Anda di halaman 1dari 36

Laporan Kasus

Konjungtivitis Akut Ec Suspek Bakterial

Oleh:

Kamal Nasir

NIM. 1830912310022

Pembimbing:

dr. H. Agus Fitrian Noor Razak, Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN

BANJARMASIN

April, 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II. LAPORAN KASUS .............................................................................. 2

BAB III. IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KASUS ....................... 8

BAB IV. PENUTUP ........................................................................................... 32

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah peradangan pada lapisan konjungtiva mata. Lapisan

konjungtiva merupakan membran mukosa yang melapisi bagian dalam palpebra dan

anterior sklera yang terdiri dari bagian konjungtiva tarsal, konjungtiva forniks, dan

konjungtiva bulbar. Lapisan konjungtiva adalah lapisan yang kaya akan pembuluh

darah. Lapisan konjungtiva berhenti di daerah limbus yang akan digantikan dengan

epitel kornea.1,2

Peradangan pada konjungtiva paling sering disebabkan oleh infeksi virus.

Penyebab lain tersering konjungtivitis adalah infeksi bakteri dan alergi.

Konjungtivitis juga dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi gejala menjadi

konjungtivitis akut (<4 minggu) dan konjungtivitis kronis (>4 minggu).

Konjungtivitis merupakan penyebab dari mata merah.1,2

Diagnosis konjungtivitis dapat ditegakkan melalui gejala klinis. Pada kasus-

kasus tertentu pemeriksaan penunjang seperti laboratorium darah, sitologi dan kultur

dapat membantu mencari kuman penyebab konjungtivitis.1,2

Penatalaksanaan konjungtivitis meliputi tindakan suportif seperti kompres

dingin, irigasi mata, tetes air mata buatan, vasokonstriktor, antihistamin, serta

pemberian tetes mata antibiotik untuk kasus-kasus tertentu.1,2

1
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. SY

Umur : 47 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Jln. Ratu Zalecha KHD 1 no. 10

Pekerjaan : PNS (Perawat)

Suku : Banjar

Tanggal pemeriksaan : Rabu , 14 April 2021

RMK : 0-34-98-31

II. ANAMNESIS

Keluhan utama : Kedua mata merah

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan mengeluhkan kedua mata merah sejak 13 hari yang

lalu. Awalnya mata merah hanya pada sebelah kiri, 2 hari kemudian kedua mata

menjadi merah. Pasien juga mengatakan keluhan mata merah disertai rasa

mengganjal di kedua bola mata seperti ada kotoran atau pasir sehingga pasien

sering mengusap mata dengan tangannya. Namun, sejak 10 hari yang lalu mata

2
3

merah bertambah parah karena disertai bengkak pada kedua kelopak mata

disertai cairan putih kental pada ujung-ujung mata seperti bentuk kotoran mata.

Sejak saat itu, pasien mengeluhkan sulit membuka matanya. Keluhan lain

seperti mata terasa sakit, pedih, gatal, silau melihat cahaya dan gangguan

penglihatan bersamaan mata merah disangkal. Pasien sudah mengobati matanya

dengan Salep Gentamisin namun tidak ada perubahan.

Riwayat penyakit dahulu:

Keluhan serupa tidak ada. Riwayat sakit mata (-), gangguan saluran pernapasan

lama (-), pilek berulang (-), trauma (-), DM (-), Hipertensi (-)

Riwayat penyakit keluarga :

Keluarga ada keluhan yang sama, yaitu suami berupa mata merah.

Riwayat kacamata :

Pasien sempat memakai kacamata selama 3 tahun yang lalu karena menderita

rabun jauh.

Riwayat alergi :

Riwayat alergi makanan (-), alergi obat-obatan (-), cuaca dingin debu dan

lainnya disangkal oleh pasien.

Riwayat pengobatan :

Pasien sudah mengobati matanya dengan salep Gentamisin namun tidak ada

perubahan, pasien juga tidak ada mengkonsumsi obat rutin untuk penyakit

tertentu.
4

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Kompos Mentis

Tanda vital : TD : 120/80 mmHg

: RR: 18 kali/menit

: HR: 88 kali/menit

: Temp: 36,5oC

Status lokalis :

No Pemeriksaan Mata Mata Kiri


Kanan
1. Visus 5/12 5/15
2. Posisi Bola Mata Ortotropia Ortotropia
3. Gerakan bola mata
Baik ke Baik ke
segala arah segala arah

4. Palpebra Superior Edema (-) (-)


Massa (-) (-)
Hiperemi (-) (-)
Pseudoptosis (-) (-)
Entropion (-) (-)
Ektropion (-) (-)
Krusta (-) (-)
Ulkus (-) (-)
5. Palpebra Inferior Edema (-) (-)
Massa (-) (-)
Hiperemi (-) (-)
Entropion (-) (-)
Ektropion (-) (-)
Krusta (-) (-)
Ulkus (-) (-)
6. Fissura palpebral + 10 mm + 10 mm
7. Konjungtiva Hiperemi (-) (-)
Palpebra Massa bergerombol (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Papil raksasa (-) (-)
5

Folikel (-) (-)


8. Konjungtiva Fornix Hiperemi (-) (-)
Sikatrik (-) (-)
Papil raksasa (-) (-)
Folikel (-) (-)
9. Konjungtiva Bulbi Injeksi Konjungtiva (+) (+)
Injeksi Siliar (+) (+)
Massa (-) (-)
Edema (-) (-)
Subconjunctival bleeding (-) (-)
10. Kornea Bentuk Cembung Cembung
Kejernihan Jernih Jernih
Permukaan Licin Licin
Sikatrik (-) (-)
Benda Asing (-) (-)
11. Iris Warna Coklat Coklat
12. Pupil Bulat dan Bulat dan
Bentuk
regular regular
Refleks cahaya langsung + +
Refleks cahaya tidak langsung + +
14. Lensa Kejernihan jernih Jernih
Dislokasi (-) (-)
Iris Shadow (-) (-)
15. COA Dalam, Dalam,
Jernih Jernih
16. Silia Trichiasis (-) (-)
17. Palpasi (Tekanan Intraokuler) Normal Normal
6

