Anda di halaman 1dari 3

Nama : Cindri Candrika

NIM : 2020310001
Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam
Mata Kuliah : Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu : Moch. Riou Badar T, S.T., M.T

METAFISIKA
Bagi Plato dan Aristoteles
( Esensi & Substansi )

Metafisika adalah salah satu cabang filsafat yang mempelajari mengenai hal fisik diluar yang
berfisik. Dalam artian, metafisika ini adalah bagaimana kita mengenal sesuatu tanpa melihat
fisiknya.

Pembahasan mengenai metafisika memiliki beberapa pemahaman, diantara


pemikiran-pemikiran seorang filsuf, yaitu Plato dan muridnya Aristoteles.
Definisi metafisika menurut Aristoteles adalah ilmu yang mempelajari mengenai "yang ada"
sebagai "yang ada".

Menurut Plato, metafisika adalah sebuah Esensi. Diantara pemikiran Plato yang terpenting
adalah teorinya tentang ide-ide, yang merupakan upaya permulaan yang mengkaji masalah
tentang universal. Dunia idea adalah dunia yang hanya terbuka bagi rasio kita. Dalam dunia
ini tidak ada perubahan, semua idea bersifat abadi dan tidak dapat diubah. Hanya ada satu
idea “yang bagus”, “yang indah”. Di dunia idea semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak
hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai
konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual. Menurut Plato idea tidak diciptakan oleh
pemikiran manusia. Idea tidak tergantung pada pemikiran manusia, melainkan pikiran
manusia yang tergantung pada idea. Idea adalah citra pokok dan perdana dari realitas,
nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Idea sudah ada dan berdiri sendiri di luar pemikiran
kita. Idea-idea ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Misalnya, idea tentang dua buah
lukisan tidak dapat terlepas dari idea dua, idea dua itu sendiri tidak dapat terpisah dengan idea
genap. Namun, pada akhirnya terdapat puncak yang paling tinggi di antara hubungan
idea-idea tersebut. Puncak inilah yang disebut idea yang “indah”. Idea ini melampaui segala
idea yang ada. Teori-teori Plato ini bersifat metafisis namun sebagian juga ada yang bersifat
logis.

Bagi Aristoteles, metafisika adalah sebuah Substansi. Dimana kita membicarakan perihal
dunia yang seada-adanya atau Eidos. Sedangkan bagi Plato yang juga adalah gurunya,
mengatakan bahwa pemikirannya adalah mencapai dunia yang disana atau dunia luar yang
bahkan tidak pernah terlihat oleh mata atau Idea.

Jika melihat manusia sebagai objek kajian dari pemikiran Plato dan Aristoteles, maka
menurut pemikiran Plato, manusia yang terdiri dari tubuh dan jiwa, dimana tubuh bersifat
fana dan jiwa adalah kekal. Plato mengatakan bahwa ketika manusia mati, raganya memang
mati tapi jiwanya masih tetap hidup atau kekal.

Menurut pemikiran Plato, ciri manusia dapat dilihat dalam susunan Logistikon, Thumos, dan
Epithumia. Logistikon, yang disimbolkan dengan manusia kecil adalah bagian jiwa rasional
sumber kebijaksanaan. Bagian kepala, otak, logika atau pikiran. Bagian ini, bagi Plato,
merupakan bagian terbaik dalam jiwa manusia, karena dia mengendalikan dua bagian jiwa
yaitu epithumia dan thumos.
Thumos itu berada pada bagian dada, dimana Thumos itu sendiri adalah bagian jiwa
irrasional, tempat adanya hasrat akan rasa hormat, harga diri, dan sebagainya disimbolkan
oleh sosok singa karena jiwa bersaingnya.
Sedangkan Epithumia, bagian tubuh dari perut ke bawah, adalah sumber dari segala
nafsu-nafsu akan makan, minum, seks, dan kekayaan. Dengan epithumia ini,
keberlangsungan hidup manusia dijamin, berkat hasrat makan dan minum, dan secara spesies,
manusia terus berlangsung berkat regenerasi atau berketurunan.

Menurut Plato, orang yang memiliki kecenderungan logistikon-lah yang seharusnya menjadi
seorang pemimpin, bagi mereka yang berkecenderungan thumos lebih tepat menjadi seorang
militer, atlet atau sebagainya. Sedangkan untuk dia yang memiliki kecenderungan Epithumia
lebih tepat menjadi seorang pengusaha atau sejenisnya.

Dalam Metafisika Aristoteles, kita mengenal istilah substansi yang dapat diartikan sebagai
"ada" atau dalam banyak. Substansi ini terbagi menjadi dua yaitu objek forma dan objek
materia. Objek forma ( aktualitas, aktual, aktus ) adalah sesuatu yang menjadikan sesuatu itu
adalah sesuatu. Sedangkan objek materia ( potensialitas ) adalah sesuatu yang mungkin
berubah menjadi sesuatu yang lain. Dari materia yang mengalami perubahan menjadi forma,
maka dibutuhkan adanya sebuah proses.

Aristoteles dalam substansi-nya mengkritik tajam pendapat Plato tentang idea-idea.


Menurutnya, dia yang umum dan tetap bukanlah dalam dunia idea, tetapi dalam bentuk
realistis bukan idealis, dimana kita melihat sesuatu di dunia yang ada saja.

Aristoteles mengungkapkan teori hilemorfisme. Hyle yang artinya materi dan morphe artinya
bentuk atau forma. Menurut teori ini, setiap benda jasmani memiliki dua hal yaitu bentuk dan
materi. Teori hilemorfisme juga menjadi dasar bagi pandangannya terhadap manusia.
Manusia terdiri dari materi dan bentuk. Bentuk adalah jiwa dan karena bentuk tidak pernah
lepas dari materi, konsekuensinya apabila manusia mati, maka jiwanya ( bentuk ) juga akan
mati.
Dalam sistem pemikiran Aristoteles jiwa yang menyebabkan tubuh menjadi sesuatu, yang
memiliki kesatuan dan tujuan. Tujuan mata adalah melihat, tetapi mata tidak dapat melihat
jika dipisahkan oleh tubuh. Sebenarnya, yang melihat adalah jiwa. Aristoteles mengandalkan
kekuatan indrawi sebagai dasar untuk mencapai pengetahuan yang sempurna. Hal ini sangat
berbeda dari Plato. Aristoteles menolak aliran Dualisme tentang manusia dan memilih
“hilemorfisme”, apa saja yang dijumpai di dunia secara nyata merupakan perwujudan
material sesuatu dari bentuk yang sama.

Secara universal, teori Aristoteles mengenai jiwa atau manusia dibagi menjadi tiga, yaitu :
vegetativa ( tumbuhan ), sensitiva ( hewan ), dan intelektu ( pikiran/Nous Logos ).
Menurutnya, manusia juga memiliki kemampuan seperti tumbuhan. Seperti hewan yang
bergerak, menangis, dll. Barulah setelah dewasa, manusia mulai menggunakan logikanya.

Anda mungkin juga menyukai