Anda di halaman 1dari 37

Tinjauan Pustaka Dipresentasikan pada

Tanggal:

“Tatalaksana Gangguan Tidur pada Pasien CKD, ditinjau dari Aspek


Benzodiazepine”

Oleh:
Ayuningdyah Chitra Buanantri

Pembimbing :
dr. Ratih Arianita Agung Sp PD,K-PSI FINASIM

PROGAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
JAWA TENGAH
2021
LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN PUSTAKA

Tatalaksana Gangguan Tidur pada Pasien CKD, ditinjau dari Aspek


Benzodiazepine

Oleh:
Ayuningdyah Chitra Buanantri

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing :

Tanggal :………………….

Pembimbing

dr. Ratih Arianita Agung Sp PD,K-PSI FINASIM

2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………..
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………….. i

DAFTAR ISI …………………………………ii

DAFTAR GAMBAAR …………………………………iiii

DAFTAR TABEL …………………………………………..iv

DAFTAR SINGKATAN ……………………………………………….v

2.4.2 Tatalaksana Gangguan Tidur pada pasien CKD


2.4.3 Aspek yang perlu diperhatikan dalam penggunaan benzodiazepine pada
pasien CKD

BAB I
Pendahuluan
Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang
umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal. Setiap tahun 50.000 orang
Amerika Serikat meninggal akibat gagal ginjal. Penyakit Ginjal Kronik (PGK) kini
telah menjadi masalah kesehatan serius di dunia. Pada tahun 2018 sebanyak 3,8 %.
Prevalensi gagal ginjal pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuan (0,2%). Berdasarkan karakteristik umur prevalensi tertinggi pada kategori
usia diatas 75 tahun (0,6%), dimana mulai terjadi peningkatan pada usia 35 tahun ke
atas1. Gagal ginjal dapat menimbulkan efek pada kehidupan sehari-hari salah satunya
adalah gangguan tidur2.

Gangguan tidur lazim umum terjadi pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
(CKD) khususnya mereka dengan penyakit ginjal tahap akhir (ESRD) 3. Telah
dilaporkan bahwa 80% pasien ESRD yang menerima dialisis melaporkan keluhan tidur,
dengan kantuk di siang hari menjadi gejala yang paling sering dilaporkan . Penyebab
dari peningkatan masalah dan gangguan terkait tidur pada populasi ini kemungkinan
besar memiliki penyebab yang multifaktorial. Hal ini dapat terkait dengan kondisi
uremia atau komorbiditas yang mendasari pada pasien dengan PGK. Secara klasik,
Restless Leg syndrome (RLS) dan apnea tidur obstruktif (OSA) telah dikaitkan dengan

3
CKD dan juga beberapa gangguan tidur lainnya seperti indomnia 4. Gangguan tidur
dapat memengaruhi kualitas hidup, dan beberapa di antaranya terkait dengan
peningkatan morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini . Diagnosis dan pengobatan
gangguan tidur pada populasi ini dapat meningkatkan kualitas hidup dan kelangsungan
hidup pasien.
Salah satu obat yang digunakan adalah benzodiazepine. Benzodiazepine
merupakan obat golongan hipnotik sedatif dan efek dari pengobatan gangguan tidur
khususnya insomnia. Benzodiazepin berperan sebagai obat penenang, anti pengurangan,
hipnotik, serta dapat melemaskan otot-otot tubuh. Benzodiazepin perlu di waspadai
penggunaannya karena terdapat laporan akumulasi dari metabolitnya pada pasien
dengan gagal ginjal5.

BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1 Gangguan Tidur


2.1.1 Fisiologi Tidur
Tidur adalah proses yang berhubungan dengan mata tertutup selama
beberapa periode yang memberikan istirahat total bagi mental dan aktivitas fisik
manusia, kecuali fungsi beberapa organ vital seperti jantung, paru-paru, hati,
sirkulasi darah dan organ dalam lainnya. Kedalaman tidur tidak teratursepanjang
periode tidur. Hal tersebut tergantung pada beberapa faktor seperti faktor usia,
aktivitas yang dilakukan, penyakit yang diderita, dan lain-lain.6

Tidur merupakan aktivitas susuan saraf pusat yang berperan sebagai lonceng
biologis ( “Biologic Clock”). Aktivitas tidur ini di atur oleh sbuah irama kehidupan
yang mengikuti rotasi bola dunia yang dinamakan irama sirkardian (“ Circardian
Rhythm). Irama sirkadian berfungsi mengatur berbagai irama tubuh antara lain irama
bangun tidur, temperatur tubuh, tekanan darah, dan pola sekresi hormone. Peraturan
sirkadian tidur dan mekanisme terjaga (wakefulness) diregulasi oleh alat pacu yang
terletak di suprachiasmatic nuclei (SCN) yang berfungsi sebagai master clock. nucleus

4
suprachiasmatic paling aktif di siang hari dan diatur setiap hari berdasarkan masukan
cahaya dari retina dan selama siklus gelap oleh sekresi melatonin dari kelenjar
pineal,serta pada liver, ginjal dan jantung.7

Irama sirkadian sangat dipengaruhi oleh lingkungan, khususnya rangsangan


cahaya. Cahaya yang diterima oleh retina oleh retina mata akan diteruskan menuju suatu
sistem osilasi SCN pada hipothalamus melalui suatu jalur saraf khusus yaitu
Retinohypothalamic Tract (RHT). Serabut eferen dari suprachiasmatic nuclei SCN akan
memicu sinyal saraf dan humoral yang akan menyeleraskan berbagai irama sirkadian
penting. Contoh pengaruh cahaya terhadap irama sirkadian ditunjukan pada produksi
melatonin. Pada kondisi cahaya gelap, produksi melatonin akan meningkat. Oleh karena
itu akan banyak terjadi konversi dari serotonin menjadi melatonin.jumlah serotonin
yang menekan tidur akan berkurang, oleh karena itu dalam kondisi cahaya gelap akan
terjadi peningkatan tidur.8

Perubahan perubahan aktivitas otak selama tidur sesuai dengan tahanpan tidur.
Saat ini klasifikasi tahapan tidur yang diterima adalah usulan dari Rechtschaffen dan
Kales yaitu dengan pemeriksaan EEG, electrooculogram (EOG) dan electromyogram
(EMG). Berdasarkan pengukuran gelombang otak terdapat 5 tahapan dari pola tidur, 4
tahapan pertama merupakan tidur dalam yang disebut non REM (non rapid eye
movement) juga dikenal sebagai slow wave sleep (SWS) dan tahapan yang ke 5
disebut sebagai REM (rapid eye movement) disebut juga paradoxical sleep (PS)9.

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu
diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:

1. Tahapan tidur stadium 1


Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan
bola mata kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan
mudah sekali dibangunkan. Fase ini menduduki sekitar 5% dari total waktu
tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang

5
alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,
predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus per detik.

2. Tahapan tidur stadium 2


Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih
berkurang, tidur lebih dalam dari pada fase pertama. Pada pemeriksaan EEG
akan tampak gelombang EEG spesifik yaitu didominasi oleh aktivitas teta,
voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks K. Kumparan tidur
adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-14 siklus perdetik.
Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase tinggi diikuti oleh
gelombang lebih lambat dengan frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas
positif, dengan durasi 500 mdetik.

3. Tahapan tidur stadium tiga


Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Pada EEG akan ditandai
dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus per detik, amplitudo
tinggi dan disebut juga tidur delta.

4. Tahapan tidur stadium empat


Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Tonus otot sangat
rendah. Pada pemeriksaan EEG akan terlihat gelombang delta saja. Stadium
ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi
antara sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini
meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur10.

Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit,
setelah itu akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya
berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih insten dan panjang saat menjelang pagi atau
bangun. Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang
sangat rendah, apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan
mimpinya, denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot
menunjukkan relaksasi yang dalam. Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan

6
seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total
tidur. Pada waktu REM orang tidak lagi mendengkur, nafas menjadi tak teratur, aliran
darah ke otak bertambah dan temperatur tubuh naik disertai banyak gerakan tubuh.
Gelombang1istrik tampak seperti tahapan stadium 1 dari tidur. Orang dewasa yang
sehat bila sudah tertidur akan masuk ke dalam tahapan 1 diikuti tahapan 2,3 dan 4,
kemudian kembali lagi ke tingkat 1 dan setelah 2 siklus itu lengkap akan diikuti oleh
periode REM antara 5 sampai 15 menit. Putaran akan berlangsung 4-5 kali dengan
penambahan periode REM pada tahap berikutnya disertai pengurangan periode NREM
(terutama pada tingkat 3 dan 4. Pada orang yang tidur selama 8 jam akan menjalani 2
jam tidur REM dan 6 jam tidur NREM11,12.

