

Rahwana pun dibuatnya ketakutan. Hanoman memiliki tatapan mata tajam

yang mampu membuat lawan ciut nyalinya. Dengan penuh keberanian

Hanoman menghadapi hukuman yang ditimpakan Rahwana padanya.

Hanoman dibakar, tetapi dia sama sekali tidak terbakar. Hanoman justru

berbalik mengobrak-abrik dan membakar Alengka sehingga raksasa-raksasa

bodoh itu dibuatnya panik dan ketakutan.

(79) Di hadapan Rahwana ketika semua orang menyembah dan


bersujud tak berani mendongakkan muka, Hanoman memandang
raja raksasa yang tingginya 30 meter itu dengan tatapan tajam. Ia
berdiri dengan tubuh terikat, tetapi pandangan matanya membuat
Rahwana berkeringat dingin. Untuk mengatasi ketakutannya,
Rahwana melemparkan sebuah pot bunga. (Ajidarma, 2004: 273)
(80) Ia tidak terbakar, ia berbusana api itu sendiri. Hanoman menjadi
Wanara Api. Kepanikan luar biasa mengharu biru Alengka,
bukan hanya rumah-rumah sepanjang labirin itu terbakar dan
menyala. Para raksasa juga menyala tubuhnya, meraung-raung
kesakitan dengan penuh penderitaan. Hanoman terbang
membawa sepotong kayu yang menyala, sisa rumah yang belum
terbakar, atau masih akan lama terbakarnya, disulut seperti
menyulut sumbu yang mudah terbakar. Alengka betul-betul
54

terbakar, api menari- nari menjilat langit. Hanoman berkelebat ke


sana kemari dengan ganas. (Ajidarma, 2004: 279)

Walaupun Hanoman sangat menjunjung tinggi Sri Rama sebagai

junjungannya, dia tetap tidak bisa menerima tindakan Rama yang mulai

kelewatan. Hanoman mulai berselisih paham dengan Rama. Di sini

ditunjukkan bagaimana Hanoman tetap mempertahankan kebenaran di atas

segalanya, meskipun dia harus berhadapan langsung dengan Rama sekali pun.

Hanoman telah membuktikan sendiri bagaimana setianya Sinta pada Rama

sehingga dia pun mulai mempertanyakan keragu-raguan Rama.

Hanoman khawatir dengan rakyat Ayodya yang sudah mulai

terpengaruh Gelembung Rahwana. Ketika ketegangan antara dirinya dan

Rama mulai berkembang, Hanoman tetap bersikap ksatria dan tetap setia pada

rajanya itu. Hanoman menurut saja ketika Rama menyuruhnya untuk tidak

ikut campur lagi dalam urusannya. Hanoman kemudian memulai kembali

pertapaannya di Gunung Kendalisada.

(81) “Hanoman aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan


masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaan. ”
(Ajidarma, 2001:45)
(82) Hanoman pamit dan mengundurkan diri dengan sopan.
Meskipun begitu Laksmana tahu, inilah sengketa yang tiada
pernah terbayangkan. (Ajidarma, 2001:45)
(83) Tetapi jika Rama menyatakan kepadanya jangan ikut campur,
bagaimana mungkin ia menolongnya? (Ajidarma, 2001:46)

Hanoman adalah wanara agung yang bijaksana. Dialah pemegang

kitab yang menjadi kunci segala ilmu pengetahuan, Kitab Omong Kosong.
55

Hanoman adalah tokoh yang lemah lembut dan halus. Hanya Hanoman saja

yang bisa mengartikan Kitab Omong Kosong.

(84) Namun kehadiran Sang Hanoman tidaklah seperti sosok yang


membuat mereka harus takut berbuat salah, sinar matanya yang
penuh kasih dan suaranya yang lembut dan halus, membuat
Satya dan Maneka tidak ragu menyendok pasta kentang itu ke
piring dan memakannya dengan lahap. (Ajidarma, 2001:388)
(85) “Siapa yang bisa memahami kitab semacam ini selain Sang
Hanoman? ’’ pikirnya. (Ajidarma, 2001: 404)

Meski telah mengasingkan diri dari dunia luar dan melakukan tapa

abadi di Gunung Kendalisada, tidak berarti Hanoman mengabaikan dunia luar.

Hanoman tetap prihatin dengan memburuknya dunia akibat ketamakan

manusia. Dia juga tetap merasa bertanggung jawab atas bencana besar yang

menimpa anak benua akibat Persembahan Kuda. Oleh karena itu, Hanoman

membuat peta keberadaan Kitab Omong Kosong agar manusia bisa

membangun kembali peradaban dan ilmu pengetahuan lebih singkat. Dia tidak

mau hanya menyimpan kitab tersebut. Hanoman juga ingin agar manusia

mengetahui keberadaannya. Akan tetapi, keberadaan Kitab Omong Kosong

justru menjadi rebutan untuk menguasai dunia.

(86) “Sebelumnya tidak banyak yang tahu keberadaan peta itu. Tetapi
ketika kebudayaan runtuh dan semua perpustakaan hancur, orang
teringat tentang Kitab Omong Kosong itu, yang bisa menghemat
waktu proses pencarian kembali kesadaran manusia selama tiga
ratus tahun. Tentu tidak satupun yang tahu bagaimana bisa
membaca peta itu. ” (Ajidarma, 2004: 391)
(87) “Saya masih ingat peta itu. ”
Hanoman tertawa, seperti teringat sesuatu.
“Akulah yang membuatnya, karena aku tidak bisa
menyimpannya terus menerus. Sedangkan tempat ini terlalu
terpencil.” (Ajidarma, 2004: 390)
56

(88) ”Kitab ini telah mengakibatkan rentetan pembunuhan. Aku


menyalahkan diriku sendiri untuk itu, namun kitab ini memang
tidak boleh jatuh ke sembarang orang, hanya merekayang cukup
keras hatinya dan cukup berakal pula akan sampai kepada kitab
ini.” (Ajidarma, 2004: 396)

Hanoman akhirnya mati setelah Kitab Omong Kosong berhasil didapat

oleh Satya dan Maneka. Sebelum mati, Hanoman menulis sebuah kitab yang

tidak diketahui keberadaannya dan menulis surat untuk Trijata mantan

istrinya, yang sudah lama mati. Hanoman mengumpulkan segala macam

makhluk, kecuali manusia, sebelum akhirnya meregang nyawa. Hanoman

akhirnya moksa, tetapi ia tidak mau bersatu dengan dewa.

(89) Setelah menyelesaikan kitab itu Hanoman bersiap untuk mati.


Sebelum mati ia menulis surat untuk Trijata yang sudah lama
mati. (Ajidarma, 2001: 615)
(90) Kemudian kepada seekor bajing ia berkata dengan bahasa
antarmakhluk, “Aku akan pergi selama- lamanya, aku akan mati.
Kumpulkan mereka semua di sini.” (Ajidarma, 2004: 615)
(91) Setelah mati tubuh Hanoman menyatu dengan tanah. Ia moksa
tetapi tidak mau bersatu dengan dewa. Hanya senja yang
langitnya kemerah- merahan manjadi saksi kematiannya.
(Ajidarma, 2004: 616)

Berdasarkan analisis penokohan Hanoman yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa Hanoman adalah tokoh yang pemberani, setia,

menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan arus jika hal yang diyakininya

benar, bijaksana, dan membenci ketidakadilan.


57

2.2.4 Walmiki
Walmiki adalah seorang empu pencipta cerita Ramayana. Dia hidup di

sebuah gubuk di pingir hutan. Walmiki hidup bersama Sinta, Lawa, dan Kusa.

Walmiki menyelamatkan Sinta yang sedang hamil tua dan lari dari Ayodya.

Walmiki merawatnya seperti anaknya sendiri sampai tiba saat Sinta

melahirkan kedua anak kembarnya, Lawa dan Kusa, dan membesarkan

mereka. Walmiki setiap harinya menulis dan menembangkan riwayat

Ramayana. Walmiki bisa tenggelam dalam menulis selama bermingu- minggu

untuk mengisahkan Ramayana.

(92) Di tepi sungai itu terdapat sebuah rumah panggung dengan teras
terbuka. Dewi Sinta sedang merenda, benang warna-warni di
hadapannya. Ia merenda sambil memerhatikan Walmiki
menggores- gores lembaran karas dengan alat tulis yang disebut
tanah. (Ajidarma, 2004: 47)
(93) Di rumah panggung, Sinta melihat Walmiki menggoreskan karas
dengan tanah, sambil menggumamkan apa yang ditulisnya.
(Ajidarma, 2004:63)
(94) “Sudah sampai di manakah Ramayana itu, Paman?” (Ajidarma,
2004: 47)
(95) Wamiki meneliti tumpukan karas itu, setelah meletakkan tanah
di sebelahnya. Sudah berminggu- minggu ia tenggelam dalam
penulisan Ramayana. (Ajidarma, 2004: 48)

Secara fisik, Walmiki digambarkan sebagai seorang laki- laki tua yang

memiliki paras yang cerah dan tatapan lembut yang mampu membuat hati

damai. Walmiki adalah seorang pengembara. Dia mulai mengembara saat

masih berusia 21 tahun dan telah 50 tahun melakukan pengembaraan.

(96) Tukang cerita itu berangkat mengembara semenjak usia 21


tahun, dan setelah 50 tahun mengembara tentu sudah banyak
peristiwa yang dialaminya. (Ajidarma, 2004: 593)
58

(97) Pada usia 71 tahun, tukang cerita itu masih sehat dan ternyata
masih mampu bergerak lincah mempertahankan diri dari
serangan bajak laut yang berlompatan di atas kapal. (Ajidarma,
2004: 593)
(98) Seorang tua yang cerah parasnya dan lembut matanya mengusap
kening perempuan itu. Tubuhnya serasa hancur, namun
pandangan orang tua it u membuat hatinya merasa damai.
(Ajidarma, 2004: 34)

Walmiki selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya.

Walmiki terkenal sebagai tukang cerita yang sangat piawai membawakan

kisah Ramayana. Kemampuannya bercerita membuat para pendengarnya

terkagum-kagum dan larut dalam penceritaan Walmiki.

(99) Sembari mengulung keropak, mulut Walmiki berbunyi. Orang-


orang terpesona, susunan nadanya menghanyutkan, seperti
mimpi. Kemud ian ia melompat, lantas menari. (Ajidarma,
2004:97)
(100) “Ini Walmiki tukang cerita?”
“Iya, kemarin dia bercerita di jalanan sana, dikerumuni banyak
orang.” (Ajidarma, 2004: 156)

Walmiki adalah pencipta Ramayana. Semua jalinan cerita ditentukan

olehnya. Ketika Sinta khawatir dengan keadaan Lawa dan Kusa yang sedang

melawan balatentara Ayodya, Walmiki dengan tenang mengatakan bahwa

semua ditentukan olehnya. Akan tetapi, dia sendiri sebenarnya juga tidak tahu

apa yang akan terjadi kemudian dengan para tokoh ciptaannya.

(101) Walmiki, orang tua itu, berkata kepada Rama yang masih saja
duduk di atas kudanya. ‘Kembalilah Raja, kalau engkau bisa
hidup 15 tahun tanpa Sinta, engkau akan mampu hidup tanpa
Sinta untuk seterusnya. Kembalilah ke Ayodya, aku masih harus
menamatkan cerita. (Ajidarma, 2004:89)
(102) “Bukan aku berteka-teki. Aku pun belum tahu apa yang akan
terjadi.” (Ajidarma, 2004:57)
59

(103) “Walmiki menjawab sambil menulis. “Tenang saja Sinta, aku


yang menentukan.” (Ajidarma, 2004:63)

Walmiki bahkan mulai menyadari bahwa tokoh-tokoh ciptaannya

mulai berusaha melepaskan diri dari jalinan ceritanya. Satu persatu tokoh

ceritanya berpamitan dan mulai meriwayatkan kisah mereka sendiri.

(104) Bahkan engkau lupa tokoh ciptaanmu sendiri, wahai Walmiki.


(Ajidarma, 2004:512)
(105) Para tokoh ciptaannya kemudian mengurus dirinya sendiri.
(Ajidarma, 2004: 518)
(106) “Aku juga akan pamit darimu Walmiki, karena aku juga berhak
mencari kebahagiaanku.” (Ajidarma, 2004: 569)
(107) Hanoman yang berumur panjang, menghadap untuk pamit,
mengund urkan diri dari cerita Walmiki. (Ajidarma, 2004: 600)

Ketika semua tokohnya mulai melepaskan diri, Walmiki mulai

menyadari betapa dirinya selama ini sendiri. Di sini Walmiki mulai

merasakan kesepian dan mempertanyakan tujuan hidupnya. Walmiki

kemudian memutuskan untuk berlayar ke negeri yang belum pernah

dikunjunginya. Di tengah perjalanan, kapal yang ditumpanginya diserbu

gerombolan bajak laut.

Di akhir kisah digambarkan bagaimana Walmiki ketakutan

menghadapi kematiannya. Bahkan seorang tukang cerita seperti Walmiki

tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Walmiki membayangkan

bahwa dirinya akan mati dengan cara yang mengenaskan seperti Prabu

Somali yang mati setelah kehujanan selama tiga hari tiga malam.

(108) Ia berpikir, usianya sudah 71, apalagi yang dicarinya dalam


hidup ini? Tetapi banyak orang hidup dengan pikiran jernih
sampai usia 80 tahun, bahkan 90 tahun, kenapa ia yang baru 71
60

tahun seperti sudah bosan hidup? Aku tidak bosan hidup,


jawabnya sendiri, aku juga tidak ingin mati, meskipun bertanya-
tanya pa yang dicarinya dalam hidup ini? (Ajidarma, 2004: 598)
(109) Setelah tiga hari tiga malam terus menerus diguyur hujan, Prabu
Somli mati di bawah pohon. Tubuhnya kaku kedinginan.
Walmiki menghela napas, apakah ia akan mati seperti Prabu
Somali? Udara makin lama makin terasa dingin dank abut tidak
juga berpendar. Walmiki sudah tidak bisa melihat lantai kapal,
juga tidak bisa lagi melihat tangannya sendiri, akan kemanakah
ia kan pergi? (Ajidarma, 2004: 600)

Walmiki merupakan sosok tokoh yang bijaksana. Melalui cerita

Ramayana yang diperdengarkannya pada orang banyak, Walmiki ingin

mengajarkan mengenai cinta dan kesetiaan. Kebijaksanaannya juga terlihat

saat dia masih bersama Sinta, Lawa, dan Kusa. Walmiki mengajarkan

banyak hal mengenai hidup dan kehidupan.

(110) Ketika ia masih menjadi seorang cantrik di sebuah padepokan,


Walmiki pernah mendapat pelajaran bahasa antarbangsa, namun
yang kemudian tidak pernah dipakainya, karena ia belum pernah
keluar dari batas anak benua. Tepatnya ia belum pernah berlayar
ke negeri orang. Walmiki kemudian merasa bodoh dirinya itu.
Terkungkung dalam sengketa anak benua yang menumpahkan
darah, mengembara ke sana kemari sampai tua, berkisah tentang
Ramayana di pasar-pasar dan kaki lima, sia-sia menularkan
gagasan kesetiaan dan cinta. (Ajidarma, 2004: 512)
(111) Walmiki mencoba membuat daftar tokoh-tokoh yang hanya
menjadi pelengkap penderita. Tokoh-tokoh yang hanya muncul
untuk mati. (Ajidarma, 2004: 508)
(112) Walmiki sedang berada di geladak. Layar terkembang membuat
kapal melaju. Mereka seperti sedang mendekati daratan. Orang
tua yang mencari nafkah dengan bercerita itu terkesiap. Ia akan
turun di sebuah negeri yang bahasanya maupun adat istiadatnya
tak ia mengerti. (Ajidarma, 2004: 509)
(113) Walmiki teringat bagaimana ia membuat Sinta ditelan bumi. Jadi
siapakah sebenarnya ibu Dewi Sinta ini? Dewi Tari atau Dewi
Pertiwi? Walmiki inin sekali menjauh dari dunia cerita, tapi jika
bahkan tokoh-tokohnya menjadi hidup dan menggugat pula,
61

bagaimana bisa? Ia melihat ke atas, bulan sabit seperti kapal


yang ikut berlayar di angkasa. (Ajidarma, 2004: 518)

Berdasarkan analisis penokohan Walmiki yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa Walmiki adalah orang tua yang bijaksana, penuh

pengertian, dan kesepian.

