Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH USHUL FIQIH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampuh

Dr. H. Miftahul Huda, M. H.

DISUSUN OLEH:

Muhammad Adiem

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI AL-FATAH

JURUSAN SYARIAH PRODI AHWALUL SYAHSIAH

JAYAPURA
2016
DAFTAR ISI

MAKALAH USHUL FIQIH..........................................................................................................................i


DAFTAR ISI............................................................................................................................................2
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
Latar Belakang...................................................................................................................................1
Rumusan Masalah.............................................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................................................3
PEMBAHSAN..........................................................................................................................................3
Pengertian lafaz’ Amm dan lafaz’ Khas..........................................................................................3
Pengertian lafaz’ Khas....................................................................................................................5
Pembagian lafaz amm....................................................................................................................6
Pembagian lafaz khas....................................................................................................................8
Dilalah lafad Khas........................................................................................................................10
BAB III..................................................................................................................................................12
PENUTUP.............................................................................................................................................12
Kesimpulan......................................................................................................................................12
Saran................................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum islam menghadapi tantangan lebih serius, terutama pada abad


kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai
permasalahan baru yang berhubungan dengan hukum islam, para ahlinya
sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fiqih, hasil ijtihad
di masa lampau. Alasanya, karena ternyata warisan fiqih yang terdapat
dalam kitab klasik, bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau
masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi juga disana sini
mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang relevan
dengan abad kemajuan ini. Oleh karena itu, ummat islam perlu
mengadakan penjegaran kembali terhadap warisan fiqih, dan yang paling
penting lagi agar menemukan rumusan-rumusan baru fiqih dalam rangka
memberikan jawaban terhadap masalah-masalah sekarang yang belum ada
jawabannya dalam buku fiqih masa silam.1
Nash-nash al qur’an dan sunnah adalah dalam bahasa Arab,
pemahaman-pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu
pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa
Arab dan cara-cara dalalahnya serta apa yang ditunjuki lafazh-lafazhnya,
baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan), oleh karena inilah
ulama ushul fiqih menaruh perhatian serius tentang susunan dan kata-kata
mufradnya, kaidah- kaidah dan dhabit-dhabit tersebut adalah kebahasaan
(lugawiyyah), ia merupakan berbagai kaidah untuk memahami susunan
kalimat dengan suatu kalimat yang benar.2

1
Satria Effendi, Ushul Fiqih. Hlm: viii
2
Abdul Wahhab Khallaf, ushul fiqih. Hlm: 208.

1
2

Setiap lafazh yang digunakan dalam teks hukum mengandung


sesuatu pengertian yang mudah dipahami oleh orang yang menggunakan
lafazh itu. Adapula yang mengandung beberapa pengertian yang
merupakan bagian dari lafazh itu. Bila hukum berlaku untuk lafazh itu
maka hukum tersebut berlaku untuk semua pengertian yang terkandung di
dalamnya. Di samping itu adapula uatu lafazh yang hanya mengandung
pengertian tertentu, sehingga hukum itu hanya berlaku untuk pengertian
tertentu sja. Lafazh yang mengandung beberapa pengertian itu secara
sederhana disebut am atau umum, sedangkankan yang hanya mengandung
satu pengertian tertentu, disebut khash atau khusus.3
Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas
dari pembahasan kebahasaan karena penggalian hukum syariat
menyangkut lafazh. Dalam kenyataannya lafazh-lafazh yang terdapat
dalam nash syara’ itu beraneka ragam, para ulama telah menyusun
semacam sistematik yang akan digunakan dalam peraktik dalam penalaran
fiqih. Untuk itu, para ahlinya telah membuat beberapa kategori lafazh atau
redaksi , diantaranya yang sangat penting dan akan dikemukakan disini
adalah: lafazh am dan khas.4

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian lafaz’ Amm dan lafaz’ Khas ?


