Anda di halaman 1dari 227

KATA PENGANTAR

Badan Penelitian dan Pengembangan & Pendidikan dan


Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
merupakan satuan kerja baru yang lahir setelah semua
Lembaga Peradilan berada di bawah “satu atap” Mahkamah
Agung RI.
Salah satu tugas dan tanggung jawab Badan Litbang Diklat
Kumdil adalah meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
bagi seluruh aparat Peradilan, baik bagi Tenaga Teknis (Hakim,
Panitera dan Jurusita) maupun tenaga non Teknis, termasuk
Pejabat Struktural.
Dalam rangka pelaksanaan tugas tersebut, Badan Litbang
Diklat Kumdil didukung 4 (empat) unit kerja yang terdiri dari :
1. Sekretariat Badan;
2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan
Peradilan;
3. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Peradilan;
4. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan
Kepemimpinan;

Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia dilaksanakan


antara lain melalui berbagai macam Pendidikan dan Pelatihan,
karenanya perlu mengetahui kebutuhan praktek di lapangan
melalui “penelitian” terhadap perkembangan hukum ditengah
masyarakat. Untuk itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Peradilan telah melaksanakan berbagai macam
penelitian yang salah satunya adalah Penelitian mengenai
“Class Action & Citizen Lawsuit”.
Terhadap Penelitian dan Pengkajian tentang Class Action &
Citizen Lawsuit ini, telah dibahas lebih lanjut melalui seminar
terbatas yang hasilnya sebagaimana dapat kita baca dan kaji
dalam buku ini. Apapun penilaian, kritik dan saran dari Pembaca
yang budiman, merupakan suatu yang berharga bagi kami
dalam melangkah ke depan.
Untuk itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih atas
ketulusan dan keikhlasan semua pihak termasuk para
narsumber, peneliti dan panitia pusat maupun daerah, serta
pihak-pihak terkait lainnya mulai dari pengumpulan bahan-bahan
sampai dengan selesainya penelitian dan pengkajian, sehingga
menjadi sebuah “Buku Laporan Penelitian Class Action & Citizen
Lawsuit”
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, bermanfaat
bagi Nusa dan Bangsa, lebih-lebih bagi para penegak hukum
dan keadilan. Insya Allah, jerih payah kita semua akan menjadi
amal sholeh dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, Amin.

Megamendung, 04 Desember 2009


Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan
& Pendidikan dan Pelatihan
Hukum dan Peradilan

H. ANWAR USMAN, SH., MH


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................ iii
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang . ............................................... 1
Pokok Permasalahan . ..................................... 5
Tujuan Penelitian ............................................. 6
Kerangka Konseptual . ..................................... 7
Metode Penelitian ............................................ 8
Ruang Lingkup Penelitian................................. 8

BAB II : PENGERTIAN ASPEK HUKUM CLASS ACTION


A. Gugatan Class Action . .............................. 11
B. Manfaat gugatan perwakilan kelompok
(Class Action)............................................. 13
C. Dasar Hukum Class Action . ...................... 14
D. Persyaratan Gugatan Class Action . .......... 19
E. Mekanisme Pemeriksaan Gugatan
Class Action . ............................................. 31

BAB III : PENGERTIAN ASPEK HUKUM CITIZEN LAWSUIT


Aspek Hukum Citizen Lawsuit . ........................ 49
Prosedur Gugatan Citizen Lawsuit . ................. 56
Dasar Hukum . ................................................. 57
BAB IV : HASIL PENELITIAN CLASS ACTION DAN
CITIZEN LAWSUIT
A. Tabulasi . ................................................... 65
B. Analisa Kuesioner . .................................... 79
C. Hasil Diskusi . ............................................ 82

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan. .............................................. 87
B. Saran. ........................................................ 89

DAFTAR PUSTAKA . .......................................................... 91

LAMPIRAN ......................................................................... 95
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Class Action dan citizen lawsuit serta hak gugat (standing)
adalah isu yang sensitif di masyarakat, namun selalu menjadi
wacana publik yang tidak pernah selesai diperdebatkan. Karena
menyangkut kepentingan masyarakat maupun warga Negara.
Akhir-akhir ini, pro dan kontra terhadap permasalahan gugatan
perwakilan kelompok kembali mengemuka sekaligus memper-
tanyakan alternatif-alternatif solusi yang harus dilakukan oleh
pemerintah guna memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Isu ini menjadi sangat sensitif karena tidak saja
berkaitan dengan permasalahan yuridis semata namun juga
menyangkut permasalahan sosial, ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Perdebatan yang terjadi pun menjadi tidak jelas dan
jauh dari penyelesaian.
Keberadaan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Undang-
undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, sebenarnya
telah memperkenalkan asaz gugatan perwakilan kelompok
secara terbuka sebagai jalan keluar permasalahan ini; Dan
masih banyak undang undang yang terkait dengan gugatan
perwakilan kelompok seperti Undang-undang No. 24 tahun 1992
tentang penataan ruang, Undang-undang No. 27 tahun 2003
tentang panas bumi, Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang
sumber daya air, undang undang No. 31 tahun 2004 tentang
perikanan, semuanya Pada dasarnya merupakan pedoman kata
dari istilah class action dan legal standing yang sering digunakan
dalam praktek peradilan di Negara barat, khususnya di Negara
anglo amerika yang umumnya menganut system common law,
dimana system ini banyak menitik beratkan pada penciptaan
kaidah hukum melalui putusan putusan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep gugatan perwa-
kilan kelompok atau class action dengan berjalannya waktu, juga
diadopsi dan diterima serta dipraktekkan di Negara Negara
continental yang menganut civil law (yaitu system yang menitik
beratkan pada penciptaan hukum melalui aturan perundangan
yang dibuat oleh parlemen) hal ini juga dianut oleh Indonesia.
Dalam beberapa kejadian pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup tertentu, korban pencemaran atau perusakan
lingkungan bisa berjumlah sangat banyak. Sehingga bila
masyarakat korban melakukan gugatan secara individu atau bila
korban pencemaran menggugat secara sendiri-sendiri maka
prosesnya akan sangat lama dan memakan biaya yang besar
akibatnya asaz peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
(constante justitie) seperti yang dituangkan dalam pasal No. 5
ayat (2) undang undang tentang kekuasaan kehakiman tidak
akan tercapai undang undang pengelolaan lingkungan hidup No.
32 tahun 2009 merupakan produk hukum di Indonesia yang
memungkinkan masyarakat korban pencemaran lingkungan
mengajukan gugatan perwakilan (class action), secara bersama
sama dengan diwakili oleh sekelompok kecil orang yang disebut
perwakilan kelas (class representative).
Dengan telah diatur dan diberlakukan PERMA No. 1 tahun
2002 yang merupakan asaz beracara gugatan perwakilan
kelompok (class action) hal tersebut diharapkan menjadi lebih
jelas; Namun dalam praktek pengadilan, di lapangan masih
terdapat penafsiran penafsiran yang rancu terhadap substansi
PERMA dimaksud, diantaranya menjadi fatal dan tidak jelas
justru dikalangan para hakim; Sehingga terjadi disparitas antara
putusan yang satu dengan putusan yang lain. PERMA No. 1
2002 seyogyanya menjadi payung bagi para hakim dalam
mempertimbangkan dan menyelesaikan persoalan persoalan
gugatan class action, sehingga masyarakat dan pencari keadilan
menjadi lebih puas dan pasti dalam mendapatkan keputusan
dari para hakim tentang gugatannya, selain dari pada itu
eksistensi PERMA No 1 tahun 2002 rasanya ke depan perlu
ditinjau kembali apakah akan terus dipertahankan sebagaimana
adanya, atau ke depan perlu penyempurnaan dan perlu
dilakukan upaya-upaya pembaharuan hukum (law and legal
reform).
Gugatan perwakilan kelompok (class action) merupakan kali
ke dua puslitbang hukum dan peradilan dalam penelitian class
action ini; penelitian dengan topic yang sama pernah dilakukan
pada tahun 2002 dan penelitian tersebut telah pula melahirkan
sebuah naskah akademis berbentuk buku yang juga telah
didistribusikan kepada pengadilan-pengadilan yang menjadi
responden penelitian. Hal tersebut tentu saja perlu kajian ulang
yang mendalam mengingat setelah hampir 7 tahun pember-
lakuan PERMA No. 1 tahun 2002 ternyata dari hasil yang
didapat atas putusan hakim tentang gugatan perwakilan
kelompok (class action) masih terdapat banyak perbedaan tafsir,
yang berakibat putusan yang satu dengan putusan yang lain
menjadi bertolak belakang. Hal inilah yang mendorong
puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI menganggap perlu
melakukan kajian ulang dengan melakukan penelitian kembali
terhadap gugatan perwakilan kelompok. Perkembangan
kehidupan sosial dan pemahaman hukum serta kebutuhan
masyarakat atas hukum yang memberikan keseimbangan hak
dan kewajiban, bagi semua warga Negara membuat keberadaan
perma No. 1 tahun 2002 ini, perlu dipertanyakan eksistensinya.
Beberapa responden hakim ada yang beranggapan PERMA ini
hanyalah upaya legalilasi dan toleransi terhadap fenomena
hukum yang berkembang dimasyarakat. Di sisi lain terdapat pula
yang beranggapan PERMA 1 tahun 2002 dalam
pelaksanaannya banyak terjadi penafsiran yang berbeda justru
di kalangan para hakim sendiri, sehingga pemahaman dan
pengetahuan hakim guna tegaknya hukum dan kepastian hukum
perlu dilakukan pemahaman ulang atas hal yang menyangkut
mekanisme gugatan class action maupun citizen lawsuit.
Masyarakat menyadari urgensi keberadaan undang-undang
yang terkait dengan masalah lingkungan, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa keberpihakan dan keperdulian terhadap
masalah lingkungan dari pemerintah terhadap warga Negara
dirasa masih sangat minim. Puslitbang hukum dan peradilan
dalam penelitian kali ini, selain akan mengevaluasi tentang
keberadaan PERMA No. 1 tahun 2002 juga akan berupaya
mendapatkan masukan dan pengalaman serta kesulitan-
kesulitan para hakim dalam memutus perkara/gugatan
perwakilan kelompok (class action) secara lebih luas dan
mendalam. Puslitbang hukum dan peradilan juga akan mengkaji
secara lebih kritis dari segi teori, norma dan tujuan hukum
secara mendalam, sehingga diharap-kan pembaharuan
perundang-undangan (law and legal reform) akan tercapai ,
sekaligus untuk menyiapkan penyusunan naskah akademis
yang mengatur gugatan perwakilan kelompok (class action)
dengan lebih lengkap dan comperhandsive, sehingga pada
akhirnya akan ditemukan penemuan hukum baru
(rechtsvinding), maupun penciptaan hukum (rechtsschepping).
Adapun tentang pengertian prosedur gugatan dengan
menggunakan mekanisme citizen lawsuit, yang merupakan
perwujudan akses individu/perorangan warga Negara untuk
kepentingan keseluruhan warga Negara, atau kepentingan
public dimana setiap warga Negara dapat melakukan gugatan
terhadap tindakan atau bahkan pembiaran (omisi) oleh Negara
terhadap hak-hak warga Negara. Seperti yang kita ketahui
bahwa citizen lawsuit tidak dikenal dalam system civil law yang
dianut dan diterapkan di Indonesia, citizen lawsuit sendiri lahir di
Negara Negara yang menganut system hukum common law,
seperti di amerika serikat, Australia dan Negara lainnya;
walaupun dalam lazimnya gugatan citizen lawsuit diajukan
kepada Negara namun dalam perkembangannya sesama warga
Negara maupun institusi privat yang dianggap telah melanggar
hukum dan kepentingan public dapat digugat, akibat pembiaran
(omisi) oleh Negara.
Subjek hukum penggugat, adalah warga Negara yang
bertindak mengatas namakan warga Negara. Penggugat dalam
hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga Negara
Indonesia. Berbeda dengan class action, penggugat dalam
gugatan citizen lawsuit tidak harus merupakan kelompok warga
Negara yang dirugikan secara langsung oleh Negara, oleh
karena itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil
yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan
gugatan perdata biasa. Selain itu penggugat secara keseluruhan
adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-
pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagai-
mana dalam gugatan class action.
Subjek hukum tergugat, adalah penyelenggara Negara,
mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin
teratas, menteri dan seterusnya sampai kepada penjabat
Negara dibidang yang dianggap telah melakukan kelalaian,
dalam memenuhi hak warga Negaranya. Dalam hal ini pihak
selain penyelenggara Negara boleh dimasukkan ke pihak turut
tergugat, tetapi tergugat utama adalah pengelenggara Negara,
karena inilah bedanya antara citizen lawsuit dengan gugatan
biasa yaitu dimaksudkan untuk melidungi warga Negara dari
kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan
atau pembiaran dari Negara atau otoritas Negara.
Perbuatan melawan hukum yang didalilkan dalam gugatan
adalah kelalaian penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-
hak warga Negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk
kelalaian apa yang telah dilakukan oleh Negara dan hak warga
Negara apa yang gagal dipenuhi oleh penyelenggara Negara.
Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut, sebagaimana gugatan
perdata biasa.
Ada beberapa alasan, dari hasil evaluasi dan pengamatan
puslitbang hukum dan peradilan bahwa pelatihan hakim tentang
citizen lawsuit masih memerlukan gambaran yang lebih jelas
sehingga, pengetahuan hakim untuk membedakan hak gugat
(standing), class action, citizen lawsuit perlu pelatihan berkala,
untuk memecahkan dan memahami perbedaan konseptual
tentang hal tersebut.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri ada beberapa
putusan, yang dari hasil evaluasi puslitbang terdapat kerancuan
dan tumpang tindih antara hak gugat (standing) dengan class
action. Sebagai tindak lanjutnya puslitbang hukum dan
peradilan, menganggap perlu mengambil langkah yang
konstruktif untuk mengatasi hal tersebut.
B. Pokok permasalahan
Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, dapat
diambil beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan PERMA No. 1 tahun 2002 yang
mengatur tentang mekanisme gugatan perwakilan kelompok
(class action) dan urgensi PERMA tersebut sehingga patut
dipertahankan dalam penerapannya di peradilan.
b. Bagaimana efektifitas PERMA no 1 tahun 2002 dalam kurun
waktu 7 tahun keberlakuan PERMA tersebut.
c. Untuk mengetahui pendapat para hakim yang menjadi
responden dalam penelitian ini apakah sudah cukup gugatan
citizen lawsuit dipahami secara kritis dan mendalam
berdasarkan putusan-putusan yang ada.