2.2.5 Rama
Rama adalah Raja Ayodya yang sangat berkuasa dan dihormati.

Wibawanya membuatnya menjadi raja yang sangat dihormati dan disegani

masyarakat. Rama merupakan titisan Wisnu yang menjelma sebagai manusia,

sehingga keberadaan Rama semakin membuatnya disegani.

(114) “Rama, titisan Wisnu, pembela umat manusia, penghancur


segala kejahatan…” (Ajidarma, 2004: 37)

Rama digambarkan sebagai sosok laki- laki yang lemah lembut dan

tenang. Ketenangannya ini memancarkan kewibawaan yang luar biasa

dalam dirinya. Secara fisik, Rama berwajah tampan. Rambutnya panjang

sebahu dan bergelombang. Dia juga mengenakan anting-anting di kedua

telinganya

(115) Lantas Trijata melihat Rama dan Laksmana. Mereka berkilau


seperti permata. Meski mereka hanya berbusana seperti pemburu
sederhana, sudah jelas keduanya titisan dewa. Wajah mereka
begitu bersih, seperti siapa pun yang ahli yoga, dan tindak
tanduk mereka begitu tenang, seperti ketenanan jiwa di
dalamnya. Rambut keduanya panjang dan bergelombang dengan
anting-anting berkilatan. Wajah kedua ksatria itu memancarkan
kedamaian. (Ajidarma, 2004: 291)
62

(116) Saat itulah ia melihat Rama, caha ya memancar nan perkasa.


Rambutnya panjang bergelombang seperti singa, dengan paras
tampan halus mulus penuh pesona. Kedua anting-antingnya yang
panjang di kiri dan kanan berkilatan kertap permata. Meski
hanya mengenakan jubah pengembara, Rama dan Laksmana tak
bisa menyembunyikan cahaya kesatriaannya. (Ajidarma, 2004:
28)

Rama memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Sinta.

Keduanya saling mencintai dan hidup penuh kebahagiaan sampai Rahwana

menculik Sinta dan membawanya ke Alengka. Rama yang sangat mencintai

Sinta mengutus Hanoman untuk membebaskan Sinta dari cengkraman

Rahwana.

Cinta Rama rupanya tidak sebesar kepercayaannya pada Sinta.

Berkali-kali Rama mempertanyakan kesetiaan Sinta. Di sini Rama

digambarkan sebagai tokoh yang penuh keragu-raguan dalam menentukan

benar dan salah. Keraguannya ini dibuktikan dengan menyuruh Sinta

mengenakan cincin bukti kesetian dan membakar diri dalam api sebagai

bukti kesuciannya.

(117) Pertama, ketika Rama mengutus Hanoman, wanara putih yang


perkasa itu, untuk menyelundup ke Taman Argasoka, tempat ia
disekap Rahwana di Alengka, dititipkannya sebuah cincin. Rama
meminta ia memakainya, jika jarinya bias masuk, tandanya ia
masih setia. (Ajidarma, 2004: 29)
(118) Kedua, setelah peperangan selesai, dan Rahwana terjepit Gunung
Sondara-Sondari jelmaan kepala anak-anaknya sendiri, masih
juga Rama meminta ia membuktikan kesetiaan dengan cara
dibakar api. (Ajidarma, 2004: 30)

Keragu-raguan Rama semakin dikuatkan dengan tuntutan rakyat

Ayodya untuk membuktikan kesetiaan Sinta. Rama digambarkan sebagai


63

sosok raja yang sangat memperhatikan rakyatnya. Karena hal ini pulalah

Rama tidak berani mempercayai keyakinannya sendiri bahwa Sinta masih

suci. Rama tidak kuasa menolak keinginan rakyat untuk mengusir Sinta dari

Ayodya. Rama tidak berani mengambil kembali cintanya dari Sinta karena

dia terlalu takut kehilangan rakyatnya. Rama lebih peduli pada

kelangsungan kekuasaannya di Ayodya daripada Sinta.

(119) “Tidak juga Rama, titisan BataraWisnu yang mahaperkasa dan


maha menghancurkan itu bisa menentukan nasibku. Sungguh
tiada pernah kukira betapa ksatria Ayodya yang kukira begitu
lembut dan begitu mulia ternyata begitu rendah diri sebagai
manusia. O lelaki mana kiranya yang tidak bias disebut rendah
diri jika tiada pernah percaya betapa suci istrinya meski istrinya
itu sudah begitu setia dalam cengkraman Rahwana yang kaya
raya? Rama telah membakar aku dalam api unggun raksasa yang
nyala apinya memerahkan langit demi kepercayaan dirinya
maupun orang-orang Ayodya. Mengapa begitu penting bagi
Rama untuk meyakinkan orang-orang Ayodya bahwa rahwana
sungguh-sungguh tiada pernah menyentuh apalagi menjamahku?
Kalau dia memang cinta kepadaku, mengapa dia tidak terima
saja aku apa adanya, meski seandainya Rahwana telah
memerkosa diriku? Kalau dia memang cinta kepadaku, bahkan
jika aku telah berbuat seperti seorang pelacur kepada Rahwana,
yang menyerahkan tubuh demi keselamatanku, tak juga Rama
harus menimbang-nimbang diriku. Cinta adalah cinta. Terimalah
aku seperti apa adanya.” (Ajidarma, 2004: 26)
(120) “Aku hanya mencintaimu o Rama, tetapi bagimu cinta orang-
orang Ayodya lebih penting ketimbang cintaku kepadamu.
Apakah itu hanya karena kamu seorang raja o Rama? Apakah
karena kamu seorang penguasa?” (Ajidarma, 2004: 27)

Pada akhirnya, Rama lebih mempercayai desas desus yang

berkembang di Ayodya daripada istrinya sendiri. Begitu takutnya Rama

kehilangan kepercayaan rakyat Ayodya, bahkan peringatan Hanoman tidak

digubrisnya sama sekali.


64

(121) Rama terlalu peduli pada desas desus yang berkembang di


Ayodya. (Ajidarma, 2004: 30)
(122) Sebagai raja titisan dewa, mengapa ia begitu percaya kepada
desas-desus Ayodya, mengapa ia begitu peduli? Bahkan
peringatan Hanoman yang turun dari pertapaannya di
Kendalisada tiada digubrisnya. (Ajidarma, 2004: 31)

Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya Rama menyimpan rasa sesal yang

begitu mendalam karena telah meragukan Sinta. Akan tetapi, penyesalan

akan cintanya ini justru menimbulkan bencana. Demi menghapus rasa

rindunya pada Sinta, Rama melakukan Persembahan Kuda. Persembahan

Kuda ini pada akhirnya berujung pada penghancuran dan perusakan. Anak

benua rata dengan tanah akibat nafsu berkuasa Rama. Rama yang semula

disegani dan dicintai berubah menjadi sosok yang ditakuti. Tanpa

disadarinya, Rama sudah terpengaruh Gelembung Rahwana yang tak henti-

hentinya menebarkan kejahatan.

(123) Di seluruh anak benua, bukanlah mustahil menahan kemarahan


Sri Rama titisan Wisnu, dewa penghancur itu sendiri? (Ajidarma,
2001: 15)
(124) Maka berlangsunglah Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk
dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak- injak hak
asasi manusia. (Ajidarma, 2004: 15)
(125) Dalam waktu singkat nama Sri Rama yang begitu harum sebagai
penakluk negeri Alengka, berubah menjadi nama yang sangat
menakutkan. (Ajidarma, 2001: 16)
(126) “Bahkan Rama telah kerasukan Gelembung Rahwana,” pikirnya.
(Ajidarma, 2004: 46)

Rama juga tidak menyadari bahwa hasil Persembahan Kuda yang

dilakukannya telah membuat banyak orang, termasuk Satya dan Maneka,

kehilangan keluarga dan harta bendanya. Rama hampir gila karena diburu
65

rasa bersalah, tetapi tidak bias mengambil sikap bijaksana sebagai seorang

pimpinan. Di sini Rama digambarkan sebagai tokoh yang terlalu terbawa

nafsu. Segala tindakannya tidak dipikirkan terlebih dahulu apa akibatnya.

Karena keteledorannya inilah anak benua kehilangan peradaban.

(127) Rama memang tidak mencarinya


Namun diburu perasaan bersalah sampai hampir gila.
Tahu dirinya bersalah
Tapi seperti bukan orang bij aksana…
Rama kehilangan daya
Sampai dibuatnya Persembahan Kuda
Betapa gawatnya pengaruh Gelembung Rahwana
Anak benua gempar karena persembahan
yang menunt ut banyak korban (Ajidarma, 2004: 52)
(128) Nafsu kekuasaan menghasilkan penindasan…
Semuanya akibat rindu dendam
kegilaan Rama yang tak tersalurkan (Ajidarma, 2004:52)
(129) Kepada setiap Negara di seluruh anak benua telah
dimaklumatkan suatu keputusan: Ayodya melaksanakan
persembahan kuda.

Pada akhirnya Rama bisa dikalahkan oleh Lawa dan Kusa. Lawa dan

Kusa sebenarnya adalah anak kembarnya sendiri. Begitu mengetahui bahwa

kedua bocah itu adalah putranya, Rama meminta mereka untuk mengantarnya

menemui Sinta. Akan tetapi, lagi- lagi Rama meminta Sinta untuk

membuktikan kesetiannya. Sinta yang kecewa moksa dan menyatu dengan

tanah. Sementara itu, Rama yang merasa putus asa dan tidak memiliki harapan

lagi juga moksa.

(130) “Sinta istriku, ibu anak-anakku, aku datang kemari tidak untuk
bertengkar. Aku tidak mempertaruhkan cinta untuk kekuasaan.
Baiklah kutanyakan saja sekarang, apakah engkau bisa
membuktikan kesucian?” (Ajidarma, 2004: 88)
66

(131) Bumi bergetar dan awan di langit berputar-putar setelah Sinta


mengucapkan sumpahnya. Tanah di bawahnya merekah dan
Sinta melayang ke bawah tanpa suara. (Ajidarma, 2004: 89)
(132) Setelah berkuasa selama 10.000 tahun, Rama merasakan
akhir kehidupan…
Rama menuju Sungai Serayu
Terlihat tian-tiang cahaya. (Ajidarma, 2004: 95)
(133) Rama dan Sinta, masing- masing moksa
Yang satu membumi, yang lain mengudara
Mungkinkah keduanya disatukan cinta? (Ajidarma, 2004: 96)

Berdasarkan analisis penokohan Rama yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa Rama adalah sosok raja yang penuh keraguan, ambisius,

dan arogan.

2.4 Rangkuman Alur, Tokoh Utama, dan Penokohan Tokoh Utama

Analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama dalam KOK dapat

disimpulkan secara umum. Alur yang digunakan dalam KOK adalah alur maju.

Bagian awal cerita yang berisi perkenalan dimulai dengan peristiwa Persembahan

Kuda yang dilakukan Rama sebagai Raja Ayodya untuk menaklukkan anak benua.

Balatentara Ayodya dan Goa Kiskenda menghancurkan dan memusnahkan apa pun

yang mereka lewati. Konflik berlanjut ketika pasukan Ayodya dan Goa Kiskenda

mendapat lawan yang tangguh. Mereka adalah Lawa dan Kusa yang tak lain adalah

putra kembar Rama dan Sinta. Konflik juga terjadi pada Satya dan Maneka yang

menjadi korban Persembahan Kuda. Satya dan Maneka yang bertemu secara tidak

sengaja, memutuskan untuk mencari Walmiki untuk mengubah nasib. Konflik

semakin meningkat ketika Satya dan Maneka memutuskan untuk mencari Kitab
67

Omong Kosong. Konflik batin juga terjadi pada Satya dan Maneka. Satya diam-diam

mencintai Maneka. Sementara itu, Maneka berusaha mengabaikan perasaan Satya

karena trauma akan masa lalunya sebagai pelacur. Konflik memuncak ketika Maneka

diculik para bandit Gurun Thar dan hampir dijadikan korban persembahan.

Klimaks terjadi saat Hanoman mengubur semua orang Gurun Thar tersebut dan

menanamkan sebuah totem sebagai peringatan tentang orang jahat yang terhukum.

Dengan kemarahan yang luar biasa, Hanoman menghukum semua orang Gurun Thar

tanpa ampun. Klimaks menurun saat Satya dan Maneka akhirnya bertemu. Mereka

juga berhasil menemui Walmiki dan meminta undur diri dari cerita yang ditulisnya.

Satya dan Maneka juga berhasil bertemu dengan Hanoman . Penyelesaian terjadi

ketika Satya dan Maneka berhasil menemukan semua bagian dari Kitab Omong

Kosong dan berhasil memahami isinya.

Tokoh utama dalam KOK adalah Satya, Maneka, Hanoman, Walmiki, dan

Rama. Maneka adalah seorang perempuan bekas pelacur berusia 20 tahun yang

berkemauan keras, pantang menyerah, memiliki keinginan kuat untuk mempelajari

segala hal, pemberontak, dan tertutup dalam menanggapi cinta. Satya adalah seorang

pemuda berusia 16 tahun yang sabar, penuh pengertian, pandai, berkemauan kuat, dan

sangat menghargai kesucian cinta. Hanoman adalah wanara putih yang pemberani,

setia, menjunjung tinggi kebenaran, berani melawan arus jika hal yang diyakininya

benar, bijaksana, dan membenci ketidakadilan. Walmiki adalah penulis Ramayana

yang sangat termashur. Dia adalah orang tua yang bijaksana, penuh pengertian, dan

kesepian. Rama adalah sosok raja yang penuh keraguan, ambisius, dan arogan.
BAB III

PENGARANG IMPLISIT

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

3.1 Pengarang Implisit

Implied author atau pengarang implisit adalah seseorang yang ada di balik

pengarang dan dipakai pada saat menuliskan karyanya (Taum, 1997: 28). Seno

sebagai pengarang nyata melibatkan diri dalam karya yang ditulisnya. Penulis nyata

adalah pengarang sendiri yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap kalimat-

kalimat yang diajukan dalam karyanya itu. Jadi kalimat-kalimatnya sesuai dengan

intensi pengarang itu sendiri, namun intensi itu bukanlah rencana yang dipikirkan

sebelum penciptaan atau motif yang mendorong penulisan, melainkan apa yang

diniatkan oleh kata-kata yang dipergunakan dalam karyanya (Taum, 1997: 29).

Tamba dalam tulisannya yang berjudul Wayang dalam Sastra: Tertawa Versus

Ketegangan mengatakan bahwa dalam novel KOK, Seno mencoba mengukuhkan mitos

wayang Ramayana namun sekaligus pula mencoba membongkar, memberontak dan

mendekontruksi mitos dan nilai- nilai tentang lakon Ramayana yang sudah mengakar

di masyarakat. Upaya pembongkaran ini pertama sekali terletak pada penyusunan alur

cerita. Kalau kitab Ramayana asli dibagi dalam urut-urutan tujuh kanda, yakni Bala

Kanda, Ayodya Kanda, Aranya Kanda, Kiskenda Kanda, Sundara Kanda, Yudha

Kanda dan Utara Kanda, dalam novel KOK, Seno justru memulai dari ide cerita Utara

68
69

Kanda yang justru merupakan bagian akhir Ramayana yang tidak populer di Jawa

(http://www.ppsjs.com.htm)

Seno sebagai pengarang nyata (real author) berada dalam karyanya sebagai

sosok lain, yaitu pengarang implisit (implied author). Seno Gumira Ajidarma

dilahirkan di Boston pada tanal 19 Juni 1958 dan dibesarkan di Yogyakarta. Ayahnya

Prof. Dr. MSA Sastromidjojo adalah guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah

Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak. Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang

dengan pemikiran sang ayah. Walau nilai untuk pelajaran ilmu pasti tidak jelek-jelek

amat, ia tak suka aljabar, ilmu ukur, dan berhitung. “Entah kenapa. Ilmu pasti itu kan

harus pasti semua dan itu tidak menyenangkan,” ujar Seno (http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).

Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, Seno gemar membangkang

terhadap peraturan sekolah, sampai-sampai ia dicap sebagai penyebab setiap kasus

yang terjadi di sekolahnya. “Aku pernah diskors karena membolos,” tutur Seno.

Imajinasinya liar. Setelah lulus SMP, Seno tidak mau sekolah. Terpengaruh cerita

petualangan Old Shatterhand di rimba suku Apache, karya pengarang asal Jerman

Karl May, ia pun mengembara mencari pengalaman. Selama tiga bulan ia

mengembara di Jawa Barat, lalu ke Sumatera berbekal surat jalan dari RT

Bulaksumur yang gela rnya profesor doktor. Sampai akhirnya jadi buruh pabrik

kerupuk di Medan. Karena kehabisan uang, ia minta duit pada ibunya. Tapi ibunya

mengirim tiket untuk pulang. Seno pulang dan meneruskan sekolah (ibid).
70

Ketika SMA ia sengaja memilih SMA yang tidak memakai seragam. “Jadi

aku bisa pakai celana jeans, rambut gondrong.” Komunitas yang dipilih sesuai

dengan jiwanya. Bukan teman-teman di lingkungan elit perumahan dosen

Bulaksumur UGM, tetapi komunitas anak-anak jalanan yang suka tawuran dan

ngebut di Malioboro. “Aku suka itu karena liar, bebas, dan tidak ada aturan.” (ibid).

Seno mengalami banyak hal selama berkarir sebagai seorang wartawan. Seno

dikenal sebagai wartawan yang berani mengungkapkan fakta dalam setiap tulisannya.

Sastra merupakan salah satu caranya dalam mengungkapkan kebenaran. Dalam

kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, Seno

menyatakan bahwa ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika

jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari kebenaran (Ajidarma,

2005: 40).

Seno sebagai pengarang implisit melihat kekuasaan sering digunakan sebagai

alat penindasan. Hal tersebut terlihat saat Rama menggunakan kekuasaannya dengan

semena- mena. Penaklukan anak benua yang dilakukan dengan berbagai perusakan

dianggap suatu hal yang sah. Seno sebagai pengarang implisit tidak setuju dengan hal

tersebut. Kutipan berikut menunjukkan ketidaksetujuan Seno.

(134) Satu pembunuhan menimbulkan luka satu keturunan, seribu


pembantaian menimbulkan luka satu generasi. Bagaimanakah
suatu bangsa akan tumbuh dengan luka panjang dalam
sejarahnya? Bagaimanakah suatu kesakitan harus diterima?
(Ajidarma, 2004: 190)
(135) Mudah untuk menyerbu, membantai, dan menghancurkan
peradaban, tetapi tidak pernah mudah membangunnya kembali
(Ajidarma, 2004: 128).
71

(136) Maka berlangsunglah Persembahan Kuda, sebuah upacara untuk


dewa-dewa atas nama perdamaian yang menginjak- injak hak
asasi manusia. (Ajidarma, 2004: 15)
(137) Penderitaan tidak melahirkan perenungan, melainkan dendam
terhadap kemapanan. Kejahatan marak di mana- mana.
Perampokan, pemerkosaan, danpembunuhan bukan lagi suatu
kesalahan (Ajidarma, 2004: 128).

Pemberontakan Seno sebagai pengarang implisit terhadap penguasa dalam

KOK juga tercermin dalam kehidupan Seno sebagai pengarang nyata. Seno adalah

sosok yang tidak suka dengan tindakan semena-mena penguasa yang kadang

meremehkan rakyat kecil. Seno juga sosok ayah yang sangat menyayangi anaknya.

Jiwa Seno kembali terusik ketika Timur Angin, anaknya, menjadi salah satu korban.

Timur Angin terlibat demonstrasi di boulevard UGM pada 3 April 1998 yang

berakhir dengan penyerbuan aparat keamanan ke dalam kampus. Dia mengirim

somasi kepada Panglima ABRI yang saat itu berkuasa untuk meminta maaf secara

terbuka. Kutipan berikut merupakan penggalan surat terbuka Seno yang ditujukan

pada Panglima ABRI.

(138) Seperti telah diketahui, saya melalui Lembaga Bantuan Hukum


(LBH) Yogyakarta telah mengajukan tuntutan kepada Panglima
Angkatan Bersenata Republik Indonesia, berhubungan dengan
Tragedi 3 April di Universitas Gadjah Mada. Dalam peristiwa
itu, anak saya, Timur Angin, 19, telah diseret dan diinjak- injak
kepalanya oleh para petugas keamanan.
(http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.h
tml)
(139) Saya telah mengajukan tuntutan, dan hal ini telah
dipublikasikan. Sehubungan dengan hal itu banyak pihak telah
memperingatkan saya bahwa “seperti yang lain- lain” pasti akan
diteror. Maksudnya? Tekanan tidak resmi supaya saya mencabut
gugatan. Saya bukan orang yang begitu beraninya melawan
teror, melainkan saya masih percaya bahwa jiwa ksatria seperti
yang ada pada diri Kolonel (Pol) Chaerul belum hilang sama
72

sekali dari ABRI milik rakyat Indonesia ini. (http://


www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html)

Pada usia 17 tahun ia bergabung dengan Teater Alam pimpinan Azwar A.N.

sejak itu , ia terus terlibat dalam dunia kesenian. Seno memulai kegiatan sastranya

dengan menulis puisi, cerita pendek, baru kemudian menulis esai. Puisinya yang

pertama dimuat dalam rubrik Puisi Lugu majalah Aktuil asuhan Remy Silado.

Cerpennya yang pertama dimuat di surat kabar Berita Nasional dan esainya yang

pertama tentang teater dimuat di surat kabar Kedaulatan Rakyat (http://www.pikiran-

rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm).

Pada tahun 1997 Seno pindah ke Jakarta dan kuliah di Departemen

Sinematografi Lembaga Kesenian Jakarta (kini Institut Kesenian Jakarta). Pada tahun

yang sama Seno mulai bekerja sebagai wartawan lepas pada surat kabar Merdeka.

Tidak lama kemudian ia menerbitkan majalah kampus bernama Cikini dan majalah

film bernama Sinema Indonesia. Setelah itu, ia juga menerbitkan mingguan Zaman

dan ikut menerbitkan majalah berita Jakarta-Jakarta pada tahun 1985. Pekerjaan

sebagai wartawan terus dijalani Seno sambil tetap menulis cerpen dan esai (ibid).

Pada tahun 1992 Seno dibebastugaskan dari jabatan redaktur pelaksana

Jakarta-Jakarta berkaitan dengan pemberitaan tentang insiden Dili pada tahun 1991.

Selama menganggur, Seno kembali ke kampus, yang ketika itu telah menjadi Fakultas

Televisi dan Film, Institut Kesenian Jakarta. Ia menamatkan studinya dua tahun

kemudian. Setelah sempat diperbantukan di tabloid Citra pada akhir tahun 1993,
73

Seno kembali diminta memimpin Jakarta Jakarta yang telah berubah menjadi

majalah hiburan (ibid).

Pengarang implisit dalam KOK melihat bahwa tindakan semena- mena

penguasa tidak harus diterima dengan rasa takut, tetapi dilawan. Hal ini terlihat dari

tokoh Hanoman yang berani melawan Rama yang sudah mulai dibutakan oleh

kekuasaan. Hanoman mengambil tindakan berani untuk meninggalkan Rama, raja

yang selama ini dijunjungnya, karena Rama tidak lagi menjadi penguasa yang

mengayomi rakyat. Tindakan berani yang diambil Hanoma n merupakan upaya

pemberontakan pengarang implisit dalam mempertahankan kebenaran. Hanoman

berani melawan arus, walaupun dengan konsekuensi dia harus meninggalkan Ayodya

karena prinsipnya.

Seno dalam KOK melihat kaum miskin dan terpinggirkan sebagai kaum yang

istimewa. Hal ini terlihat dari cara Seno mengangkat Satya dan Maneka ke dalam alur

cerita Ramayana-nya. Seno sebagai pengarang implisit membuat Satya dan Maneka

yang semula hanya tokoh tak berarti menjadi bagian penting dalam perjuangan

manusia mencapai kesempurnaan peradaban dan ilmu pengetahuan. Melalui tokoh

Satya dan Maneka ini, pengarang implisit hendak menegaskan betapa pentingnya

peran kaum terpinggirkan dalam dunia ini, walaupun kehadiran mereka banyak

terlupakan. Penguasa sekalipun tidak akan memperoleh kekuasaannya tanpa bantuan

mereka. Akan tetapi, betapa pun pentingnya kehadiran kaum terpinggirkan ini,

mereka selalu menjadi korban atas segala tindakan penguasa. Kutipan berikut

menunjukkan pengarang implisit yang berpihak pada kaum terpinggirkan.


74

(140) Selalu rakyat yang jadi korban (Ajidarma, 2004: 136)

Melalui perjalanan Maneka dan Satya dalam mencari Walmiki dan Kitab

Omong Kosong, terlihat usaha pengarang implisit untuk memperlihatkan usaha kaum

terpinggirkan dalam mengubah nasibnya. Maneka dan Satya diceritakan begitu gigih

dalam mencari Walmiki untuk menuntut perubahan jalan hidupnya. Mereka juga

sangat total dalam mencari Kitab Omong Kosong. Kedua hal tersebut mereka jalani

walaupun jalan berliku harus dilewati. Tak jarang mereka menghadapi masalah dalam

perjalanan, bahkan Maneka sampai diculik oleh para bandit Gurun Thar dan hampir

dijadikan korban persembahan. Usaha keras keduanya bukannya tanpa hasil. Mereka

berhasil menemukan Walmiki dan menuntut keluar dari jalan ceritanya. Mereka juga

berhasil menemui Hanoman dan menemukan Kitab Omong Kosong, bahkan berhasil

memahami isinya. Akan tetapi, segala perjalanan dan lika- liku yang ditempuh seakan

tidak menunjukkan hasil yang luar biasa. Hal tersebut tidak lantas membuat mereka

menjadi orang yang paling berkuasa atau orang yang paling pandai. Keduanya

menjalani kehidupan biasa setelah berhasil melewati semua itu. Perbedaannya, kini

mereka bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Maneka tidak lagi tersiksa dengan

masa lalunya sebagai pelacur dan bisa menjalani kehidupan normal, demikian juga

Satya. Pengarang implisit seakan ingin menunjukkan bahwa usaha kaum

terpinggirkan untuk mengubah hidupnya, terkadang juga berimbas pada perubahan

dunia. Walaupun hal tersebut tidak disadari orang, toh rakyat kecil juga ikut ambil

bagian penting dalam membawa perubahan.


75

Di bagian paling akhir KOK, diketahui bahwa ternyata Togog- lah yang

menuliskan cerita ini. Togog dikenal sebagai abdi para tokoh jahat dalam dunia

pewayangan. Dia adalah saudara Sema r. Togog selalu mengabdi pada tokoh-tokoh

yang memiliki sifat buruk. Tugasnya adalah menjadi penasihat bagi para tuannya

yang jahat agar bisa melaksanakan setiap niat liciknya. Akan tetapi, Togog juga

selalu diabaikan dan dianggap tidak penting. Di sini, Seno sebagai pengarang implisit

hendak menampilkan Togog sebagai pencerita. Seorang Togog-pun patut untuk

didengarkan. Tidak selamanya tokoh yang dianggap jahat selamanya memiliki sifat

buruk dan tokoh yang baik memiliki sifat yang terpuji. Tokoh yang dianggap buruk

sifatnya pun bisa mengungkapkan kebenaran dari sudut pandangnya.

(141) Saya Togog, penulis cerita ini, mohon maaf kepada Pembaca
yang Budiman, telah menghabiskan waktu Pembaca sekian lama
untuk mengikuti cerita ini. Saya Togog hanyalah tukang cerita
yang bodoh tidak diberkati para dewa. Saya Togog, hanyalah
orang terbuang, tidak disayang seperti Semar, memang tidak
layak diperhatikan, buruk rupa, terlalu banyak bicara, banyak
bohong, berpanjang-panjang mengarang cerita (Ajidarma, 2004
618).

Pengarang implisit dalam KOK memiliki kepedulian terhadap masalah-

masalah perempuan. Sinta dan Maneka adalah dua tokoh perempuan yang tertindas.

Sinta adalah istri Rama yang harus pergi meninggalkan Ayodya dan terlunta- lunta di

hutan akibat ketidakpercayaan suaminya sendiri. Maneka adalah pelacur malang yang

menderita akibat rajah kuda yang dimilikinya sama dengan kuda yang digunakan

Rama dalam Persembahan Kuda. Sinta dan Maneka adalah dua wanita dari dua kelas

sosial yang berbeda, tetapi mengalami nasib yang hampir sama. Keduanya menjadi
76

korban kekuasaan. Pengarang implisit melihat bahwa perempuan dari berbagai

kalangan selalu menjadi korban.

(142) “Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggung!


Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menadi korban!” (Ajidarma,
2004: 313)
(143) “Ia tak pernah peracaya aku setia, ia mencintaiku atau
menguasaiku?” (Ajidarma, 2004: 82)

Sinta berjuang mempertahankan cinta dan kesetiaannya selama berada dalam

tawanan Rahwana. Sementara itu, Rama justru terpengaruh dengan hasutan rakyat

dan mengusir Sinta dari Ayodya karena menganggapnya sudah tidak suci lagi. Di sini

terlihat pengarang implisit yang peduli pada permasalahan-permasalahan perempuan.

Pengarang implisit juga melihat kompleksnya cinta yang harus dijalani Sinta,

Satya, dan Maneka. Bagi sebagian orang, cinta dan kesetian harus mampu dibuktikan.

Hal ini juga yang dituntut Rama. Dia ingin istrinya membuktikan bahwa dirinya

masih suci. Sementara itu, cinta yang dipendam Satya pada Maneka adalah cinta yang

suci dan tidak menuntut.

Sejak kecil Seno dikenal sebagai sosok yang pembangkang. Karena

kebebasannya untuk menuliskan Insiden Dili dalam pemberitaan telah dipasung, Seno

berusaha menuliskannya ke dalam bentuk lain yaitu sastra. Dari sinilah lahir

kumpulan cerpen Saksi Mata dan sebuah novel Jazz, Parfum, dan Insiden yang

berlatar belakang insiden Dili. Menulis cerpen merupakan usaha lain untuk

mengungkapkan kebenaran. Dalam kumpulan esainya Ketika Jurnalisme Dibungkam

Sastra Harus Bicara, Seno mengungkapkan proses kreatifnya perihal cerpen dan

novelnya yang berlatar insiden Dili. Dalam bukunya ini, Seno dengan juga
77

mengungkapkan cara berpikirnya dalam ‘pembungkaman’ yang dilakukan

pemerintah Orde Baru atas Jakarta Jakarta. Kutipan berikut menunjukkan pengakuan

Seno seputar pemberhentiannya dari Jakarta Jakarta dan usaha perlawanan yan

dilakukan untuk mengungkap kebenaran.

(144) Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara, karena jika


jurnalisme bersumber dari fakta, maka sastra bersumber dari
kebenaran. Ini membuat saya dengan sengaja mencari segala
segi dari Insiden Dili yang bisa menjadi cerpen – sebagai suatu
cara untuk melawan (Ajidarma, 2005: 40).
(145) Peristiwa yang saya alami – tanpa merujuk lembaga apapun –
saya anggap merupakan keangkuhan kekuasaan, yang begitu
tidak rela terusik, meski melakukan kesalahan. Angkuh
bukanlah suatu kesalahan, kesalahannya adalah karena harus
mengorbankan orang lain. Tapi jika orang lain itu adalah saya,
dengan rendah hati, meski tanpa saya kehendaki, saya akan
melawan. Dalam bahasa preman, “acing diinjak pun menggeliat,
apala gi manusia.” Dengan ini saya ingin menyatakan,
perlawanan saya bukanlah suatu tindakan heroik – itu hanya soal
naluri alamiah (Ajidarma, 2005: 97-98)
(146) Saya diberhentikan karena meloloskan berita mengenai Insiden
Dili 12 November 1991: laporan 17 saksi mata mengenai
peristiwa berdarah itu, yang jelas berbeda dengan berita-berita di
media massa resmi. Saya menafsirkan pemberhent ian saya
sebagai usaha pembungkaman untuk mengungkap fakta seputar
Insiden Dili, saya menganggap perlawanan paling tepat adalah
mengungkapkan kembali fakta tersebut. Namun karena saat itu
saya mengalami pencekalan dalam dunia fakta, maka saya hanya
berpeluang mengungkapkannya dalam dunia fiksi (Ajidarma,
2005:180-181)

Seno yang berjiwa bebas juga tercermin dalam karyanya. Seno sebagai

pengarang implisit berbicara mengenai kebebasan. Satya dan Maneka adalah dua

tokoh yang menuntut perubahan dalam jalan hidupnya. Keduanya mencari Walmiki

untuk menuntut jalan cerita yang telah dituliskan untuk mereka. Satya dan Maneka

bukan satu-satunya tokoh yang minta keluar dari jalinan cerita yang ditulis Walmiki.
78

Ada Talamariam, Kapi Moda, dan beberapa tokoh tak bernama yang menemui

Walmiki dan minta undur diri untuk menuliskan cerita mereka sendiri. Tokoh-tokoh

yang dikisahkan menggugat Walmiki ini adalah tokoh-tokoh kecil dalam alur cerita

Ramayana. Seno sebagai pengarang implisit melihat bagaimana tokoh kecil atau

kaum terpinggirkan selalu berusaha menuntut perubahan nasib, tetapi kehadiran

mereka bahkan tidak disadari dan cenderung dilupakan.

(147) “Walmiki,” kata wanara tua itu, “kamu lupa membunuhku.”


(Ajidarma, 2004: 484)
(148) Walmiki, meskipun ingat akan Kapimoda, lupa- lupa ingat akan
perannya (Ajidarma, 2004: 485).
(149) “Itulah masalahnya, Walmiki, riwayatku berubah-ubah daris atu
penulis ke penulis lain. Mereka menafsirkanku dengan cara yang
berbeda-beda sama sekali, kadang-kadang dengan sangat
bertolak belakang. Akumerasa terpontang-panting dari watak
satu ke watak lain.” (Ajidarma, 2004: 513).
(150) “Itulah masalahnya, setelah pribadiku tidak jelas, aku tak
berperan apa pun, para pengarang tidak pernah peduli lagi
kepadaku, aku menadi terlantar.s etelah berubah-ubah begitu
rupa, aku menadi bukan siapa-siapa. Padahal aku ini tetap ada.
Siapakah aku, wahai pengarangku, engkau harus memberekan
aku.” (Ajidarma, 2004: 513-514)
(151) Itulah pertanyaannya. Seberapa jauh seorang juru cerita
bertanggung jawab atas nasib tokoh-tokohnya? (Ajidarma, 2004:
369)

“Jalan ilmu pengetahuan terstruktur membukakan kesadaran bahwa realitas

‘yang benar’ adalah konvensi, kesepakatan; bahwa yang bernama ‘realitas’

sebenarnya merupakan konstruksi sosio-historis. Segala sesuatu diciptakan karena

ada kebutuhan. Teori juga begitu. Mereka lahir dari yang sudah ada. Posmodernisme

lahir karena modernisme, dekonstruksi lahir karena konstruksi, poststruktularisme

lahir karena strukturalisme,” ujarnya (http://www.kompas.com/kompas-


79

cetak/0508/19/Sosok/197999.htm). Dalam KOK ilmu pengetahuan menjadi kunci

utama membangun peradaban yang hancur akibat bencana Persembahan Kuda. Kitab

Omong Kosong menjadi kunci untuk menyatukan lagi segala ilmu pengetahuan dan

membangun peradaban yang telah hancur. Akan tetapi, ilmu pengetahuan menjadi

alat untuk memperebutkan kekuasaan. Kitab Omong Kosong dianggap mampu

membuat seseorang berkuasa jika berhasil mendapatkan dan memilikinya. Seno

sebagai pengarang implisit melihat ilmu pengetahuan dalam KOK menjadi salah satu

alat pemenuh hasrat manusia untuk berkuasa.

3.2 Rangkuman Pengarang Implisit

Pengarang implisit dalam KOK menuturkan berbagai hal yang mewakili cara

pandangnya dalam melihat setiap permasalahan yang ada dalam KOK. Seno sebagai

pengarang implisit melihat kekuasaan yang dijalankan Rama sebagai sebuah usaha

yang dijalankan Rama untuk memuaskan hasrat pribadinya. Pengarang implisit

mengisahkan kekuasaan yang membuat rakyat kecil menjadi tertindas. Pengarang

implisit ingin menegaskan bahwa tindakan sewenang-wenang penguasa terhadap

rakyat kecil harus bisa dilawan. Penguasa sering lupa akan peran rakyat kecil atau

kaum pinggiran, padahal merekalah yang menentukan jalannya kekuasaan.

Melalui tokoh Satya dan Maneka ini, pengarang implisit hendak menegaskan

betapa pentingnya peran kaum terpinggirkan dalam dunia ini, walaupun kehadiran

mereka banyak terlupakan. Akan tetapi, betapa pun pentingnya kehadiran kaum

terpinggirkan ini, mereka selalu menjadi korban atas segala tindakan penguasa.
80

Seno sebagai pengarang implisit juga mengangkat masalah- masalah

perempuan. Sinta dan Maneka ditampilkan sebagai tokoh perempuan yang

mengalami penindasan akibat hasrat berkuasa Rama yang begitu membabi-buta.

Pengarang implisit menampilkan perempuan dari dua strata sosial yang berbeda,

tetapi mengalami kemiripan nasib. Cinta Sinta yang begitu besar pada Rama, ternyata

masih memerlukan pembuktian. Keraguan Rama membuatnya kehilangan Sinta.

Sementara itu, Satya yang memendam rasa cinta pada Maneka tidak menuntut banyak

hal. Dia hanya menanti saat yang tepat untuk mengungkapkannya.

Satya dan Maneka menjadi sarana pengarang implisit dalam menggambarkan

perjuangan manusia dalam menggapai kebebasan. Seno sebagai pengarang implisit

melihat bahwa usaha yang dilakukan Satya dan Maneka untuk mengubah suratan

takdirnya merupakan usaha yang patut dicontoh. Hidup memang harus selalu

diperjuangkan. Melalui Kitab Omong Kosong yang berusaha mereka pahami, Satya

dan Maneka akhirnya menemukan pencerahan. Mereka juga berhasil memperoleh

kebebasan yang mereka idam- idamkan. Akan tetapi, dala m perjalanan mencari Kitab

Omong Kosong banyak hal yang mereka pahami. Pengarang implisit menuturkan

bagaimana ilmu pengetahuan yang diincar banyak orang dalam Kitab Omong Kosong

telah membuat banyak orang ingin menguasai dunia.


BAB IV

IDEOLOGI PENGARANG

DALAM NOVEL KITAB OMONG KOSONG

KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA

Destut de Tracy memunculkan kata ideologi sebagai istilah untuk menunjuk

pada “ilmu tentang gagasan” (Sobur, 2004: 211). Seorang pengarang memiliki cara

yang unik dalam menangkap permasalahan dibandingkan dengan masyarakat pada

umumnya. Jiwa yang selalu gelisah, benturan antarnilai akibat kompleksitas cara

memandang berbagai persoalan kehidupan, serta perbedaan cara memandang

persoalan kehidupan tersebut dengan pandangan masyarakat di sekitarnya

merupakan sebuah karakteristik umum yang menghinggapi seorang pengarang karya

sastra.

Dalam KOK terdapat tokoh-tokoh yang mendukung jalannya cerita. Tokoh-

tokoh ini kemudian membentuk suatu kesatuan yang saling menguatkan tentang

adanya pola berpikir atau ideologi mereka. Penelitian ini hanya mengkaji ideologi

pengarang jika dihubungkan dengan alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama

dalam KOK karya Seno kemudian dicari hubungannya dengan pengarang impisit.

Tokoh utama yang diteliti yaitu Rama, Maneka, Satya, Hanoman, dan Walmiki.

Kelima tokoh ini dianggap mampu mewakili pemikiran pengarang. Kelima tokoh ini

juga menjadi sentral penceritaan dalam KOK. Sebelum mengkaji ideologi pengarang,

penulis mencoba mengkaji implied author (pengarang implisit) sebaga i jembatan atau

81
82

penghubung. Analisis mengenai pengarang implisit ini merupakan suatu cara untuk

melihat diri lain pengarang dalam karyanya sebelum masuk dalam analisis ideologi.

Hal ini telah dilakukan penulis pada bab sebelumnya.

Pengertian ideologi di sini akan lebih memperlakukan sebagai sistem

kepercayaan, nilai- nilai, dan kategori-kategori yang menadai acuan dalam

memahami, menanggapi, dan menerangkan setiap permasalahan hidup (Budiman,

1994:47). Pengarang sebagai pencipta karya sastra tidak bisa diabaikan

keberadaannya dalam proses penciptaan karya sastra. Karya sastra merupakan hasil

perenungan hidup seorang sastrawan yang diwujudkan dalam cerita.

Kenangan dan harapan kita membuat kita hidup tidak hanya bersama apa yang

kita pandang, tidak cuma yang kita alami, tapi juga termasuk apa yang kita impikan.

Begitulah mimpi- mimpi menjadi bagian dari dunia konkret seorang penulis. Bukan

hanya penulis sebetulnya, setiap manusia, namun bagi seorang penulis semua hal

abstrak ini menjadi dunia nyata yang bisa dijelajahi – yang tidak lebih dan tidak

kurang juga berarti: bisa dituliskan (Ajidarma, 2005: 126-127).

4.1 Ideologi Pengarang

Berdasarkan penelitian mengenai pengarang implisit dalam KOK yang telah

dilakukan pada bab sebelumnya, penulis menemukan enam pokok ideologi

pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi pengarang mengenai

kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang


83

mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang

mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.

4.1.1 Ideologi Pengarang Mengenai Kekuasaan

Seno membuat sebuah cerita yang menunjukkan dua sisi kehidupan,

yaitu antara penguasa dan rakyatnya. Melalui tokoh Rama, Seno

menunjukkan lika-liku seorang penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

Seno juga menjungkirbalikkan pandangan umum mengenai Rama sebagai raja

yang dikagumi. Dalam KOK, Seno juga mengungkap borok tersembunyi

Rama sebagai seorang penguasa. Sementara itu, melalui Satya dan Maneka,

Seno hendak menunjukkan kehidupan rakyat kecil yang tertindas akibat ulah

penguasa yang semena-mena.

Kekuasaan yang membabi buta yang dijalankan Rama, membuat

Hanoman yang dikenal sebagai kepercayaan Rama angkat bicara atas

ketidaksetujuannya. Hanoman berani menolak dan memprotes tindakan Rama

melakukan Persembahan Kuda yang telah menghancurkan anak benua. Di sini

Seno seperti hendak menegaskan bahwa bawahan pun berhak menolak

kemauan penguasa. Hanoman dikenal sebagai bawahan Rama yang setia dan

selalu mengikuti setiap perintah tuannya itu. Akan tetapi, dalam KOK

Hanoman justru berselisih paham dengan Rama. Hanoman bahkan

meninggalkan Ayodya untuk bertapa karena tidak sejalan lagi dengan Rama.

Hanoman tidak setuju dengan sikap Rama yang meragukan kesetiaan Sinta.
84

Honoman juga tidak setuju dengan tindakan Rama yang melakukan

Persembahan Kuda untuk menaklukan anak benua. Walaupun Hanoman

sangat menghormati Rama, tetapi hatinya tidak bisa menerima tindakan Rama

yang mulai di luar kendali. Hanoman pun memutuskan untuk meninggalkan

Ayodya dan tidak ikut campur lagi dengan semua permasalahan Ayodya.

(152) Namun di hadapan Rama, Sang Hanoman bicara terus terang.


“Saya melihat Gelembung Rahwana turun dari langit. Kita
dikuasai sifat-sifat jahat Rahwana. Lihatla h bagaimana rakyat
Ayodya menjadi edan. Sinta yang setia dituduh bukan-bukan.
Bahkan Rama suaminya, tidak peduli kepada nasib ibu yang
mengandung anaknya.” (Ajidarma, 2004: 45)
(153) “Aku Hanoman sudah melihat bermiliar-miliar Gelembung
Rahwana di udara, itulah semua pembangkit kebencian.
Kudengar juga tentang Persembahan Kuda, darah tumpah di
seluruh anak benua, karena cintamu meradang dalam kesalahan.
Inilah pelajaran bagi kekuasaan Rama. Kita bisa menguasai
dunia, tapi tidak bisa menguasai cinta. Renungkanlah Rama, dan
terimalah. Aku Hanoman berkirim salam.” (Ajidarma, 2004: 76)

Hanoman adalah tokoh yang dikenal bijaksana. Sebagai kepercayaan

Rama, Hanoman seharusnya membela dan membantu setiap hal yang dilakukan

junjungannya. Akan tetapi, Hanoman justru menentang segala tindakan Rama

yang mulai tak terkendali akibat Gelembung Rahwana. Hanoman juga

menyayangkan sikap Rama yang meragukan kesetian Sinta. Kutipan (100)

menunjukkan kekecewaan Hanoman pada Rama.

(154) “Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku


Hanoman tidak akan datang. Sejak semula sudah kukatakan,
seluruh Ayodya bersalah ketika kesucian Sinta dipersoalkan. Aku
sendiri yang membawa cincin kesetian itu ke Alengka. Kita
semua sudah membuktikan sekali lagi kesucian seorang
perempuan, dengan sebuah pembakaran. Apalagi yang harus
85

dibuktikan? Lagi pula, di dalam cinta, kesucian tidak usah


dipersoalkan.” (Ajidarma, 2004: 76)

Hanoman memandang bahwa segala perbuatan pemimpin tidak

selamanya benar. Segala hal yang mulai menyimpang dan mulai berada di luar

batas harus mampu dilawan. Seorang bawahan sekalipun harus mampu

berbicara dan mengutarakan ketidaksetujuannya. Tidak selamanya seorang

penguasa harus diikuti. Rakyat harus mampu mengambil sikap atas segala

tindakan penguasa. Hal tersebut juga tercermin dari sikap Hanoman yang

memilih meninggalkan Ayodya dan melanjutkan tapanya karena mulai tidak

sejalan dengan Rama. Hanoman merasa bahwa dirinya benar. Walaupun Rama

adalah atasannya, Hanoman tidak mau begitu saja menyetujui setiap tindakan

Rama. Orang rendahan pun berhak menolak keinginan penguasa. Kutipan

berikut memperlihatkan bagaimana Rama terpana atas penolakan Hanoman.

(155) Rama terpana dengan penolakan Hanoman. (Ajidarma, 2004: 76)


(156) “Rama Raja Ayodya, Rama Sang Titisan, ketahuilah aku
Hanoman tidak akan datang.” (Ajidarma, 2004: 76)

Sebagai bawahan Rama, Hanoman memiliki sikap dalam menanggapi

setiap keputusan Rama sebagai pemimpin. Hal-hal yang dirasanya tidak pantas

dan membawa dampak buruk akan ditolak Hanoman. Jika sikap penguasa dan

keyakinan yang dianutnya mulai tidak sejalan dan bertentangan, Hanoman tidak

ragu-ragu untuk mengambil jalannya sendiri. Akan tetapi, Hanoman tetap

menghormati pemimpinnya. Kutipan (103) dan (104) menunjukkan ketaatan

Hanoman pada Rama, walaupun dirinya tak lagi sejalan dengan rajanya itu.
86

(157) “Hanoman, aku telah mendengar kata-katamu. Kunyatakan


masalah ini bukan urusanmu. Pergilah kembali ke pertapaanmu.”
(Ajidarma, 2004: 45)
(158) Tetapi jika Rama telah menyatakan kepadanya jangan ikut
campur, bagaimana mungkin ia menolongnya? (Ajidarma, 2004:
46)

Kita tidak bisa sembarangan menyebut seseorang pengkhianat, karena

setiap orang dewasa dapat dianggap bisa mempertanggungjawabkan

perbuatannya. Namun satu hal boleh dipertimbangkan, dalam dunia politik –

maupun dalam cinta – para pengkhianat selalu akan lebih menderita daripada

yang dikhianatinya (Ajidarma, 2002: 51). Sikap Hanoman yang demikian bagi

Seno merupakan suatu kewajaran. Ketika seseorang mulai terusik hati

nuraninya, dia harus mulai berani memutuskan. Sebesar apa pun pengaruh

penguasa, kita harus berani mengambil sikap.