2. Apa saja pembagian lafaz’ Amm ?
3. Bagaimana dilalah lafaz ‘Amm dan lafaz Khas?

3
Amir Syarifuddin, ushul fiqih 2. Hlm: 45,
4
Satria Effendi, Ushul Fiqih. Hlm: 2
BAB II
PEMBAHSAN

A. Pengertian lafaz’ Amm dan lafaz’ Khas

a. Pengertian lafaz’ Amm dan bentuk- bentuk lafaz Umum

Seperti disimpulkan Muhammad Adib Saleh, lafaz umum adalah lafaz


yang diciptakan untuk pengertian umum sesuai dengan pengertian lafal itu
sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah tertentu.5

Banyak kata yang menunjukkan makna umum, seperti:

1) Kata kull (setiap) dan jami’ (semua). Misalnya Ayat 21 Surat at- Tur:

ٌ ‫ب َر ِه‬
‫ىن‬ ٍ ‫ُكلُّ ا ْم ِر‬
َ ‫ئ بِ َما َك َس‬
Artinya:
Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang ia kerjakan.

َ َ‫هُ َو الّذي َحل‬


ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما في ااْل َر‬
‫ض َج ِميعًا‬
Artinya:
Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi
secara keseluruhan (jami’an). (Q.s. Al-Baqarah: 29).

2) Kata jama’ yang disertai alif dan lam di awalnya, seperti kata al-
walidat (para ibu) dalam Q.s. Al – Baqarah ayat: 233:

ِ َ‫ض ْعنَ اَوْ الَ َدهُنَ َحوْ لَي ِن َكا ِمل‬


‫ين‬ lُ ‫َوال َوالد‬
ِ ْ‫َات يُر‬
Artinya:
Para ibu (hendaklah) menyusukan anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyususan.

5
Satria effendi, ushul Fiqih. Hlm: 196.

3
4

3) Kata benda tunggal yang di ma’rifah kan dengan alif lam. Contohnya,
kata al- insan dalam Q.s. Al- Ashr ayat: 2:

‫ْراِاّل الَّ ِذينَ َءا َمنُوا‬


ٍ ‫اِ َّن ِإل ْن َسانَ لَفِي ُخس‬
Artinya:
Sesungguhnya manusia (al insan) dalam kerugian, kecuali orang-
orang yang beriman.

4) Isim syarat (kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata man, Q.s.
An-Nisa ayat: 92:

‫َو َم ْن قَت ََل ُم ْؤ ِمنًا خَ طَأ ً فَتَحْ ِر ْي ُر َرقَبَةً ُم ْؤ ِمنَةً َو ِديَةٌ ُم َسلَّ َمةٌ إِلَى أَهَلِ ِه إِاَّل أَ ْن‬
‫ص َّدقُوا‬ َ َ‫ي‬
Artinya:
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin karena tidak
disengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang
beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya
si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.

5) isim maushul (kata ganti penghubung), misalnya kata al ladzina la


junaha, Q.s. An-Nisa ayat: 10.

‫ال اليَتَا َمى ظُ ْل ًما إِنَّ َما يَاْ ُكلُونَ فِي بُطُونِ ِه ْم نَا ًر‬
َ ‫اِ ّن ال ِذينَ يَاْ ُكلُونَ أَ ْم َو‬
‫َو َسيَصْ لَونَ َس ِعيرًا‬
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang (al ladzina) memakan harta anak
yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuhnya
perut dan mereka akan masuk kedalam api yang menyala-nyala.6

6
Ibid, hlm: 198
5

B. Pengertian lafaz’ Khas

Seperti dikemukakan Adib Shalih, lafaz khas adalah lafal yang


mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapa pengertian
yang terbatas. Para ulama ushul fiqih sepakat, seperti disebutkan Abu
Zahrah, bahwa lafaz khas dalam nash syara’, menunjuk pada
pengertiannya yang khas secara qat’i (pasti) dan hukum yang
dikandungnya bersifat pasti selama tidak ada indikas yang
menunjukkan pengertian lain7.
Contoh lafal khas adalah Q.s. Al- Maidah ayat: 89:

ْ ُ‫ط َعا ُم َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ من أَو َس ِط َما ت‬


‫ط ِع ُمونَ أَ ْهلِي ُكم اَو‬ ْ ِ‫ارتُهُ إ‬
َ َّ‫فَ َكف‬
‫ِك ْس َوتُهُ ْم‬
Artinya:
Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka.