2.2.1 Gangguan Tidur

2.2.1.1 Gangguan tidur primer

Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan disebabkan oleh
gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau zat. Gangguan tidur ini dibagi dua
yaitu disomnia dan parasomnia. Disomnia ditandai dengan gangguan pada jumlah,
kualitas, dan waktu tidur. Parasomnia dikaitkan dengan perilaku tidur atau peristiwa
fisiologis yang dikaitkan dengan tidur, stadium tidur tertentu atau perpindahan tidur-
bangun. Disomnia terdiri dari insomnia primer, hipersomnia primer, narkolepsi,
gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritmik sirkadian tidur,
dan disomnia yang tidak dapat diklasifikasikan. Parasomnia terdiri dari gangguan
mimpi buruk, gangguan teror tidur, berjalan saat tidur, dan parasomnia yang tidak dapat
diklasifikasikan13.

1. Insomnia
Seorang pasien insomnia mengeluh kesulitan untuk memulai tidur (sleep onset
insomnia) atau mempertahankan tidurnya (sleep maintenance insomnia) meskipun
mereka ada kesempatan untuk tidur, dikondisikan untuk tidur dan punya waktu untuk
tidur. Pada pasien insomnia, tidurnya menjadi singkat dan kurang adekuat, mudah

7
terganggu, kualitasnya buruk, tidak merasa segar saat bangun tidur, tidak nyaman atau
tidak menimbulkan efek restorasi.
Para ahli mendefinisikan insomnia bila sleep latency lebih dari 30 menit; waktu
terjaga setelah onset tidur lebih dari 30 menit; efisiensi tidur kurang dari 85%; atau total
lama tidur (total sleep time) kurang dari 6 – 6.5 jam, dan keluhan tersebut terjadi
minimal 3 hari dalam seminggu13.
Pasien insomnia seringkali melaporkan berbagai keluhan subyektif yang
melebihi temuan obyektif dari pemeriksaan polisomnografi. Perbedaan temuan
subyektif dan obyektif pada pasien ini diduga disebabkan oleh karena proses sensori
persisten selama tidur NREM (non rapid eye movement). Akibatnya terjadi penurunan
kemampuan pasien untuk membedakan kapan tidur dan bangun. Persepsi tidur menjadi
berubah. Pasien insomnia seringkali melebihkan durasi latensi tidurnya

Insomnia dapat dibagi berdasarkan durasi menjadi akut (sesaat, hanya beberapa
hari hingga 3-4 minggu) atau kronis (bertahan lebih dari 1 – 3 bulan) (Tabel 1).
Insomnia juga diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya, yaitu ringan, sedang, berat.
Pembagian klasifikasi berdasar derajat berat ini merujuk pada the International
Classification of Sleep Disorders (ICSD) (Tabel 2). Ada juga yang mengklasifikasikan
insomnia berdasarkan profil sleep onset, sleep maintenance, terminal atau
nonrestorative sleep. Atau klasifikasi berdasarkan etiologi (primer dan co-morbid)
(Tabel 3 dan 4)14

Tabel 1. Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Durasi


Durasi Karakteristik

Akut Kurang dari 1 bulan


Transient – beberapa hari
Short term – hingga 3 – 4 minggu

Kronis Bertahan lebih dari 1 – 3 bulan

Tabel 2. Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Derajat Berat

8
Derajat Berat Kejadian Gangguan sosial atau
fungsi pekerjaan

Ringan Hampir tiap malam Tidak pernah atau jarang

Sedang Tiap malam Ringan – sedang

Berat Tiap malam Berat atau sangat


mengganggu

Tabel 3. Klasifikasi Insomnia Berdasarkan Profil Keluhan


Profil Keluhan Karakteristik

Sleep-onset insomnia Kesulitan memulai tidur

Sleep maintenance Sering terbangun atau bila terbangun sulit tidur kembali
insomnia

Terminal insomnia (early Pasien terbangun lebih awal/dini daripada yang


morning awakening) diinginkan

Nonrestorative sleep Merasa tidak segar saat bangun tidur

Tabel 4. Klasifikasi Insomnia Berdasarkan etiologi


Etiologi Karakteristik

Insomnia primer Insomnia idiopatik, tidak berhubungan dengan penyakit


medis lain, kelainan neurologi maupun gangguan psikiatri
atau penggunaan obat atau efek putus obat

Insomnia komorbid Insomnia yang disebabkan oleh kondisi medis, gangguan


neurologi, gangguan psikiatri, penggunaan obat atau efek
putus obat.

9
Insomnia yang dialami pasien disebut insomnia primer jika keluhan insomnia
tersebut sudah pasti bukan disebabkan oleh karena gangguan tidur lain, penyakit medis,
kelainan neurologis atau psikiatri, serta bukan karena efek obat atau penyalahgunaan
obat. Hasil pemeriksaan polisomnografi pada pasien insomnia primer adalah sebagai
berikut15 :

a. Peningkatan latensi tidur


b. Penurunan total waktu tidur
c. Penurunan jumlah tidur NREM stadium 3
d. Peningkatan waktu terjaga setelah onset tidur.

2.2.1.2 Gangguan Tidur Terkait Pernafasan (Apnea Tidur)

Gangguan tidur terkait pernafasan atau Breathing-Related Sleep Disorders atau


apnea tidur ditandai dengan episode berulang henti nafas yang menyebabkan
terjadinya hipoksia dan terbangun berkali-kali. Keadaan ini dapat terjadi akibat
gangguan ventilasi ketika tidur (hipoventilasi alveolar sentral). Gangguan tidur ini
tidak disebabkan oleh gangguan mental lain dan tidak pula akibat langsung pengaruh
fisiologik atau zat (termasuk medikasi).

Peristiwa-peristiwa respirasi abnormal yang terjadi pada apnea tidur yaitu


apnea (episode berhenti nafas), hipopnea (respirasi lambat dan dangkal), dan
hipoventilasi (abnormal kadar oksigen dan karbon dioksida darah). Episode apnea
dapat dieksaserbasi oleh penggunaan obat-obat yang mendepresi susunan saraf
pusat dan alkohol. Mendengkur, hipertensi, dan penyakit kardiovaskuler berkaitan
dengan apnea tidur. Bila sindrom apnea tidur derajatnya beratdan tidak diobati,
gangguan fungsi jantung dapat terjadi dan mortalitas meningkat. Terdapat tiga
bentuk apnea tidur 13:

1. Sindrom apnea tidur obstruktif


Sindrom apnea tidur obstruktif adalah bentuk apnea tidur yang paling
sering ditemukan. Sindrom ini ditandai dengan episode berulang obstruksi
jalan nafas atas (apnea-hipopnea) selama tidur. Biasanya terjadi pada penderita

10
yang sangat gemuk. Penderita biasanya tidur mendengkur (sangat keras)dan
nafas pendek bergantian dengan episode diam yang berlangsung sekitar 20-30
detik. Dengkuran yang keras terjadi karena ia bernafas melalui aliran udara
yang tersumbat sebagian. Adanya periode diam atau berhenti nafas disebabkan
terjadinya obstruksi sempurna jalan nafas. Berhenti nafaskadang-kadang terjadi
60-90 detik sehingga bisa terjadi sianosis. Sebagian besar penderita tidak
menyadari gangguannya ini. Nokturia dan inkontinensia nokturnal merupakan
salah satu gejala apnea tidur obstruktif. Hal ini terjadi karena ekskresi urin
meningkat dan juga karena faktor mekanik (tekanan diafragma).

2. Sindrom apnea tidur sentral


Sindrom apnea tidur sentral ditandai dengan penghentian episodik
ventilasi ketika tidur (apnea dan hipopnea) tanpaobstruksi jalan udara.
Gangguan ini sering terjadi pada lansia akibat gangguan jantung atau
neurologik yang mengganggu regulasi ventilasi. Mendengkur ringan
sering ditemukan pada penderita dengan gangguan tidur ini.

3. Sindrom hipoventilasi alveolar sentral.

Sindrom hipoventilasi alveolar sentral ditandai dengan gangguan


pengontrolan ventilasi yang mengakibatkan rendahnya kadar oksigen arteri.
Bentuk ini paling sering terjadi pada orang yang sangat gemuk dan adanya
keluhan tidurberlebihan di siang hari

Seseorang dengan apnea tidur sering mengeluh adanya rasa tidak enak di dada
pada malam hari, rasa tercekik, dan kecemasan. Pasien mengalami gangguan memori,
konsentrasiburuk, dan iritabel. Gangguan mood (gangguan depresi mayor, distimia),
gangguan cemas (gangguan panik) dan demensia sering dikaitkan dengan apnea tidur15.