Penguasa memiliki tanggung jawab besar sebagai pemimpin rakyat.

Dialah penentu segala kebijakan dan penentu kesejahteraan rakyat. Karena

itulah, seorang penguasa harus bijak mengambil keputusan sehingga tidak

merugikan rakyat. Akan tetapi, terkadang manusia terlena dan menjadi lupa diri.

Penguasa yang seharusnya mengayomi rakyat, tanpa disadari justru menjadi

penghancur. Namun menurut Ajidarma (2002:107) kekuasaan yang berlumuran

darah tak membuat tenang. Seno ingin menunjukkan hal tersebut dalam KOK.

Rama yang mulai buta karena cinta melampiaskannya dengan melakukan

Persembahan Kuda.

(159) “Biarlah Sinta jauh dari Ayodya, toh Rama pun tak mencarinya.”
Namun diburu perasaan bersalah sampai hampir gila.
87

Tahu dirinya bersalah.


Tapi seperti bukan orang bijaksana
Hati kacau tiada menentu, tak tahu harus berbuat apa
Alih-alih mencari Sinta,
Patung emas Sinta dibuatnya pula
Sinta dibanding patung,
Tiada perbedaan yan lebih menyakitkan
Lelaki sekuat Rama bukan perkecualian
Apalah artinya patung emas,
Dibanding kekasih berhati emas?
Rama kehilangan daya
Sampai dibuatnya Persembahan Kuda
Betapa gawatnya pengaruh Gelembung Rahwana (Ajidarma,
2004:52)

Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin dia sibuk melihat ke

kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, mencari-cari siapa tahu ada orang

yang akan menggulingkannya dari singgasana kekuasaan (Ajidarma,

2002:153). Itulah yang terjadi pada Rama yang mulai sibuk memikirkan bisik-

bisik rakyatnya tentang Sinta. Antara rasa cinta dan kecurigaan membuat

Rama bingung memikirkan kemungkinan bahwa Sinta sudah tidak suci lagi.

Rama pun mulai menghadapi dilema dalam hidupnya. Mendengarkan rakyat

yang berarti kehilangan istrinya atau mempertahankan Sinta yang berarti

kehilangan kekuasaannya. Di sinilah Seno menunjukkan bagaimana seorang

penguasa mulai gelisah ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Pada

akhirnya kekuasaan yang menang.

(160) Ternyata esok harinya beribu-ribu orang menemur dirinya di


alun-alun, sampai alun-alun Ayodya tidak cukup la gi
menampung mereka. Orang-orang yang menjemur diri, laki- laki
maupun perempuan, memanjang sampai ke gerbang kota. Rama
yang telah mendengar keinginan mereka terhenyak. Apakah ia
harus mengusir Sinta, karena ia berpihak kepada keinginan orang
88

banyak? Ataukah ia mengusirnya, karena ia sendiri sejak dulu


sebenarnya tidak terlalu percaya? (Ajidarma, 2004: 42)

Kekuasaan memang sulit, terutama bagi penguasa sendiri, karena

kemampuannya untuk menentukan nasib orang lain (Ajidarma, 2002:150).

Seno menghadirkan kisah Rama yang memiliki kuasa untuk menentukan

pemerintahan di Ayodya. Pengaruhnya bahkan telah membuat anak benua

bertekuk lutut dalam kekuasaannya. Akan tetapi, Rama mengalami dilema

ketika harus memilih antara istrinya dan rakyatnya. Hal yang sulit dilakukan,

tetapi Rama harus memilih. Bumi cuma sebesar biji merica, lebih kecil lagi

manusia, tapi toh mereka memimpikan kekuasaan (Ajidarma, 2002:43).

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kekuasaan yang

telah dilakukan, dapat disimpulkan ideologi Seno dalam me nyikapi masalah

kekuasaan dalam KOK. Dalam ideologi Seno, kekuasaan cenderung dijadikan

sebagai alat pemenuh hasrat menguasai dan bukan untuk membuat kehidupan

rakyat menjadi lebih baik. Penguasa sering terjebak pada memenuhi keinginan

rakyat yang keliru atau mempertahankan kebenaran, seperti yang dialami

Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa dijalankan dengan penuh

kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan tidak berakibat buruk

bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan Persembahan Kuda-

nya. Penguasa harus mampu memilah dan membedakan kepentingan pribadi

dan kepentingan negara agar tidak terjadi pencampuradukkan kepentingan

yang bisa berakibat buruk.


89

4.1.2 Ideologi Pengarang Mengenai Kaum Pinggiran

Keberpihakan Seno kepada kaum yang selama ini dipandang sebelah

mata, yakni mereka yang tidak pernah dicatat bahkan cenderung disepelekan,

diabaikan dan dipinggirkan, sangat mendominasi keseluruhan novel.

Keberpihakan pengarang secara implisit terlihat ketika dalam beberapa bagian

novel pengarang sering mengangkat cerita-cerita lama yang banyak

menceritakan nasib kaum terpinggirkan itu (Widijanto, 2007: 25). Satya dan

Maneka merupakan dua tokoh yang mewakili kaum terpinggirkan yang dibela

Seno. Maneka adalah seorang bekas pelacur yang berusaha mengubah

nasibnya dengan mencari Walmiki. Maneka ingin agar garis kehidupannya

dituliskan berbeda. Dia ingin mempertanyakan jalan hidupnya yang menderita

akibat rajah kuda di punggungnya. Maneka ingin keluar dari cerita yang telah

ditulis Walmiki dan menentukan ceritanya sendiri. Sementara Satya adalah

pemuda lugu yang menjadi korban Persembahan Kuda. Keluarga dan hartanya

lenyap seketika diterjang ganasnya Persembahan Kuda yang

memporakporandakan kampungnya.

Tokoh pinggiran, sekecil apa pun mereka, selalu dibutuhkan

kehadirannya. Mereka jugalah yang menentukan jalannya kekuasaan. Seno

memiliki ketertarikan tersendiri pada kaum kecil dan terpinggirkan. Dalam

KOK justru orang yang terpinggirkanlah yang menjadi penentu jalannya

cerita. Bahkan, mereka diberi tanggung jawab besar. Satya dan Maneka,

sebagai rakyat biasa, menjalani takdirnya untuk mencari Kitab Omong


90

Kosong dan mengembalikan peradaban yang telah hancur lebur akibat

Persembahan Kuda. Seno (dalam Ajidarma, 2002:159) mengatakan bahwa

tokoh-tokoh pinggiran ini selalu diperlukan

Kehadiran Satya dan Maneka dalam KOK memberi warna berbeda

dalam alur cerita Ramayana. Satya dan Maneka adalah dua orang anak muda

dari golongan rakyat biasa yang menjadi tokoh utama di cerita ini. Melalui

Satya dan Maneka, Seno banyak mengungkapkan keberpihakannya pada

kaum terpinggirkan. Kaum kecil dan terpinggirkan pun bisa ambil bagian

dalam kisah yang luar biasa ini, bahkan menjadi tokoh utama yang

menentukan jalan cerita. Dengan kepiawaiannya bercerita, Seno membuat

tokoh Satya dan Maneka yang semula tak berarti menjadi penentu jalannya

cerita. Maneka dan Satya diberi tanggung jawab besar untuk menemukan

Kitab Omong Kosong dan mengembalikan peradaban yang hancur akibat

Persembahan Kuda. Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana Satya dan

Maneka memperoleh peta yang menunjukkan letak Kitab Omong Kosong.

(161) Satya tak sempat berbuat apa-apa ketika panah bersiut


menembus angin dan menancap seketika di kerai pedati.
Penunggang kuda ya ng tampaknya seorang petugas pos itu
berbelok ke barat, sambil berteriak, “Tolong teruskan ke
selatan.” Satya turun memerikasa panah itu. Ternyata ada
gulungan suratnya. (Ajidarma, 2004: 193)
(162) Ketika gulungan surat itu dibuka, ternyata merupakan sebuah
peta. (Ajidarma, 2004: 194)

Keberpihakan Seno kepada kaum kecil dan terpinggirkan juga

ditampilkan melalui tokoh Hanoman dan Walmiki. Dalam Kitab KOK,


91

Walmiki ditampilkan sebagai salah seorang tokoh sekaligus penulis

Ramayana. Hanoman sebagai pemegang Kitab Omong Kosong

mempercayakan kitab tersebut kepada Satya dan Maneka yang termasuk

dalam kaum terpinggirkan. Hanoman juga tampil sebagai penyelamat saat

Maneka ditawan oleh bandit-bandit Gurun Thar. Kutipan berikut

memperlihatkan bagaimana Hanoman menolo ng Maneka saat dia hampir

dijadikan korban persembahan oleh para bandit Gurun Thar.

(163) Tetapi derita yang paling kelam pun memiliki cahayanya


sendiri, membuka mata Sang Hanoman dari tapanya yang
panjang. Dengan segera Sang Hanoman membaca cahaya itu,
dan matanya mendadak menjadi beringas, merah menyala-nyala,
pertanda kemarahannya langsung naik ke puncak. Mega-mega di
atas Gunung Kendalisada yang berarak tenang terbakar menyala-
nyala. Sang Hanoman melayang- layang bahana murka. Ia
melesat ke Gurun Thar. (Ajidarma 2004, 313-314)
(164) Sang Hanoman datan dari angkasa tepat pada waktunya. Pisau
melengkung itu sudah terayun menuju punggung Maneka. Tiba-
tiba pemegang pisau itu menjerit ketika pergelangan tangannya
terasa panas, ternyata dipegang oleh tangan berbulu putih.
Hanoman berdiri tegak di sana, memegang tangan seorang bandit
yang terkulai lemas. Dengan ringan diputar-putarnya tubuh
bandit itu, dan dilemparkannya ke arah gerombolan biadab yang
tidak menyadari siapa berada di hadapan mereka. Hanoman
menga mbil Maneka, menyandangkannya ke punggung,
sementara gerombolan itu maju mengepungnya di puncak bukit
itu. Mereka melepaskan pisau terbang mereka, Hanoman cukup
menibaskan tangan untuk menepiskannya. (Ajidarma, 2004: 314)
(165) Bumi menjadi sunyi dan senyap. Hanya angin semilir bertiup
perlahan. Hanoman membawa Maneka ke tepi sungai,
merawatnya di sana. Dibasuhnya wajahnya. Dibersihkannya
darah di seluruh tubuhnya. Diciptakannya sari baru yang
langsung menggulung tubuh Maneka. Debu-debu sirna dan
ketika Maneka membuka mata ia merasa seperti baru pulang dari
sebuah perjalanan yang panjang. (Ajidarma, 2004:315)
92

Dalam pandangan Seno, rakyat kecil pun berhak menuntut haknya. Tidak

selamanya rakyat kecil hanya menerima segala perlakuan dari penguasa. Seno (dalam

Ajidarma, 2002:145) mengatakan bahwa kursi kekuasaan, seperti yang ditulis banyak

orang, adalah tempat yang paling sepi di dunia. Seseorang yang jatuh dari kursi

kekuasaan akan lebih tahu makna: betapa ia ternyata lahir dan mati sendiri, tanpa

orang-orang di sekitarnya.

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, dapat

disimpulkan ideologi Seno dalam menyikapi masalah kaum pinggiran dalam KOK.

Dalam KOK, kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan

imbas dari setiap kebijakan. Rakyat kecil seringkali menjadi korban atas setiap

kebijakan yang diambil oleh para penguasa. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran

pun berhak menyuarakan aspirasinya atas setiap kebijakan yang dibuat oleh

penguasa. Kaum pinggiran paling mudah dilupakan keberadaannya dan mereka

cenderung dianggap tidak penting, padahal justru dari merekalah segala hal penting

berasal. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit dari

keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya

terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus

mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.


93

4.1.3 Ideologi Pengarang Mengenai Perempuan

Perempuan menjadi salah satu tokoh utama dalam KOK. Maneka

adalah salah satu tokoh perempuan utama perempuan yang hadir sebagai

penentu jalannya cerita. Maneka adalah tokoh perempuan yang ditunjuk Seno

sebagai penggerak cerita.

Seno menjadikan Maneka yang hanya seorang pelacur dan berasal dari

kaum pinggiran menjadi sosok yang istimewa dalam karyanya. Kuda yang

digunakan dalam Persembahan Kuda pun bersal dari rajah kuda di punggung

Maneka. Kutipan berikut menunjukkan hal tersebut.

(166) Bodoh kamu! Dasar pelacur tidak sekolah! Semua orang melihat
sendiri kuda putih itu datang dari padang terbuka, berlari masuk
kota, berderap di lorong- lorong, lantas melompat ke kamarmu
lewat jendela!” (Ajidarma, 2004: 104)
(167) “Kuda itu, semua terjadi setelah peristiwa kuda yang melompat
jendela lantas menempel ke punggungk u.” (Ajidarma, 2004:
108)

Sinta juga salah seorang tokoh perempuan dalam KOK yang

dikisahkan di sini. Sinta hidup terlunta- lunta karena ulah Rama, suaminya

sendiri.

(168) Para siluman mendekati perempuan itu, yang sambil merangkak-


rangkak mengeluh pelan tertahan-tahan (Ajidarma, 2004: 25)
(169) “Dewa o dewa! Betapa ingin aku menolak kuasamu! Kamu tidak
mempunyai hak untuk mengatur hidupku! Meskipun tubuhku
hancur, hatiku tersayat, aku sendirilah yang telah memilih
jalanku!” (Ajidarma, 2004: 25-26)
(170) Mungkinkah cinta meminta korban? Tidakkah ini cuma bencana,
pandangan dunia kaum pria? (Ajidarma, 2004: 51)
94

Seno melihat masalah perempuan sebagai hal yang patut

diperbincangkan dalam KOK. Di sini terlihat bagaimana Seno melihat

perempuan sebagai sosok yang tertindas. Maneka menderita, demikian juga

Sinta. Keduanya berasal dari kelas sosia l yang jelas berbeda, tetapi mengalami

kemalangan yang serupa. Yang membedakan, Sinta memilih mati untuk

mengakhiri segala kecurigaan yang terarah padanya, sedangkan Maneka

berusaha menemukan Walmiki dan Kitab Omong Kosong untuk mengubah

nasibnya.

(171) “Menyerahlah perempuan dengan rajah kuda di punggung!


Menyerahlah! Kamu terkutuk untuk menjadi korban!”
(Ajidarma, 2004: 313)
(172) Maneka merasakan penderitaan yang luar biasa. Kepahitan dan
kesakitan serta buncah-buncah luka yang terpendam meruap
seketika (Ajidarma, 2004: 313)

Setelah melalui pembahasan di atas, dapat disimpulkan ideologi Seno

sebagai pengarang mengenai perempuan. Perempuan dalam KOK adalah

tokoh utama atau tokoh sentral, terlihat dari usaha Seno mengangkat

perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK. Perempuan dari berbagai kalangan

adalah kaum yang harus mampu melawan tindakan semena- mena dan

membangun kembali hidup mereka. Perempuan seringkali menjadi korban

atas setiap peristiwa, seperti yang dialami Maneka dan Sinta. Keduanya

adalah korban Persembahan Kuda yang mengatasnamakan perdamaian, tetapi

menghasilkan kehancuran. Dalam ideologi Seno, perempuan sebagai kaum


95

lemah yang sering menjadi korban harus mampu menunjukkan kekuatannya

untuk melawan setiap tindakan semena-mena yang sering mereka terima.

4.1.4 Ideologi Pengarang Mengenai Cinta

Dalam hal cinta, Maneka tidak terlalu berharap dapat menemukan

cinta yang muluk- muluk. Maneka sudah terlalu lama bergelut dengan dunia

yang hanya menawarkan cinta palsu. Masa lalunya sebagai pelacur

membuatnya tidak memberikan ruang untuk cinta. Maneka berusaha

mengubur semua kenangannya itu terlebih dahulu sebelum memikirkan apa

itu cinta. Hal ini juga yang membuatnya tidak begitu menanggapi cinta Satya,

walaupun sebenarnya dia tahu dan menyadarinya. Maneka masih berusaha

menyembuhkan luka yang telah lama menggerogoti dirinya.

Bagi Maneka, cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta hadir tanpa dibuat-

buat. Semuanya berjalan wajar dan alami. Itu juga yang dirasakannya saat

menyadari bahwa Satya mencintainya. Semua terasa berbeda dengan cinta

palsu para lelaki yang hanya menginginkan tubuhnya. Jauh di dalam lubuk

hatinya, Maneka juga berharap dapat menemukan sebuah cinta yang tak

menuntut apa pun.

Satya tidak mau menyerah begitu saja dalam menggapai cinta Maneka.

Bagi Satya, cinta adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Satya tahu bahwa

Maneka tidak menanggapi cintanya, tetapi hal tersebut tidak membuatnya

patah semangat. Justru hal inilah yang membuat Satya semakin mencintai
96

Maneka. Satya sadar luka yang pernah dialami Maneka, membuatnya sulit

menerima cinta laki- laki mana pun, termasuk dirinya. Menurut Satya, cinta

harus diperjuangkan dengan penuh kesabaran. Ketika Maneka diculik oleh

bandit-bandit Gurun Thar, Satya mencarinya tanpa mengenal lelah dan tidak

peduli berapa lama waktu yang harus dilaluinya untuk menemukan Maneka

kembali. Kutipan berikut memperlihatkan bagaimana Satya dengan gigihnya

mencari Maneka yang dicintainya.

(173) Dengan hati yang tiba-tiba kosong dan tersayat Satya meluncur
menuruni bukit. Ia terus menyeberangi padang alang-alang
bermaksud mencari sebuah desa untuk menyisir kembali jejak
Maneka. Pasti setidaknya ada orang yang pernah melihat
Maneka, pikir Satya, betapapun ia harus menemukan Maneka,
meskipun akan makan waktu berbulan-bulan, bertahun-tahun,
dan berpuluh-puluh tahun – sampai mati pun akan mencari
Maneka. (Ajidarma, 2004: 357)
(174) Orang muda bernama Satya ini mengembara meinggalkan
kampung halamannya hanya demi mengantarkan Maneka,
seorang pelacur malang yang terlantar dan terlunta- lunta karena
ingin mempertanyakan suratan nasibnya. Walmiki telah menulis
kisah cinta Rama dan Sinta yang membanjirkan darah, namun ia
merasa lebih tersentuh oleh cinta Satya yang tak terucapkan.
Cinta yang hanya memberi, dan tidak pernah sekali pun
meminta. (Ajidarma, 2004: 370)

Saat bertemu dengan Walmiki, Satya terlibat pembicaraan panjang

dengan orang tua itu. Bukannya mempertanyakan jalan cerita yang ditulis

Walmiki untuknya, Satya justru menanyakan nasib Maneka yang malang.

Bagi Satya tidak ada yang lebih penting dari Maneka. Bagi Satya cinta hanya

memberi dan tidak pernah sekali pun meminta. Karena prinsip itulah Satya

selalu setia menemani Maneka ke mana pun dan mengabulkan segala


97

permintaannya. Kutipan berikut memperlihatkan usaha Satya membantu

Maneka mempertanyakan nasibnya.

(175) “Empu Walmiki. Sudikah dikau mendengarkan aku bicara?


seseorang ingin mengubah nasib yang dituliskan olehmu’”
(Ajidarma, 2004:365)
(176) “Engkau menggugat atas nasib siapa?”
“Barangkali ia juga tidak ingin menggugat, ia hanya ingin
bertanya, mengapa engkau memilih dia, seorang perempuan
yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, untuk menjadi
korban.” (Ajidarma, 2004: 369)

Sebagai empu yang meriwayatkan Ramayana, Walmiki dikenal

sebagai orang tua yang bijak. Kepiawaiannya bercerita mampu memukau

banyak orang. Lewat bercerita pula Walmiki mananamkan makna cinta dan

kesetiaan pada pendengarnya. Dalam pandangan Walmiki cinta Rama pada

Sinta sudah merupakan takdir yang sudah digariskan oleh Sang Pencipta sejak

awal mula. Akan tetapi, bagi Walmiki cinta Rama tidak lebih mulia daripada

cinta rakyat jelata. Cinta yang sesungguhnya tidak meminta korban. Kutipan

berikut menunjukkan pemikiran Walmiki dalam memandang makna cinta.

(177) “Begini Lawa, begini Kusa,” ujar Walmiki sambil menyeruput


kopi, “ibumu memberi harga kepada penciptaan. Memang boleh-
boleh saja berkesenian tanpa merasa berkewajiban, karena
kesenian memang hakikatnya hanya permainan. Tanpa inilah
suatu cara menghargai kehidupan. Burung-burung dan angin
boleh bertiup, melayang, dan hilang, karena mereka adalah
peristiwa alam. Namun suara-suara serulingmu adalah
penciptaan, bukan peristiwa alam. Suara serulingmu adalah
pemberian nama kepada alam dan kehidupan, dalam matamu
maupun hatimu, merupakan suatu tanggapan kemanusiaan.
Itulah bedanya kalian dengan beruang.” (Ajidarma, 2004:54)
(178) Mungkinkah cinta meminta korban dunia? Tidakkah ini cuma
bencana, pandangan dunia kaum pria? (Ajidarma, 2004:51)
98

Walmiki banyak menyampaikan pemikirannya tentang cinta dan

kekuasaan dalam Ramayana. Berdasarkan kutipan di atas, Walmiki

memandang cinta sebagai sesuatu yang mulia dan penuh kesetiaan. Ketika

nafsu menguasai muncul dalam cinta, maka cinta tidak lagi bisa disebut cinta.

Menurut Wamiki cinta murni adanya tanpa campur tangan hal- hal lain,

termasuk kekuasaan.

Upacara Persembahan Kuda yang dilakukan Rama adalah akumulasi

rasa dendam sekaligus cintanya pada Sinta. Seno melihat bahwa Rama terlalu

dangkal dalam memahami makna cinta dan kesetian. Kutipan berikut

memperlihatkan cara pandang Walmiki dalam melihat cinta yang mulai

dinodai oleh ambisi berkuasa.

(179) Tiada percintaan lain yang begitu menelan korban, selain


percintaan dalam persaingan kekuasaan. (Ajidarma, 2004: 51)
(180) Cinta adalah mulia dalam setia
Setia tidak dimungkinkan oleh kuasa
Cinta dalam kuasa, tipu daya namanya
Kuasa dalam cinta, penjajahan namanya. (Ajidarma, 2004: 83)

Melalui analisis ideologi pengarang mengenai cinta diperoleh ideologi

Seno dalam memandang cinta. Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu

yang suci dan sakral seperti yang dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya.

Cinta yang sebenar-benarnya tidak menuntut banyak hal seperti yang

ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak membutuhkan pembuktian. Cinta

adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan tanpa pertanyaan. Ketika
99

cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan makna yang

sebenarnya.

4.1.5 Ideologi Pengarang Mengenai Kebebasan

Seno ingin menyadarkan pembacanya bahwa setiap manusia

mempunyai potensi untuk baik dan jahat sekaligus (Widijanto, 2007: 25).

Dalam cerita Ramayana klasik, diceritakan perang antara Rama melawan

Rahwana yang merupakan penggambarkan kebaikan melawan kejahatan.

Dalam KOK kebaikan dan kejahatan justru menjadi kabur dan tidak jelas.

Seno berhasil menggambarkan kompleksitas pribadi manusia yang tidak

melulu baik dan jahat, tetapi bisa menjadi baik dan jahat sekaligus. Tokoh

Rama dalam KOK digambarkan sebagai tokoh yang semula melawan

Rahwana sebagai simbol kejahatan, kemudian menjadi tokoh penghancur

anak benua karena Persembahan Kuda yang dilakukannya. Seno (dalam

Ajidarma, 2002:135) mengatakan bahwa kita memang bisa menjadi bingung,

siapa yang sebenarnya baik dan jahat di muka bumi ini. Celakanya, memang

ada kekuasaan yang bisa menentukan siapa yang bisa disebut jahat dan siapa

oran baik-baik. Penguasa itu tentu saja akan selalu secara resmi tergolong

orang baik-baik – selama ia tidak berada di dalam penjara

Maneka dengan masa lalunya yang suram sebagai pelacur, memiliki

keinginan kuat untuk mengubah nasibnya. Dia tidak ingin nasibnya yang

malang terus menerus menghantui hidupnya. Maneka memiliki keyakinan


100

bahwa dengan menemukan Walmiki, jalan hidupnya bisa diubah. Dengan kata

lain, nasib manusia ditentukan tergantung bagaimana manusia itu

menjalaninya. Dengan perjuangan, manusia bisa membuat hidupnya lebih

baik dari sebelumnya. Akan tetapi, terkadang manusia harus mau menerima

suratan takdir yang sudah digariskan. Sama halnya dengan Maneka dan Satya

yang harus mengubah tujuannya semula mencari Walmiki untuk kemudian

mencari Kitab Omong Kosong.

Maneka adalah seorang bekas pelacur yang berusaha mengubah

nasibnya dengan mencari Walmiki. Maneka ingin agar garis kehidupannya

dituliskan berbeda. Dia ingin mempertanyakan jalan hidupnya yang menderita

akibat rajah kuda di punggungnya. Maneka ingin keluar dari cerita yang telah

ditulis Walmiki dan menentukan ceritanya sendiri. Kutipan berikut

memperlihatkan keputusasaan dan protes Maneka atas rajah kuda di

punggungnya yang telah menyebabkan hidupnya menderita.

(181) “Kuda itu, semua ini terjadi setelah peristiwa kuda yang
melompat jendela lantas menempel di punggungku. Kalau nasib
pelacur miskin seperti kita, itu cerita biasa dan kita tidak perlu
menderita. Tapi peristiwa kuda itu luar biasa.” (Ajidarma, 2004:
108)

Maneka memiliki tekad yang kuat. Dia tidak mau terus menerus

terpuruk dalam kesengsaraan. Maneka percaya bahwa nasibnya bisa diubah

asalkan dia bisa bertemu dengan Walmiki. Pada akhirnya Maneka bisa

bertemu Walmiki dan bisa menggugat jalan cerita yang dituliskan untuknya.

Di sini Maneka mulai memahami bahwa nasib setiap orang bisa berubah
101

asalkan orang yang bersangkutan mau berjuang sungguh-sungguh dan

pantang menyerah.

(182) Maneka termenung. Ia mencari Walmiki untuk mengubah


nasibnya. Menggugat sang empu yang menuliskan kodrat
hidupnya. Namun benarkah kehidupan manusia ditentukan
seperti itu? Selama dalam perjalanan Maneka merasa sesuatu
tumbuh dalam dirinya. Sesuatu yang dirasanya tumbuh dari
dalam dirinya sendiri, bukan seperti kodrat, bukan seperti takdir,
sesuatu yang ditentukannya sendiri. Meskipun Maneka tahu
betapa kebenaran perkara uni sulit diperiksanya, ia merasa
nyaman dan bahaia membuat peta perjalanan yang akan
ditempuhnya sendiri, dengan segala risiko yang siap dihadapi.
(Ajidarma, 2004: 206-207)

Dalam KOK Seno menegaskan bahwa manusia berhak menentukan

jalan hidupnya dan memperoleh kebahagiaan atas pilihan hidupnya. Hal ini

terlihat saat Satya, Maneka, Hanoman dan beberapa tokoh lain berusaha

melepaskan diri dari jalan cerita Ramayana yang ditulis Walmiki dan menulis

cerita mereka sendiri. Walmiki sebagai penulis cerita pun memberikan

kebebasan pada para tokohnya untuk keluar dari alur cerita Ramayana dan

menulis cerita mereka sendiri. Terlihat jelas di sini bagaimana ideologi Seno

melihat jalan hidup seseorang merupakan suatu pilihan yang harus dijalani

manusia, apakah menerimanya atau berusaha memperbaikinya. Seno melihat

bahwa seseorang harus mampu bangkit dari keterpurukannya, seperti yang

dilakukan Maneka.

Hanya kebebasan yang diperjuangkan bisa disebut kebebasan

(Ajidarma, 2005: 165). Maneka begitu ingin menemukan Walmiki untuk


102

mengubah nasibnya yang malang. Dengan berbekal kenekatan, Maneka yang

ditemani Satya mencari Walmiki. Seno menunjukkan bahwa usaha Maneka

untuk mengubah nasibnya adalah sebuah cara untuk memperbaiki hidup.

Seorang rakyat kecil pun berhak mendapat kehidupan yang lebih baik. Usaha

yang terus- menerus mampu membuat kita lepas dari keterpurukkan. Seno

(dalam Ajidarma, 2002:149) menyatakan bahwa kita memang tidak pernah

tahu, apa yang telah menjadi suratan takdir – tapi, itu bukan berarti kita tidak

perlu berbuat apa-apa toh? Rakyat, yang paling kecil pun, tidak perlu nrimo

ing pandum, yang artinya kurang lebih menyerah kepada takdir.

Di dalam KOK secara tersirat dinyatakan bahwa dala m hidup, putih

dan hitam dapat bercampur, manusia bisa saja tak pernah mau mengalah pada

kejahatan, namun juga tak dapat dipaksa menyandang kebaikan itu sendiri.

Adakalanya yang jahat bisa demikian berkuasa dan yang baik bisa sangat

menderita, demikian pula sebaliknya (Widijanto, 2007: 25). Seno dengan

kemahirannya mengolah cerita menampilkan tokoh-tokoh dalam KOK secara

lebih unik. Tidak selamanya orang yang dianggap baik akan selamanya

menjadi orang baik. Orang baik pun ternyata memiliki sisi negatifnya sendiri.

Kita sering melihat orang berstatus bebas sering secara sukarela

memenjarakan dirinya dalam dendam dan kebencian, dan dengan itu hidupnya

menjadi kurang bahagia, sehingga tak salah jika kita berpikir orang-orang

seperti itu lebih patut dikasihani – untuk tidak mengatakannya mehong

(Ajidarma, 2002:101). Rama yang telah buta hatinya karena rasa cemburu
103

telah menjebloskan dirinya sendiri ke dalam lingkaran dendam yang tak

berakhir. Rasa cintanya kepada Sinta telah membaur dengan kebencian dan

dendam sekaligus. Seno menjadikan sosok Rama sebagai orang yang

menyedihkan karena tidak mampu membebaskan diri sendiri dari rasa

dendam. Kutipan berikut memperlihatkan Rama yang mulai frustasi karena

cinta dan mulai melakukan Persembahan Kuda.

(183) Panji-panji Ayodya berkibar mencipratkan darah


Semua akibat rindu dendam
Kegilaan Rama yang tak tersalurkan
Masihkah juga Sinta yang akan disalahkan? (Ajidarma, 2004:52)

Tokoh-tokoh Walmiki berusaha lepas dan keluar dari jalinan cerita

yang ditulisnya. Dalam hal ini Walmiki memberi kebebasan kepada mereka

untuk menentukan jalan ceritanya sendiri. Dalam pandangan Walmiki, setiap

manusia berhak menentukan jalan hidupnya dan memulai sendiri kisahnya

tanpa harus ditentukan oleh orang lain. Walmiki memandang bahwa manusia

memiliki kemampuan untuk melakukan semua itu. Walaupun tercipta sebagai

golongan rendah, bukan berarti manusia tidak mempunyai hak untuk

mengubah nasibnya. Semua ditentukan dari bagaimana manusia itu berusaha.

Cara pandang Walmiki ini mewakili ideologi Seno dalam memandang takdir

dan nasib manusia. Kutipan berikut memperlihatkan usaha Walmiki dalam

memberi kebebasan kepada para tokohnya untuk keluar dari ceritanya dan

menulis sendiri cerita mereka.

(184) “Tulislah ceritamu sendiri, maka engkau akan menjadi sebuah


pribadi, ” katanya. (Ajidarma, 2004:515)
104

(185) Walmiki melihat bagaimana kekuasaan bisa menjadi sangat


menindas tetapi sekaligus juga begitu rapuh. Ia telah
menyaksikan bagaimana suatu balatentara yang dahsyat bisa
menguasai suatu wilayah yang luar biasa luasnya dalam waktu
singkat, tetapi dengan pasti, cepat atau lembat…, akan
kehilangan kekuasaan itu. (Ajidarma, 2004: 595)
(186) Bagaimana mungkin makhluk yang berpikir bisa melakukan
pembantaian dengan kesadaran. (Ajidarma, 2004: 595)
(187) Perdamaian yang dipaksakan adalah penjajahan
Kehormatan manusia membangkitkan perlawanan
Nafsu kekuasaan menghasilkan penindasan. (Ajidarma, 2004:52)

Kebebasan yang bermartabat, di mana setiap orang berkepentingan

atas kebebasan orang lain, ternyata masih harus diperjuangkan (Ajidarma,

2005: 162). Kebebasan ternyata melahirkan anarki. Kebebasan yang muncul

adalah kebebasan saling menindas (Ajidarma, 2005: 159). Betapa kasihan,

betapa mengerikan, membayangkan jiwa manusia bisa begitu keruh, penuh

dengan lumpur dendam, menjadi kerak-kerak siksaan yang menyayat

perasaan. Astaga, apakah kehidupan ini memang begitu kejam, sehingga

seseorang bisa sama sekali tidak melihat peluang lain dalam hidup ini, selain

mengungkapkan kemarahan? (Ajidarma, 2002: 26).

Kematian, maut, bukanlah sesuatu yang harus dipertanyakan. Itu

sudah takdir. Sebagai manusia beragama, kita semua menerima takdir bukan?

Begitulah kita semua memang harus selalu siap, untuk sebuah perpisahan,

duka – dan rasa kehilangan itu (Ajidarma, 2002: 35). Rama dengan segala

keraguannya pada Sinta ternyata tetap tidak bisa menghapus rasa ragunya,

bahkan sampai akhir hayatnya. Rama tetap mempertanyakan kesetian Sinta,

sampai akhirnya Sinta moksa dan membawa semua kebenaran yang


105

diyakininya. Rama telah kehilangan Sinta untuk kedua kalinya. Seno (dalam

Ajidarma, 2002: 29) mengatakan bahwa setiap orang di dunia ini sudah

mempunyai panggilan tugas hidupnya masing- masing, dan apapun tugas itu,

ia mempunyai hak mempertahankan keyakinan dalam tugasnya sampai mati.

Bedasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kebebasan yang

telah dilakukan, dapat dilihat ideologi Seno dalam menyikapi masalah

kebebasan dalam KOK. Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak

menentukan jalan hidupnya sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus

diperjuangkan. Setiap hal yang telah dipilih dalam kehidupan harus bisa

dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

4.1.6 Ideologi Pengarang Mengenai Ilmu Pengetahuan

Walaupun hanya seorang pelacur, Maneka mempunyai keinginan

untuk bisa membaca dan menulis. Keinginannya ini bukan tanpa sebab.

Menurut Maneka, segala ilmu pengetahuan bisa dipelajari jika dia bisa

membaca dan menulis. Maneka menganggap penting kemampuan membaca

dan menulis karena menurutnya semua itu bisa membantunya mengubah

nasib. Walaupun bodoh, Maneka tidak mau terpuruk dalam kebodohan dan

ketidaktahuan. Karena itulah, Maneka selalu meminta Satya untuk bercerita

atau membacakan berbagai hal yang ingin diketahuinya. Di sini dapat dilihat

bahwa Maneka memiliki pandangan positif mengenai pendidikan. Walaupun

sudah tumbuh dewasa, Maneka tidak merasa terlambat untuk belajar.


106

(188) “Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki, kukira aku bisa
mengubah perjalanan hidupku,” katanya.. (Ajidarma, 2004: 126)
(189) Di balik keluguannya Maneka sebetulnya terus- menerus berpikir,
seperti mengebor ladang minyak di laut, sangat bernafsu
menemukan pengetahuan baru. (Ajidarma, 2004: 206)

Maneka yang hanya rakyat kecil merasa iba dan kasihan setiap kali

menemui para korban Persembahan Kuda yang ditemuinya di perjalanan,

seperti terlihat pada kutipan (135). Kehancuran yang diakibatkan

Persembahan Kuda membuat banyak orang kehilangan sanak keluarga dan

harta benda mereka. Maneka melihatnya sebagai suatu hal yang harus

diperjuangkan. Keadilan harus kembali ditegakkan. Ilmu pengetahuan yang

hancur pun harus kembali disusun agar peradaban bisa berlangsung.

(190) Maneka melihat para pengungsi. Di sepanjang jalan hanya


terlihat berjuta-juta pengungsi, dari segala penjuru saling
bersimpangan arah menuju ke berbagai tujuan. Dunia kacau dan
kehidupan berantakan. Mudah untuk menyerbu, membantai, dan
menghancurkan peradaban, tetapi tidak pernah mudah untuk
membangunnya kembali. (Ajidarma, 2004: 128)

Dalam perjalanan mencari Kitab Omong Kosong, Maneka semakin

pandai dalam berargumentasi. Pola pikir Maneka pun berkembang sejak Satya

banyak membacakan cerita-cerita dan berbagai ilmu pengetahuan untuknya.

Hal ini terlihat saat Maneka dan Satya berdiskusi mengenai penciptaan. Bagi

Maneka bukanlah suatu hal yang salah jika seseorang hanya mampu menjadi

penyalin. Seorang penyalin pun menurut Maneka sama dengan pencipta.

Kutipan berikut berisi pandangan Maneka mengenai seorang penyalin.

(191) “Penyalin pun baik Satya.” (Ajidarma, 2004: 164)


107

(192) “Dalam hal itulah engkau telah memperkaya dunia Satya, karena
dalam penerjemahan berlangsung penciptaan. Bukankah itu
berarti kamu menciptakan kembali sebuah dunia?” (Ajidarma,
2001: 165)

Satya merupakan pemuda yang pandai. Walaupun hanya seorang anak

petani, kegemarannya membaca membuatnya lebih pandai daripada anak

petani pada umumnya. Kegemarannya membaca dan mendengarkan cerita

dari para tukang cerita semakin memperkaya wawasan dan pandangannya atas

dunia. Hal ini menyebabkan pola pikir Satya yang maju. Karena itulah Satya

tumbuh menjadi pemuda yang tidak mempercayai hal-hal mistis tanpa adanya

pembuktian secara ilmiah. Bagi Satya, segala pertanyaan atas dunia bisa

dijelaskan tanpa harus melibatkan hal- hal mistis. Satya adalah orang yang

realistis sehingga dia menganggap bodoh segala hal yang dirasanya tidak

masuk akal. Kutipan berikut merupakan contoh pemikiran Satya mengenai

para penyembah berhala dan pemuja hal mistis.

(193) Di sepanjang jalan ia melihat patung-patung berhala yang sudah


tidak terawat lagi. Satya merasa aneh, menyadari betapa masih
ada orang menyembah berhala. Seperti dunia ini mundur lima
ratus tahun, pikirnya. (Ajidarma, 2004: 353)
(194) “Orang-orang bodoh yang percaya mistik,’ pikirnya, ‘mengira
rajah sejak lahir sebagai kutukan. Apa yang lebih bodoh dari
ini?” (Ajidarma, 2004: 354)

Tulisan itu sendiri tidak penting, karena tulisan hanyalah suatu produk.

Yang penting adalah prosesnya, karena dalam proses itu seorang penulis

berusaha menciptakan ruang kebebasan (Ajidarma, 2005: 165). Menurut

ideologi Seno, keberadaan ilmu pengetahuan sebagai penunjang hidup sangat


108

penting. Dengan ilmu pengetahuan, seorang manusia mampu menjelaskan

kerumitan dan kebingungan mengenai semesta. Proses belajar adalah salah

satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang

manusia ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh,

proses menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses

belajar.

Maneka dengan segala kebodohannya mampu belajar dari proses

hidup yang tengah dijalaninya. Bersama Satya, Maneka mengalami sebuah

proses yang membuatnya mampu mencerap ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan di sini tak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis,

tetapi lebih kepada pengetahuan akan dunia dan is inya. Dengan mempelajari

Kitab Omong Kosong, Maneka dan Satya memperoleh sebuah pemahaman

baru tentang dunia. Melalui Kitab Omong Kosong, dapat dilihat ideologi Seno

dalam memandang dunia dan isinya.

Bagian pertama menceritakan Dunia Sebagaimana Adanya Dunia.

Segala hal mengenai dunia dicatat dengan rinci, seperti “umur sebuah pohon

kelapa dan berapa buah kelapa akan dihasilkan oleh pohon tersebut”

dapat memberikan pemahaman tentang dunia. Bagian kedua adalah Dunia

Seperti Dipandang Manusia. Bagian ini mengatakan bahwa segala hal yang

dikatakan manusia hanya dapat berlaku dalam cara pandang manusia. Tanpa

disadari (dan dipandang) manusia, maka sebuah benda sebenarnya tidak

pernah ada. Dunia menjadi ada, karena manusia memandangnya dan


109

memahaminya. Dengan demikian sungguh sebuah omong kosong bila

manusia mengatakan adanya dunia ketika ia sendiri berada di dalamnya dan

masih berusaha memahaminya. Hal ini merupakan penjelasan dari bagian

ketiga, Dunia Yang Tidak Ada. Manusia hanya dapat memahami cara

penggambaran dunia itu untuk menyatakannya ada. Jika mustahil manusia

menyatakan dunia itu ada karena tidak pernah sungguh-sungguh keluar dari

dalamnya, maka dibuatlah cara untuk memahami dunia tanpa harus keluar

darinya. Melalui “omong kosong” ini maka manusia menemukan cara untuk

menciptakan kembali dunia yang sesungguhnya masih dipertanyakan ada

atau tidaknya. Hal ini merupakan penjelasan bagian keempat,

Mengadakan Dunia. Bagian terakhir Kitab Omong Kosong yaitu Kitab

Keheningan. Setelah dunia akhirnya kembali dibuat “ada” melalui

“omong kosong” maka bagian terakhir adalah Kitab Keheningan, yang

berupa sekumpulan halaman kosong, tanpa ada tulisan apapun di dalamnya.

Ketika dunia telah dapat diadakan kembali maka tidak ada lagi apa-apa yang

dapat dilakukan terhadap dunia itu. Manusia dengan mudah dapat

menghancurkan dan membangunnya kembali.

Sepertinya dunia ini makin canggih dalam mengesahkan nafsu

kemaruknya, hidup seperti cuma mengabdi kepada pengerukan keuntungan

(Ajidarma, 2002: 36). Kitab Omong Kosong yang selama ini diyakini mampu

mengembalikan peradaban dan ilmu pengetahuan yang hancur akibat

Persembahan Kuda telah membuat banyak orang terbunuh. Mereka begitu


110

berhasrat memperoleh Kitab Omong Kosong sehingga tega menghabisi nyawa

orang lain demi mendapatkannya. Para pencari kitab ini yakin dan percaya

bahwa siapa saja yang memiliki Kitab Omong Kosong, dia akan menguasai

dunia. Mereka menganggap Kitab Omong Kosong berisi ilmu yang mampu

membuat segala keinginan terkabul. Padahal kitab tersebut hanya bisa

dipahami isinya oleh orang yang benar-benar bersih hatinya.

(195) “Masalahnya manusia yang menginginkan agar kita semua tetap


bodoh dan buas, supaya kita semua tenggelam dalam kegelapan,
sehingga dengan menjadi penguasa tunggal atas pengetahuan,
bisa berkuasa dalam segala bidang. Padahal pengetahuan itu hak
semua orang. Dengan demikian kitab itu sekarang menadi
rebutan, baik antara pihak-pihak yang ingin menguasainya
maupun dengan pihak yang ingin menyelamatkan dan
menyebarkannya. Sejumlah penjahat besar telah mengumpulkan
modal untuk menghimpun sisa-sisa peneliti yang bisa ditemukan,
dan bersedia dibayar untuk kepentingan mereka, agar
menemukan tempat itu. Setelah berbulan-bulan penyelidikan,
diketahuilah bahwa kitab itu disimpan oleh Sang Hanoman.”
(Ajidarma, 2004: 200-201)

Kita hidup di dalam dunia makna, segala sesuatu adalah simbol yang

masih selalu bisa ditafsirkan kembali secara kritis (Ajidarma, 2005: 158).

Manusia ternyata tidak dapat mengatasi perkembangannya sendiri.

Pengetahuan sebagai hasil kebudayaan manusia seolah telah dapat berpikir

sendiri dan mulai mengatur manusia. Seno ( dalam Ajidarma, 2005: 153)

menyatakan bahwa fakta maupun fiksi hanyalah cara manusia memberi

makna kepada dunia dan kehidupannya.


111

Kitab Omong Kosong yang ada pada Hano man adalah satu-

satunya kitab pengetahuan yang tersisa. Kitab itu dianggap begitu

berharga karena kelangsungan peradaban dan masa depan manusia

bergantung pada pengetahuan yang ada dalam buku itu. Akan tetapi, buku

itu justru menyatakan sebaliknya. Jangankan pengetahuan, bahkan dunia

pun dikatakan tidak ada. Oleh karena itu, dunia harus dibuat ada terlebih

dahulu agar masa depan me njadi ada. Seno (dalam Ajidarma, 2005: 163-164)

mengatakan bahwa kebenaran itu mustahil diketahui, karena manusia selalu

berada dalam kondisi ketercakrawalaannya sendiri: saya tidak akan pernah

mampu menengok seberang cakrawala itu, sedangkan apa yang saya ketahui

antara diri saya sampai di batas cakrawala itu, seberapa ilmiah pun, hanyalah

merupakan pengetahuan manusiawi – dan saya tak pernah tahu pasti seberapa

jauh sudut pandang manusiawi ini sahih, meskipun untuk secuil saja dari

kebenaran itu.

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan

yang telah dilakukan, dapat disimpulkan ideologi Seno dalam memandang

ilmu pengetahuan. Dalam ideologi Seno, proses belajar adalah salah satu jalan

memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia

ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses

menuju hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar.

Dalam ideologi Seno, ilmu pengetahuan adalah alat untuk membawa

perubahan yang baik dalam masyarakat bukan alat untuk menguasai.


112

4.2 Rangkuman Ideologi Pengarang

Berdasarkan analisis ideologi pengarang yang telah dilakukan, terdapat enam

pokok ideologi pengarang dalam KOK. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu

ideologi pengarang mengenai kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum

pinggiran, ideologi pengarang mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai

cinta, ideologi pengarang mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai

ilmu pengetahuan.

Ideologi pengarang mengenai kekuasaan adalah kekuasaan cenderung

dijadikan sebagai alat pemenuh hasrat menguasai dan bukan untuk membuat

kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Penguasa sering terjebak pada memenuhi

keinginan rakyat yang keliru atau mempertahankan kebenaran, seperti yang dialami

Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa dijalankan dengan penuh

kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan tidak berakibat buruk bagi

masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan Persembahan Kuda-nya. Penguasa

harus mampu memilah dan membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan negara

agar tidak terjadi pencampuradukkan kepentingan yang bisa berakibat buruk.

Kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan imbas

dari setiap kebijakan. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit

dari keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya

terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus

mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.Rakyat kecil

seringkali menjadi korban atas setiap kebijakan yang diambil oleh para penguasa.
113

Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran pun berhak menyuarakan aspirasinya atas

setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa.

Dalam ideologi Seno, perempuan adalah tokoh utama atau tokoh sentral,

terlihat dari usaha Seno mengangkat perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK.

Perempuan dari berbagai kalangan adalah kaum yang harus mampu bangkit dari

keterpurukan dan membangun kembali hidup mereka. Dalam ideologi Seno,

perempuan sebagai kaum lemah yang sering menjadi korban harus mampu

menunjukkan kekuatannya untuk melawan setiap tindakan semena- mena yang sering

mereka terima

Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu yang suci dan sakral seperti yang

dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya. Cinta yang sebenar-benarnya tidak

menuntut banyak hal seperti yang ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak

membutuhkan pembuktian. Cinta adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan

tanpa pertanyaan. Ketika cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan

makna yang sebenarnya.

Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya

sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Setiap hal yang telah

dipilih dalam kehidupan harus bisa dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Kebebasan merupakan hak asasi setiap manusia. Seno memandang orang paling

terlupakan sekalipun, seperti Satya dan Maneka, juga berhak menuntut kebebasannya.

Ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan juga terlihat dalam KOK.

