Anda di halaman 1dari 5

ALAT TANGKAP TIDAK RAMAH LINGKUNGAN

(STUDI KASUS: ALAT TANGKAP PUKAT HARIMAU/ TRAWL DI


PERAIRAN SINJAI SULAWESI SELATAN)
Lingga Ananda Riyani
230110180164

1. Lokasi
Secara geografis, Kabupaten Sinjai terletak di bagian pantai timur Provinsi
Sulawesi Selatan yang berjarak sekitar 223 km dari kota Makassar. Tepatnya kabupaten
ini berada pada posisi 5o 19’ 50”-5o 36’47” (LS) dan 119o 48’30”-120o 10’ 00” (BT).
Pada umumnya daerah penangkapan ikan tidak ada yang bersifat tetap, selalu
berubah dan berpindah mengikuti pergerakan kondisi lingkungan, yang secara alamiah
ikan akan memilih habitat yang lebih sesuai. Sedangkan habitat tersebut sangat
dipengaruhi oleh kondisi atau parameter oseonografi perairan seperti suhu permukaan
laut, salinitas, klorofil-a, kecepatan arus dan sebagainya (Laevastu and Hayes, 1981;
Butler et al., 1988; Zainuddin et al., 2006). Suhu permukaan laut (SPL) di perairan Sinjai
dan sekitarnya pada bulan Februari sampai April 2012 di perairan Kabupaten Sinjai
Sulawesi Selatan. 29.01 – 32.250C. Zona potensial paling produktif untuk daerah
penangkapan berada pada 120,337- 5,29 LS dan 120,846 ° - 5,182 ° BT untuk sebaran
SPL.

2. Deskripsi Alat Tangkap

Gambar 1. Alat tangkap


Pukat Harimau atau nama lainnya pukat udang, merupakan alat tangkap yang
efektif namun tidak selektif untuk menjaring ikan, alat ini dapat merusak ekosistem laut
dikarenakan pukat harimau menjaring dan membawa semua apapun yang dilewatinya
termasuk ikan-ikan kecil yang masih dapat berkembang biak dan terumbu karang yang
merupakan tempat bersarangnya ikan-ikan tersebut. Jaring-jaring pada pukat harimau
sangatlah kecil dibandingkan dengan jaring nelayan tradisional, dengan demikian pada
saat ikan-ikan kecil tersebut ikut terjaring, ikan tersebut tidak dapat melepaskan diri
diantara ikan yang besar dan celah jaring yang kecil sehingga ikan-ikan kecil tersebut
mati dan menghentikan proses berkembang biaknya.
Pukat harimau atau lebih tepatnya pukat udang, karena pada awalnya alat
penangkapan ini digunakan untuk menangkap udang di perairan dasar laut. Pukat harimau
merupakan jarring yang berbentuk kantung yang akan ditarik oleh satu atau dua kapal
pukat, melalui samping atau belakang. Mayoritas penggunaan alat tangkap ikan pukat
harimau digunakan oleh kapal-kapal ikan yang berukuran besar. Pukat harimau memang
efektif dapat menghasilkan tangkapan yang banyak dalam waktu yang cepat, namun
sayangnya alat ini tida selektif dalam menjaga kelangsungan ekosistem bawah laut,
karena mekanisme kerja alat ini dapat merusak semua yang dilewatinya.

3. Analisis Masalah dan Solusi


Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumber kekayaan alam yang
sangat besar, yang salah satunya adalah di bidang kelautan dan perikanan. Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, merupakan salah satu negara yang memiliki
sumber kekayaan alam laut yang sangat potensial untuk dapat diberdayakan dan dapat
digunakan sebagai salah satu modal dasar pembangunan nasional. Pengelolaan sumber
kekayaan alam tersebut harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan kelestarian
fungsi lingkungan hidupnya dan keberlanjutannya. Kekayaan Indonesia dimanfaatkan
oleh sekelompok masyarakat Indonesia yang bermukim di kawasan pantai yang dimana
pada umumnya menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan
atau yang disebut juga dengan nelayan. Banyaknya jenis ikan dengan segala sifatnya yang
hidup di perairan yang lingkungannya berbeda-beda, menimbulkan cara penangkapan
termasuk penggunaan alat penangkap yang berbeda-beda pula. Tanggung jawab nelayan,
baik tanggung jawab terhadap diri dan keluarga nelayan juga harus bertanggung jawab
terhadap kelestarian alam, sumber daya dan hasil tangkapannya. Oleh karena itu sangat
penting nelayan untuk tidak menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
Salah satu alat tangkap perikanan yang tidak rramah lingkungan adalah pukat
harimau. Jaring pukat harimau (trawl) ternyata masih beroperasi di sejumlah perairan
di Indonesia. Salah satunya terjadi di wilayah perairan Sinjai Sulawesi Selatan.
Padahal, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti telah mengeluarkan Permen
KP No 2/PERMEN-KP/2015 yang melarang penggunaan jenis jaring tersebut. Nelayan
tradisional di perairan Sinjai Sulawesi Selatan masih menyaksikan adanya
pengoprasian pukat harimau. Penggunaan alat tersebut dinilai merusak ekosistem laut
dan juga dapat membunuh bibit ikan lainnya.
Pukat harimau memiliki spesifikasi kerja dan daya jelajah perburuan ikan yang
baik. Alat ini dapat berburu ikan secara aktif dalam mengejar gerombolan ikan. Alat
ini tidak bergantung pada pola musim, karena jenis jaringnya memiliki kemampuan
untuk menangkap hampir semua jenis ikan baik besar maupun kecil, dan kemampuan
mesin penggerak kapal yang mendukung untuk melakukan perburuan ikan sampai ke
tengah laut. Sayangnya penggunaan alat penangkapan ikan ini menimbulkan kerusakan
parah pada habitat laut.
Penggunaan pukat harimau yang tidak terkendali berdampak negatif pada
kelestarian laut. Dengan mesh size (mata jarring) maka ikan atau udang dari berbagai
ukuran tertangkap tanpa batasan sehingga dapat merusaknya ekosistem laut. Pukat
harimau menggunakan alat tangkap berat yang diletakan di dasar laut, hal itu
menyebabkan kehancuran ekosistem laut yaitu kerusakan terumbu karang yang
merupakan habitat ikan dan juga merusak rumput laut. Sumber perusak utama dari pukat
harimau adalah lubang bukaan jarring yang memiliki bobot beberapa ton dan membuat
lubang galian yang diseret sepanjang bagian bawah dasar laut hingga menyebabkan batu
besar atau batu karang akan terseret secara bersamaan sehingga mengganggu atau bahkan
merusak area dasar laut, dan jelas ini berdampak pada penurunan keanekaragaman spesies
dan perubahan ekologi organisme lautan. Jaring- jarring pada pukat harimau memiliki
ukuran yang kecil, sehingga bukan hanya ikan besar yang terjerat, namun ikan-ikan
kecil dan telur ikanpun tak luput dari pukat harimau. Sehingga ikan-ikan tidak dapat
bereproduksi dengan baik.
Perluasan daerah jarring nelayan mini trawl ke daerah jarring nelayan lainnya.
Perluasan (aneksasi) ini membuat nelayan-nelayan pengguna jaring teradisional
tersingkirkan. Para nelayan yang menggunakan pukat harimau hanya berfikir jangka
pendek. Sekilas memang tampak menguntungkan bagi mereka, namun jika dilihat secara
jangka panjang mereka akan merugi. Karena alat ini menjaring ikan kecil dan tidak
memberikan ikan tersebut untuk tumbuh dewasa dan berkembang biak, pada akhirnya
ikan- ikan tersebut akan habis, dan imbasnya akan mereka rasakan juga. Termasuk kita
semua para konsumen ikan.
Dampak selanjutnya dari perluasan daerah jarring nelayan mini trawl adalah
rusaknya alat- alat jarring tradisional terseret oleh mini trawl yang berbahan sangat kuat
dan destruktif mengangkut apa saja yang dilewatinya. Kasus- kasus inilah yang sering
menjadi pemicu konflik kekerasan antar nelayan di lautan. Perahu pukat harimau yang
berukuran besar hanya boleh beroprasi di zona ketiga, di luar batas 7 mil dari garis pantai.
Akan tetapi zona ini tidak pernah berjalan, karena pemerintahan tidak punya cukup
kekuatan untuk mengawasi dan menjaga sistem zona tersebut. Pelanggaran batas yang
terjadi mengakibatkan sengketa Antara nelayan kecil dan nelayan pukat harimau semakin
menjadi. Hingga akhirnya pemerintah mengambil sebuah kebijakan melalui keputusan
presiden No 30/1980 dengan melarang pengoprasian pukat harimau di seluruh perairan
Indonesia kecuali di laut Arafura.
Oleh karena itu sebaiknya penggunaan pukat harimau di tinggalkan saja atau beralih
ke alat tangkap yang lebih ramah lingkungan. Alternatif pengganti pukat harimau adalah
jarring insang. Alat tangkap ini banyak dijumpai beroprasi di perairan Indonesia untuk
menangkap udang. Bahkan produktivitas jarring ini lebih rendah dibanding trawl.
Berhubung pukat harimau telah resmi dilarang oleh pemerintah, akan lebih baik
bila pelaku penangkapan ikan dengan pukat harimau tersebut di tindak tegas. Dinas
Perikanan dalam mengantisipasi maraknya tindak pidana penggunaan pukat harimau
tidak dapat berperan sendirian melainkan harus ada koordinasi kepada penegak hukum
terkait seperti kepolisian dan TNI AL dalam menangani maraknya kejahatan perikanan
tersebut. Koordinasi tersebut berupa patroli gabungan, dalam menangani kejahatan
penggunaan pukat harimau tersebut karena ketiga penegak hukum tersebut mempunyai
wewenang dan fungsi yang sama maka harus saling bahu membahu dalam memberantas
setiap tindak pidana dan mengefektifkan penindakan setiap kejahatan yang sudah
ditangkap.

4. Referensi
Indrayani, A. Malawa, M. Zaenudin. 2012. Penentuan Karakteristik Habitat Daerah
Potensiak Ikan Pelagis Kecil dengan Pendekatan Spasial Perairan Sinjai.
Safruddin, R. Hidayat, M. Zaenuddin. 2018. Kondisi oseanografi Pada Perikanan
Pelagis Kecil di Perairan Teluk Bone, 1 (2): 48-58
Syam, A. R., Mujiyanto. 2014. Kepadatan Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) di
Perairan Sinjai dan Bone-Sulawesi Selatan, 10(1): 39-45.
Yozani, H. R. E. 2016. Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Terhadap Pelaku
Penangkapan Ikan dengan Menggunakan Pukat Harimau (Trawl) di Wilayah
Pesisir Kabupaten Bengkalis.

Anda mungkin juga menyukai