Foto Klinis

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tonometri : TOD : 16,0 mmHg TOS : 18,0 mmHg

V. DIGNOSIS KERJA

ODS Conjunctivitis Akut Susp Bakterial

VI. DIAGNOSIS BANDING

Conjunctivitis Viral

Episkleritis

Keratitits

Iritis Akut

Glaukoma Akut
7

VII. PENATALAKSANAAN

 Non medikamentosa

- Irigasi mata jika sekret banyak

- Kompres dingin jika ada keluhan gatal dan perih

 Medikamentosa

- Antibiotik topikal : Eritromisin 5mg/g 4x/hari selama 5-7 hari.

- Artificial tears : Polivynilpyrrolidon 20mg 4 dd gtt 1 ODS

VIII. PROGNOSIS

ad vitam : dubia ad bonam

ad functionam : dubia ad bonam

ad sanasionam : dubia ad bonam

IX. EDUKASI

- Mengurangi resiko transmisi dengan menjaga kebersihan tangan , hindari

mengusap mata dan menggunakan handuk bersama.

- Menghindari mengusap mata dengan tangan yang kotor

- Menghindari penggunaan lensa kontak untuk sementara waktu

- Melakukan kompres dingin jika ada keluhan gatal dan perih

- Pasien disarankan untuk beristirahat di rumah untuk sementara waktu untuk

mencegah penularan di sekolah atau tempat kerja.


8

- Bila mengalami gangguan penglihatan, keluhan mata silau, nyeri mata yang tidak

tertahankan, sekret mata yang bertambah banyak walaupun sudah diberikan

pengobatan, pasien disarankan untuk kontrol kembali ke dokter.


BAB III

IDENTIFIKASI MASALAH DAN ANALISA KASUS

1. Identifikasi Masalah

SUBJEKTIF

 Kedua mata merah

Pasien datang dengan keluhan kedua mata merah disertai seperti ada kotoran.

Keluhan ini sudah dirasakan sejak 13 hari yang lalu. Awalnya mata merah hanya

pada sebelah kiri, 2 hari kemudian kedua mata menjadi merah.

Patofisiologi mata merah dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit,

misalnya konjungtivitis, perdarahan subkonjungtiva, glaukoma, blefaritis, keratitis,

dan benda asing pada mata.

Pada mata normal, konjungtiva menunjukkan jaringan pembuluh darah yang

halus dengan latar sklera yang berwarna putih. Mata merah dapat disebabkan oleh

dilatasi pembuluh darah di mata maupun perdarahan di daerah subkonjungtiva.

Vasodilatasi yang disertai dengan hiperemia pada mata dinamakan injeksi. Injeksi

siliari melibatkan cabang pembuluh darah arteri siliari anterior dan mengindikasikan

adanya inflamasi pada kornea, iris dan badan siliari. Injeksi konjungtiva utamanya

melibatkan pembuluh darah konjungtiva posterior. Pembuluh darah konjungtiva lebih

superfisial daripada pembuluh darah siliari sehingga dapat menyebabkan mata terlihat

lebih merah dan dapat menghilang dengan vasokonstriktor topikal.

9
10

Mata merah juga dapat disebabkan oleh perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan

subkonjungtiva ditandai dengan kemerahan akibat perdarahan dibawah konjungtiva

yang berbatas tegas, tanpa disertai dengan produksi cairan berlebihan, dan tidak

disertai dengan inflamasi. Perdarahan subkonjungtiva berasal dari pecahnya

pembuluh darah di konjungtiva atau episklera ke dalam ruang subkonjungtiva.

Perdarahan subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma atau

disebabkan oleh penyakit sistemik.

Penyebab mata merah yang paling sering adalah konjungtivitis. Konjungtivitis

merupakan peradangan pada konjungtiva yang disebabkan oleh infeksi virus dan

bakteri serta alergi. Konjungtivitis yang disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri

dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan jari yang terkontaminasi, alat

medis, air kolam renang atau barang personal. Konjungtivitis juga sering dikaitkan

dengan infeksi saluran pernapasan atas.

Pada kasus ini dapat disebabkan oleh beberapa penyebab. Pada konjungtivitis

terjadi karena konjungtiva berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan

konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pada konjungtiva

terdapat sebuah tear film yang berfungsi melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-

bahan yang toksik kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi

inferior. Disamping itu tear film juga mengandung beta lysine, lysozyme, IgA, IgG

yang berfungsi untuk menghambat pertumbuhan kuman. Apabila ada mikro

organisme patogen yang menembus pertahanan tersebut sehingga terjadi infeksi.


11

Beberapa penyebab mata merah lain seperti keratitis, uveitis, dan glaukoma

akut bisa dibedakan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pada keratitis, pasien

biasanya mengeluhkan mata silau, mata kabur, nyeri serta sulit untuk membuka mata.

Gejala tersebut tidak terdapat pada pasien ini. Selain itu dari pemeriksaan fisik,

biasanya terlihat infiltrat pada kornea, peri corneal vascular injection (PCVI), edema

kornea dan bisa tampak ulkus pada kornea pasien. Sedangkan pada uveitis, pasien

juga bisa mengeluhkan nyeri pada mata, mata merah, dan dari pemeriksaan fisik bisa

tampak miosis dan hipopion. Dan pada glaukoma, pasien mengeluhkan nyeri hebat

pada mata disertai mual muntah, dan penurunan penglihatan. Dari pemeriksaan fisik,

tampak bilik mata depan dangkal serta tekanan bola mata yang meningkat.