2.2.1.3 Movement Disorder (Disfungsi Muskuloskeletal)

11
Adanya Disfungsi Muskuloskeletal dapat menyebabkan gangguan tidur. Restless
Leg Syndrome disebut juga sindrom Ekbom. Sindrom ini ditandai dengan adanya
dorongan yang kuat untuk memindah-mindahkan kaki dengan cepatketika mau jatuh
tidur. Gerakan-gerakan kaki sering bersamaan dengan apnea tidur. Pasien sering
mengeluh adanya rasa sakit atau parestesia yang menjalar. Terkadang ada sensasi
seperti semut atau cacing menjalar di tungkai. Rasa tidak nyaman biasanya memburuk
ketika malam hari; keluhan meluas dari kaki ke pergelangan kaki hingga tungkai,
kadang-kadang hingga paha. Gerakan pada tungkai dapat mengurangi rasa tidak
nyaman sebagian atau seluruhnya, akan tetapi gejala akan muncul kembali bila gerakan
dihentikan. Pasien akan mengalami insomnia bila rasa tidak nyaman tersebut muncul,
terutama bila keluhan muncul tidur14.

Hasil pemeriksaan EMG menunjukkan adanya gerakan tungkai selama tidur.


Hasil pemeriksaan polisomnografi menunjukkan peningkatan latensi tidur, penurunan
efisiensi tidur dan peningkatan frekuensi terjaga. Gagal ginjal, diabetes, anemia kronik,
dan gangguan saraf perifer sering dihubungkan dengan RLS. Restless leg syndrome
dapat pula diinduksi oleh neuroleptik, antidepresan, lithium, diuretik, dan narkotik.

Periodic Leg Movement disebut juga mioklonus nocturnal yaitu gerakan kaki
berulang, stereotipi, dan durasinya pendek. Gerakan berupa fleksi cepat dan periodik
tungkai dan telapakkaki. Keadaan ini dapat menyebabkan terbangun berulang kali
sepanjang malam. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Gangguan ini
dihubungkan dengan sebab-sebab metabolik, vaskuler, anemia, defisiensi asam folat,
dan gangguan neurologik. Periodic limb movement dapat menyebabkan pasien terjaga
dari tidurnya. Tidur pasien yang terputus-putus tersebut menyebabkan keluhan insomnia
dan hipersomnolen. Hasil pemeriksaan EMG pada otot tibialis anterior akan
menunjukkan kontraksi otot berulang selama 0.5 - 5 detik dan seringkali terjadi
berulang tiap 20 – 40 detik15

2.2.1.4 Gangguan Ritmik Sirkadian Tidur

12
Gangguan ini terjadi akibat adanya desinkronisasi antara irama biologis endogen
yang mengontrol bangun dan tidur dengan kondisi lingkungan. Meskipun siklus terang-
gelap memiliki peranan terpenting pada irama sirkardian, akan tetapi ada faktor lain
yang juga berpengaruh terhadap irama sirkardian, yaitu pola sosial, penyakit dan
perilaku pasien. Akibat tidak samanya siklus sirkadian, seseorang dengan gangguan
ini dapat mengeluh insomnia pada waktu tertentu (misalnya malam hari) dan
tidur berlebihan pada siang harisehingga terjadi gangguan fungsi sosial,
pekerjaan, fungsi lainnya atau dapat menyebabkan penderitaan secara subyektif.
Diagnosis ditegakkan bila terjadi gangguan fungsi sosial, pekerjaan, atau
penderitaan subyektif secara signifikan.

Kemampuan individu beradaptasi dengan perubahan sirkadian


bervariasi sangat luas. Kebanyakan individu dengan gejala ini tidak mencari
pertolongan karena gejalanya tidak berat. Ritme sirkadian dapat berkurang
amplitudonya dengan bertambahnya umur. Lansia cenderung tidur lebih awal
danbangun juga lebih awal. Dewasa normal membutuhkan dua jamcahaya siang hari
untuk mendapatkan ritme tidur yang stabil, tetapi lansia hanya membutuhkan sekitar
45 menit. Oleh karenaitu, lansia disarankan menggunakan kacamata hitam bila keluar
rumah di pagi hari. Pajanan cahaya terang buatan antara pukul 7-9 malam dapat
meningkatkan keterjagaan. Suara gaduh juga bisa mempengaruhi tidur. Ritme
sirkadian yang dangkaldikaitkan dengan gangguan tidur13.15

2.2.1.5 Gangguan Tidur Akibat Gangguan Mental lainnya

1. Gangguan cemas dan depresi

Pola tidur pasien depresi berbeda dengan pola tidur pasien tidak depresi. Pada
depresi terjadi gangguan pada setiap stadium siklus tidur. Efisiensi tidurnya buruk, tidur
gelombang pendek menurun, latensi REM juga turun, serta peningkatanaktivitas REM.
Lansia dengan keluhan insomnia harus dipikirkan kemungkinan adanya depresi atau
anksietas. Insomnia danmengantuk di siang hari merupakan faktor risiko depresi.
Sebaliknya, penderita depresi dapat pula mengalami gangguan kontinuitas tidur; episode

13
tidur REM-nya lebih awal daripadaorang normal. Akibatnya, ia terbangun lebih awal,
tidak merasasegar di pagi hari, dan mengantuk di siang hari.

2. Demensia dan delirium

Gangguan tidur sering ditemukan pada demensia. Berjalan saat tidur di


malam hari sering ditemukan pada delirium meskipun pada siang hari
pasien terlihat normal. Pasien Alzheimer sering terbangun dan durasi bangunnya
lebih lama. Tidur REM dan gelombang lambat meningkat13.

2.2.2 Tatalaksana

Non farmakologik

Higene tidur

Memberikan lingkungan dan kondisi yang kondusif untuktidur merupakan


syarat mutlak untuk gangguan tidur. Jadualtidur-bangun dan latihan fisik sehari-hari
yang teratur perlu dipertahankan. Kamar tidur dijauhkan dari suasana tidak nyaman.
Penderita diminta menghindari latihan fisik beratsebelum tidur. Tempat tidur jangan
dijadikan tempat untuk menumpahkan kemarahan. Perubahan kebiasaan, sikap, dan
lingkungan ini efektif untuk memperbaiki tidur. Edukasi tentang higene tidur
merupakan intervensi efektif yang tidak memerlukan biaya.

. Berikut adalah beberapa komponen dari sleep hygiene:

i. Pergi dan gunakan tempat tidur hanya untuk tidur


ii. Bangun tidur setiap hari pada jam yang tetap, termasuk saat akhir
pekan

14
iii. Hindari berlama-lama di tempat tidur jika memang tidak ada
keperluan
iv. Hindari terlalu sering tidur siang
v. Kurangi atau hentikan kebiasaan penggunaan alkohol, nikotin, atau
kafein
vi. Tidak makan berat menjelang tidur malam
vii. Jaga kondisi ruangan kamar tidur dalam keadaan nyaman (suhu,
ventilasi, bising, dan pencahayaan lampu)

Behavioral therapy
Behavioral therapy didesain untuk mempengaruhi fisik dan psikis pasien
insomnia, menciptakan aktivitas yang kondusif untuk tidur dan jadwal bangun-tidur
yang teratur. Terapi ini sesuai sebagai terapi awal kasus insomnia primer (insomnia
psikofisiologis) dan merupakan terapi tambahan kasus insomnia dengan komorbid.
Beberapa intervensi behavior disesuaikan dengan kondisi pasien. Beberapa teknik
behavioral therapy adalah sebagai berikut :

i. Teknik relaksasi
Teknik relaksasi meliputi relaksasi secara progresif, EMG
biofeedback, meditasi, dan guided imagery. Target relaksasi adalah
stressor somatik dan psikis-kognitif yang memperburuk insomnia.
Relaksasi progresif dapat memperpendek latensi tidur, menurunkan
frekuensi terjaga setelah onset tidur, meningkatkan total waktu tidur,
dan memperbaiki kualitas tidur. 1,2

ii. Kontrol stimulus


Terapi kontrol stimulus ditujukan untuk memperkuat hubungan
antara ruang tidur dan waktu tidur. Pasien hanya diijinkan untuk
menggunakan ruang tidur hanya untuk tidur dan melakukan aktivitas
seksual. Pasien diminta masuk ke ruang tidur hanya ketika benar-