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah menunjukan eksis-
tensi dan urgensi keberlakuan PERMA No. 1 tahun 2002
dalam mengantisipasi perkara perkara yang terkait
dengan mekanisme gugatat perwakilan kelompok. Di
samping itu, penelitian juga bertujuan untuk mencari
upaya dan solusi yang lebih baik dalam hal tata cara
yang terkait dengan belum adanya perma khusus
tentang citizen lawsuit.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah keberadaan PERMA No. 1 tahun 2002 sudah
cukup memadai memberi pedoman beracara class
action.
a. Untuk mengetahui sejauh mana hakim melak-
sanakan gugatan class action berdasarkan PERMA
No. 1 tahun 2002, apakah sudah cukup memadai
atau perlu penyempurnaan.
b. Apakah diperlukan PERMA untuk gugatan citizen
lawsuit seperti halnya class action berdasarkan pasal
79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang di ubah
dangan Undang-undang No. 5 Tahun 2004. Untuk
mengukur pengetahuan hakim dan pemahaman
hakim di Indonesia tentang gugatan perwakilan
kelompok (class action) dan gugatan citizen lawsuit.

D. Kerangka konseptual
 Pengertian class action menurut Undang-undang No. 32
tahun 2009 adalah hak masyarakat untuk mengajukan
gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya
sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila
mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
 Pengertian class action menurut Undang-undang No. 41
tahun 1999 adalah hak masyarakat untuk mengajukan
gugatan perwakilan kepengadilan atas kerusakan hutan
yang merugikan kehidupan masyarakat akibat
pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan undang-
undang yang berlaku.
 Pengertian class action menurut Undang-undang No. 7
tahun 2004 pasal 90 adalah masyarakat yang dirugikan
akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air
berhak mengajukan gugatan perwakilan kepengadilan.
 Pengertian class action menurut Undang-undang No. 8
tahun 1999 adalah gugatan yang diajukan oleh
sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama yang benar benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum.
 Pengertian class action menurut PERMA No. 1 tahun
2002 adalah sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri
meraka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud.
 Pengertian citizen lawsuit adalah mekanisme bagi warga
negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara
negara atas kelalaian dalam memenuhi hak hak warga
negara.

E. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kepustakaan sebagaimana penelitian yang
dilakukan untuk kajian bidang hukum; Bukan penelitian sosial
oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang
diperoleh melalui studi dokumen walaupun demikian kemung-
kinan wawancara kepada narasumber yang terkait tetap
dilakukan perlu dijelaskan pula bahwa metode analisis data yang
digunakan adalah kualitatif maka tulisan ini pun sebenarnya
semi metode penelitian lapangan artinya data sekunder dan data
primer serta hasil observasi evaluasi dan kwesioner tetap
digunakan.
Penelitian ini digunakan beberapa pendekatan yakni
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)
pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan
kasus (case approach) dan pendekatan presepsional (percep-
tional approach).
Dari sudut bentuknya, penelitian ini adalah penelitian yang
menggabungkan bentuk penelitian evaluatif, diagnostic, dan
preskriptif. Penelitian evaluatif adalah penelitian atas kegiatan
yang telah dilaksanakan penelitian diagnostic adalah penelitian
yang dilakukan guna mengetahui sebab-sebab suatu gejala
lebih lanjut.
Penelitian preskiptif adalah penelitian-penelitian yang
memberi jalan keluar dari suatu masalah. Mula-mula penelitian
ini diarahkan untuk mengevaluasi PERMA No. 1 tahun 2002
dan pengempurnaanya serta untuk menerbitkan PERMA baru
yang terkait dengan gugatan citizen lawsuit.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian tentang class action dan citizen
lawsuit dilaksanakan dilingkungan yurisdiksi pengadilan tinggi
Mataram, Banten, Banjarmasin, Pakanbaru, Denpasar dan
Yogyakarta, yang dilakukan secara acak/random pada
lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama
Pengadilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian
ini diharapkan menghasilkan sebanyak 180 responden hakim,
dimana hakim hakim tersebut berasal dari keempat lingkungan
peradilan dengan menyebarkan kwesioner yang harus di jawab
oleh para hakim, juga dilengkapi dengan diskusi dan
wawancara, penelitian ini dilakukan oleh pusat penelitian dan
pengembangan hukum dan peradilan Mahkamah Agung RI.
yang diprioritaskan kepada para hakim yang di harapkan dapat
menerapkan dan menambah pengetahuan dalam setiap putusan
putusannya.
BAB II
PENGERTIAN ASPEK HUKUM CLASS ACTION

A. Gugatan Class Action


Gugatan class action telah dikenal pertama kali pada
abad ke 18 di Inggris, kemudian meluas penerapannya di
abad ke 19 dinegara-negara lainnya seperti Amerika,
Canada, Australia dan lain lain, yang pada umumnya negara-
negara dengan sistem hukum Common Law, tetapi bagi
Indonesia pemahaman konsep ini masih terbilang baru.
Dalam mengunakan dan menyikapi prosedur gugatan ini,
baik praktisi hukum maupun hakim di pengadilan tidak
semuanya memahami aspek tehnis penerapan prosedurnya.
Pemahaman yang belum memadai ini dikarenakan prosedur
class action belum ada pedoman prosedur acara atau
pedoman tehnis penerapannya, dan umumnya sangat terkait
dengan aspek prosedural yang sangat kompleks. Tidak
adanya undang-undang ataupun peraturan lain yang
mengatur tentang prosedur gugatan Class Action, selain dari
pada PERMA Mahkamah Agung RI No 1 tahun 2002 tentang
“Tata cara penerapan gugatan Perwakilan Kelompok”
Istilah Class Action berasal dari bahasa Inggris, yang dapat
diartikan bahwa “class” adalah sekumpulan orang, benda,
kualitas atau kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri.
Sedangkan “action” dalam bahasa hukum adalah berarti
tuntutan yang diajukan ke pengadilan.1
Pada prinsipnya gugatan class action merupakan suatu cara
untuk memudahkan pencari keadilan untuk mendapatkan
pemulihan hak hukum yang dilanggar melalui jalur keperdataan.
Bahwa sangatlah tidak praktis apabila kasus yang menimbulkan
kerugian terhadap banyak orang, memiliki fakta atau dasar
hukum, serta tergugat yang sama, diajukan secara sendiri-