 Ditemukan sekret mukopurulen

Jenis sekret mata dan gejala okular dapat memberi petunjuk penyebab

konjungtivitis. Sekret mata berair merupakan ciri konjungtivitis viral dan sekret mata

kental berwarna kuning kehijauan biasanya disebabkan oleh bakteri.

 Keluhan lain seperti mata terasa sakit, pedih, gatal, silau melihat cahaya dan
gangguan penglihatan bersamaan mata merah disangkal.

Konjungtivitis viral jarang disertai fotofobia, sedangkan rasa gatal pada mata

biasanya berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Pada kasus ini kemungkinan

konjungtivitisnya disebabkan oleh bakteri.

 Keluarga (suami) memiliki keluhan serupa yaitu mata merah

Faktor risiko pasien adalah keluarga (suami) yang memiliki keluhan serupa

yaitu mata merah. Penularan melalui kontak langsung yaitu sekret. Selain itu juga ada
12

faktor risko lainnya seperti higientitas buruk, daya tahan tubuh yang menurun, dan

perawatan kontak lenas yang kurang baik.

 Diagnosis pasien : ODS kunjungtivitis akut susp bakterial

Pendekatan algoritmik menggunakan riwayat perjalanan penyakit dan

pemeriksaan sederhana dengan penlight dan loupe dapat untuk mengarahkan

diagnosis dan memilih terapi. Konjungtivitis dan penyakit mata lain dapat

menyebabkan mata merah, sehingga diferensial diagnosis dan karakteristik tiap

penyakit penting untuk diketahui.

Gambar 1. Alogaritma Penanganan Konjungtivitis


13

Dari algoritma diatas, pasien mengalami keluhan sejak 13 hari lalu yang

dicurigai sebagai konjungtivitis akut, pasien tidak mengeluhkan nyeri, tidak ada

fotofobia, tidak ada pandangan kabur karena keluhan, tetapi dari sekret mata

didapatkan mukopurulen sehingga untuk diagnosis nya diusulkan konjungtivitis akut

ec suspek bakterial.

 Penatalaksanaan pada pasien yaitu berupa non medikamentosa seperti Irigasi mata
jika sekret banyak, kompres dingin jika ada keluhan gatal dan perih sedangkan
untuk medikamentosa dapat diberikan antibiotik topikal : kloramfenikol,
gentamisin, neomisin, eritromisin (4x/hari) dan artificial tears :
Polivynilpyrrolidon 20mg 4 dd gtt 1 ODS

Irigasi mata dapat dilakukan untuk mengurangi sekret mata yang banyak,

kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan gatal dan perih.

Sedangkan air mata buatan dapat diberikan 4 kali per hari. Pemberian air mata buatan

dapat membantu mengurangi keluhan, melarutkan, serta membilas alergen dan

mediator-mediator inflamasi yang terdapat pada permukaan mata dan untuk

pemberian antibiotik topikal dapat dipilih seperti kloramfenikol, aminoglikosida

(gentamisin, neomisin, tobramisin), kuinolon (ofloxacin, levofloxacin, dan

sebagainya), makrolid (azitromisin, eritromisin), polimiksin B, dan bacitracin.

Pemberian antibiotik topikal biasanya dengan dosis 4 kali per hari selama 1 minggu

pemberian.
14

OBJEKTIF

Pemeriksaan tonometri didapatkan TOD : 16,0 mmHg dan TOS : 18,0 mmHg

sehingga dapat menggugurkan diagnosis glaukoma.

2. Analisa Kasus

a. Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada lapisan konjungtiva mata. Lapisan

konjungtiva merupakan membran mukosa yang melapisi bagian dalam palpebra dan

anterior sklera yang terdiri dari bagian konjungtiva tarsal, konjungtiva forniks, dan

konjungtiva bulbar. Lapisan konjungtiva adalah lapisan yang kaya akan pembuluh

darah. Lapisan konjungtiva berhenti di daerah limbus yang akan digantikan dengan

epitel kornea.1,2

b. Epidemiologi

Data epidemiologi menunjukkan bahwa konjungtivitis dapat ditemukan secara

global dan merupakan salah satu penyakit mata yang umum. Konjungtivitis viral

adalah penyebab utama, diikuti dengan konjungtivitis bakterial di posisi kedua.

1. Global

Secara global kasus konjungtivitis dapat terjadi pada semua kelompok usia, dari

mulai neonatus hingga lansia. Kasus konjungtivitis ditemukan pada 1% kunjungan

pasien ke fasilitas kesehatan tingkat pertama. Di Amerika Serikat diperkirakan ada

sekitar 6 juta kasus baru konjungtivitis viral per tahunnya. Konjungtivitis viral dapat

bersifat sporadik maupun epidemik (misalnya di sekolah, di rumah sakit, di klinik).

Adenovirus merupakan penyebab di hampir 90% kasus konjungtivitis viral. Insidensi


15

konjungtivitis bakterial di Amerika Serikat adalah 135 kasus per 10.000 populasi per

tahun.3

Di Paraguay, konjungtivitis bakterial pada pasien dewasa paling banyak

disebabkan oleh Staphylococcus. Di Thailand, paling banyak disebabkan oleh

Pseudomonas, dan di India oleh Streptococcus. Staphylococcus aureus, Streptococcus

pneumoniae, dan Moraxella catarrhalis. Infeksi Haemophilus influenzae lebih banyak

ditemukan pada konjungtivitis yang terjadi di anak-anak. Pada neonatus dapat

ditemukan konjungtivitis akibat Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrhoeae.4,5

Konjungtivitis vernal lebih banyak ditemukan di negara dengan iklim hangat,

kering, atau beriklim subtropis, seperti di negara-negara Timur Tengah, Afrika,

Amerika Selatan, serta negara-negara Asia seperti Jepang, Thailand, dan India.

