Anda di halaman 1dari 1

Kabupaten Sampang

Sejarah kuno Sampang hanya dikenal dari beberapa prasasti dengan Sangkala Chandra. Dalam
tradisi Jawa, adalah suatu representasi visual yang berbunyi hukum empat kata yang masing-
masing menghasilkan angka. Ini memberikan makna tanggal secara penanggalan Saka. [5]
Candra Sangkala pertama ditemukan di situs Sumur Daksan di desa Dalpenang, membaca
angka 757 Saka atau 835 Masehi itu menandakan adanya komunitas kaum Budha yang
dipimpin oleh Resi (guru spiritual).
Candra Sangkala kedua ditemukan di situs Bujuk Nandi, di desa Kamoning Kabupaten
Sampang, yang terbaca sebagai Saka 1301 atau 1379 M. Situs itu menyebutkan adanya sebuah
komunitas yang dipimpin oleh seorang Resi bernama Durga Shiva Mahesasura Mardhini. The
Nandi banteng adalah vahana atau kendaraan Dewa Shiwa.
Candra Sangkala ketiga ditemukan di situs Pangeran Bangsacara di desa Polagan, menandakan
tahun 1383, ketika pembangunan sebuah kuil Buddha dengan ber-relief yang menceritakan
kisah seorang pangeran bernama Bangsacara dan berisi pesan moral dan ajaran agama. Kita
dapat menyimpulkan keberadaan masyarakat Shaivite dan Buddha di kabupaten Sampang
antara tahun 1379 dan 1383.
Candra Sangkala keempat ditemukan di situs Pangeran Santomerto yang menunjukkan tanggal
kematian pangeran Santomerto, paman Praseno sesuai dengan tahun 1574.
Candra Sangkala kelima yang terukir di sayap kiri dari portal utama makam ibu Praseno di
Madegan. Ini melambangkan naga melalui kepala ke ekor dengan panah. Ini melambangkan
tahun 1546 Saka atau 1624 M. Ini adalah tahun dimana Praseno diangkat oleh Sultan
Agung dengan gelar Pangeran Cakraningrat I.
Berangkat dari temuan prasasti dan situs itulah, akhirnya Pemkab Sampang menggelar Seminar
Penentuan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Yang diundang sebagai pembicara antara lain,
peneliti sejarah dari Fakultas Sastra Jurusan Arkeologi Universitas Gajah Mada (UGM)
Jogjakarta. Kesimpulan seminar, situs Sumur Daksan, Buju’ Nandi, Bangsacara, dan Pangeran
Santo Merto dinyatakan tidak bisa dijadikan sebagai referensi. Alasannya, tidak ada bukti atau
referensi kepustakaan otentik yang mendukung.
Khusus prasasti Pangeran Santo Merto, sebenarnya disertai bukti tulisan ahli sejarah asal
Belanda, H. J. De Graff. Tapi, tulisan tersebut dinyatakan tidak representatif dijadikan dasar
penetapan Hari Jadi Kabupaten Sampang. Setelah melalui adu argumentasi dan pengkajian
ilmiah secara mendalam, akhirnya situs Makam Rato Ebuh yang ditetapkan sebagai acuan untuk
menentukan Hari Jadi Kabupaten Sampang.[6]

Anda mungkin juga menyukai