15
benar mengantuk dan menghindari melakukan aktivitas yang tidak
berhubungan dengan tidur ketika berada di ruang tidur, seperti
makan, melihat televisi atau bekerja. Jika pasien tidak dapat tidur
atau tidak dapat kembali tidur setelah terjaga dalam kurun waktu
tertentu (misal 15 – 20 menit), maka pasien diminta untuk segera
meninggalkan ruang tidur dan kembali ke tempat tidur hanya ketika
pasien benar-benar mengantuk. Pasien diharuskan mempertahankan
jadwal bangun tidurnya secara rutin dan menghindari tidur siang.
Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi kontrol stimulus dapat
memperbaiki onset tidur dan mempertahankan tidur pasien insomnia
sehingga menurunkan latensi tidur dan jumlah terjaga14.

iii. Kontrol temporal


Terapi kontrol temporal didesain untuk meningkatkan efisiensi
tidur. jadwal bangun tidur yang konstan akan menyebabkan pasien
bangun tidur pada waktu yang sama setiap harinya dengan kualitas
dan kuantitas tidur malam hari yang tetap. Pasien diminta
mengurangi tidur siang hari.

iv. Terapi kognitif


Terapi kognitif dilakukan pada pasien yang mengalami pemikiran
tidak realistik terhadap gangguan insomnia yang dialami. Terapi ini
berupaya memperbaiki gangguan attitude dan kepercayaan terhadap
tidur.

v. Restriksi tidur
Restrikti tidur meliputi pengurangan lama pasien menghabiskan
waktu di tempat tidur, menyesuaikan dengan durasi total waktu tidur
yang benar. Dengan membuat pasien mengalami sleep deprivation,
diharapkan dapat mengurangi latensi tidur, meningkatkan efisiensi
tidur, dan menurunkan waktu terjaga. Prosentase jumlah NREM

16
stadium N3 dapat meningkat setelah terapi ini. Terapi ini bermanfaat
bagi pasien insomnia yang mengalami frustasi ketika berada di
tempat tidur karena dia tidak dapat tidur.

vi. Paradoxical intention


Pasien insomnia seringkali mengalami anxietas terhadap
gangguan tidur yang dialami. Paradoxical intention adalah metode
yang memerintahkan pasien untuk pergi ke tempat tidur dan
berupaya untuk tetap terjaga sepanjang malam (sesuai kemampuan
pasien). Dengan memberikan perintah terbalik yaitu justru menyuruh
pasien terjaga di malam hari akan lebih menurunkan kecemasan
pasien. Bila kecemasan berkurang maka pasien dapat tidur dengan
sendirinya. 1,2

vii. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


CBT adalah terapi multimodalitas yang meliputi sleep hygiene,
teknik relaksasi, terapi kontrol stimulus, terapi restriksi tidur dan
terapi kognitif. Fokus dari CBT adalah mengubah kepercayaan
pasien yang tidak realistik dan attitude pasien, ketakutan yang tidak
beralasan, dan perilaku maladaptif mengenai tidur dan sulit tidur.
pasien diminta untuk menjalankan kebiasaan tidur yang baik. CBT
bisa dijadikan modalitas terapi tunggal atau dikombinasi dengan
terapi farmakologis. CBT bermanfaat bagi pasien insomnia primer
atau insomnia dengan komorbid. Manfaat terapi CBT dijumpai
pada 70 – 80% kasus insomnia.

Farmakologis

Benzodiazepin paling sering digunakan dan tetap merupakan pilihan utama


untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat dapat pula
bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti
l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat digunakan.

17
Penggunaan jangka panjang obat hipnotik tidak dianjurkan. Obat hipnotik hendaklah
digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi insomnia jangka pendek. Dosis
harus kecil dan durasi pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat direkomendasikan
untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan jangka
panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi penyakit yang
mendasari. Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Antidepresan yang
bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan dengan benzodiazepin
pada awal malam13.

Antidepresan terkadang dapat memperburuk gangguan gerakan terkait tidur


(RLS). Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic
and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Obat ini dapat memperpendek onset
tidur, stadium 1 berkurang, dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total
waktu tidur, kontinuitas tidur serta efisiensi tidur meningkat pada pemberian
mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita depresi dengan insomnia tidur. Lithium
dapat menganggu kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria. Khloralhidrat dan
barbiturate jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.

Antihistamin dandifenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tetapi


penggunaannya harus hati-hati karena dapat menginduksi delirium.

Melatonin merupakan hormon yang disekresikan oleh glandula pineal.


Hormon ini berperan mengatur siklus tidur. Efek hipnotiknya terlihat pada pasien
gangguan tidur primer. Hormon ini juga memperbaiki tidur pada penderita depresi
mayor. Melatonin juga dapat memperbaiki tidur, tanpa efek samping, pada lansia
dengan insomnia. Melatonin dapat ditambahkan ke dalam makanan13

2.2 Penyakit Ginjal Kronis

2.2.1 Definisi

18
Chronic kidney diseases atau Penyakit Gijanl Kronis (PGK) adalah kerusakan
ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau
petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal,
diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang
dari 60 ml/ menit/1,73m16. Pada keadaan ini akan terdapat kegagalan atau kerusakan
fungsi kedua ginjal untuk mempertahankan metabolisme, keseimbangan cairan dan
elektrolit serta lingkungan dalam yang cocok untuk bertahan hidup.

2.2.2 Etiologi PGK

National Kidney Foundation (NKF) menyebutkan bahwa dua penyebab utama


penyakit ginjal kronik adalah diabetes dan hipertensi. Diabetes dapat menyebabkan
kerusakan pada banyak organ tubuh, termasuk ginjal, pembuluh darah, jantung, serta
saraf dan mata. Selain itu juga tekanan darah tinggi atau hipertensi yang tidak terkendali
dapat menyebabkan serangan jantung, stroke dan penyakit ginjal kronik. Sebaliknya,
penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan tekanan darah tinggi.Kondisi lain yang
dapat mempengaruhi ginjal yaitu: (1) Glomerulonefritis, yang merupakan kumpulan
penyakit yang menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada unit penyaring pada ginjal;
(2) Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik, yang dapat menyebabkan
pembentukan kista pada ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya; (3) Lupus dan
penyakit lain yang dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh; (4) Obstruksi yang
disebabkan karena batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat pada pria, serta
(5) Infeksi saluran kencing yang berulang17.

2.2.3 Kriteria Diagnosis PGK

Menurut KDIGO, Kriteria diagnosis dari PGK adalah :

Tabel 5. Kriteria Diagnoisi PGK berdasarkan KDIGO17

Penanda Kerusakan GinjaL ( Satu atau Albuminuria


Abnormalitas sedimen urin
lebih )
Kelainan eleltrolit akibat adanya masalah
di system tubular ginjal
Abnormalitas yang dapat di deteksi

19
dengan pemeriksaan histologi
Kelainan struktur yang dideteksi dari
pencitraan
Riwayat tranpalantasi ginjal
Penurunan GFR kurang dari 60 ml/ menit/1,73m2

2.2.4 Pembagian Tahapan PGK

Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR


(Glomerulo Filtration Rate). Stadium - stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada
tingkat GFR yang tersisa Hal ini mencakup
a. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila GFR turun 50% dari normal.
b. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila GFR turun menjadi 20-35% dari normal.
Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena
beratnya beban yang mereka terima.
c. Gagal ginjal, yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin
banyak nefron yang mati.
d. Penyakit ginjal stadium-akhir, yang terjadi apabila GFR menjadi kurang dari 5%
dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal
ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

Klasifikasi gagal ginjal kronis berdasarkan derajat (stage) LFG (Laju Filtrasi
Glomerolus) dimana nilai normalnya adalah 125 ml/min/1,73 m2

Tabel 6. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis


Derajat Penjelasan LFG(ml/mn/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan ≥ 90
LFG ↑ atau normal
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89
LFG ↓ atau ringan
3 Kerusakan ginjal dengan 30 –59
LFG ↓ atau sedang
4 Kerusakan ginjal dengan 15 –29
LFG ↓ atau berat

20
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

2.3 Benzodiazepine
2.3.1 Definisi
Benzodiazepine merupakan salah satu obat-obatan golongan hipnotik-sedatif
yagn memiliki efek depresi susunan saraf pusat. Benzodiazepin akan memiliki efek
hypnosis, sedasi, relaksasi otot, ansiolitik dan antikovulsi dengan potensi yag berbeda-
beda. Rumuz Benzodiazepin terdiri dari cincin benzene (Cincin A) yang melekat pada
cincin aromatic diazepin(Cincin B). Berbagai modifikasi pada struktur cincin maupun
gugusannya secara umum dapat menghasilkan senyawa dengan aktifitas serupa atau
berefek antagonis misalnya pada flumazenil18.