Konjungtivitis vernal lebih banyak pada laki-laki dibandingkan wanita, dengan rasio

3:1 pada kelompok usia <20 tahun.6,7

2. Indonesia

Di Indonesia konjungtivitis masuk ke dalam 10 besar penyakit terbanyak pada

pasien rawat jalan di rumah sakit pada tahun 2009, dengan jumlah kunjungan

sebanyak 135.749. Pada tahun 2010 angka kunjungan menurun menjadi 87.513

dengan jumlah kasus baru sebanyak 68.026 kasus.8,9

c. Etiologi

Etiologi konjungtivitis terbanyak adalah infeksi virus, bakteri, dan alergi.

Infeksi virus dapat disebabkan oleh Adenovirus, virus herpes simpleks tipe I dan II,
16

virus varicella zoster, virus measles, picornavirus (coxsackievirus A24 dan

enterovirus 70), molluscum contagiosum, dan HIV.2

Bakteri yang paling banyak ditemukan pada konjungtivitis bakterial adalah

Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,

Moraxella catarrhalis. Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis juga dapat

menjadi etiologi konjungtivitis. Konjungtivitis alergi disebabkan oleh serbuk bunga

dan tanaman, bulu binatang, lumut, kosmetik, lensa kontak, dan sebagainya.10

Beberapa penyakit lain yang dapat disertai dengan gejala konjungtivitis adalah

pemfigoid membran mukosa, sindrom Steven Johnson, dan nekrolisis toksik

epidermal.1

d. Faktor Risiko

Faktor risiko konjungtivitis antara lain:

 Riwayat kontak : Paparan terhadap penderita konjungtivitis lain (anggota

keluarga, teman di sekolah, pasien di klinik, dan lain-lain), benda-benda yang

bisa memperantarai infeksi (fomites) seperti lensa kontak, peralatan

kosmetik, bahkan tempat dudukan dagu pada slit lamp, atau berenang di

kolam yang terkontaminasi

 Pada neonatus, konjungtivitis terjadi jika ada paparan terhadap kuman

penyebab penyakit menular seksual saat proses persalinan

 Kondisi medis lain : Imunodefisiensi, sinusitis, trauma bola mata

 Riwayat penyakit mata lainnya, seperti sindroma mata kering


17

 Riwayat alergi atau menderita kondisi atopik lainnya (asma, rinitis,

eksema).11,12

e. Patofisiologi

Patofisiologi konjungtivitis diawali dengan kontak kuman terhadap

konjungtiva. Konjungtivitis menular melalui kontak langsung konjungtiva dengan

sekret mata penderita atau dari droplet batuk dan bersin, serta penggunaan benda-

benda yang menjadi media penularan kuman seperti misalnya handuk, peralatan

kosmetik, dan sarung bantal. Konjungtivitis juga dapat menular melalui air kolam

renang yang terkontaminasi.

1. Infeksi Virus

Penyebab konjungtivitis tersering adalah infeksi virus, khususnya Adenovirus.

Patofisiologi konjungtivitis akibat infeksi Adenovirus didahului oleh interaksi

reseptor sel primer seperti CAR, CD46, dan asam sialik dengan protein fiber-knob.

Interaksi tersebut memperantarai penempelan virus dengan sel host pada lapisan

konjungtiva.

Internalisasi Adenovirus ke dalam endosom sel host diperantarai oleh interaksi

vitronectin-binding integrin dengan homopentameric penton-base pada virus.

Replikasi virus akan terjadi secara lokal. Reaksi imun tipe 1 akan merespon infeksi

Adenovirus pada konjungtiva meliputi respon imunitas innate yang dimediasi oleh sel

natural killer, monosit dan interferon tipe 1, serta respon imunitas adaptif yang

dimediasi oleh sel T CD8, IgA, dan T-helper 1. Pada lapisan air mata juga ditemukan
18

adanya protein defensin yang memiliki sifat antiviral. Defensin menghambat proses

uncoating dan internalisasi virus ke dalam endosom.

Proses inflamasi pada konjungtiva tersebut menyebabkan dilatasi pembuluh

darah yang menimbulkan gejala hiperemia dan edema konjungtiva, yang biasanya

disertai dengan pengeluaran sekret mata. Proses replikasi virus akan memberikan

tanda hipertrofi folikular. Adenovirus juga dapat menyebabkan vaskulitis yang

menimbulkan tanda hemoragik petekie akibat peningkatan permeabilitas dan ruptur

kapiler konjungtiva. Eksudasi serum, fibrin, dan leukosit dari kapiler yang mengalami

dilatasi serta jaringan epitel yang mengalami nekrosis kemudian dapat membentuk

pseudomembran pada konjungtiva tarsal.11,12

Konjungtivitis viral memiliki masa inkubasi 5-12 hari dan mampu menular

hingga 10-14 hari atau selama hiperemia masih ada. Penyebaran virus secara sistemik

dari konjungtiva jarang terjadi namun dapat ditemukan pada kasus konjungtivitis

viral yang disebabkan oleh infeksi Enterovirus.13

2. Infeksi Bakteri

Penyebab konjungtivitis bakterial biasanya akibat infeksi oleh flora normal

yang berkolonisasi di sekitar mata seperti Staphylococcus aureus dan Streptococcus

pneumoniae (bakteri yang menyebabkan pneumonia). Infeksi dapat terjadi bila

lapisan epitel konjungtiva rusak (misalnya terjadi abrasi), ada peningkatan jumlah

bakteri, dan penurunan daya tahan tubuh host.

