Waktu Yang Berlari Dan Aku Bergelut Dalam Sepi
Waktu Yang Berlari Dan Aku Bergelut Dalam Sepi
republik ini berada pada tepi jurang yang terjal dan dalam
sentuhlah dengan mesra maka kita semua akan terjatuh bersama angin
begitulah sepiku ingin bercerita tentangmu
pada sebuah malam bersama sinar bintang
secangkir kopi usang
seperempat setengah batang rokok
aku menatapmu dengan cinta
“Tuhan, jika aku salah memahamimu maka maafkanlah. tapi jika mereka
memang durhaka dimatamu, maka ambillah ia”
aku menegukmu wahai sang hitam pembuka mata
menghisap rokok yang hanya tinggal warna kuning pada bibir yang merah pudar
lalu berucap “amin”
barangkali saja
sebuah harapan penyair yang hanya bisa tertuang lewat kata-kata
suatu ketika dalam nafas yang masih teramat panjang
aku terbangun dari mimpi, tersentak memandang langit-langit cakrawala
melangkah menuju titik cahaya pada jendela lama, lalu membukanya
di situlah aku memandang harga diri bangsa tidak lagi sirna ditelan zaman
wajah republik mulai berseri seiring datangnya pagi
kicau burung bersenandung degan mesranya
aku tertegun karenanya
lalu berkata
“terima-kasih tuhan, doa-doa ku telah menjadi nafas dalam anugerahmu”
semoga