1 Dani
Saliswijaya, Himpunan Peraturan tentang Class Action, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2004, hal vii
sendiri sehingga menimbulkan ketidak efisienan bagi pihak yang
mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan bagi pihak
pengadilan sendiri. Namun di sisi lain, dalam kondisi-kondisi
tertentu, peraturan perundang-undangan sebaiknya mengutama-
kan kepentingan dan kewenangan suatu badan pemerintah
untuk mengatur perilaku bisnis, misalnya Federal Trade
Commission di Amerika Serikat yang mengatur permasalahan-
permasalahan terkait persaingan usaha. Atas dasar adanya
kewenangan yang dimiliki badan pemerintah tersebut,
pengajuan gugatan perdata, termasuk pengajuan gugatan class
action, menjadi tidak diperkenankan. Lebih lanjut, para
penggugat dalam kasus-kasus di Amerika Serikat telah
seringkali mendapatkan kritik karena menyalahgunakan
penerapan mekanisme class action. Oleh sebab itu, penerapan
mekanisme class action di Indonesia harus dilaksanakan secara
hati-hati.
Sesuai dengan tujuan gugatan class action, yaitu supaya
proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien
(judicial economy) tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus
melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu. Manfaat
ekonomis ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi
juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara
class-action, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk
melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya
melalui mekanisme class action akan lebih murah dari pada
gugatan masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak
sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika
biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan
tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah
putusan-putusan yang berbeda antara majelis hakim yang satu
dengan majelis yang lain.
Dalam PERMA No. 1 tahun 2002, gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Action) didefinisikan sebagai suatu tata cara
atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau
lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang
yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.

B. Manfaat Gugatan Perwakilan Kelompok (Class-Action)


Seperti di negara-negara lain yang telah menerapkan
prosedur gugatan class-action, pada umumnya bertujuan
sama yaitu :
1. Agar supaya proses berpekara lebih ekonomis dan
biaya lebih efisien. Tidaklah ekonomis bagi pengadilan
jika harus melayani gugatan yang sejenis secara satu
persatu. Manfaat ekonomis ini tidak saja dirasakan
oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat, sebab
dengan pengajuan gugatan secara class action,
tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk
melayani gugatan pihak-pihak yang dirugikan. Biaya
pengacara melalui mekanisme class action akan lebih
murah dari pada gugatan masing-masing individu,
yang kadang-kadang tidak sesuai dengan ganti
kerugian yang diterima. ( judicial economy )
2. Mencegah pengulangan proses perkara, dan
mencegah putusan-putusan yang berbeda atau
putusan yang tidak konsisten.
3. Memberikan akses pada keadilan, dan mengurangi
hambatan-hambatan bagi penggugat individual yang
pada umumnya berposisi lebih lemah. (the rights of
groups of people who individually would be without
effective strength to bring their opponents into court)
Apalagi jika biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak
sebanding dengan tuntutan yang diajukan. Melalui
gugatan class action ini, kendala-kendala ini dapat
diatasi dengan cara saling mengabungkan diri
bersama-sama dengan korban atau penderita yang
lain dalam satu gugatan saja, yaitu gugatan kelompok.
4. Merubah sikap pelaku pelanggaran dengan diterap-
kannya prosedur class action berarti memberikan
akses yang lebih luas bagi pencari keadilan untuk
mengajukan gugatan dengan biaya yang lebih efisien,
dan kemudian akan berpeluang untuk menumbuhkan
sikap jera bagi mereka yang berpotensi untuk merugi-
kan kepentingan masyarakat luas. (behaviour modifi-
cation /to punish corporate wrong doing, and to force
corporates to pay for any harm they have caused)

C. Dasar Hukum Yang Mengatur Tentang Gugatan Class


Action.
Acara gugatan class action di Indonesia belum diatur
dalam Hukum Acara Perdata, tetapi pengakuan secara
hukum adanya gugatan class action telah diakui dan diatur
dalam :
1. Pasal 91 Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Linkungan Hidup mengatur
hak masyarakat untuk mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau
untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami
kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup.
2. Pasal 71 Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan.
Ayat 1 Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwa-
kilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke
penegak hukum terhadap kerusakan hutan yang
merugikan kehidupan masyarakat.
Ayat 2 Hak mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terbatas pada tuntutan terhadap
pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Dalam pasal 46 ayat 1 UU No 8 Th 1999 tentang Perlin-
dungan Konsumen mengatur gugatan secara kelompok,
bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat
dilakukan oleh :
a. Seorang komsumen yang dirugikan atau ahliwaris
yang bersangkutan.
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama.
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya mesya-
rakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan
hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya
organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlin-
dungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya.
d. Pemerintah dan atau instansi terkait apabila barang
dan atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan atau
korban yang tidak sedikit.

Disamping ketiga Undang-undang tersebut, pelanggaran


terhadap Undang-undang No. 10 tahun 1997, tentang
Ketenagaan Nuklir dan Undang-undang No. 14 tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah juga berpotensi untuk menimbul-
kan kerugian masyarakat, namun dalam kedua undang-undang
ini, meskipun berpotensi untuk menimbulkan kerugian masya-
rakat, tetapi tidak secara jelas mengatur gugatan class action,
seperti yang ditentukan dalam ketiga Undang-undang diatas.
Dalam ketiga undang-undang tersebut tidak saja
mengatur gugatan kelompok atau class action tetapi juga
mengatur hak gugat atau standing organisasi Lembaga
Swadaya Masyarakat. Gugatan class action dan hak standing
Lembaga Swadaya Masyarakat memiliki perbedaan konsep-
tual. Pengembangan teori penerapan hak gugat LSM ini,
didasarkan pada dua hal yaitu faktor penguasaan sumber
daya alam oleh negara dan faktor perlindungan kepada
kepentingan masyarakat luas.2