Selain faktor penyebab tersebut, infeksi juga dapat terjadi akibat kontaminasi

eksternal seperti pada konjungtivitis viral. Patogenesis konjungtivitis bakteri diawali


19

dengan proses perlekatan bakteri (adhesion). Proses perlekatan bakteri diperantarai

oleh protein adhesins yang diekspresikan oleh bagian pili bakteri pada kebanyakan

jenis bakteri. Bakteri yang melekat pada epitel konjungtiva memproduksi faktor-

faktor seperti protease, elastase, hemolisin, dan cytoxin yang akan memicu sel-sel

radang seperti neutrofil, eosinofil, limfosit, dan sel plasma untuk bermigrasi dari

pembuluh darah di bagian stroma menuju epitel konjungtiva. Faktor-faktor tersebut

juga dapat menginduksi destruksi sel-sel epitel konjungtiva. Sel epitel konjungtiva

yang mengalami nekrosis akan terlepas dan menempel di sekret sel goblet

membentuk eksudat. Pada konjungtivitis bakteri sel radang yang mendominasi adalah

sel leukosit polimorfonuklear.1,4

3. Alergi

Konjungtivitis alergi memiliki subtipe yakni konjungtivitis vernal, atopik, dan

giant papillary. Patofisiologi konjungtivitis alergi biasanya berupa reaksi

hipersensitivitas tipe I.

Reaksi dimulai dari kontak dengan antigen spesifik. Imunoglobulin E memiliki

afinitas yang kuat dengan sel mast dan ikatan silang dengan 2 molekul IgE oleh

antigen akan memicu proses degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan

merangsang pelepasan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, tryptase,

heparin, prostaglandin, leukotrien, dan tromboksan. Mediator inflamasi bersama

dengan faktor kemotaksis akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan

memicu migrasi eosinofil dan neutrofil.14

a. Konjungtivitis Vernal
20

Pada konjungtivitis vernal, hipereaktivitas terjadi bukan akibat alergen spesifik,

melainkan oleh rangsangan seperti debu, angin, maupun cahaya matahari.

Konjungtivitis vernal merupakan bentuk konjungtivitis kronis yang dominan

dimediasi oleh limfosit T-helper 2. Interleukin 4 dan 13 menyebabkan proliferasi

fibroblas konjungtiva dan produksi matriks ekstraseluler yang kemudian akan

membentuk tanda khas berupa giant papillae.

b. Konjungtivitis Atopik

Patofisiologi konjungtivitis atopik melibatkan degranulasi kronis sel mast yang

dimediasi oleh IgE dan reaksi imun yang dimediasi oleh limfosit T-helper 1 dan 2.

Biasanya konjungtivitis atopik merupakan gejala yang menyertai kondisi dermatitis

atopik.

c. Konjungtivitis Giant Papillary

Konjungtivitis giant papillary seringkali dimasukkan sebagai subtipe

konjungtivitis alergi, tapi sebenarnya tidak memiliki patofisiologi sebagaimana

subtipe lainnya. Rangsangan proses inflamasi pada konjungtivitis giant papillary

biasanya adalah zat yang bersifat inert seperti misalnya benang jahit pada limbus,

lensa kontak, protesa mata, atau tumor limbal dermoid. Tidak ada peningkatan IgE

atau histamin pada pasien konjungtivitis giant papillary, walaupun pada konjungtiva

dapat ditemukan sel mast, basofil, atau eosinofil. Pada penggunaan lensa kontak,

kemungkinan deposit protein dapat bersifat antigenik dan merangsang produksi IgE.

Mikrotrauma dan iritasi kronis juga dapat merangsang pelepasan mediator seperti

CXCL8 dan TNF-α oleh sel epitel konjungtiva.15


21

f. Diagnosis

Diagnosis konjungtivitis mengandalkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan penunjang tidak rutin dikerjakan untuk setiap pasien konjungtivitis.

Kultur dari apusan konjungtiva dapat membantu mencari patogen penyebab

konjungtivitis jika diperlukan.1,4

1. Anamnesis

Keluhan utama pasien konjungtivitis adalah mata merah. Keluhan disertai rasa

gatal, rasa panas terbakar, rasa mata mengganjal, silau, penurunan tajam penglihatan,

sekret mata, riwayat alergi, dan riwayat paparan. Hal lain yang perlu ditanyakan

adalah riwayat penggunaan lensa kontak, riwayat penggunaan obat-obatan (termasuk

tetes mata), dan riwayat hubungan seksual yang berisiko (bila dicurigai infeksi akibat

kuman penyakit menular seksual).1,2,4,14

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang didapat dari masing-masing jenis konjungtivitis

memiliki ciri khas masing-masing. Semua pasien dengan keluhan oftalmologi,

sebaiknya menjalani pemeriksaan tajam penglihatan untuk melihat adanya defisit

visus dan memastikan tidak ada gangguan oftalmologi yang lebih serius. Pemeriksaan

tajam penglihatan dapat dilakukan menggunakan Snellen chart. Pada pasien yang

menggunakan kacamata, sebaiknya tetap dipakai pada saat pemeriksaan.


22

a. Konjungtivitis Viral

Pada pemeriksaan fisik pasien konjungtivitis viral dapat ditemukan hiperemia

atau injeksi konjungtiva, yaitu pelebaran pembuluh darah dari forniks ke arah limbus,

berwarna merah muda, berkelok-kelok dan letaknya superfisial. Pemeriksaan fisik

lain yang bisa ditemukan adanya folikel, yaitu lesi seperti bintil-bintil kecil, multipel,

translusen, paling jelas tampak di forniks. Bisa juga ditemukan papillae, yaitu lesi

bintil kemerahan dengan vaskularisasi di tengahnya, biasanya ditemukan pada

konjungtiva tarsal superior dengan melakukan eversi kelopak mata.

