Anda di halaman 1dari 19

Solusi Pajak

Mengupas peraturan dan praktek perpajakan di Indonesia.

Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut


Pajak
Ketentuan Dalam Rangka Anti Penghindaran Pajak

Penghindaran pajak (mungkin) sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu. Banyak cara menghindari
pajak, salah satunya dengan biaya bunga. Karena itu perlu ketentuan yang membatasi biaya
bunga dengan cara membatasi nisbah utang terhadap modal (debt to equity ratio). Berikut
ketentuan debt to equity ratio (DER) menurut pajak.

Undang-undang PPh telah memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk membuat
aturan tentang DER. Hal ini diatur di Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang PPh:

Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya


perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
Kewenangan mengatur DER ini pernah dilaksanakan tahun 1985. DER pertama kali diatur
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984. Keputusan ini menetapkan
debt equity ratio (dalam KMK tidak pakai “to“) setinggi-tingginya tiga dibanding satu (3 : 1).

Sayang, ketentuan DER ini tahun berikutnya ditunda pelaksanaannya dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 254/KMK.01/1985.
Baru kemudian ditentukan kembali tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
nomor 169/PMK.010/2015. Aturan ini membatasi  DER setinggi-tingginya empat dibanding satu
(4 : 1).

Jika ketentuan tahun 1984 tidak ada pengecualian Wajib Pajak, maka aturan DER tahun 2015 ini
memberikan pengeculian bagi :

1. Wajib Pajak bank;


2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi,
pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak
karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau
perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan
perbandingan antara utang dan modal; dan
5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat nal
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Artinya, Wajib Pajak yang disebutkan diatas tidak terkena ketentuan DER. Masih bebas seperti
sebelum terbitnya Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.010/2015.

Bagi Wajib Pajak di bidang pertambangan dan gas bumi, pertambangan umum, dan
pertambangan lainnya yang dalam kontrak atau perjanjian tidak mengatur DER, maka berlaku
ketentuan DER 4:1

Utang Kepada Pemegang Saham

Menariknya, Peraturan Menteri Keuangan nomor 169/PMK.03/2015 memasukkan utang tanpa


bunga kepada pemegang saham (lebih tepatnya “memiliki hubungan istimewa”) termasuk
saldo modal. Silakan cek Pasal 1 ayat (5). Artinya,  utang tanpa bunga kepada pemegang
saham adalah modal!

Saldo modal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi ekuitas sebagaimana
dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa
bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Jadi, jika ada pinjaman tanpa bunga maka dapat dimasukkan sebagai modal. Di dunia bisnis
yang normal, tidak ada pinjaman tanpa bunga kecuali si pemberi pinjaman dengan penerima
pinjaman memiliki hubungan istimewa.

Konsekuensi lainnya, pengembalian pinjaman tanpa modal bisa disebut dividen?

Cara Menentukan Biaya Pinjaman Yang Dapat Dibiayakan

Termasuk biaya pinjaman adalah:

bunga pinjaman;
diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
biaya tambahan yang terjadi terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
biaya imbalah karena jaminan pengembalian utang; dan
selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam valuta asing.

Biaya pinjaman diatas dapat dikurangkan dari penghasilan bruto (biaya) sepanjang besarnya
tidak melebihi ketentuan DER. Artinya, kelebihan dari nisbah 4 bukan biaya.

Perlu diperhatikan bahwa:

Besarnya biaya pinjaman juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 Undang-
undang PPh.
Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa, maka besarnya biaya pinjaman juga harus memenuhi tingkat biaya pinjaman
sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.

Selain dari kelebihan dari nisbah 4 kali, biaya pinjaman juga tidak dapat dibiayakan jika:

selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan Istimewa
yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dengan biaya
pinjaman yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (jumlah yang tidak wajar
dan tidak lazim);
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang dikenai pajak bersifat nal.
Biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan menurut pajak (warna hijau)

Jadi, walaupun nisbah utang masih dibawah 4, tetapi jika biaya pinjaman tersebut tidak
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha maka selisih lebih dari yang tidak wajar
harus dikoreksi skal. Pada prakteknya, Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha biaya dipakai
oleh pemeriksa pajak pada saat dilakukan pemeriksaan.

Begitu juga jika pinjaman dipergunakan untuk kegiatan yang menghasilkan penghasilan yang
PPh-nya dikenai nal atau menghasilkan penghasilan tetapi penghasilan tersebut bukan objek
pajak, maka atas biaya pinjaman tersebut tetap harus disingkirkan dalam perhitungan.

Jika pinjaman tersebut dipergunakan untuk kegiatan PPh nal dan bukan nal dan tidak dapat
dipisahkan pembukuannya, maka pemisahannya dapat dilakukan dengan cara proporsional
antara penghasilan nal dan bukan nal.

Termasuk biaya pinjaman yang tidak boleh dibiayakan adalah biaya pinjaman yang disebutkan
diatas dan dikapitalisasi (dimasukkan sebagai harga perolehan harta). Maka atas penyusutan
biaya pinjaman yang dikapitalisasi tersebut tidak boleh dibiayakan.

Dan seluruh biaya pinjaman (100%) tidak boleh dibiayakan dalam hal nilai ekuitas (modal)
perusahaan nihil (Rp0,00) atau minus.
Cara Menghitung DER

Nisbah utang terhadap modal ini bukan utang saldo akhir tahun. Utang yang digunakan adalah
saldo rata-rata tiap akhir bulan. Baik untuk saldo utang maupun untuk saldo modal. Setiap
akhir bulan harus dilihat, dimasukkan dalam tabel dan dibagi.

Ada tiga jenis utang yang dianggap bukan utang untuk penghitungan DER, yaitu:

1. Utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya.


2. Utang yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan penghasilan yang dikenai
PPh Final, dan yang menghasilan penghasilan bukan objek.
3. Utang dari hak a liasi yang tidak dikenai biaya bunga (utang ini dimasukkan sebagai
ekuitas).

Saldo rata-rata utang dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak.

Dalam hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan
yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung menurut
dokumen yang dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.

Modal yang diperhitungkan dalam DER adalah modal yang dicatat sesuai dengan standar
akuntansi Indonesia, dan ditambah dengan dengan pinjaman tanpa bunga dari pihak a liasi
(memiliki hubungan istimewa).

Jika ada penambahan modal pada tahun tersebut, maka modal yang diperhitungkan adalah
saldo rata-rata modal pada tahun tersebut. Atau pada periode akuntansi tersebut jika tidak
genap 12 bulan.

Saldo rata-rata modal dihitung berdasarkan rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada satu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak.

Dalam hal rata-rata saldo modal tiap akhir bulan tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan
yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo modal tersebut dihitung menurut
dokumen yang dapat menunjukkan posisi modal pada tiap akhir bulan.

Contoh Menghitung DER

Contoh penghitungan DER berikut adalah contoh yang merupakan lampiran Peraturan Direktur
Jenderal Pajak nomor PER – 25/PJ/2017. Gambar berasal dari slide yang dibuat oleh Subdit
Pencegahan dan Penanganan, Direktorat Perpajakan Internasional.
PT XXX merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri manufaktur. Berdasarkan
Laporan Posisi Keuangan dan Laporan Laba Rugi yang disampaikan oleh PT XXX, diketahui hal-
hal sebagai berikut:

Berdasarkan informasi yang tersedia, penghitungan Perbandingan Antara Utang dan Modal
(Debt to Equity Ratio/DER) PT XXX untuk tahun 2016 adalah sebagai berikut:

Saldo rata-rata utang PT XXX dihitung sebagai berikut:


Saldo rata-rata modal PT XXX dihitung sebagai berikut:
Berdasarkan jumlah saldo rata-rata utang dan jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun
2016, maka besarnya DER PT XXX tahun 2016 adalah:

Besar DER = Jumlah saldo rata-rata utang : Jumlah saldo rata-rata modal

= Rp6.081.750.000,00 : Rp760.000.000,00
= 8 : 1 atau (delapan dibanding satu)

Selanjutnya, penghitungan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung


penghasilan kena pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015
adalah sebagai berikut:

Besar DER paling tinggi yang diperkenankan = 4 : 1 (empat dibanding satu).

Karena besar DER PT XXX melebihi dari 4:1, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak = 4/8 x biaya pinjaman dari masing-masing utang,
dengan penghitungan sebagai berikut:

Mengingat bahwa utang kepada PT ABC merupakan utang kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, maka biaya pinjaman terkait utang kepada PT ABC sebesar
Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) dan kepada XXX Corp. sebesar
Rp79.360.000,00 (tujuh puluh sembilan juta tiga ratus enam puluh ribu rupiah) yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak harus pula memenuhi prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3)
Undang-undang PPh.

Contoh penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atas biaya pinjaman terkait utang
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah sebagai berikut:

Apabila biaya pinjaman PT ABC sebesar Rp96.000.000,00 (sembilan puluh enam juta rupiah)
merupakan bunga pinjaman dengan tingkat suku bunga 12% p.a. (dua belas persen per tahun)
dan diketahui bahwa tingkat suku bunga pinjaman sebanding yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa adalah sebesar 9% p.a. (sembilan persen per tahun) sehingga bunga pinjaman yang
wajar adalah sebesar Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah), maka penghitungan biaya
pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak menjadi
sebagai berikut:

Atas biaya pinjaman sebesar Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) sehubungan dengan utang
kepada PT ABC yang tidak memenuhi tingkat biaya pinjaman sesuai Prinsip Kewajaran dan
Kelaziman Usaha juga tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung
penghasilan kena pajak, dan dianggap sebagai dividen bagi PT ABC pada saat biaya pinjaman
tersebut dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya.
CONTOH PENERAPAN BIAYA PINJAMAN ATAS UTANG YANG
DIPERGUNAKAN UNTUK MENDAPATKAN PENGHASILAN FINAL:

Berdasarkan data dari contoh diatas, apabila dalam komponen penghasilan bruto PT XXX tahun
2016 termasuk penghasilan dari persewaan tanah dan bangunan sebesar Rp5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah) yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan nal dan biaya
pinjamannya merupakan biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka
penghitungan besarnya penghasilan kena pajak, maka biaya pinjaman yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak dihitung secara proporsional.

Biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah
sebesar:

= (Rp 15.000.000.000,00/Rp20.000.000.000,00) x Rp193.360.000,00


= Rp145.020.000,00 atau seratus empat puluh lima juta dua puluh ribu rupiah.

Dalam hal utang dan biaya pinjaman sehubungan dengan penghasilan dari persewaan tanah dan
bangunan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) yang atas penghasilannya telah
dikenai Pajak Penghasilan nal dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya
penghasilan kena pajak maka atas saldo rata-rata utang dan biaya pinjaman tersebut tidak
dimasukkan dalam penghitungan saldo rata-rata utang dan biaya pinjaman PT XXX.

Misalnya, utang dan biaya pinjaman sehubungan dengan penghasilan dari persewaan tanah dan
bangunan sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) tersebut diidenti kasi bersumber
dari utang jangka panjang kepada PT JKL maka atas saldo rata-rata utang PT JKL
(Rp780.000.000,00) dan biaya pinjaman atas utang kepada PT JKL (Rp20.660.000,00) tidak
dimasukkan dalam penghitungan saldo rata-rata utang dan biaya pinjaman PT XXX.

Saldo rata-rata utang dihitung berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan selama tahun
pajak 2016 (tidak termasuk utang jangka panjang kepada PT JKL), dengan rincian sebagai
berikut:
Penghitungan saldo rata-rata modal PT XXX, yaitu jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun
2016 = Rp760.000.000,00 (tujuh ratus enam puluh juta rupiah). Lihat contoh diatas!

Berdasarkan jumlah saldo rata-rata utang dan jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun
2016, maka besarnya DER PT XXX tahun 2016 adalah:

Besar DER = Jumlah saldo rata-rata utang : Jumlah saldo rata-rata modal
= Rp5.301.750.000,00 : Rp760.000.000,00
= 7 : 1 atau (tujuh dibanding satu)

Selanjutnya, penghitungan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung


penghasilan kena pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015
adalah sebagai berikut:

Besar DER paling tinggi yang diperkenankan = 4 : 1 (empat dibanding satu).

Karena besar DER PT XXX melebihi dari 4:1, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak = 4/7 x biaya pinjaman dari masing-masing utang,
dengan penghitungan sebagai berikut:
CONTOH BERIKUT ADALAH PENERAPAN PENGHITUNGAN DER YANG
UTANGNYA TIDAK DAPAT DIBUKTIKAN. KOREKSI SALDO UTANG
BERIMBAS PADA KOREKSI BIAYA PINJAMAN YANG DAPAT
DIPERHITUNGKAN.

Berdasarkan data dari contoh 1, dana yang diperoleh dari utang kepada PT ABC digunakan untuk
membeli saham di PT ZZZ dengan kepemilikan 60% (enam puluh persen) dan dividen yang
diterima dari PT ZZZ bukan merupakan objek pajak. Biaya pinjaman (biaya bunga dan biaya
terkait lainnya) yang dibayarkan kepada PT ABC adalah Rp.96.000.000,00 (sembilan puluh
enam juta rupiah).

Lebih lanjut, diketahui pula bahwa atas pinjaman ke XXX Corp. tidak dapat dibuktikan
kebenarannya. Hal ini, antara lain dibuktikan dengan tidak adanya arus kas masuk yang
menunjukkan diterimanya pinjaman dari XXX Corp. Biaya pinjaman (biaya bunga dan biaya
terkait lainnya) yang dibayarkan kepada XXX Corp. adalah Rp.158.720.000,00 (seratus lima
puluh delapan juta tujuh ratus dua puluh ribu rupiah).

Mengingat bahwa berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,


biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk membeli saham dan biaya pinjaman atas
utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya tersebut tidak dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak, maka utang kepada PT ABC dan
XXX Corp. tersebut harus terlebih dahulu dikeluarkan dari penghitungan DER.
Penghitungan saldo rata-rata utang selain utang dari PT ABC dan XXX Corp. adalah sebagai
berikut:

Penghitungan saldo rata-rata modal PT XXX adalah sebagaimana dimaksud pada Contoh 1,
yaitu jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun 2016 = Rp760.000.000,00 (tujuh ratus enam
puluh juta rupiah).

Berdasarkan jumlah saldo rata-rata utang dan jumlah saldo rata-rata modal PT XXX tahun
2016, maka besarnya DER PT XXX tahun 2016 adalah:

Besar DER = Rp3.820.000.000,00 : Rp760.000.000,00


= 5:1 atau (lima dibanding satu)

Selanjutnya, penghitungan biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung


penghasilan kena pajak berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015
adalah sebagai berikut:

Besar DER paling tinggi yang diperkenankan = 4 : 1 (empat dibanding satu).

Karena besar DER PT XXX melebihi dari 4:1, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak = 4/5a x biaya pinjaman dari masing-masing utang,
dengan penghitungan sebagai berikut:
Kewajiban Menyampaikan Perhitungan DER Dalam Lampiran SPT Tahunan
PPh

Perhitungan DER merupakan salah satu lampiran SPT Tahunan PPh Badan. Ketentuan ini diatur
di Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-25/PJ/2017.

Wajib Pajak Badan yang:

1. didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia


2. modalnya terbagi atas saham-saham
3. memiliki utang, dan
4. mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak

wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal
sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam hal Wajib Pajak tidak:

1. menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal


melaksanakan ketentuan diatas, dan
2. tidak menggunakan format laporan seperti contoh PER-25/PJ/2017
maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak
lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Contoh Laporan Penghitungan DER Yang Wajib Dilampirkan di SPT Tahunan Badan

Kewajiban Menyampaikan Laporan Utang Swasta Luar Negeri Dalam Lampiran


SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya
utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak. Ketentuan ini tercantum di
Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015.

Kemudian Peraturan Direktur Jenderal nomor PER-25/PJ/2017 mengatur bahwa Wajib Pajak
Badan yang memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan laporan
utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan.

Dalam hal Wajib Pajak tidak:

1. menyampaikan laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan, dan/atau
2. tidak menggunakan format laporan seperti contoh PER-25/PJ/2017,

maka SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak
lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan
biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Contoh format laporan utang swasta luar negeri sesui PER-25/PJ/2017:


Bantu Share di

         

Menyukai ini:

Suka
3 blogger menyukai ini.

Lampiran SPT Tahunan Badan terbaru : TP Doc dan DER

21 Maret 2018
dalam "SPT"

Tindakan Penagihan

18 Januari 2021
dalam "Tak Berkategori"

Cara Menghitung PPh Pasal 25

28 Maret 2019
dalam "Tak Berkategori"

Author: Raden Agus Suparman


Petugas pajak sejak 1993 sampai sekarang. Alumni STAN, Universitas Terbuka, dan Universitas Indonesia.
Berpengalaman sebagai pemeriksa pajak (1995 sd 2010), kepala seksi di Ditjen Pajak (2010 sd sekarang),
dan sejak 2007 admin blog pajaktaxes.blogspot.co.id View all posts by Raden Agus Suparman

Raden Agus Suparman / 21 Desember 2018 / Biaya Fiskal / Biaya Bunga, Biaya Pinjaman, bunga bank, bunga
pinjaman, bunga utang, Debt Equity Ratio, Debt to Equity Ratio, DER

6 thoughts on “Ketentuan Debt Equity Ratio Menurut Pajak”

Dharmawan A
21 Desember 2018 pukul 11:07 am

Bagaimana dengan biaya bunga diskonto dari Anjak Piutang pak ? Apakah termasuk biaya bunga
yang diperhitungkan dalam Perhitungan DER ini pak ?

Memuat...
Raden Agus Suparman 
26 Desember 2018 pukul 9:52 am

menurut saya, diskonto anjak piutang bukan bunga pinjman. Diskonto di anjak piutang untuk
memberikan keuntungan bagi yang beli piutang.

Memuat...

dharmawanari n8862
2 Januari 2019 pukul 1:36 pm

Maka bunga diskonto ini harus dieliminir dari perkiraan bunga pinjaman ya pak. Terima
kasih untuk pencerahannya pak

Memuat...

Raden Agus Suparman 


3 Januari 2019 pukul 7:32 am

iya benar, jangan digabungkan sebagai bunga pinjaman untuk menghitung DER

Memuat...

Agung Astungkara
26 Desember 2018 pukul 8:18 am

saya ada le panduan penilaian DER dari direktorat PKP pak

Memuat...

Raden Agus Suparman 


26 Desember 2018 pukul 9:54 am

boleh di share? silakan kirim ke raden.suparman at gmail dot com

Memuat...
Comments are closed.

Solusi Pajak / Blog at WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai