Anda di halaman 1dari 2

Nama : Wikandharu Cahya Amir

Kelas/no : XII IA 5/36

ISLAM PADA MASA ORDE BARU

 Periode 1966–1977: Konsolidasi Dua Kekuatan

Pada awal era Orde Baru, umat Islam di Indonesia dipandang sebelah mata. Hal itu
dikarenakan secara jumlah penduduk Muslim merupakan mayoritas namun secara keahlian
masih minim. Keadaan ekonomi umat Muslim semakin memburuk lantaran pemerintah memberi
peluang dalam bidang ekonomi lebih banyak kepada para pengusaha ketimbang kelas menengah
santri. Akibatnya, terjadi penurunan ekonomi pada pedagang-pedagang Muslim, mulai dari
Majalaya, Solo, Pekalongan, Majalengka bahkan hingga Kudus.

Di sisi lain, pemerintah mensyiarkan Islam dengan cara mengembangkannya melalui


berbagai pembangunan fisik dan aktivitas-aktivitas yang bersifat penampilan. Pembangunan fisik
misalnya adalah pemerintah mendirikan kantor agama. Adapun aktivitas bersifat penampilan
misalnya adalah dengan diselenggarakannya Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), tarian dan
nyanyian Islam hingga ritual keagamaan. Guna mengembangkan Islam lebih jauh dan lebih baik
pada masa itu, Mohammad Hatta bersama generasi muda Islam Indonesia lainnya kemudian
mendirikan sebuah partai baru yang dinamakan Partai Demokrasi Islam Indonesia. Namun usia
partai itu tidak berlangsung lama karena pada 17 Mei 1967 Presiden Soeharto melarangnya.

Pada 1973, terjadi kontroversi di Indonesia karena pemerintah membuat Rancangan Undang-
Undang Perkawinan (RUU Perkawinan) yang dianggap bertentangan dengan Islam. Mohammad
Hatta kemudian mengirimkan surat kepada Soeharto agar menerima tuntutan kaum Islam.
Peristiwa lain yang terjadi pada periode ini adalah umat Islam menuntut kepada pemerintah agar
membebaskan beberapa pemimpin Masyumi yang ditahan. Mereka juga menuntut pemerintah
untuk memberikan izin agar dapat mendirikan Partai Masyumi. Akan tetapi, usaha mereka tak
berhasil karena rezim Soeharto tak memberikan izin. Pemerintah beranggapan bahwa jika partai
Islam diperbolehkan maka partai tersebut akan menimbulkan pertentangan dan mengganggu
pembangunan nasional.
 Periode 1977–1985: Fragmentasi dan Reformulasi

Pada periode ini, pemerintah melakukan penyingkiran terhadap orang-orang Masyumi


karena mereka dianggap sebagai "kaum modernis" dan "reformis Islam". Pemerintah juga
melakukan depolitisasi umat Islam khususnya dan kelompok masyarakat politik lainnya karena
dianggap menyebarkan praktek politik berbasis politik aliran. Untuk mengatasi hal itu, kaum
politik Islam kemudian mereformulasi strategi perjuangan dengan menyebarkan isu "sekularisasi
Islam" dan "masyarakat muslim". Pada 1977 Indonesia melakukan pemilihan umum atau pemilu.
Partai-partai Islam berpartisipasi namun dukungan yang mereka dapatkan sangat minim. Begitu
pun yang terjadi pula pada pemilu 1982. Akan tetapi pemilu pada era itu dianggap sebagai
pemilu yang tidak jujur dan tidak adil karena realisasi dari pemilihan umum yang langsung,
umum, bebas dan rahasia sulit diaplikasikan. Pada 1980-an, terjadi penurunan pengaruh dalam
kalangan kelompok Islam garis keras. Mereka gagal menyerukan penolakan dalam penerapan
pancasila di Indonesia. Pada dekade yang sama, NU (Nahdlatul Ulama) keluar dari PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) dan memutuskan untuk tidak lagi bergabung dengan partai politik.
Penyebabnya adalah karena NU menganggap PPP memperlakukannya secara tidak adil. Salah
satunya terkait dengan jumlah daftar calon legislatif yang disusun oleh pimpinan pusat partai.[1]
[4]

 Periode 1985–1998: Pola Integrasi Simbiosis

Pada periode ini hubungan antara Islam dan pemeritah membaik karena mereka merasa
saling membutuhkan. Salah satu buktinya adalah pemerintah mengeluarkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) dari tiga menteri, yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri. Selain itu juga lahir pula berbagai kebijakan seperti Undang-
Undang Pendidikan Nasional (1988), Undang-undang Peradilan Agama (1989), berdirinya
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) berkat dukungan pemerintah pada 1990, SKB
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang efektivitas zakat (1991) bahkan hingga
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan tentang perizinan pemakaian busana muslimah (jilbab) kepada para siswi. Hasil ini
didapatkan tak terlepas dari upaya perjuangan intelektual muda Islam kala itu.

Menjelang tahun 1990-an, Soeharto mulai menunjukkan simpati politiknya kepada kelompok
politik Islam. Di samping hal-hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, Soeharto juga
mengizinkan sistim perbankan Islam yang dikenal dengan Bank Muamalat dan terjadinya
perubahan penampilan ABRI yang sebelumnya antiIslam menjadi tidak antiIslam. Hal itu
terbukti dengan dilibatkannya perwira santri atau simpasitan Islam ke dalam kepemimpinan
militer.[1]

Anda mungkin juga menyukai