Tanda lain yang dapat ditemukan adalah edema kelopak mata, sekret mata

serosa, limfadenopati (ditemukan pada 50% kasus konjungtivitis viral), perdarahan

subkonjungtiva, kemosis konjungtiva, dan pseudomembran, keratitis.

Konjungtivitis viral akibat moluscum contagiosum biasanya disertai dengan lesi

pada palpebra berupa nodul berwarna agak pucat, mengkilap, dengan umbilikasi di

bagian tengah.1,2

Infeksi adenovirus dapat juga menimbulkan gejala demam faringokonjungtival

yang ditandai dengan demam tinggi yang muncul tiba-tiba, konjungtivitis pada kedua

mata, faringitis, dan limfadenopati preaurikular.

Keratokonjungtivitis memiliki gejala yang lebih berat, berupa sekret mata yang

cair, hiperemia dan kemosis konjungtiva, serta limfadenopati ipsilateral.11

b. Konjungtivitis Bakterial

Pemeriksaan fisik konjungtivitis bakterial yang dapat ditemukan adalah injeksi

konjungtiva, palpebra bengkak dan eritema, sekret mata mukopurulen, papillae


23

(banyak ditemukan pada konjungtivitis bakterial), serta erosi epitel kornea perifer dan

infiltrasi ke stroma (lebih sering akibat infeksi Haemophilus influenzae).

Limfadenopati biasanya tidak ditemukan pada konjungtivitis bakterial, kecuali pada

infeksi berat oleh Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis.

Pada konjungtivitis bakterial akibat Neisseria gonorrhoeae pada pemeriksaan

fisik biasanya didapatkan eksudasi dalam jumlah banyak, sekret yang hiperpurulen,

kemosis berat, hiperemia konjungtiva berat, edema palpebra. Pada kasus yang

terlambat ditangani dapat ditemukan infiltrat, ulkus, bahkan perforasi pada kornea.

Konjungtivitis trakoma yang diakibatkan oleh infeksi Chlamydia trachomatis

memiliki pemeriksaan fisik yang khas seperti pembentukan folikel sangat banyak,

sekret mukopurulen, jaringan parut pada konjungtiva tarsal superior berbentuk linear

atau stelata (Arlt line) yang timbul pada proses penyembuhan setelah nekrosis folikel.

Involusi dan nekrosis folikel juga dapat menimbulkan depresi (lekukan) pada area

limbus yang disebut sebagai Herbert pits. Pada pemeriksaan dapat pula ditemukan

kekeruhan kornea, vaskularisasi kornea, trikiasis, dan entropion.1,4,16

c. Konjungtivitis Alergi

Pemeriksaan fisik yang menonjol pada konjungtivitis alergi adalah injeksi

konjungtiva yang disertai dengan kemosis konjungtiva serta edema palpebra. Sekret

mata biasanya serosa (cair, bening).

Dapat ditemukan giant papillae dengan gambaran cobblestone pada

konjungtivitis alergi vernal dan konjungtivitis giant papillary. Pada konjungtivitis

alergi vernal dapat terbentuk papillae di area limbus memberikan gambaran titik putih
24

multipel (Horner-Trantas dots) yang merupakan kumpulan sel epitel yang mengalami

degenerasi dan eosinofil. Konjungtivitis alergi atopik biasanya disertai dengan

perubahan kulit khas eksema, tanda Hertoghe (alis hilang di bagian lateral), dan

lipatan Dennie-Morgan (lipatan pada palpebra karena garukan terus menerus).1,1

Tabel 1. Gambaran Klinis pada Konjungtivitis

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan

diagnosis konjungtivitis. Pemeriksaan penunjang dilakukan pada kasus yang tidak


25

memberikan respon terhadap terapi yang diberikan, konjungtivitis yang dicurigai

akibat infeksi Neisseria gonorrhoeae atau Chlamydia trachomatis, serta pada kasus

konjungtivitis dengan gejala yang berat. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan adalah pewarnaan gram, kultur, dan PCR DNA.1,2

g. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan konjungtivitis umumnya bersifat suportif. Umumnya baik

konjungtivitis bakterial dan konjungtivitis viral dapat sembuh sendiri dalam waktu 2-

7 hari dan 2-3 minggu. Pengobatan antibiotik spesifik diberikan pada kasus-kasus

konjungtivitis tertentu saja.1,16

1. Terapi Suportif

Air mata buatan dapat diberikan 4 kali per hari. Pemberian air mata buatan

dapat membantu mengurangi keluhan, melarutkan, serta membilas alergen dan

mediator-mediator inflamasi yang terdapat pada permukaan mata. Sebaiknya gunakan

air mata buatan yang tidak mengandung bahan pengawet dan dalam kemasan single-

dose agar kemasan tetes mata tidak menjadi media penularan.

Antihistamin dan vasokonstriktor topikal (misalnya: antazoline,

xylometazoline) dapat diberikan untuk mengurangi keluhan gatal yang berat.

Steroid topikal, misalnya prednisolone 0,5% sebanyak 4 kali per hari dapat

diberikan pada konjungtivitis dengan gejala berat, pembentukan pseudomembran,

atau adanya infiltrat subepitel yang mengganggu penglihatan. Penggunaan steroid

topikal harus hati-hati karena dapat membantu replikasi virus dan memperpanjang
26

masa penularan. Evaluasi tekanan intraokular harus dilakukan berkala pada

penggunaan jangka panjang.

Irigasi mata dapat dilakukan untuk mengurangi sekret mata yang banyak,

misalnya pada kasus konjungtivitis akibat infeksi Neisseria gonorrhoeae.