Dalam ideologi Seno, proses belajar adalah salah satu jalan memperoleh
114

pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia ditempa untuk menjadi

lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju hasil inilah yang paling

penting dalam keseluruhan proses belajar. Dalam ideologi Seno, ilmu pengetahuan

adalah alat untuk membawa perubahan yang baik dalam masyarakat bukan alat untuk

menguasai.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Novel KOK karya Seno ini merupakan novel yang mengangkat cerita

Ramayana sebagai dasar cerita. Cerita dalam KOK dimulai setelah Sinta berhasil

diselamatkan Hanoman dari cengkraman Rahwana. Dalam novel ini, kisah Ramayana

banyak me ngalami perubahan. Seno menambahkan tokoh utama dari kalangan rakyat

biasa, Satya dan Maneka, dalam novelnya. Rama yang dalam Ramayana dikenal

sebagai raja yang arif bijaksana menjadi raja yang haus akan kekuasaan dalam KOK.

Alur cerita dibuat unik dengan menambahkan dongeng-dongeng dalam penceritaan.

Sebenarnya setiap cerpen, atau karya apa pun, lahir karena obsesi: sesuatu

yang terpikirkan terus menerus (Ajidarma, 2005: 45). Novel KOK merupakan hasil

imajinasi Seno sebagai pengarang. Ideologinya sebagai pengarang juga tertuang

dalam novel ini. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis meneliti lebih jauh

bagaimana ideoloi pengarang dalam KOK dengan melihat alur, tokoh utama, dan

penokohan tokoh utamanya. Pengarang sering menjelmakan diri sebagai tokoh dalam

ceritanya. Melalui tokoh pula seorang pengarang menuangkan ideologinya. Melalui

alur cerita dapat dilihat perkembangan pola pikir tokoh maupun pengarang. Tokoh-

tokoh utama dalam sebuah karya sastra biasanya menjadi alat penting pengarang

dalam menyampaikan idealismenya. Pengarang juga biasa menjelma sebagai orang

lain yang berada di belakang karyanya atau yang biasa disebut sebagai pengarang

115
116

implisit. Alur, tokoh, penokohan tokoh utama dan keberadaan pengarang implisit

menjadi alat untuk mengetahui ideologi pengarang. Pengarang juga menjelma sebagai

orang lain atau pengarang implisit dalam karyanya.

Berdasarkan analisis alur yang telah dilakukan, KOK beralur maju. Peristiwa

tersususun urut dari awal sampai akhir cerita. Alur KOK terdiri dari bagian awal,

tengah dan akhir. Ba gian awal adalah tahap perkenalan. Bagian tengah menampilkan

konflik mulai muncul, konflik memuncak, dan klimaks. Ba gian akhir berisi peleraian.

Bagian awal yaitu perkenalan cerita dimulai dengan peristiwa Persembahan

Kuda yang dilakukan Rama. Persembahan Kuda ini meminta banyak korban serta

menghancurkan ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada bagian tengah cerita, konflik

muncul ketika Sinta terlunta- lunta di hutan setelah diusir dari Ayodya serta awal

perselisihan antara Hanoman dan Rama. Perkenalan konflik juga terjadi saat Maneka,

seorang pelacur, yang ingin ditiduri seisi kota karena dia memiliki rajah kuda di

punggung. Maneka pun melarikan diri serta berniat mencari Walmiki untuk

mengubah nasibnya. Maneka kemudian bertemu Satya yang menemaninya mencari

Walmiki. Konflik meningkat Satya dan Maneka menemukan tujuan baru untuk

mencari Kitab Omong Kosong. Maneka bahkan diculik oleh para bandit Gurun Thar.

Klimaks terjadi saat Satya dan Maneka saling bertemu dan mereka berhasil

menemukan Kitab Omong Kosong baian pertama. Bagian akhir cerita yang berisi

peleraian dan pemecahan masalah terjadi saat Satya dan Maneka berhasil menemui

Hanoman. Keduanya juga berhasil menemui Walmiki dan mengundurkan diri dari

cerita yang ditulis Walmiki. Pada baian ini Hanoman akhirnya moksa dan Walmiki
117

mati. Satya dan Maneka berhasil menemukan seluruh bagian Kitab Omong Kosong

dan memahami artinya.

Berdasarkan analisis tokoh yang telah dilakukan, yang termasuk dalam tokoh

utama adalah Maneka, Satya, Hanoman, Walmiki, dan Rama. Kelima tokoh ini

menjadi tokoh utama karena intensitas kemunculannya dalam cerita serta interaksinya

dengan tokoh lain, baik langsung maupun tidak langsung. Kelima tokoh ini memiliki

porsi penceritaan yang paling besar dalam KOK. Kehadiran mereka juga berpengaruh

terhadap perkembangan alur.

Penokohan tokoh utama yang telah dianalisis semakin mempertegas karakter

tiap tokoh. Maneka adalah seorang perempuan berusia 20 tahun yang menjadi pelacur

sejak kecil karena dijual oleh ayahnya. Maneka adala h perempuan yang gigih dan

pantang menyerah. Dengan penuh tekad, dia mencari Walmiki untuk mengubah

nasibnya. Akan tetapi, Maneka agak tertutup dalam menanggapi cinta lawan jenisnya.

Satya adalah seorang pemuda petani berusia 16 tahun. Satya pandai bercerita dan dia

pintar. Satya digambarkan sebagai tokoh yang tenang dalam menghadapi setiap

masalah. Dia juga memendam rasa cinta pada Maneka. Hanoman berwujud seekor

kera putih, tingginya 180 cm, dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Hanoman

digambarkan sebagai tokoh yang setia dan mengabdi dengan penuh ketulusan.

Hanoman adalah wanara agung yang bijaksana. Walmiki adalah seorang empu

pencipta cerita Ramayana. Walmiki digambarkan sebagai seorang laki- laki tua yang

memiliki paras yang cerah dan tatapan lembut yang mampu membuat hati damai.

Walmiki adalah seorang pengembara. Dia mulai mengembara saat masih berusia 21
118

tahun dan telah 50 tahun melakukan pengembaraan. Secara fisik, Rama berwajah

tampan dengan rambut sebahu. Rama digambarkan sebagai tokoh yang lemah lembut

dan tenang. Akan tetapi, Rama kemudian berubah menjadi tokoh yang haus akan

kekuasaan dan sulit mempercayai orang lain, termasuk istrinya.

Hasil analisis alur, tokoh utama, dan penokohan tokoh utama tersebut

digunakan sebagai dasar untuk menganalisis ideologi pengarang dalam novel KOK

karya Seno. Selanjutnya penulis meneliti pengarang implisit dalam KOK. Penelitian

mengenai pengarang implisit yang telah dilakukan berfungsi sebagai penghubung

untuk melihat hubungan antara pengarang nyata dengan pengarang implisit. Seno

sebagai pengarang nyata (real author) berada dalam karyanya sebagai sosok lain,

yaitu pengarang implisit (implied author). Penulis melihat bahwa Seno sebagai

pengarang implisit menuangkan ideologinya ke dalam KOK.

Berdasarkan penelitian mengenai pengarang implisit dalam KOK yang telah

dilakukan pada bab sebelumnya, penulis menemukan enam pokok ideologi

pengarang. Keenam pokok ideologi tersebut yaitu: ideologi pengarang mengenai

kekuasaan, ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, ideologi pengarang

mengenai perempuan, ideologi pengarang mengenai cinta, ideologi pengarang

mengenai kebebasan, dan ideologi pengarang mengenai ilmu pengetahuan.

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kekuasaan yang telah

dilakukan, Seno melihat kekuasaan cenderung dijadikan sebagai alat pemenuh hasrat

menguasai dan bukan untuk membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Penguasa

sering terjebak pada memenuhi keinginan rakyat yang keliru atau mempertahankan
119

kebenaran, seperti yang dialami Rama. Dalam ideologi Seno, kekuasaan harus bisa

dijalankan dengan penuh kebijakan sehingga setiap keputusan yang dilaksanakan

tidak berakibat buruk bagi masyarakat, seperti yang dilakukan Rama dengan

Persembahan Kuda-nya. Penguasa harus mampu memilah dan membedakan

kepentingan pribadi dan kepentingan negara agar tidak terjadi pencampuradukkan

kepentingan yang bisa berakibat buruk.

Berdasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kaum pinggiran, dapat

disimpulkan ideologi Seno dalam menyikapi masalah kaum pinggiran dalam KOK.

Dalam KOK, kaum pinggiran atau rakyat kecil adalah kaum yang paling merasakan

imbas dari setiap kebijakan. Rakyat kecil seringkali menjadi korban atas setiap

kebijakan yang diambil oleh para penguasa. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran

pun berhak menyuarakan aspirasinya atas setiap kebijakan yang dibuat oleh

penguasa. Kaum pinggiran paling mudah dilupakan keberadaannya dan mereka

cenderung dianggap tidak penting, padahal justru dari merekalah segala hal penting

berasal. Dalam ideologi Seno, kaum pinggiran harus mampu bangkit dari

keterpurukannya. Seringkali usaha kaum pinggiran untuk mengubah hidupnya

terjebak pada keterbatasan, tetapi dalam ideologi Seno, kaum terpinggirkan ini harus

mampu mencari jalan untuk mengangkat harkat dan martabatnya.

Perempuan dalam KOK adalah tokoh utama atau tokoh sentral, terlihat dari

usaha Seno mengangkat perempuan sebagai ‘pejuang’ dalam KOK. Perempuan dari

berbagai kalangan adalah kaum yang harus mampu melawan tindakan semena-mena

dan membangun kembali hidup mereka. Perempuan seringkali menjadi korban atas
120

setiap peristiwa, seperti yang dialami Maneka dan Sinta. Keduanya adalah korban

Persembahan Kuda yang mengatasnamakan perdamaian, tetapi menghasilkan

kehancuran. Dalam ideologi Seno, perempuan sebagai kaum le mah yang sering

menjadi korban harus mampu menunjukkan kekuatannya untuk melawan setiap

tindakan semena- mena yang sering mereka terima.

Dalam ideologi Seno, cinta adalah sesuatu yang suci dan sakral seperti yang

dituliskan Walmiki dalam Ramayana-nya. Cinta yang sebenar-benarnya tidak

menuntut banyak hal seperti yang ditunjukkan Satya pada Maneka. Cinta tidak

membutuhkan pembuktian. Cinta adalah cinta yang harus diterima apa adanya dan

tanpa pertanyaan. Ketika cinta mulai dipertanyakan, maka cinta mulai kehilangan

makna yang sebenarnya.

Bedasarkan analisis ideologi pengarang mengenai kebebasan yang telah

dilakukan, dapat dilihat ideologi Seno dalam menyikapi masalah kebebasan dalam

KOK. Dalam ideologi Seno, setiap manusia berhak menentukan jalan hidupnya

sendiri dan kebebasan yang diharapkan harus diperjuangkan. Setiap hal yang telah

dipilih dalam kehidupan harus bisa dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Mengenai ilmu pengetahuan, Seno memandang proses belajar adalah salah

satu jalan memperoleh pengetahuan. Selama menjalani proses inilah seorang manusia

ditempa untuk menjadi lebih tahan uji. Apa pun hasil yang diperoleh, proses menuju

hasil inilah yang paling penting dalam keseluruhan proses belajar. Dalam ideologi

Seno, ilmu pengetahuan adalah alat untuk membawa perubahan yang baik dalam

masyarakat bukan alat untuk menguasai.


121

5.2 Saran

Novel KOK merupakan karya sastra yang memperkaya khasanah sastra

Indonesia. Novel ini sangat menarik untuk dijadikan bahan bacaan dan pembelajaran

karena isinya sarat dengan ajaran-ajaran yang menambah wawasan pembaca. Cerita-

cerita yang dituturkan dalam novel ini dikemas dengan bahasa yang indah dan

mengalir.

Novel ini mengangkat cerita Ramayana sebagai dasar cerita. Banyak novel

atau karya sastra lain yang juga mengangkat Ramayana sebagai dasar cerita. Penulis

menyadari masih banyak hal yang bisa dipelajari dalam KOK dan dapat dijadikan

sebagai bahan penelitian selanjutnya. Akan sangat baik jika dalam penelitian

selanjutnya dilakukan analisis sastra perbandingan. Hal tersebut dapat dilakukan

dengan meneliti karya sastra lain yang juga mengangkat Ramayana sebagai dasar

cerita, lalu dibandingkan dengan KOK yang juga mengangkat Ramayana sebagai

dasar cerita. Tentunya dengan adanya banyak penelitian mengenai novel ini akan

menghasilkan suatu pengetahuan baru yang menarik.


DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 2002. Surat Dari Palmerah, Indonesia dalam Politik

Mehong: 1996-1999. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

______ . 2004. Kitab Omong Kosong. Yogyakarta: Bentang.

______ . 2005. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta:


Bentang.

Ariwibowo, Luita dkk. 2005. “Ideologi Kepengarangan Tiga Pengarang Wanita


Indonesia: Perspektif Teks Sastra Feminis Terhadap Teks Proses Kreatif
Titis Basino P.I., Toety Heraty, dan M. Poppy Donggo Huta Galung”.
Jurnal Penelitian Dinamika Sosial ,Vol. 6, No. 1, April 2005, hlm. 81-
89.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Bandung: PT Bentang
Pustaka.

Budiman, Kris. 1994. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dahana, Radhar Panca. 2001. Kebenaran Dan Dusta Dalam Sastra. Magelang:
Indonesia Tera.

Endraswara, Suwardi. 2004. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Penerbit


Pustaka Pelajar.

Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:


Kanisius.

Keraf,Gorys. 1981. Eksposisi dan Deskripsi. Flores: Nusa Indah dan Kanisius.

Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Luxemburg, Jan Van. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia.

122
123

Nugiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar Offset.

______ . 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Magnis-Suseno, Frans. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis Ke Perselisihan


Revolusi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

______ . 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan Dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Yogyakarta: Penerbit Lukman.

Pujiharto. 2001. “Ideologi Cerpen-Cerpen Koran Di Yogyakarta” Laporan Penelitian.


Lembaga Penelitian UGM Departemen Pendidikan Nasional.

Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Flores: Nusa Indah.

Wellek, Renne dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani
Budianta. Jakarta: PT Gramedia.

Widijanto, Tjahjono. 2007. “Membongkar Mitos Wayang Kitab Omong Kosong Seno
Gumira Ajidarma”. Horison Edisi September 2007. Jakarta: PT Metro
Pos.

Internet:

Ajidarma, Seno Gumira. 1998. “Apakah Teror Sudah Dimulai: Surat Terbuka Seno
Gumira Ajidarma”.
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/1998/04/08/0027.html.
Download Juli 2007.
124

Hartiningsih, Maria. 2005. “Transformasi Seno Gumira”.


http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/19/Sosok/197999.htm.
Download 25 Maret 2007.

Mursadi,Nur. 2005. “Epik Ramayana Dalam Berbagai Narasi”.


http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/0528/bud2.html.
Download 25 Maret 2007.

Narendra, Yuka Dian. 2007. “Pengetahuan, Paranoia Masa Depan Dan Omong
Kosong Tentang Dunia, Membaca Kitab Omong Kosong Karya Seno
Gumira Ajidarma”. http://www.jccs-online.info/index. Download 16
Januari 2008.

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/012006/26/kampus/buku.htm. Download
Juli 2007.

http://id.wikipedia.org/wiki. Download Juni 2007.

http://www.karatonsurakarta.com/ ramayana.html. Download Desember 2007.


BIOGRAFI PENULIS

Maria Bekti Lestari lahir di Kotabaru,

Kalimantan Selatan pada tanggal 12 Mei 1985.

Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius

Babadan, pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama di SLTP N 4 Depok, dan pendidikan Sekolah

Menengah Umum di SMU N 1 Depok Yogyakarta. Bekti aktif menulis dan

beberapa karyanya dimuat di Kompas, Kedaulatan Rakyat, dan detik.com.

Novelnya yang berjudul Galaniza diterbitkan oleh Andi Ofset. Pada Juni 2008

mendapatkan gelar Sarjana Sastra dari Universitas Sanata Dharma dengan skripsi

yang berjudul Ideologi Pengarang Dalam Novel Kitab Omong Kosong Karya

Seno Gumira Ajidarma. Kini tinggal di Demangan RT 02/RW 07, Wedomartani,

Ngemplak, Sleman, Yogyakarta.

125

Anda mungkin juga menyukai