Anda di halaman 1dari 2

MLOSDRONGITAS NALAR

Masih membekas kenangan kanak-kanak, ketika dulu bermain dengan teman-teman


sebaya, kami kadang iseng me-mlosdrong-kan sruwal alias celana kolor teman. Kadang
pula, saya jadi korban dari pe-mlosdrong-an itu. Malu, marah, jengkel, kesel, tentu. Itu
reaksi wajar bagi korban pe-mlosdrong-an. Tetapi, bagi pelaku, itu adalah hal lucu dan
menggelikan. Mereka atau saya, bisa saja tertawa terbahak-bahak karena berhasil me-
mlosdrong-kan celana teman.
Awalnya, tindakan pe-mlosdrong-an itu hanyalah sebuah aksi spontan. Sekadar
menghibur diri. Mencari kesenangan. Tidak ada niat untuk membuat malu korban. Tentu,
akibat dari aksi itu ada risiko yang tak terduga pula. Kadang, pelaku tiba-tiba dilabrak
oleh orang tua korban. Kena marah.
Alhasil, gelak tawa yang semula membahana itu sontak tercekat. Kami semua, baik
itu pelaku atau teman-teman lain yang berada pada peristiwa itu tidak bisa berkata apa-
apa, kecuali menyaksikan salah seorang di antara kami kena marah. Mula-mula sedikit
takut, kemudian sedikit menyesal.
Tetapi, di lain waktu, mungkin dalam hitungan jam atau beberapa menit kemudian,
kami bisa akur kembali. Tidak ada yang memasalahkan aksi spontan itu. Esok, lusa, atau
beberapa hari kemudian, peristiwa yang serupa bisa saja terulang. Begitulah, kenakalan
masa kanak-kanak saya, kala itu.

Usia saya tidak lagi kanak-kanak. Tetapi, saya seperti mengalami dejavu. Terjadi
pengulangan peristiwa lalu dalam wujud yang berbeda. Aksi plosdrong-plosdrongan itu
“dipinjam”, “disalin”, “dimodifikasi”, lalu dilakukan dalam bentuk yang lebih canggih.
Tidak lagi me-mlosdrong-kan celana teman. Malah lebih dari itu.
Orang bisa dengan mudah menganggap orang lain tidak lebih pintar darinya. Mencap
lebih buruk darinya. Bahkan, sampai pada anggapan-anggapan yang tidak manusiawi.
Tidak sekadar di-plosdrong-kan celananya, tetapi juga di-plosdrong-kan kepribadiannya.
Bahkan, tidak merupa sebagai manusia.
Entah, apa alasannya bisa sampai setega itu. Tetapi, kalau hanya soal beda cara
pandang, beda cara menilai sesuatu, bukankah itu semua soal selera? Seperti halnya saya
yang doyan makan tauto akan menilai tauto lebih enak ketimbang bakso. Tetapi, apakah
saya harus membuat orang lain sependapat dengan saya? Tidak. Apakah saya berhak
untuk melarang orang lain memakan bakso? Tentu tidak.
Padahal, kedua jenis makanan itu sama-sama diwadahi mangkok. Mereka juga tidak
saling berebut wadah itu. Tauto tidak merasa lebih pantas diwadahi mangkok daripada
bakso. Begitu juga sebaliknya, bakso tidak merasa lebih pas diwadahi mangkok.
Keduanya tidak saling rebutan untuk disebut yang paling pantas.
Kalaupun dimakan, toh pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang sama. Hanya sari-
sarinya yang dimanfaatkan tubuh. Selebihnya, terbuang begitu saja. Bahkan, untuk
mengingatnya saja, kita segan.
Betapa, lewat kedua jenis makanan itu saya merasa tertampar. Hanya karena hal-hal
yang mestinya dapat didudukkan dan dibicarakan, mengapa mesti ada aksi plosdrong-
plosdrongan? Apa untungnya jika kemudian semua sama-sama harus menanggung malu?
Sebab, kata kawan saya, Kang Kadir, ketika seseorang me-mlosdrong-i orang lain, di saat
bersamaan ia sebenarnya tengah me-mlosdrong-i diri sendiri. Sama-sama malu.
Masa ada kawan sendiri yang telanjang kita tak berusaha memberinya baju. Atau
sekurang-kurangnya menutupi tubuhnya dengan selembar kain atau selimut. Malah kita
ikut menelanjanginya pula, sambil bersorak sorai kegirangan.
Ah, betapa nalar telah menjadi mlosdrong, jika demikian.

Pekalongan, 4 Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai