Anda di halaman 1dari 2

WAKTU YANG BERLARI DAN AKU BERGELUT DALAM SEPI

mengais luka dalam wajah republik yang semakin nanar


percikan amis menghiasi sudut-sudut elegi dalam berjuta kata namun tak pasti
semua ketidakjelasan itu memang sudah lama kita nikmati
kita telah mengunyah persoalan-persoalan itu , begitu lama anjiang !!
tak bisa lagi otak ini mengajarkan hidup untuk sebuah cinta dan hati nurani
terkadang aku sempat bertanya
“ke mana Tuhan, ketika manusia telah kehilangan kemanusiaannya?”
apalagi yang bisa kita harapkan dalam republik yang hanya berani berceloteh
berjuta sumpah serapah melengking pada suara tong kosong yang tidak pernah
memberikan kita makna apa-apa
tiap detik pada waktu yang selalu saja berlari
dalam televisi, radio, koran, majalah, bahkan sampai dunia maya petaka
aku tetap saja diajar tentang benang kusut
tentang wajah-wajah republik yang rakus
aku muak, atau barangkali anda juga bosan ciliang !!

ratusan juta mata telah menatap wajahmu wahai bangsaku


dalam setiap denyut nafas diri kita yang selalu saja terasing
disitulah kau akan melihat para tikus-tikus pintar telah memiskinkanmu
kecerdasan hanyalah pusaka masalalu yang selalu dibanggakan
pendidikan begitu jauh dalam membangun karakter anak negeri
lalu apa yang bisa kita banggakan
selain dari kata maling !!
sungguh ironis dan menyedihkan, kantuik !!

republik ini berada pada tepi jurang yang terjal dan dalam
sentuhlah dengan mesra maka kita semua akan terjatuh bersama angin
begitulah sepiku ingin bercerita tentangmu
pada sebuah malam bersama sinar bintang
secangkir kopi usang
seperempat setengah batang rokok
aku menatapmu dengan cinta
“Tuhan, jika aku salah memahamimu maka maafkanlah. tapi jika mereka
memang durhaka dimatamu, maka ambillah ia”
aku menegukmu wahai sang hitam pembuka mata
menghisap rokok yang hanya tinggal warna kuning pada bibir yang merah pudar
lalu berucap “amin”
barangkali saja
sebuah harapan penyair yang hanya bisa tertuang lewat kata-kata
suatu ketika dalam nafas yang masih teramat panjang
aku terbangun dari mimpi, tersentak memandang langit-langit cakrawala
melangkah menuju titik cahaya pada jendela lama, lalu membukanya
di situlah aku memandang harga diri bangsa tidak lagi sirna ditelan zaman
wajah republik mulai berseri seiring datangnya pagi
kicau burung bersenandung degan mesranya
aku tertegun karenanya
lalu berkata
“terima-kasih tuhan, doa-doa ku telah menjadi nafas dalam anugerahmu”
semoga

SURAKARTA, 6 MEI 2010

Anda mungkin juga menyukai