Kompres dingin juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan. Pasien juga

diminta untuk menghentikan penggunaan lensa kontak untuk sementara.1,2,4,16

2. Medikamentosa

Terapi medikamentosa konjungtivitis disesuaikan dengan penyebab yang

melatarbelakangi.

a. Konjungtivitis Viral

Tidak ada terapi medikamentosa spesifik untuk konjungtivitis viral oleh infeksi

adenovirus. Terapi menggunakan antivirus topikal, dilaporkan tidak efektif untuk

konjungtivitis yang disebabkan oleh adenovirus.

Antiviral topikal seperti gel ganciclovir, salep idoxuridine, salep vidarabine,

dan tetes mata trifluridine biasanya digunakan pada kasus konjungtivitis akibat

infeksi virus herpes simpleks. Pada kasus konjungtivitis akibat infeksi virus varicella

zoster, pasien diberikan antiviral berupa asiklovir 5 x 600-800 mg/ hari selama 7-10

hari. Valasiklovir 3x1000 mg/hari dan famsiklovir 3 x 500 mg/ hari selama 7-10 hari

pemberian juga dapat digunakan untuk mengobati konjungtivitis pada herpes zoster.

Terapi antibiotik topikal biasanya diberikan bila ada risiko superinfeksi oleh

bakteri.1,11,16
27

b. Konjungtivitis Bakterial

Terapi medikamentosa konjungtivitis bakterial dapat berupa pemberian

antibiotik topikal seperti kloramfenikol, aminoglikosida (gentamisin, neomisin,

tobramisin), kuinolon (ofloxacin, levofloxacin, dan sebagainya), makrolid

(azitromisin, eritromisin), polimiksin B, dan bacitracin. Pemberian antibiotik topikal

biasanya dengan dosis 4 kali per hari selama 1 minggu pemberian. Pada kasus dengan

gejala yang berat, pemberian antibiotik dapat lebih sering untuk mempercepat

penyembuhan, mencegah reinfeksi, dan mencegah penularan.

Antibiotik topikal dalam bentuk salep dan gel akan mencapai konsentrasi yang

lebih tinggi karena kontak yang lebih lama, namun tidak dapat digunakan pada siang

hari karena menyebabkan penglihatan kabur.

Untuk kasus konjungtivitis Neisseria gonorrhoeae antibiotik topikal pilihan

adalah kuinolon, gentamisin, kloramfenikol, atau bacitracin dengan frekuensi

pemberian setiap 1-2 jam sekali disertai pemberian antibiotik sistemik golongan

sefalosporin generasi ketiga dan beberapa antibiotik golongan makrolida.

Antibiotik sistemik yang dapat digunakan pada konjungtivitis Haemophilus

influenzae (khususnya pada anak) adalah amoksisilin klavulanat. Konjungtivitis

akibat infeksi Meningococcus dapat diberikan ceftriaxone, cefotaxime,

benzilpenisilin, atau ciprofloxacin.

Pada kasus infeksi Chlamydia trachomatis, antibiotik sistemik pilihan adalah

azithromycin 1 gram dosis tunggal, dapat diulang 1 minggu kemudian. Antibiotik lain
28

yang dapat digunakan adalah doxycycline 2 x 100 mg selama 10 hari, eritromisin 2 x

500 mg selama 14 hari, amoksisilin, atau ciprofloxacin.1,4

3. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi dapat diterapi menggunakan beberapa jenis obat seperti

antihistamin topikal, mast cell stabilizer, vasokonstriktor, kortikosteroid, dan obat

antiinflamasi non steroid (OAINS).

Antihistamin topikal mata yang dapat digunakan adalah epinastine dan

azelastine. Antihistamin oral juga dapat diberikan untuk mengurangi keluhan gatal

sehingga pasien tidak mengusap mata terus menerus.

Mast cell stabilizer digunakan sebagai terapi jangka panjang untuk mencegah

proses degranulasi sel mast akibat paparan alergen sehingga mengurangi frekuensi

terjadinya eksaserbasi akut. Mast cell stabilizer biasanya digunakan bersama dengan

terapi lainnya. Regimen yang dapat digunakan adalah lodoxamide, nedocromil,

sodium cromoglycate, dan alcaftadine.

Vasokonstriktor tersedia dalam bentuk tunggal seperti phenylephrine,

oxymetazoline, naphazoline, atau gabungan dengan antihistamin. Vasokonstriktor

topikal dapat mengurangi injeksi konjungtiva untuk sementara dan tidak efektif

digunakan pada konjungtivitis alergi berat.

Kortikosteroid digunakan pada eksaserbasi akut dengan gejala berat atau bila

ditemukan keratopati. Kortikosteroid diberikan per 2 jam dalam jangka waktu pendek

yang kemudian di-tapering off. Sediaan yang dapat digunakan adalah prednisolone

0,5%, rimexolone 1%, fluorometholone 0,1%, loteprednol etabonate 0,2-0,5%. Efek


29

samping yang mungkin ditimbulkan adalah terjadinya infeksi sekunder, peningkatan

tekanan intraokular, dan pembentukan katarak.

Sediaan OAINS topikal mata seperti ketorolak 0,5% dan diklofenak 0,1% dapat

dikombinasikan dengan mast cell stabilizer. OAINS topikal bekerja menghambat

mediator non histamin sehingga dapat mengurangi keluhan pasien.1,14

3. Pembedahan

Tidak ada tindakan pembedahan khusus untuk kasus konjungtivitis. Pada kasus

konjungtivitis yang menyertai infeksi Moluscum contagiosum, tindakan pengeluaran

badan moluskum dilakukan menggunakan ujung jarum suntik.1

4. Rujukan

Rujukan ke dokter spesialis mata dapat dilakukan pada pasien konjungtivitis

dengan produksi sekret mukopurulen yang banyak, nyeri mata sedang hingga berat,

penurunan tajam penglihatan, jaringan parut pada konjungtiva, ada keterlibatan

kornea, konjungtivitis yang rekuren, dan pasien dengan infeksi virus herpes simpleks.