2 Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai gugatan class action
saja, tidak membahas legal standing hak gugat lembaga.
Karena hanya dalam undang-undang tersebut yang
mengatur kemungkinan dilakukan gugatan class-action,
timbul pertanyaan apakah pelanggaran-pelanggaran diluar
kelima undang-undang tersebut, tidak dapat diajukan gugatan
melalui perwakilan kelompok? Hal ini menimbulkan berbagai
penafsiran dan perbedaan pendapat diantara para hakim,
karena landasan pengaturan Class Action di Indonesoa
hanyalah Perma No. 1 tahun 1990, sedangkan Perma
hanyalah mengatur tata cara pengajuan gugatan perwakilan
kelompok, tanpa menyebutkan substansi atau jenis perkara
yang dapat diajukan melalui mekanisme gugatan perwakilan
kelompok.
Mengingat penerapan class action berasal dari negara-
negara yang menganut sistem common law, maka kita dapat
menarik manfaat dari mekanisme class action berdasarkan
sistem common law beserta permasalahannya dan menyesuai-
kannya dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Mekanisme gugatan class action dapat diterapkan untuk segala
jenis gugatan sepanjang memenuhi persyaratan mekanisme
gugatan class action. Seperti halnya di Amerika Serikat dan
Canada yang menerapkan persyaratan ketat, class action telah
meliputi kasus-kasus yang bervariasi secara luas seperti :
- Perbuatan melawan hukum meliputi kasus tanggung jawab
produk, misalnya produk alat pacu jantung yang malfungsi,
tranplantasi payudara, hepatitis C dan penularan HIV melalui
sistem bank darah
- Perbuatan melawan hukum massal misalnya kecelakaan
kereta api, polusi air, pelecahan seksual disekolah.
- Kasus-kasus kontrak meliputi class action konsumen
misalnya melawan perusahaan-perusahaan kartu kredit yang
menetapkan bunga secara illegal, penyesatan dalam
pembangunan perumahan, tidak dibayarnya manfaat
ansuransi
- Aksi pemecatan massal yang salah setelah pengambilalihan
perusahaan.
- Berbagai kasus lain seperti sengketa perusahaan waralaba,
dana pensiun, bencana alam, hak atas tanah adat dan hak
cipta. 3
- Karyawan suatu perusahaan yang menderita kerugian
karena praktek-praktek diskriminasi yang tidak adil
(discrimination) seperti perbedaan ras, umur, gender.
- Perkara-perkara yang berkaitan dengan pencemaran
lingkungan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
- Pasien yang mengkomsumsi obat-obatan yang tidak diberi
penjelasan cukup yang memberikan efek samping yang
berbahaya.
- Pedagang dan pembeli yang membeli produk kemahalan
karena praktek-praktek persaingan curang yang dilakukan
perusahaan (antitrust)4
- Investor yang menjadi korban karena perbuatan curang
dalam kaitannya dengan pembelian saham dan securities
lainnya (securities fraud)5

Dapat disimpulkan bahwa class-action di Amerika


beragam dan sangat luas, semua perkara dapat diajukan
secara class-action asal memenuhi berbagai persyaratan-
persyaratan, antara lain mewakili jumlah korban yang banyak,
yang mana tidak efektif jika diajukan secara sendiri-sendiri.
Yang banyak terjadi mula-mula gugatan diajukan oleh
kelompok yang lebih kecil, kemudian bergabung dengan yang
lain dan menjadi kelompok yang lebih besar, karena
mempunyai kesamaan substansi hukum dan kesamaan fakta
diantara anggota kelasnya.
Dalam perkara-perkara yang menyangkut kepentingan
umum biasanya kejaksaan agung (attorney general) atau
pengacara pemerintah yang mengajukan gugatan mewakili
masyarakat umum, tetapi umumnya yang diminta bukan ganti

3 Garry D Watson “Class Action, Canadian Experience” York University Toronto,


tahun 2002 hlm 8
4 Richart.L Marcus - Class Action in the American Legal System, tahun 2000 hlm 4

5 Ibid Richart.L Marcus hlm 5, lihat juga Deborah.R. Hensler


rugi berupa uang yang dapat dibagikan kepada anggota
kelas. Misalnya dalam perkara gugatan class action karena
adanya pelanggaran undang-undang Persaingan Usaha,
kejaksaan agung dapat bertindak untuk melindungi
kepentingan publik. Demikian pula dalam gugatan atas
pelanggaran hukum konsumen, attorney general atas nama
masyarakat dapat melakukan tuntutan hukum terhadap
pengusaha tertentu untuk dibebani ganti kerugian untuk
memperbaiki suatu keadaan6
Di Amerika Serikat tidak semua gugatan yang menyangkut
Persaingan Usaha (Anti Trust Laws) yang merugikan konsumen
dapat diajukan tuntutan ganti rugi oleh konsumen. Seperti tertera
dalam paragraf 5 Federal Trade Commission Act (FTCA),
meskipun konsumen pada hakekatnya dirugikan karena adanya
pelanggaran ketentuan paragraf 5 FTCA tersebut, tetapi tidak
dimungkinkan untuk mengajukan gugatan class action menuntut
ganti rugi kepada pelaku usaha yang merugikan. Demikian pula
dalam Section 3 Robinson-Patman Act yang mengatur larangan
diskriminasi dalam memberikan potongan harga dan penentuan
harga yang berbeda, konsumen yang dirugikan karena
pelanggaran ketentuan ini, juga tidak dapat mengajukan gugatan
ganti rugi, baik dalam gugatan perorangan maupun gugatan
kelompok, karena ketentuan undang-undang ini memang
diperuntukkan untuk melindungi kepentingan publik, sehingga
yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan tersebut, atau tuntutan pidana jika
ada unsur-unsur pidana yang dilanggar hanyalah lembaga yang
ditunjuk yaitu Federal Trade Commission (FTC)7.

6 Ibid Garry D Watson hlm 9


7 Kenneth Freeling, David S Turetsky, Josephin Porter Wiseman dalam Private
Rights of Action Under Antitrust Statutes hlm 2-3. Lihat juga perkara Wisniewski
et al v. Rodale, Inc., 510 F.3d 294, 300-301 (3rd Cir. 2007) (“Wisniewski”), citing
Alexander v. Sandoval, 532 U.S. 275, 290 (2001). “The express provision of one
method of enforcing a substantive rule suggests that Congress intended to preclude
others.”
D. Persyaratan Gugatan Class Action

1. Persyaratan formal surat gugatan class action


Di samping memenuhi persyaratan-persyaratan
formal suatu surat gugatan, sebagaimana diatur dalam
Hukum Acara Perdata yang berlaku, surat gugatan
perwakilan kelompok juga harus memuat hal-hal sebagai
berikut : 8
a. Identitas secara lengkap dan jelas tentang wakil
kelompok;
b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun
tanpa menyebutkan nama anggota kelompok satu
persatu;
c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlu-
kan dalam kaitannya dengan kewajiban melakukan
pemberitahuan;
d. Posita dari seluruh kelompok wakil kelompok maupun
anggota kelompok, baik yang teridentifikasi maupun
yang tidak teridentifikasi, dikemukakan secara jelas
dan terinci;
e. Apabila besarnya tuntutan tidak sama dikarenakan
sifat dan tingkat kerugiannya berbeda antara satu
anggota dengan anggota lainnya, maka dalam satu
gugatan perwakilan dapat dikelompokkan menjadi
berbagai bagian kelompok atau sub kelompok;
f. Tuntutan atau petitum tentang ganti kerugian harus
dikemukakan secara jelas dan terinci memuat usulan
tentang mekanisme atau tata cara pendistribusian
ganti kerugian kepada keseluruhan anggota
kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim
atau panel yang membantu memperlancar pendistri-
busian ganti kerugian.
Dalam Pasal 2 PERMA ditentukan suatu perkara
gugatan hanya dapat diajukan dengan mempergunakan
8 Pasal 3 PERMA No 1 Tahun 2002
prosedur Gugatan Perwakilan Kelompok atau class-
action apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak
sehingga tidaklah praktis dan efisien apabila
pengajuan gugatan dilakukan secara sendiri-sendiri.
b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan
kesamaan dasar hukum yang digunakan yang
bersifat substansial, serta terdapat kesamaan jenis
tuntutan di antara wakil kelompok dengan anggota
kelompoknya.
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan
untuk melindungi kepentingan anggota kelompok
yang diwakilinya.
Hakim menganjurkan kepada wakil kelompok untuk
melakukan penggantian pengacara, jika pengacara
melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan
kewajiban membela dan melindungi kepentingan anggota
kelompok.
Seperti halnya yang ditentukan dalam Pasal 5 ayat
(1) PERMA, pada awal proses pemeriksaan
persidangan, hakim wajib memeriksa dan mempertim-
bangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok sebagai-
mana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 PERMA
diatas. Pada tingkat awal ini hakim tidak perlu
menyinggung mengenai materi gugatan, tetapi meneliti
apakah perkara tersebut tepat untuk diajukan melalui
gugatan kelompok dan apakah persyaratannya telah
dipenuhi.9 Mengenai kreteria dan persyaratan gugatan
kelompok ini, Perma tidak merinci lebih lanjut namun
penulis berpendapat persyaratan-persyaratan inilah yang
harus diperhatikan oleh hakim :

9 Baik di Canada maupun di Amerika serikat dikenal dengan Certification Motion”


atau Proses Sertifikasi, pembuktian bahwa perkara tersebut dapat diterima untuk
diajukan secara class-action atau tidak. Jika ditolak selesai tidak perlu proses
notifikasi
Diskripsi kelompok atau mengelompokan anggota
kelas yang berjumlah banyak tersebut dalam sub
kelompok, atau kelompok-kelompok tertentu, karena
besarnya tuntutan yang tidak sama dikarenakan sifat dan
tingkat kerugiannya berbeda antara satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Dan memerinci siapa-siapa
saja yang termasuk sub-class, serta pembagian masing-
masing. Hal ini yang hampir selalu dilupakan oleh wakil
kelas yang mengajukan gugatan dengan mekanisme
gugatan perwakilan kelompok. Pengelompokan dalam
sub kelompok ini harus dirinci dan di diskripsikan secara
jelas, tidak dapat di diskripsikan secara umum saja
sebagai seluruh konsumen pengguna produk X, tanpa
mengemukakan siapa yang dimaksud dengan konsumen
yang dihubungkan dengan keanggotaan kelompok dalam
perkara yang bersangkutan.10
Meskipun PERMA telah mengatur mengenai pendes-
kripsian kelompok, dalam prakteknya, tidak mudah untuk
mendeskripsikan kelompok, terutama dalam perkara
pelanggaran UU Anti Monopoli dan perkara yang
berkaitan dengan pasar modal, saham atau obligasi.
Namun agar pernilaian tidak bersifat subjektif, perlu
ditetapkan patokan sebagai landasan acuan yaitu : 11
- Perumusannya bukan deskripsi yang kabur (unvague
description).
- Pada prinsipnya deskripsi itu, dapat menghindari
kesulitan dalam mengelola pengadministrasian
anggota kelompok yang bersangkutan.

10 Dalam perkara Cable TV Service, pengacara penggugat Mark F Anderson yang


mengajukan gugatan di negara bagian California, timbul kesulitan dalam
sertifikasinya karena ada pelanggan yang berasal dari negara bagian lain,meskipun
sebenarnya perkara tersebut relatif mudah karena ada kesamaan fakta dan hukum
antara sesama kelas dan nama-nama anggota klas dapat diketahui dari lembar
registrasi. Dalam perkara tersebut proses hearing untuk sertifikasi berlangsung
sampai 8 bulan hanya untuk menentukan apakah perkara tersebut layak untuk
diajukan secara class action.
11 John J. Cound cs – Civil Procedure Cases and Material St Paul Minn West
Publishing yang dikutip M.Yahya Harahap – Hukum Acara Perdata hlm 149.
Tuntutan ganti kerugian harus dikemukakan secara
jelas dan terinci, tentang jumlah ganti rugi yang dituntut,
tidak dapat dikira-kira atau berdasarkan asumsi saja.
Hakim berhak untuk menolak jumlah ganti rugi yang tidak
dirinci. (Biasanya wakil kelas, mengajukan suatu jumlah
kerugian yang fantastis tanpa merinci dari mana
datangnya jumlah tuntutan tersebut).
* Usulan tentang mekanisme atau tata cara
pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan
anggota kelompok, termasuk usulan tentang pem-
bentukan tim atau panel yang nantinya membantu
memperlancar pendistribusian ganti kerugian, adalah
sangat penting, karena jika kemudian gugatan
dikabulkan, jumlah ganti rugi yang telah diperoleh
tidak dapat dibagikan kepada anggota klas yang
berjumlah banyak, karena tidak ditentukan bagai-
mana mekanisme pendistribusiannya.
Disamping PERMA tidak mengatur mekanisme
pendistribusian ganti rugi, juga bagaimana dengan
pembuktian bagi anggota kelas untuk memperoleh ganti
rugi, dan berapa besar ganti rugi yang diperoleh oleh
masing-masing anggota kelas, karena biasanya bukti-
bukti sudah tidak ada lagi. Seperti dalam perkara
gugatan kelompok atas nama konsumen pengguna gas
Elpiji melawan Pertaminan No 550 / Pdt.G / 2000 / PN.
Jkt. Pusat, bukti-bukti pembelian gas Elpiji sudah tidak
ada lagi, padahal konsumen sudah bertahun-tahun
mengunakan bahan bakar gas Elpiji. Dan bagaimana jika
ada sisa ganti rugi yang tidak tersalurkan apakah
dikembalikan kepada tergugat atau diberikan kepada
lembaga-lembaga amal, dan siapa yang paling
memperoleh keuntungan dari gugatan class action,
berapa honor yang dapat diterima oleh wakil kelas atau
advokadnya? Jawaban-jawaban ini semakin menjadikan
gugatan class action menarik untuk dipelajari.
Oleh karena adanya kendala-kendala tersebut, dan
tidak adanya aturan yang mengaturnya, maka sebaiknya
hakim sebelum memasuki acara pemeriksaan persya-
ratan gugatan class action terlebih dahulu memeriksa
persyaratan formal surat gugatan, seperti sudah adakah
penentuan kelompok dan sub kelompok, dan usulan
suatu tim atau panel yang dianggap patut dan
bertanggungjawab untuk mengelola dan mendistri-
busikan dana ganti rugi kepada anggota kelas, jika
seandainya gugatan dikabulkan.
Secara sederhana wakil kelas dituntut untuk
menjelaskan 4 aspek yaitu :
- definisi kelas, siapa wakil maupun angota kelas
- apa yang terjadi
- bilamana kejadiannya, dan
- tuntutan dan dasar hukum yang digunakan