Gambar 1. Struktur Benzodiazepin


2.3.2 Mekanisme Kerja
Benzodiazepin merupakan potensiasi inhibisi neuron yang menggunakan GABA
sebagai mediatornya. GABA (gamma -aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama
neurotransmiter di susunan saraf pusat (SSP), melalui neuron - neuron modulasi
GABAnergik. Reseptor Benzodiazepin berikatan dengan reseptor subtipe GABAA.
Berikatan dengan reseptor agonis menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang
menyebabakan hiperpolarisasi dari membran post sinpatik, dimana dapat membuat
neuron ini resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini memfasilitasi
efek inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek GABA dan menghasilkan efek

21
sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi kegelisahan dan sebagai
muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan medulla spinalis,
dengan densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan hipokampus dan densitas
rendah pada medula spinalis18.

2.3.3. Pembagian Jenis


Berdasarkan durasi kerjanya, golongan benzodiazepine bisa dikelompokkan
menjadi short acting (waktu paruh kurang dari 3-4 jam), intemediatte-acting (waktu
paruh 8 – 24 jam), dan long-acting (waktu paruh lebih dari 24 jam) (Tabel )

Tabel 6. Durasi kerja benzodiazepine15


Durasi kerja Nama obat

Short-acting Triazolam (Halcion)

Intermediate-acting Estazolam (ProSom)


Temazepam (Restoril)

Long-acting Flurazepam (Dalmane)


Quazepam (Doral)

Tabel 12. Dosis Individual Benzodiazepines

Drug Dose Effect of single Effect of Uses


dose on sleep regular dose in
daytime

Triazolam 0.125–25 mg Short acting Nil Brief daytime and nocturnal sleep, DIS
Midazolam 7.5–15 mg Short acting Nil DIS
Flunitrazepam 0.5–1 mg Short acting Mild sedation DIS
Diazepam 2.5–10 mg Short acting Sedation Transient DIS, DMS and EMW with
Temazepam 10–20 mg Intermediate Mild sedation anxiety
Lormetazepa 0.5–1 mg Intermediate Nil DIS, DMS
m 15–30 mg Intermediate Nil DIS, DMS
Oxazepam 15 mg Moderately long Mild sedation DMS, EMW with anxiety
Flurazepam 5–10 mg Moderately long Sedation DMS, EMW
Nitrazepam 7.5–15 mg Long acting Sedation DMS, EMW with anxiety

22
Clorazepate 0.5–1 mg Long acting Sedation DMS, EMW with anxiety
Clonazepam DMS, EMW with anxiety

DIS, difficulty in initiating sleep; DMS, difficulty in maintaining sleep; EMW, early morning awakening.

2.4 Gangguan tidur pada pasien PGK

Gangguan tidur banyak terjadi pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)
khususnya penderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Telah dilaporkan bahwa
80% pasien ESRD yang menerima dialisis melaporkan adanya keluhan tidur, dengan
kantuk di siang hari menjadi gejala yang paling sering dilaporkan Alasan peningkatan
tingkat masalah dan gangguan terkait tidur pada populasi ini kemungkinan
multifaktorial. Masalah tidur tidak hanya terkait dengan penurunan kualitas hidup, tetapi
juga terkait dengan peningkatan risiko terkait kesehatan dan mortalitas pada PGK.
Meskipun secara umum pasien dengan PGK mempunyai kualitas tidur yang
buruk, tidak banyak yang diketahui tentang mekanisme fisiologis yang mendasari
fenomena ini. Menurut Hildreth, pasien dengan PGK sering menunjukkan
ketidakseimbangan sistem sympatho-vagal karena baroreseptor gangguan fungsi refleks
yang di dalamnya sehingga terdapat hiperaktivitas dari sistem saraf simpatis dan
penurunan tonus vagal. Pada individu yang sehat, tidur disertai dengan penurunan
aktivitas simpatis dan peningkatan tonus vagal yang menyebabkan penurunan tekanan
darah di malam hari. Namun, pasien dengan gangguan tidur yang mengalami hipoksia
dan fragmentasi tidur telah terbukti mengalami peningkatan stimulasi sistem saraf
simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis yang mengakibatkan berkurangnya

23
proses penurunan tekanan darah di malam hari ini. Pengaturan tekanan darah oleh
sistem saraf otonom selama tidur juga mempengaruhi sistem renin-angiotensin-
aldosteron. Ketika tekanan darah menurun selama periode tidur normal akan terjadi
reflesks peningkatan aktivitas renin plasma dan aldosteron. Mekanisme ini tidak dapat
di jumpai pada pasien dengan gangguan tidur pada malam hari yang berkontribusi pada
peningkatan tekanan darah yang akan berujung pada progresivitas pada pasien dengan
PGK2.
Melatonin, hormon yang disekresikan oleh kelenjar pineal, bertanggung jawab
atas ritme sirkadian tidur-bangun. Hormon ini disekresikan dalam jumlah kecil pada
siang hari tetapi meningkat pada malam hari, yang berkorelasi dengan timbulnya kantuk
di malam hari. Dalam sebuah studi cross sectional kecil yang membandingkan 30 pasien
ESRD yang menjalani hemodialisis (HD) dan 20 peserta sehat, kadar melatonin
nokturnal secara signifikan lebih rendah pada pasien dengan ESRD [13]. Sekitar 22 dari
30 pasien juga mengalami kerusakan ritme sirkadian yang berkaitan dengan sekresi
melatonin. HD tidak memperbaiki atau meningkatkan konsentrasi melatonin. Dalam
studi lain oleh Karasek et al [14], konsentrasi melatonin yang disekresikan pada malam
hari tidak membaik dengan transplantasi ginjal, meskipun ada perbaikan dalam fungsi
ginjal. Kualitas tidur, yang diukur dengan aktigrafi, juga tidak meningkat secara
signifikan4.

2.4.1 Mekanisme gangguan tidur pada pasien PGK

2.4.1.1 Insomnia

Disfungsi ginjal mungkin terkait dengan efek yang sangat besar pada fungsi
fisiologis. Penyakit ini diantaranya adalah PGK atau ESRD yang pada gilirannya
menyebabkan gangguan pada homeostasis normal yang mempengaruhi tidur19.
Beberapa penelitian yang mengevaluasi kemanjuran dialisis pada pasien dengan PGK
atau ESRD melaporkan temuan yang memperkuat hubungan antara disfungsi ginjal dan
gangguan tidur20. Studi lain dievaluasi berbagai jenis dialisis dan pengaruhnya terhadap
gangguan tidur. Lebih lanjut, beberapa penelitian menunjukkan bahwa dialisis dikaitkan

24
dengan memburuknya parameter tidur normal. Studi-studi ini juga mengidentifikasi dan
mengkonfirmasi korelasi fisiologis langsung antara PGK atau ESRD dan insomnia.
Sebuah Studi komprehensif oleh Parker didefinisikan hubungan antara insomnia dan
penyakit ginjal di samping penyakit lain dalam spektrum gangguan tidur. Filtrasi
glomerulus yang tidak efektif menyebabkan ketidakmampuan untuk mempertahankan
homeostasis dari produk metabolik termasuk bioelemen vital dan protein21. Disregulasi
dalam homeostatis ini dapat mempengaruhi tidur dengan berbagai cara. Studi
menunjukkan dua etiologi penting terkait kejadian insomnia dan PGK, yaitu,
peningkatan kadar orexin dan hiperkalsemia. Rayner et al mengusulkan hubungan
langsung antara tingkat orexin atau hipokretin dan insomnia. Orexin diketahui
merupakan homron yang dikaitkan dengan gairah, kondisi jaga dan nafsu makan.
Kekurangan orexin (hypocretin) menyebabkan narkolepsi. Studi ini juga mengusulkan
bahwa pada pasien dengan PGK atau ESRD, tingkat fisiologis tubuh orexin mencapai
tingkat abnormal yang menyebabkan peningkatan periode terjaga yang dapat dikaitkan
dengan insomnia22,23. Selain itu menurut Virga et al, hiperkalsemia yang biasanya
dikaitkan dengan PGK atau ESRD juga berkontribusi pada timbulnya gangguan
insomnia.4 Para ilmuwan berhipotesis bahwa peningkatan kadar kalsium secara tidak
langsung terlibat dalam sejumlah jalur pensinyalan yang mempengaruhi tidur termasuk
jalur pensinyalan orexin (hipokretin) daripada mempertimbangkan jalur pensinyalan
langsung hubungan antara kalsium dan siklus tidur.

2.4.1.2 Gangguan pernapasan terkait tidur

Lebih dari 50% pasien ESRD mengalami sleep apnea, yang secara dramatis
lebih tinggi daripada populasi umum (2-4%) dan angka kejadian ini sama pada pasien
pre dialisis Dan post dialisis peritoneal atau hemodialisis. Jenis apnea tidur yang
dominan ditemukan pada pasien dengan ESRD adalah OSA2.
Pasien dengan penyakit ginjal dapat memiliki akumulasi cairan yang signifikan
di seluruh tubuh mereka, dan ketika mereka berbaring untuk tidur, mereka mungkin
mengalami migrasi cairan ke saluran napas bagian atas, dalam fenomena yang dikenal
sebagai perpindahan cairan rostral dalam semalam. Ketika PGK memburuk dan lebih

25
banyak akumulasi cairan, indeks apnea-hipopnea (AHI) dapat meningkat. Metode yang
dapat mengurangi akumulasi cairan dapat membantu memperbaiki OSA, seperti yang
ditunjukkan oleh hemodialisis (HD). Pada responden yang mendapat Hemodialisa akan
menunjukkan peningkatan nilai AHI sebesar 42,5–7,3 kejadian / jam4.
Hipoventilasi dapat terjadi pada penderita penyakit ginjal. Gangguan asam-basa
akan dikoreksi dan dikompensasi oleh paru-paru dan ginjal sehingga jika ada gangguan
proses ini akan terganggu. Peningkatan sensitivitas ventilasi terhadap hiperkapnia
berkorelasi positif dengan keparahan apnea dan penurunan sensitivitas ventilasi
terhadap hiperkapnia setelah konversi dari hemodialisis konvensional (CHD) menjadi
hemodialisis nokturnal (NHD) dikaitkan dengan penurunan keparahan OSA.
Kondisi Apnea pada saat tidur dapat memperburuk gejala PGK seperti kelelahan
di siang hari, mengantuk dan gangguan fungsi neurokognitif. Apnea tidur dapat
memperburuk komplikasi kardiovaskular ESRD. Pada pasien dengan ESRD,
hipoksemia selama tidur dikaitkan dengan hipertensi nokturnal, hipertrofi ventrikel kiri,
gangguan keseimbangan simpatovagal dan peningkatan risiko komplikasi
kardiovaskular. Apnea tidur yang berdampingan dapat meningkatkan risiko kematian
pada populasi pasien ini
Disfungsi otot dilator saluran napas atas akibat neuropati atau miopati yang
berhubungan dengan uremia kronis atau penyebab ESRD seperti diabetes mellitus juga
dapat menyebabkan penyempitan faring yang akan meningkatkan kejadian dari apnea
pada saat tidur 4

2.4.1.3 Disfungsi Muskuloskeletal

Pada pasien HD, prevalensi RLS adalah sekitar 20% -30%, dibandingkan 3%
-7% pada populasi umum. Pada pasien transplantasi ginjal, prevalensinya mendekati
5%, rata-rata untuk populasi umum24.
Pada pasien dengan PGK atau ESRD, etiologi RLS tampaknya terkait dengan
defisiensi zat besi. Adanya kondisi yang membutuhkan dialisis dapat memperburuk
defisiensi zat besi sehingga memperburuk RLS. Sebagai akibat dari PGK atau ESRD
dan dialisis, pasien sering mengalami ketidakseimbangan dalam berbagai metabolit dan

26
bioelemen. Selain itu, pasien juga mengalami anemia karena berbagai sebab antara lain
kehilangan darah langsung dari cuci darah, tes darah yang rutin, dan penurunan kadar
eritropoietin. Karena zat besi terikat pada hemoglobin, penurunan jumlah sel darah
merah menyebabkan penurunan kadar hemoglobin sehingga menyebabkan penurunan
kadar zat besi. Kadar zat besi yang rendah telah terlibat sebagai penyebab utama RLS
dan secara langsung terkait dengan PGK dan dialisis4.
Faktor lain yang mungkin terkait dengan kondisi ini adalah peningkatan kadar
kalsium serum dan kelainan system saraf tepi. Pasien ESRD mungkin sangat rentan
untuk terkena RLS karena neuropati perifer mempersulit dan tumpang tindih dengan
gambaran RLS4.

2.4.1.4 Gangguan tidur-bangun ritme sirkadian

Melatonin adalah salah satu penanda siklus tidur-bangun sirkadian yang paling
banyak dipelajari. Hormon dihasilkan oleh kelenjar pineal di malam hari, sebuah
fenomena yang disebut onset melatonin cahaya redup/ Dim Light Melatonin Onset
(DLMO). Paparan cahaya terang menekan produksi melatonin. Amplitudo dasar ritme
sirkadian menurun dengan memburuknya fungsi ginjal. Akibatnya, tidak ada lonjakan
melatonin di malam hari pada pasien yang menderita ESRD yang menjalani HD.
Pasien dengan PGK memiliki pola penurunan tekanan darah pada malam hari
yang abnormal. Mereka sering memiliki kemampuan konsentrasi tubulus ginjal yang
buruk sehingga dapat menyebabkan nokturia. Lebih dari 30% pasien yang memiliki
kondisi ini disertai dengan diabetes tipe 2 yang diobati dengan suplementasi melatonin
akan kembali ke ritme sirkadian tekanan darah normal4.

2.4.2 Tatalaksana gangguan tidur pada pasiek PGK

2.4.2.1 Insomnia

27
CBT untuk insomnia (CBTi) bermanfaat bagi penderita HD, Prinsip utama dari
CBTi adalah pengendalian stimulus, pembatasan tidur, dan higiene tidur. Secara klasik,
CBTi dilakukan dalam sesi 6-8 minggu, dimulai dengan evaluasi klinis dan penilaian
dasar menggunakan buku harian tidur, diikuti oleh tiga komponen ini, dengan titrasi
pembatasan tidur secara bertahap. Studi oleh Chen et al mendemonstrasikan keefektifan
CBTi pada pasien dengan ESRD. Selain itu terdapat teknik-teknik lain yang dipelajari
untuk pengobatan insomnia pada pasien dengan PGK termasuk diantaranya adalah
relaksasi, akupresur dan latihan fisik. Pelatihan relaksasi dapat menjadi terapi tambahan
yang membantu dalam mengobati insomnia kronis. Latihan relaksasi akan
merelaksasikan otot secara progresif disertai dengan latihan pernapasan yang berfungsi
untuk menghilangkan nyeri kronis dan insomnia. Pada terapi akupresur, akan ada
penekanan titik-titik tertentu di sepanjang jalur energi ditargetkan, tanpa menggunakan
jarum. Latihan fisik memiliki efek menguntungkan dengan memperlambat penurunan
fungsi ginjal.Selain itu, program latihan aerobik atau resistensi telah terbukti memiliki
efek yang cukup positif pada kualitas tidur pada populasi umum4,2.
Ketika CBT-I gagal atau tidak praktis, agen hipnotik agonis reseptor
benzodiazepine yang terbaru (yang disebut dengan golongan obat-z: zolpidem, zaleplon,
dan zopiclone) dapat digunakan. Obat obatan ini tidak memiliki efek samping yang
signifikan pada perubahan pola tidur, cenderung tidak menghasilkan toleransi dan
jarang dikaitkan dengan insomnia rebound saat di hentikan administrasinya
dibandingkan dengan benzodiazepin atau sebagian besar hipnotik lainnya. Klirens
ketiga obat dan metabolitnya hampir secara eksklusif melibatkan mekanisme non-ginjal.
Tidak ada akumulasi zolpidem dan tidak ada perubahan farmakokinetik obat obatan
golongan ini pada pasien dengan ESRD.
Ramelteon adalah agonis reseptor melatonin dengan indikasi yang disetujui
FDA untuk pengobatan insomnia. Klirensnya tidak melibatkan ginjal dan secara teoritis
mungkin berguna pada pasien PGK dengan insomnia. Namun, belum ada informasi
yang muncul sehubungan dengan penggunaannya dalam populasi ini24
.
2.4.2.2 Disfungsi Muskuloskeletal

28
Baik latihan aerobik dan latihan ketahanan telah terbukti memperbaiki gejala
RLS. Perbaikan dari sleep hygiene juga dianggap memiliki beberapa efek
menguntungkan. Belum ada penelitian terkontrol tentang efek alkohol, nikotin, dan
kafein, tetapi zat ini dianggap memperburuk kondisi. Penelitian kecil telah
menunjukkan bahwa perangkat kompresi pneumatik, akupunktur, dan cahaya
inframerah dekat dapat membantu penderita RLS.
Agonis Dopamine (DAs) umumnya dianggap sebagai pilihan farmakologis
pertama, dan secara bersamaan jugamengatasi gejala PLMS. Meskipun DA adalah
pengobatan awal yang efektif, namun hanya terbukti efektif dalam jangka panjang pada
25% pasien. Agonis reseptor dopamin seperti ropinirole 0,25 mg atau pramipexole
0,125 mg diminum 2 jam sebelum timbulnya gejala biasa. Terapi farmakologis biasanya
disediakan untuk pasien dengan gejala RLS yang terjadi setidaknya dua kali seminggu.
Dosis ditingkatkan setelah beberapa minggu jika pasien masih bergejala. Dosis
maksimum yang disetujui untuk ropinirole adalah 4 mg dan untuk pramipexole adalah
0,75 mg. Pramipexole terutama diekskresikan dalam bentuk aktifnya dalam urin, yang
akan membatasi kegunaannya dalam PGK. Ropinirol juga diekskresikan oleh ginjal,
tetapi hanya setelah dimetabolisme secara ekstensif menjadi turunan yang sebagian
besar tidak aktif. Efek samping yang serius dari obat-obatan ini termasuk augmentasi,
gangguan kontrol impuls dan kantuk di siang hari. Augmentasi terdiri dari
memburuknya gejala dan keterlibatan lengan atau batang tubuh yang tidak ada sebelum
pengobatan. Augmentasi awalnya diobati dengan dosis obat yang di naikkan tetapi
mungkin memerlukan penghentian obat. Agonis dopamin lain seperti Lorotigotine
dapat diberikan sekali sehari sebagai tambahan dan mungkin sangat berguna pada
pasien dengan augmentasi karena kadar obatnya yang konstan.
Pengobatan dengan mengoreksi kekurangan zat besi telah terbukti meningkatkan
perbaikan RLS pada pasien HD. Zat besi harus ditambahkan jika terjadi defisiensi zat
besi. Tingkat feritin diperiksa dan suplementasi zat besi harus dimulai jika kadarnya di
bawah 50 μg / L. Pemeriksaan diag-nostik tambahan untuk kehilangan darah atau
penyebab lain dari kekurangan zat besi harus dilakukan.
Terapi farmakologis lainnya termasuk ligan saluran kalsium alfa-2-delta
(gabapentin, dan pregabalin) dan opioid. Gabapentin, ligan alfa-2-delta, adalah pilihan

29
yang baik untuk pasien polineuropati selain RLS. Secara umum, gabapentin dan
pregabalin tampaknya membantu dalam meningkatkan kualitas tidur pada pasien ESRD
dengan neuropati perifer yang menyakitkan. Namun, dosis kedua obat perlu disesuaikan
ginjal, dan profil efek samping belum dijelaskan secara memadai dalam studi pada
pasien PGK.
Pasien dengan gejala RLS yang terjadi kurang dari dua kali seminggu sering
merespon clonazepam 0,25 mg. Untuk pasien dengan gejala RLS yang terjadi
setidaknya dua kali seminggu, gabapentin juga merupakan pilihan, terutama ketika
gejala RLS ditandai sebagai nyeri atau terkait dengan kemungkinan neuropati.
Penyesuaian dosis untuk gabapentin diperlukan berdasarkan fungsi ginjal.

2.4.2.3 Gangguan pernapasan terkait tidur

Serupa dengan populasi umum, tekanan jalan napas positif berkelanjutan


(CPAP) adalah pengobatan lini pertama pada pasien PGK dengan OSA. Modifikasi
gaya hidup seperti penurunan berat badan, menghindari konsumsi alkohol menjelang
waktu tidur, dan menghindari posisi terlentang selama tidur serta penggunaan alat gigi
atau penggunaan CPAP dapat berfungsi untuk menjaga jalan napas bagian atas terbuka
selama tidur dan koreksi bedah dari obstruksi saluran napas atas, seperti pengangkatan
amandel yang sangat membesar, yang jarang terjadi pada orang dewasa dapat di
lakukan jika terdapat indikasi.
Apnea tidur dapat dikurangi dengan mengubah mode terapi pengganti ginjal
yang digunakan. Meskipun sleep apnea tidak dapat dikurangi dengan diperbaiki dengan
CHD atau dialisis peritoneal, NHD (Nocturnal Hemodialisa), yang memungkinkan
pasien untuk menerima hemodialisis di rumah selama tidur, telah terbukti dapat
mengurangi kejadian apnea tidur. Hasil serupa telah dilaporkan pada populasi CAPD
dengan dialisis peritoneal yang dibantu cycler nokturnal [10]. Hal ini dikaitkan dengan
pembuangan cairan yang lebih efektif dan dampaknya pada saluran napas bagian atas
selama tidur.

30
NHD juga secara agresif menghilangkan lebih banyak toksin uremik daripada
HD konvensional yang dapat berkontribusi pada kualitas tidur yang lebih baik. Studi
yang memeriksa pasien ESRD sebelum dan setelah konversi ke NHD, menemukan
bahwa NHD efektif dalam menurunkan detak jantung dan mengurangi frekuensi apnea
dan hipoksemia pada semua pasien24.

2.4.3 Aspek yang perlu diperhatikan dalam penggunaan benzodiazepine pada


pasien PGK

Mayoritas dari obat psikotropika bersifat larut dalam lipid, mempunyai afinitas
yang tinggi terhadap protein dan tidak diekskresikan oleh ginjal. Eliminasi obat obat ini
kebanyakan via metabolisme oleh hepar dengan biotransformasi menjadi metabolit
tidak aktif yang kemudian akan diekskresikan. Ketersediaan hayati dari jenis obat
obatan ini mungkin akan berkurang pada kondisi gagal ginjal karena absorpsi
gastrointestinal yang berkurang, meskipun hal ini belum dipelajari secara ketat.
Meskipun semua faktor ini menurunkan kadar obat-obatan psikotropika aktif dalam
darah, faktor lain mungkin mempengaruhi keseimbangan ke arah yang berlawanan.
Akibatnya tingginya afinitas obat- obatan psikotropika pada protein plasma, adanya
penurunan kemampuan pengikatan protein seperti pada kondisi gagal ginjal dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi obat. Dengan demikian, dosis obat psikotropika
tertentu dapat mengakibatkan level obat yang lebih tinggi pada pasien dengan gagal
ginjal dibandingkan dengan orang dengan fungsi ginjal normal. Bedasarkan faktor-
faktor ini dalam aturan praktis dari Brater yang mengatakan pengaturan dosis pada
pasien dengan gagal ginjal sama dengan ⅔ dosis dari pasien dengan fungsi ginjal
normal. Tetapi hampir sama pada semua prinsip peresepan, berbagai macam faktor juga
perlu dipertimbangkan dalam menentukan dosis, termasuk massa tubuh, usia, dan
penyakit komorbid lainnya5.
Sebuah pertimbangan umum tambahan pada gagal ginjal adalah bahwa, jika
memungkinkan, tingkat obat harus dipantau secara berkala dan lebih sering daripada
pasien dengan fungsi ginjal normal. Beberapa benzodiazepin memiliki metabolit yang
aktif dan berpotensi menjadi sumber permasalahan berupa akumulasi dari hasil

31
metabolik pada pasien dengan gagal ginjal. Klorazepat dan diazepam diubah menjadi
metabolit aktif N-desmethyldiazepam. Flurazepam diubah menjadi metabolit desalkil
yang juga aktif . Namun demikian, diazepam adalah merupakan psikotropika favorit
dari nefrologis karena level toksisitas yang tinggi. Benzodiazepin yang memiliki
metabolit aktif akan kurang disukai dibanfingkan clonazepam, lorazepam, oxazepam,
atau temazepam, yang semuanya memiliki metabolit tidak aktif
Golongan benzodiazepine juga dianggap menekan imunitas perifer melalui
aktivasi reseptor gamma-amino-butyric-acid tipe A (GABA A reseptor) atau reseptor
benodiazepine perifer (PBRs). Beberapa studi telah menunjukkan bahwa aktivasi dari
GABAA reseptor dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Aktivasi dari reseptor
benzodiazepine Perifer juga dapat mengganggu fungsi makrofag dan neutrofil,
meskipun jalur pensinyalan ini belum terlalu banyak di teliti. Kedua mekanisme dapat
mendasari terjadinya pneumonia terkait benzodiazepin karena benzodiazepine memiliki
afinitas tinggi untuk kedua jenis reseptor.
Obat obatan benzodiazepine dengan waktu paruh yang lama dan / atau metabolit
aktif mungkin memainkan peran penting dalam hubungan antara kejadian pneumonia
dan penggunaan benzodiazepine. Mengingat populasi CKD kita menderita gangguan
fungsi ginjal, dan sebagian besar benzodiazepine diekskresikan melalui ginjal,
benzodiazepine dengan metabolit aktif atau waktu paruh yang lama dapat terakumulasi
di dalam tubuh dan kemudian menyebabkan pneumonia akibat konsentrasi BZD
plasma yang tinggi secara tak terduga.
Sementara benzodiazepine efektif dalam mengobati beberapa gangguan tidur,
kekhawatiran tambahan tentang penggunaannya dalam jangka panjang telah meningkat
termasuk timbulnya ketergantungan, gejala withdrawal, gejala rebound, sedasi di siang
hari, kejadian jatuh dan fraktur ; kekhawatiran ini mungkin lebih besar pada populasi
tertentu dengan metabolisme dan klirens obat yang menurun seperti pada orang tua atau
mereka yang memiliki gangguan ginjal. Hubungan antara penggunaan benzodiazepine
dan cedera telah dilaporkan, baik pada orang tua maupun dalam satu penelitian pada
pasien dialisis Beberapa kelas pengobatan psikotropika telah terbukti meningkatkan
resiko patah tulang, benzodiazepin menjadi salah satunya. Penggunaan Zolpidem juga
baru-baru ini dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang pinggul pada pasien

32
yang lebih tua, dengan risiko yang minimal. mirip dengan benzodiazepin: zolpidem
dikaitkan dengan dua kali lipat risiko patah tulang dibandingkan dengan pasien yang
tidak mendapat obat obatan ini25.
Terlepas dari penggunaan benzodiazepin atau zolpidem, pasien dialisis juga
memiliki peningkatan risiko patah tulang, kemungkinan sebagai konsekuensi dari
gangguan penyakit kronis mereka dan metabolisme tulang serta ketidakstabilan
peredaran darah yang datang dengan pengeluaran cairan secara intermiten. Sehingga
obat obatan ya yang berefek meningkatkan kejadian jatuh mungkin berkontribusi
meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien ini 26.

33
BAB III
Kesimpulan

Gangguan tidur banyak terjadi pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)
khususnya penderita penyakit ginjal stadium akhir (ESRD). Gangguan tidur yang paling
sering terjadi dalam kondisi ini adalah Insomnia, Restless Leg syndrome dan OSA.
Mekanisme yagn mendasari kejadian ini multifactorial dan berhubungan kondisi
fisiologi penderita gagal ginjal sendiri. Adanya penegakan diagnosis yang manajemen
yang benar dapat menurunkan mortalitas pasien PGK dengan gangguan ini. Terapi yang
di gunakan mencakup terapi dari segi farmakologis dan non farmakologis. Terapi
farmakologis yang di gunakan salah satunya adalah benodiazepin. Benzodiazepine
merupakan obat psikotropika golongan sedative-hipnotik. Benzodiazepin merupakan
potensiasi inhibisi neuron yang menggunakan GABA sebagai mediatornya. GABA
(gamma -aminobutyric acid) merupakan inhibitor utama neurotransmiter di susunan
saraf pusat (SSP), melalui neuron - neuron modulasi GABAnergik. Obat ini
menghasilkan efek sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi
kegelisahan dan sebagai muscle relaxant. Beberapa benzodiazepin memiliki metabolit
yang aktif dan berpotensi menjadi sumber permasalahan berupa akumulasi dari hasil
metabolik pada pasien dengan gagal ginjal yang akan menimbulkan efek yagn
berlebihan dari obat ini.

34
Daftar Pustaka
1. Kementrian Kesehartan RI. RISKESDAS 2018. 2018.
2. Pierratos A, Hanly PJ. Sleep disorders over the full range of chronic kidney
disease. In: Blood Purification. 2011.
3. Harris TJ, Nazir R, Khetpal P, Peterson RA, Chava P, Patel SS, et al. Pain, sleep
disturbance and survival in hemodialysis patients. Nephrol Dial Transplant.
2012;27(2).
4. Nigam G, Camacho M, Chang edward T, Riaz M. exploring sleep disorders in
patients with chronic kidney disease. Vol. 10, Nature and Science of Sleep. 2018.
5. Levy NB. Psychopharmacology in patients with renal failure. Int J Psychiatry
Med. 1990;20(4).
6. Santhi M, Mukunthan A. A Detailed Study of Different Stages of Sleep and Its
Disorders-Medical Physics. Vol. 3297, International Journal of Innovative
Research in Science, Engineering and Technology (An ISO. 2007.
7. Vaz MD, Raj TD, Anura KD. Guyton & Hall Textbook of Medical Physiology -
E-Book: A South Asian Edition [Internet]. Elsevier Health Sciences; 2016.
Available from: https://books.google.co.id/books?id=J_HQDwAAQBAJ
8. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Ganong WF, Brooks HL. Ganong’s Review
of Medical Physiology [Internet]. McGraw Hill Education; 2016. (Lange Medical
Book). Available from: https://books.google.co.id/books?id=n74mjwEACAAJ
9. Wickboldt AT, Bowen AF, Kaye AJ, Kaye AM, Bueno FR, Kaye AD. Sleep
physiology, abnormal states, and therapeutic interventions. Vol. 12, Ochsner
Journal. 2012.
10. Patel AK, Reddy V A. Physiology, Sleep Stages. 2020.
11. Carley DW, Farabi SS. Physiology of sleep. Diabetes Spectr. 2016;29(1).
12. Tubbs AS, Dollish HK, Fernandez F, Grandner MA. The basics of sleep
physiology and behavior. In: Sleep and Health. 2019.
13. Amir N. Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksaan. Cermin

35
Dunia Kedokt. 2007;157.
14. Clark CP. Sleep Medicine: Essentials and Review. J Clin Psychiatry.
2010;71(06).
15. Gharib SA. Sleep Medicine: Essentials and Review (Lee-Chiong T Jr.). Respir
Care. 2010;54(6).
16. Inker LA, Astor BC, Fox CH, Isakova T, Lash JP, Peralta CA, et al. KDOQI US
commentary on the 2012 KDIGO clinical practice guideline for the evaluation
and management of CKD. Am J Kidney Dis. 2014;63(5).
17. Murton M, Goff-Leggett D, Bobrowska A, Garcia Sanchez JJ, James G,
Wittbrodt E, et al. Burden of Chronic Kidney Disease by KDIGO Categories of
Glomerular Filtration Rate and Albuminuria: A Systematic Review. Vol. 38,
Advances in Therapy. 2021.
18. Buxeraud J, Faure S. Benzodiazepines. Vol. 58, Actualites Pharmaceutiques.
2019.
19. Ezzat H, Mohab A. Prevalence of sleep disorders among ESRD patients. Ren
Fail. 2015;37(6).
20. Perl J, Unruh ML, Chan CT. Sleep disorders in end-stage renal disease: “Markers
of inadequate dialysis?” Vol. 70, Kidney International. 2006.
21. Knezevic MZ, Djordjevic V V., Jankovic SM, Djordjevic VM. Influence of
dialysis modality and membrane flux on insomnia severity in haemodialysis
patients. Nephrology. 2013;18(11).
22. Gregor Sutcliffe J, De Lecea L. The hypocretins: Excitatory neuromodulatory
peptides for multiple homeostatic systems, including sleep and feeding. Vol. 62,
Journal of Neuroscience Research. 2000.
23. Rayner HC, Parker KP. Orexin as a possible cause of insomnia in dialysis
patients [3] (multiple letters). Vol. 41, American Journal of Kidney Diseases.
2003.
24. Serrano-Navarro I, Mesa-Abad P, Tovar-Muñoz L, Crespo-Montero R. Sleep
disorders in advanced chronic kidney disease patients. Vol. 22, Enfermeria
Nefrologica. 2019.
25. Wang MT, Wang YH, Chang HA, Tsai CL, Yang YS, Lin CW, et al.

36
Benzodiazepine and Z-drug use and risk of pneumonia in patients with chronic
kidney disease: A population-based nested case-control study. PLoS One.
2017;12(7).
26. Winkelmayer WC, Mehta J, Wang PS. Benzodiazepine use and mortality of
incident dialysis patients in the United States. Kidney Int. 2007;72(11).

37

Anda mungkin juga menyukai