Pasien juga harus dirujuk bila tidak mengalami perbaikan setelah 1 minggu terapi.

Pada konjungtivitis yang disebabkan oleh patogen penyakit menular seksual

atau ureteritis, rujukan ke spesialis kulit dan kelamin juga diperlukan untuk

penanganan yang sesuai.1,3

h. Komplikasi

Kebanyakan kasus konjungtivitis tidak menimbulkan komplikasi jangka

panjang. Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah pembentukan

pseudomembran, infiltrat subepitelial multifokal, dan superinfeksi.17 Komplikasi lain


30

dapat berupa iritasi kornea ringan, keratitis, jaringan parut kornea, hingga penurunan

visus yang berat.4

i. Pencegahan

Edukasi dan promosi kesehatan ditekankan pada cara pencegahan penularan

konjungtivitis.

1. Edukasi Pasien

Edukasi pasien konjungtivitis adalah menghindari mengusap mata dengan

tangan yang kotor, sebisa mungkin menghindari paparan alergen, menghindari

penggunaan lensa kontak untuk sementara waktu, dan melakukan kompres dingin

untuk mengurangi keluhan gatal dan perih. Pasien disarankan untuk beristirahat di

rumah untuk sementara waktu untuk mencegah penularan di sekolah atau tempat

kerja. Bila mengalami gangguan penglihatan, keluhan mata silau, nyeri mata yang

tidak tertahankan, sekret mata yang bertambah banyak walaupun sudah diberikan

pengobatan, pasien disarankan untuk kontrol kembali ke dokter.2,4

2. Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit konjungtivitis meliputi praktik

hand hygiene yang baik (mencuci tangan dengan air mengalir dan sabun),

meminimalkan paparan atau kontak dengan penderita konjungtivitis, menghindari

paparan dari benda seperti alat kosmetik atau lensa kontak secara bertukar-tukar

dengan orang lain, serta edukasi cara penggunaan dan membersihkan lensa kontak
31

yang baik. Pencegahan konjungtivitis khususnya pada neonatus adalah dengan

pemberian salep mata profilaksis. Salep tetes mata yang dapat digunakan berupa

tetrasiklin 1%, eritromisin 0,5%, tetes mata silver nitrat 1%, dan tetes mata povidon

iodin 2,5%.1,2,4

j. Prognosis

Prognosis konjungtivitis umumnya baik. Penyembuhan dapat terjadi sempurna

tanpa komplikasi pada hampir sebagian besar kasus konjungtivitis viral dan bakterial.

Komplikasi pada konjungtivitis biasanya terjadi akibat infeksi kuman tertentu seperti

Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis. Komplikasi pada kornea juga

sering terjadi pada kasus konjungtivitis alergi subtipe atopik dan vernal yang dapat

menyebabkan kekeruhan kornea.2,4,14


BAB IV

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus konjungtivitis akut ec suspek bakterial pada seorang

wanita 47 tahun. Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang yang didapat. Penderita mendapatkan terapi non

medikamentosa dan medikamentosa. Pasien disuruh kontrol ulang 3 hari kemudian

jika keluhan tidak membaik atau 1 minggu jika keluhan mulai berkurang.

32
33

DAFTAR PUSTAKA

1. Karpecki PM. Kanski’s clinical ophthalmology : A Systematic Approach.


Optometry and Vision Science, 92(10);2015.

2. Scott IU, Dahl AA. Viral conjunctivitis (pink eye). Medscape; 2021

3. Azari AA, Barney NP. Conjunctivitis. JAMA, 310(16); 2013.

4. Yeung KK, Dahl AA. Bacterial conjunctivitis (pink eye). Medscape; 2021.

5. Leung AKC, Hon KL, Wong AHC, Wong AS. Bacterial conjunctivitis in
childhood: etiology, clinical manifestations, diagnosis, and management.
Recent Pat Inflamm Allergy Drug Discov. 2018;12(2):120-127.

6. Bonini S, Lambiase A, Marchi S, Pasqualetti P, Zuccaro O, Rama P, et al.


Verna keratoconjunctivitis revisited: a case series of 195 patients with long-
term followup. Ophthalmology. 2016;107(6):1157-1163.

7. Kumar S. Vernal keratoconjunctivitis: a major review. Acta Ophthalmologica:


87(2), 133–147; 2019.

8. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2009. Kemenkes RI; 2009.

9. Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Kemenkes RI; 2010.

10. CDC. Conjunctivitis (pink eye). CDC; 2021.

11. Montero MCL, Conjunctivitis.


http://eyewiki.aao.org/Conjunctivitis#Viral_conjunctivitis_2

12. Chigbu DI, Labib BA. Pathogenesis and management of adenoviral


keratoconjunctivitis. Infection and Drug Resistance. 2018;11:981-993.

13. Racaniello V. Viral pathogenesis.


http://www.columbia.edu/itc/hs/medical/pathophys/id/2019/viralpathNotes.pdf

14. Ventocilla M, Dahl AD. Allergic conjunctivitis. Medscape; 2021.

15. Rosa ML, Lionetti E, Reibaldi M, Russo A, Longo A, Leonardi S. Allergic


conjunctivitis: a comprehensive review of the literature. Italian Journal of
Pediatrics. 2013;39:18-25.
34

16. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Basic and clinical science course external
disease and cornea. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology;
2016.

17. Jhanji V, Chan TCY, Li EYM, Agarwal K, Vajpayee RB. Adenoviral


keratoconjunctivitis. Survey of Ophthalmology: 60(5), 435–443; 2015.

Anda mungkin juga menyukai