Pasal 5 ayat (3) menentukan bahwa untuk sahnya


gugatan perwakilan kelompok dituangkan dalam suatu
penetapan pengadilan. Namun pasal tersebut tidak
menjelaskan, apakah penetapan itu bersifal final atau
tidak, Hal ini menimbulkan perbedaan penafsiran, karena
pihak yang tidak setuju dengan penetapan hakim
langsung mengajukan banding. Padahal Undang-Undang
No. 20 tahun 1947 menegaskan bahwa yang dapat
dibanding adalah putusan akhir, sedangkan banding
terhadap penetapan atau putusan sela, harus diajukan
bersama-sama dengan putusan akhir.
Dalam prakteknya penetapan sahnya gugatan
perwakilan kelompok, dapat bersifat final, manakala
hakim berpendapat bahwa gugatan yang diajukan
tersebut tidak dapat diterima karena tidak tepat diajukan
melalui gugatan perwakilan kelompok, atau persyaratan
seperti yang ditentukan diatas tidak terpenuhi. Dalam hal
ini karena bersifat final, maka pihak yang berkeberatan
terhadap penetapan tersebut dapat mengajukan banding.
Sebaliknya jika hakim berpendapat gugatan yang
diajukan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam PERMA, penetapan tersebut tidak bersifat final
dan pemeriksaan pokok perkara dapat dilanjutkan,
setelah dilakukan notifikasi kepada anggota
kelompoknya. Banding terhadap penetapan ini, karena
penetapan disini bersifat putusan sela harus diajukan
bersama-sama dengan putusan akhir.

2. Persyaratan gugatan class action yang dapat


diajukan
Untuk menentukan apakah suatu gugatan dapat
diajukan dengan menggunakan prosedur gugatan
perwakilan kelompok/class action atau lebih tepat
diajukan sebagai gugatan perdata biasa, terlebih dahulu
perlu diketahui beberapa persyaratan :
a. Numerousity atau Jumlah anggota kelompok
yang banyak
PERMA tidak menentukan berapa jumlah minimal
anggota kelompok agar gugatan dapat diperiksa
berdasarkan perwakilan kelompok. Hanya mensya-
ratkan bahwa jumlah anggota kelompok sedemikian
banyak sehingga tidaklah praktis dan efisien apabila
pengajuan gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri.12
Pilihan PERMA ini sangat tepat disesuaikan
dengan praktek sehari-hari di Indonesia, tetapi dalam

12 Seperti halnya di Amerika Serikat dalam Rule 23 US Federal Rule of Civil


Procedure, ketentuan jumlah anggota kelompok (numerous persons) sebagai
prasyarat class action, mensyaratkan sejumlah orang banyak yang memiliki
kepentingan yang sama (same interes), menggugat dalam satu gugatan.
Tetapi sebaliknya dalam Part IVA pasal 33C ayat 1 Federal Court of Australia Act
1976 ( yang telah beberapa kali di amandemen dan mulai diperlakukan pada 1992)
masalah numerous persons diatur sebagai 7 or more persons have claims against
the same person, and a proceeding may be commenced by one or more of those
persons as representing some or all of them Diatur dalam pasal 33L, meskipun
disyaratkan minimum 7 orang, jika selama proses perkara berjalan, oleh karena
sesuatu hal jumlah 7 orang tersebut menjadi berkurang, maka hakim dapat
menentukan untuk menghentikan atau melanjutkan proses perkara gugatan
kelompok.
praktek pelaksanaanya, akan menimbulkan ketidak-
pastian hukum antara putusan pengadilan yang satu
dengan yang lain. Dengan tanpa menyebutkan batas
minimum, oleh majelis hakim yang satu sekelompok
orang, sudah dapat diklasifikasikan sebagai cukup
memenuhi syarat untuk diajukan sebagai gugatan
perwakilan kelompok, sedang majelis lain justru
menolaknya. Oleh karena itu sebagai pedoman
hakim dalam menentukan “jumlah anggota kelompok
yang banyak” harus benar-benar memperhatikan
faktor praktis, efisiensi dan efektifitas dari gugatan
yang diajukan.

b. Commonality and Typicality and Similarity13


Persyaratan lain untuk sahnya suatu gugatan
perwakilan kelompok adalah adanya kesamaan
antara wakil kelas (Class representatives) dan
anggota kelasnya (class member) Kesamaan dapat
dari faktanya (Question of Fact) maupun kesamaan
hukum yang dilanggar (question of law). Wakil kelas
dituntut untuk menjelaskan adanya kesamaan
antara wakil kelas dan anggota kelasnya. Kadang-
kadang akan lebih praktis kalau kesamaan
masalah hukum dan fakta diuraikan sendiri-sendiri
dalam gugatan. Dalam menentukan kesamaan
fakta tidak berarti dalam gugatan class-action tidak
diperkenankan adanya perbedaan, Perbedaan dapat
diterima sepanjang perbedaan tersebut bukan
perbedaan yang substansial atau prinsip. Misalnya
jenis dan besarnya kerugian dari masing-masing
anggota kelas dapat berbeda sepanjang sumber
kerugian berasal dari sumber atau penyebab yang
sama dan terjadi dalam kurun waktu yang sama/

13 Moore’s
Federal Practice – Excerpts from Moore’s Federal Practice Chapter 23
Class Action hlm 19- 20
tertentu.14 Perlu pembuktikan adanya keadaan yang
sama, serupa atau saling berkaitan, dan ada kaitan
keadaan yang menimbulkan tuntutan. Mempunyai
persamaan jenis tuntutan, pada umumnya dalam
gugatan perwakilan kelompok, jenis tuntutan yang
dituntut adalah pembayaran ganti kerugian berupa
uang, meskipun tidak menutup ganti kerugian yang
lain.
Bahwa dalam pembuktian numerosity dan
commonality lebih difokuskan pada karakteristik dari
kelas, sedangkan dalam typicallity lebih difokuskan
kepada wakil kelas, yang merupakan bagian dari
kelas. Seperti misalnya dalam kasus “penetapan
harga” (price fixing) perkara pelanggaran Undang-
Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak
Sehat, wakil kelas haruslah pelanggan dari produk
yang diduga melakukan penetapan harga. Untuk
menentukan apakah penggugat wakil kelas “typical”
pengadilan harus mempertimbangkan hal-hal
tersebut dibawah ini :
- Apakah penggugat wakil kelas adalah bagian dari
anggota kelas yang berjumlah banyak yang
diuraikan dalam gugatan.
- Apakah tuntutan yang diajukan berasal dari
peristiwa atau kejadian yang sama dan dalam
kurun waktu yang sama dan berdasarkan pada
keadaan hukum yang sama dengan anggota
kelas yang lain.