Kata asyarah dalam ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan


sepuluh, tidak lebih dan tidak pula kurang. Arti sepuluh itu sendiri
sudah pasti tidak ada kemungkinan pengertian lain. Begitulah
dipahami setiap lafaz khas dalam al qur’an, selama tidak ada dalil yang
memalingkannya kepada pengertian lain seperti makna majazi
(metafora).
Jika terdapat indikasih yang menunjukkan bahwa yang dimaksud
bukan makna hakikatnya, tetapi makna majazinya, maka terjadilah apa
yang dinamakan ta’wil, yaitu pemalingan arti lafal dari makna
hakikinya kepada makna majazi.

7
Ibid, hlm: 205.
6

C. Pembagian lafaz amm

Berdasarkan penelitian terhadap nash telah diperoleh ketetapan


bahwa lafaz yang umum ada tiga macam, yaitu:8
1) Lafaz amm yang dimaksudkan keumumannya secara pasti.
Yaitu lafaz amm yang disertai oleh qarinah yang
menghilangkan kemungkinan pentakhshishannya, seperti lafaz
yang umum pada firman Allah SWT:

ِ ْ‫َو َما ِمن دَابَّ ِة فِي ااْل ر‬


‫ض اِالَّعَلى هللا ِر ْزقُهَا‬
Artinya:
Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi ini melainkan
Allah lah yang memberikan rezkinya.(Q.s. Hud: 6).

‫َو َج َع ْلنَا ِمنَ ال َما ِء ُك َّل َشي ٍء َح ٍّي‬


Artinya:
Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. (Q.s. al
anbiya: 30).

Pada setiap ayat dari kedua ayat tersebut terdapat penetapan


sunnah ilahiyyah yang bersifat umum pada kedua ayat tersebut
adalah qath’i dalalahnya terhadap keumuman, dan tidak
mengandung kemungkinan bahwa ia dimaksudkan sebagai
suatu yang khusus.

8
Abdul Wahhab Khallaf, ushul fiqih. Hlm: 285
7

2) Lafaz yang umum yang dikehendaki kekhususannya secara


pasti. Yani lafaz umum yang disertai oleh qarinah yang
menghilangkan keumumannya dan menjelaskan bahwa yang
dimaksud dari lafaz itu adalah sebagian satuan-satuannya,
seperti firman Allah SWT:

ِ َّ‫َوهلل عَلى الن‬


ِ ‫اس ِحجُّ البَ ْي‬
‫ت‬
Artinya:
Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah. (Q.s. Ali-imran: 97).

3) Lafaz amm yang ditakhshiskan, yaitu lafaz yang umum yang


besifat mutlak, dan tidak ada qarinah yang menyertainya yang
meniadakan kemungkinan pengtakhshisannya, maupun qarinah
yang menghilangkan dalalah umumnya. Misalnya ialah
kebanyakan nash yang didalamnya terdapat shigat umum,
yang bebas dari berbagai qarinah lafzhiyyah (tekstual), atau
Aqliyyah (rasional), atau urfiyyah yang menentukan
keumuman atau kehususan. Lafaz ini adalah zhahirnya umum,
sehinggah ada dalil yang mentakhshiskannya, misalnya:

ُ َ‫َوال ُمطَلَّق‬
‫ات يَتَ َربَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن‬
Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri.
Asy- syaukani berkata dalam membedakan antara lafaz yang
umum yang dimaksudkan khusus dan lafaz umum yang dapat
ditakhshiskan ialah bahwasanya lafaz yang umum yang
dikehendaki kekhususannya ialah lafaz umum yang disertai
qarinah yang menunjukkan bahwa ia dikehendaki khusus
bukan umum, ketika pengicapannya, seperti perintah-perintah
taklif secara umum, maka yang dimaksud dengan lafaz umum
8

padanya adalah khusus mereka yang layak dikenakan taklif,


sebab akal menuntut untuk mengeluarkan mereka yang tidak
mukallaf. Mislnya lagi:

‫تُ َد ِّم ُر ُك َّل َشى ٍء بِأ َ ْم ِر َربِّهَا‬


Artinya:
Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah
tuhannya. (Q.s. Al Ahqaf: 25).
Adapun lafaz amm yang dapat ditakhshis, yaitu lafaz umum
yang tidak disertai oleh qarinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudkan adalah sebagian satuan-satuannya. Lafaz ini
adalah zhahir dalam dalalanya terhadap keumumannya,
sehingga ada dalil yang mentakhshiskannya.9

D. Pembagian lafaz khas

Mukhassis ada 2 macam yaitu mukhassis muttashil dan mukhassis


munfashil
1)  Mukhassis Muttashil
Yaitu lafadz yang tidak berdiri sendiri, yaitu maknanya
bersangkutan dengan lafadz sebelumnya.
Misalnya:

 ‫قُلْ تَ َعالَوْ ا أَ ْت ُل َما َح َّر َم َربُّ ُك ْم َعلَ ْي ُك ْم أَال تُ ْش ِر ُكوا بِ ِه َش ْيئًا َوبِ ْال َوالِ َدي ِْن‬
‫ق نَحْ ُن نَرْ ُزقُ ُك ْم َوإِيَّاهُ ْم َوال تَ ْق َربُوا‬ ٍ ‫إِحْ َسانًا َوال تَ ْقتُلُوا أَوْ ال َد ُك ْم ِم ْن إِ ْمال‬
‫س الَّتِي َح َّر َم هَّللا ُ إِال‬َ ‫ش َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَنَ َوال تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬ َ ‫اح‬ِ ‫ْالفَ َو‬
َ‫ق َذلِ ُك ْم َوصَّا ُك ْم بِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُون‬ِّ ‫بِ ْال َح‬
Artinya :
Dan janganlah kamu membunuh suatu jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu yang benar. (QS.
Al-An’am : 151).

9
Ibid, hlm: 287.
9

Maksud dari ayat tersebut ialah janganlah kamu membunuh suatu


jiwa yang diharamkan Allah untuk membunuhnya, itu
menunjukkan umum artinya tidak boleh membunuh siapapun.
“Melainkan dengan jalan yang benar”, yaitu qishas atau di dalam
pertempuran.

2) Mukhassis munfashil
Yaitu lafadz yang berdiri sendiri, terpisah dari dalil yang
memberikan pengertian umum.
Misalnya:

ِ ‫يَا بَنِي آ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُكلِّ َم ْس ِج ٍد َو ُكلُوا َوا ْش َربُوا َوال تُس‬
‫ْرفُوا‬
َ‫ْرفِين‬ِ ‫إِنَّهُ ال ي ُِحبُّ ْال ُمس‬ 
Artinya :
“Dan malam serta minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan.” (QS.
Al-A’raf : 31)

Perkataan “Makanlah.....” itu umum, yakni boleh makan apa saja


yang kita kehendaki, tetapi keumuman ini telah dibatasi oleh Allah
dengan firmannya juga, sebagai berikut :

ِ ‫ير َو َمٓا أُ ِه َّل بِ ِهۦ لِ َغي ِْر ٱهَّلل‬ ِ ‫إِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْٱل َم ْيتَةَ َوٱل َّد َم َولَحْ َم ْٱل ِخ‬
ِ ‫نز‬
ِ ‫اغ َواَل عَا ٍد فَٓاَل إِ ْث َم َعلَ ْي ِه إِ َّن ٱهَّلل َ َغفُو ٌر ر‬
‫َّحي ٌم‬ ٍ َ‫فَ َم ِن ٱضْ طُ َّر َغي َْر ب‬
Artinya :
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (makan)
bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah. (QS. Al-Baqarah : 173)

Ayat ini membatasi keumuman ayat 31 dari surat Al-A’raf dan


menentukan bahwa yang haram itu hanya 4macam makanan
tersebut diatas. Pembatasan ini tidak terdapat pada satu ayat dalam
surat Al-A’raf ayat 31 melainkan terpisah (munfashil).
10

E. Dilalah lafad Khas


Lafadz khas ditemui dalam nash diartikan sesuai dengan arti
sebenarnya, selama tidak titemukan dalil yang memalingkannya pada
arti lain. Contohnya, hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang
menuduh berbuat zina adalah delapan puluh kali jera. Tidak boleh
lebih dan tidak boleh kurang. Namun apabila ditemukan dalil yang
dapat memalingkan arti lain.maka hukuman tersebut dilaksanakan
sesuai dengan dilalah dari arti bukti itu.
Kalau lafadz khas dalam bentuk amar atau berita yang mengandung
arti amar maka perintah itu atau berita mengandung arti wajib.seperti
firman Allah SWT:

‫فا َ ْقطَعُوْ ا اَ ْي ِديَ ُك ْم‬

Artinya :
potonglah tangan keduanya (QS.Al-Maidah:38).

Dalam bentuk berita yang mengandung arti amar seperti dalam firman
Allah SWT

ُ َ‫َو ْال ُمطَلَّق‬


‫ت يَتَ َر بَّصْ نَ بِا َ ْنفُ ِس ِه َّن‬

Artinya:
wanita yang ditalak hendaknya menahan dirinya (QS.Al-Baqarah:228)

Ayat ini memberikan petunjuk wajib bagi perempuan yang di talak


untuk menahan diri. Amar atu yang semakna dengan amar
mengandung arti wajib selama tidak ditemukan bukti yang dapat
memalingkan kepada arti lain.
d. Dilalah lafaz amm

ِ ْ‫ب َخاصٍّ فَ ْال ِع ْب َرةُ بِ ُع ُموْ ِم اللَّ ْف ِظ الَ بِ ُخصُو‬


‫ص‬ ٍ َ‫اِ َذا َو َر َد ْال َعا ُم َعلَى َسب‬
‫ب‬ِ َ‫ال َّسب‬
11

Artinya:
apabila am dating karena sebab khas, mmaka yang dianggap adalah
umumnya lafal, bukan khususnya sebab.

Hal tersebut karena perintah ibadah kepada seluruh hamba Allah


hanya dengan lafal yang dating dari syar’I, padahal lafal ini umum.
Jika menjumpai suatu hadis nabi SAW yang merupakan jawaban atas
suatu pertanyaan tiba-tiba kita lihat bahwa itu menggunakan perkataan
(lafal) yang memberikan pengertian umum maka kita tidak usah
mengembalikan pada sebab timbulnya hadis tersebut. Dalam hal ini,
kita mengambil kesimpulan hokum dari hadis tersebut.
Contoh seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW.

‫يَا َرسُوْ َل هَّللا ِ اِنَّا نَرْ َكبُ ْالبَحْ َر َونَحْ ِم ُل َم َعنَا ْالقَلِي َْل ِمنَ ْال َما ِء فَا ِ ْن تَ َوضَّأْنَا‬
ُّ‫ هُ َوض الطَّهُوْ ُر َما ُؤهُ ْال ِحل‬: ‫م‬.‫ال ص‬ َ َ‫َط ْسنَا أَفَت ََوضّأ ُ بِ َما ِء ْالبَحْ ِر فَق‬
ِ ‫بِ ِه ع‬
)‫َم ْيتَتُهُ ( رواه الترمذى‬

Artinya:
Hai, Rasulullah, bahwasanya kita ini sedang mengarungi lautan,
padahal kita hanya membawa air sedikit saja, dan bila kita berwudhu
dengan air ini, tentu kita akan kehausan apakah kita boleh berwudhu
dengan air laut ? maka Nabi SAW, bersabda, “laut itu airnya suci dan
binantangnya halal dimakan). (HR. Tirmidzi  )

Jawaban itu seolah olah diberikan karena terpaksa (darurat), hingga


andai kata tidak ada keadaan yang serupa, maka hukum air laut dan
bangkai bintangnya tidak demikian. Namun, sesuai dengan kaidah di
atas, maka pengertian jawaban Nabi SAW. itu menunjukkan yang ‘am.
Hukum itu berlaku dalam keadaan terpaksa ataupun tidak, meskipun
timbulnya karena ada sebab yang khas, tetapi memberikan pengertian
umum.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Lafas amm adalah suatu perkataan yang memberi pengertian umum


dan meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam perkataan itu dengan
tidak terbatas, misalnya al insan yang berarti manusia,
sedangkan lafaz khas adalah lafal yang mengandung satu pengertian
secara tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas.

B. Saran

Demikian maklah yang dapat ditulis sampaikan, tentu masih banyak


kekurangan dan kesalahan serta jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu.
Saran, kritik dan evaluasi dari pembaca sangat kami harapkan demi
perkembangan karya selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.A, 2005, ushul fiqih, (Jakarta;


kencana, Cet I ).
Prof. Abdul Wahhab Khallaf, 1994, Ilmu ushul Fiqih, (Semarang;
Dina Utama, Cet I ).

13
13
13

Anda mungkin juga menyukai