Anda di halaman 1dari 3

Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan
kesehatan.1,3 Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua yaitu hipertensi primer (esensial)
dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer merupakan hipertensi dimana etiologi patofisiologinya tidak
diketahui. Banyak karakteristik genetik yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga
didokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan
nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen. 4,5 Komplikasi hipertensi yang
utama adalah penyakit kardiovaskular, yang dapat berupa penyakit jantung koroner, gagal jantung,
stroke, penyakit ginjal kronik, kerusakan saraf perifer maupun penyakit vaskular perifer. 4

Klasifikasi hipertensi menurut ESC 2018 Hypertension Guidelines6 dipetakan dalam kategori optimal
dengan tekanan darah sistolik (TDS) <120 dan atau tekanan darah diastolic (TDD) <80. Kategori normal
TDS 120-129 dan atau TDD 80-84. Kategori normal-tinggi TDS 130-139 dan atau TDD 85-89. Kategori
hipertensi derajat 1 dengan TDS 140-159 dan atau TDD 90-99, hipertensi derajat 2 dengan TDS 160-179
dan atau TDD 100-109, hipertensi derajat 3 dengan TDS ≥180 dan atau TDD ≥110. Selain itu, terdapat
kriteria hipertensi krisis yang dibagi menjadi hipertensi emergency dan hipertensi urgency. 3 Hipertensi
emergency merupakan hipertensi derajat 3 dengan disertai hypertension mediated organ damage
(HMOD) seperti penyakit jantung hipertensi, kerusakan ginjal akut, stroke, dan sebagainya. 1,2,3

Pengobatan hipertensi primer terbagi menjadi dua yaitu nonfarmakologi dan farmakologi hingga
tercapai target penurunan tekanan darah. Pasien dalam kategori normal-tinggi direkomendasikan untuk
melakukan intervensi gaya hidup dengan diet rendah garam dan lemak, berolahraga rutin intensitas
sedang selama 30 menit dalam 5-7 hari seminggu, mengelola berat badan ideal dan berhenti merokok.
Apabila memiliki risiko hipertensi yang tinggi terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner,
maka pertimbangkan pemberian inisiasi obat anti hipertensi (OAH). Pada pasien hipertensi derajat 1,
rekomendasikan intervensi gaya hidup dan inisiasi segera OAH dengan control 3-6bulan. Hipertensi
derajat 2 dan 3 direkomendasikan inisiasi obat dan intervensi gaya hidup, kontrol tekanan darah dalam
3bulan kemudian dilakukan evaluasi.1 Kombinasi OAH yang digunakan di Indonesia adalah terapi inisial
kombinasi 2 obat (ACEi atau ARB + CCB atau diuretic), terapi Langkah II kombinasi 3 obat (ACEi atau ARB
+ CCB + diuretic), terapi Langkah III kombinasi 3 obat + spironolakton atau obat lain (ACEi atau ARB +
CCB + diuretic + spironolactone atau diuretic lain, alfa blocker atau beta blocker sesuai dengan
indikasi).1,3 Pada pasien hipertensi emergency dapat ditatalaksana lini pertama dengan nicardipine. 1,3

AKI prerenal

Acute kidney injury (AKI) merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan fungsi ginjal dalam
mengatur komposisi cairan dan elektrolit tubuh, serta pengeluaran produk sisa metabolisme, yang
terjadi tiba-tiba dan cepat.7 Hal tersebut merupakan suatu sindrom klinis yang luas yang mencakup
berbagai etiologi, termasuk penyakit ginjal tertentu (misalnya nefritis interstisial akut, penyakit ginjal
glomerulus akut dan vaskulitis); kondisi tidak spesifik (misalnya iskemia, cedera toksik); serta patologi
ekstrarenal (misalnya, azotemia prerenal, dan akut nefropati obstruktif postrenal). 7
Acute renal failure (ARF) adalah penurunan glomerular filtration rate (GFR) yang cepat (dalam hitungan
jam sampai hari). Manifestasi dari ARF seperti peningkatan blood urea nitrogen (BUN), serum kreatinin
dan penurunan produksi urin. Menurut kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End Stage), AKI
didefinisikan sebagai peningkatan serum kreatinin ≥50% dari nilai awal dan atau penurunan GFR ≥ 25%
dan atau penurunan produksi urin kurang dari 0,5 cc/kgbb dalam 6 jam atau lebih yang terjadi dalam
kurun waktu kurang dari 7 hari.8

Normalnya ginjal menerima pasokan darah yang sangat besar sekitar 1100 mL/menit atau sekitar 20% –
25% dari curah jantung. Tujuan utama dari tingginya aliran darah tersebut adalah menyediakan cukup
plasma untuk laju filtrasi glomerulus yang tinggi yang dibutuhkan untuk pengaturan volume tubuh dan
konsentrasi zat terlarut secara elektif. Oleh karena itu, penurunan aliran darah ke ginjal <20%–25%
biasanya diikuti oleh menurunnya GFR serta penurunan keluaran air dan zat terlarut. Sehingga
penurunan secara akut ini akan menimbulkan kerusakan atau bahkan kematian sel-sel ginjal terutama
sel epitel tubulus. Jika penyebab AKI tidak dikoreksi dan hipoksia terus terjadi lebih dari beberapa jam
maka dapat berkembang menjadi AKI prerenal. 7 Beberapa etiologi yang dapat mendasari AKI pre renal
adalah adanya deplesi volume intravascular (kehilangan cairan GI (muntah,diare) kehilangan cairan
ginjal (diuretik) luka bakar,perdarahan, redistribusi cairan (pankreatitis,sirosis)), penurunan tekanan
perfusi renal (Syok (sepsis) obat-obatan vasodilator vasokonstriksi arteri pregromerular (afferent)
vasodilatasi arteri postglomerural) dan penurunan curah jantung (gagal jantung iskemik miokardial). 7,8

Manjemen AKI prerenal dapat dilakukan dengan : mengoptimalisasi hemodinamika dan buat
pemantauan yang tepat termasuk monitor invasif bila sesuai, resusitasi cairan (secara umum resusitasi
berbasis kristaloid diberikan sesuai kebutuhan, dimana larutan garam lebih diutamakan pada awalnya.
Pada pasien dengan syok septik dan hypoalbuminemia, suplemen albumin mungkin memiliki efek yang
lebih baik), mengelola tekanan darah dengan target tekanan arteri rata-rata/mean arterial pressure
(MAP) dari 65 sampai 80 mmHg pada pasien yang memiliki riwayat hipertensi kronis. 9

Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam urat serum di atas normal. Pada
sebagian besar penelitian epidemiologi, disebut sebagai hiperurisemia jika kadar asam urat serum orang
dewasa lebih dari 7,0 mg/dl dan lebih dari 6,0 mg/dl pada perempuan, pada pasien usia remaja
dikatakan batasnya adalah 5,5 mg/dL.10 Hiperurisemia biasa dikaitkan dengan kejadian gout meskipun
tidak selalu terjadi bersamaan.11

Tatalaksana hiperurisemia tanpa gejala klinis dapat dilakukan dengan modifikasi gaya hidup, termasuk
pola diet seperti pada prinsip umum pengelolaan hiperurisemia dan gout. Modifikasi gaya hidup yang
direkomendasikan adalah pengelolaan berat badan, pembatasan makanan tinggi purin seperti hati,
ampela, dan ekstrak ragi (termasuk alcohol). Selain itu daging sapi, kambing, kepiting, udang, kerrang
dan sebagainya. Latihan fisik direkomendasikan 3-5kali seminggu dengan durasi 30-60menit. 11

Penggunaan terapi penurun asam urat pada hiperurisemia tanpa gejala klinis masih kontroversial. The
European League Against Rheumatism (EULAR), American Colleague of Rheumatology (ACR) dan
National Kidney Foundation (NKF) tidak merekomendasikan penggunaan terapi penurun asam urat
dengan pertimbangan keamanan dan efektifitas terapi tersebut. Sedangkan rekomendasi dari Japan
Society for Nucleic Acid Metabolism, menganjurkan pemberian obat penurun asam urat pada pasien
hiperurisemia asimptomatik dengan kadar urat serum >9 atau kadar asam urat serum >8 dengan faktor
risiko kardiovaskular (gangguan ginjal, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit jantung iskemik). 11
Alopurinol adalah obat pilihan pertama untuk menurunkan kadar asam urat, diberikan mulai dosis 100
mg/hari dan dapat dinaikan secara bertahap sampai dosis maksimal 900 mg/hari dalam dosis terbagi
(jika fungsi ginjal baik). Jika terjadi toksisitas akibat alopurinol, salah satu pilihan adalah terapi urikosurik
dengan probenecid 1−2 gr/hari. Selain itu terdapat obat profilaksis kolkisin dengan dosis 0.5-1mg/hari. 11

1. Perhimpunan Dokter Hipertensi Indonesia. Konsensus Penatalaksanaan Hipertensi 2019. Lukito


AA, Harmeiwaty E, Hustrini NM, editors. Jakarta: Indonesian Society of Hypertension; 2019.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. panduan praktik klinis bagi dokter di fasilitas
pelayanan kesehatan primer. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
3. American Heart Association. 2020 International Society of Hypertension Global Hypertension
Practice Guidelines. [Dallas]: AHA; 2020 [updated on March 2020] (Clinical guideline). Available
from: https://www.ahajournals.org/journal/hyp
4. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J (eds.) Harrison’s principles of
internal medicine. Edisi ke-18. New York: Mc Graw Hill; 2011.
5. Messerli FH, Williams B, Ritz E. Essential hypertension. Lancet. 2007; 370(9587):591-603
6. Whelton PK, Williams B. The 2018 European Society of Cardiology/European Society of
Hypertension and 2017 American College of Cardiology/American Heart Association Blood
Pressure Guidelines. More similar than different. JAMA.2018;320:1749-50.
7. Kidney Disease Improving Global Outcome. KDIGO 2012 clinical practice guideline for the
evaluation and management of acute kidney injury. Kidney Int Suppl. 2013; 2(1): 1–141.
8. Mark E, Caroline B, Anne D, Mark A, Devonald MA, Ftouh C, Laing S, Latchem A, Lewington DV.
The definition of acute kidney injury and its use in practice. 2014 http://www.kidney-
international.org
9. Jeanine PWK, Sauer JW, Lundquist AL. Acute kidney injury. Critical care handbook of the
massachusetts general hospital. Edisi ke-6. Philadelphia; 2016
10. Dianati, N.A. Gout and Hyperuricemia. J Majority. 2015, 4(3): 82-89
11. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Pengelolaan Gout. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2018

Anda mungkin juga menyukai