14 Adam Babich dalam Comparative Study of Class Action - Tulane Law School
Tahun 2002 menyatakan bahwa di State Louisiana, New Orleans yang banyak
menonjol adalah perkara-perkara gugatan dari wilayah perumahan yang dihuni
oleh orang-orang miskin yang dekat dengan pabrik yang memcemari air sungai
yang dipakai untuk umum, yang menyebabkan kanker. Sudah 4 tahun Pemerintah
Daerah tahu, tetapi tidak bereaksi dan digugat class action. Namun sangat sulit
untuk membuktikan karena kenyataannya tidak semua yang sakit kanker itu adalah
yang minum air yang tercemar tsb, karena ada yang sakit yang disebabakan faktor-
faktor lain seperti rokok dsb.
- Apakah tidak ada konflik kepentingan (anta-
gonistic interests) antara wakil kelas terhadap
anggota kelas lainnya.
Jika persyaratan-persyaratan tersebut, tidak
sesuai dengan landasan tuntutan dari anggota kelas
yang lain, maka persyaratan typically tidak
terpenuhi15
Untuk mempermudah pemahaman adanya
persamaan masalah fakta dan masalah hukum,
penulis berikan contoh dibawah ini dalam perkara
Jacqueline Spicer vs Pacific Dunlop, Teltronics cs 16
Dalam perkara ini, Spicer mengajukan gugatan
sebagai wakil dari orang yang memakai pacemaker
(alat pengatur detak jantung buatan Pasific Dunlop -
yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui operasi) -
dan yang terpaksa menjalani perawatan medis
dikarenakan cacat di pacemaker tersebut. Gugatan
itu menguraikan dengan sangat terperinci masing-
masing kesamaan masalah hukum dan fakta, dan
masing-masing kesamaan diuraikan dalam bagian
tersendiri17. Semua masalah hukum itu berdasarkan
undang-undang Australia yang melindungi hak para
konsumen. Undang-undang tersebut menentukan
bahwa perusahaan mempunyai pertanggung
jawaban mutlak atas kerugian yang dikarenakan
cacat dalam barang yang dijualnya kepada para
konsumen, serta menentukan bahwa pembuatan
iklan yang bersifat curang atau menyesatkan adalah
pelanggaran hukum.

15 A. Paul Victor and Eva W. Cole – US Private Antitrust Treble Damages Class
Action New York hlm 4
16 Justice M. Wilcox, Representative Proceedings in the Federal Court: a Progress
Report (1996 -1997) Australian Bar Review, hlm. 93-94.
17 Kasus Jacqueline Spicer adalah kasus class action yang tepat untuk dijadikan
contoh bagi pengajuan gugatan serupa di Indonesia berdasarkan undang-undang
perlindungan konsumen yang memungkinkan pengajuan gugatan class action.
Kesamaan masalah fakta dan hukum yang
diuraikan dalam gugatan tersebut antara lain :
- Apakah para tergugat melakukan perbuatan yang
menyesatkan atau bertujuan menipu, yang
merupakan pelanggaran Trade Practices Act
(undang-undang yang melindungi hak para
konsumen);
- Apakah pacemaker yang diciptakan, dibuat,
didistribusikan, dan diiklankan oleh para tergugat
itu memang cacat, dan apa sifat cacatnya.
- Apakah tergugat telah membuat uji coba yang
layak untuk menentukan apakah pacemaker itu
aman dipakai;
- Apakah tergugat melaporkan secara tepat hasil
uji coba itukepada pemerintah.
- Apakah tergugat telah membuat peringatan
mengenai resiko pacemaker itu, dan apakah tidak
dibuatnya peringatan merupakan perbuatan yang
lalai (negligence);
- Apakah pacemaker itu aman dipakai untuk fungsi
yang dimaksudkan dan apakah para tergugat
mempunyai pertanggung jawaban mutlak
(menurut Trade Practices Act) kepada orang di
Australia yang dirugikan oleh pacemaker buatan
tergugat;
- Bagaimana cara yang layak untuk menilai dan
memberikan ganti kerugian, serta mengadakan
tindakan pemulihan yang lain seperti mengurangi
resiko dan kerugian yang belum terjadi.
Sebaliknya dalam Kasus Tsang Chi Ming and Ou
Shi Kang vs Ivanna Pty Ltd; Ministrer for Immigration,
Local govermentand Ethnic Affairs,18 Keduanya

18 Ibid
- Justice M. Wilcox Lihat juga Susanti Adi Nugroho – Refleksi Gugatan
Perwakilan Kelompok di Indonesia Penerbit Mahkamah Agung RI hlm 25
adalah imigran asal China sebagai wakil kelas
mengajukan gugatan class action terhadap Ivanna
Pty Ltd, sebuah pelayanan jasa imigrasi untuk
mengurus status imigrasi dari sejumlah warga
imigran China yang berada di Australia. Dasar hukum
adalah misleading dan deceptive conduct yang diatur
dalam Trade Practice Act. Perkara gugatan class
action tersebut ditolak oleh hakim, berdasarkan fakta
yang terjadi bahwa masing-masing anggota kelas
maupun wakil kelas dalam melakukan pembicaraan
dan trasaksinya dengan tergugat Ivanna Pty Ltd
dilakukan secara sendiri-sendiri atau individual. Wakil
kelas dan anggota kelas dalam meminta jasa
tergugat secara lisan tidak tertulis, antara 5 Maret
1992 sampai tahun 1994. Sangat mungkin bahwa
yang dibicarakan masing-masing anggota kelas
maupun wakil kelas berbeda karena perjanjiannya
tidak tertulis. Hakim berpendapat bahwa karena
substansi dasar tuntutan adalah misleading dan
deceptive conduct yang menimbulkan kerugian bagi
seluruh anggota kelas, maka kesepakatan atau janji
secara lisan sulit sebagai dasar pembuktian
kebenaran dalil gugatan. Hakim berpendapat
gugatan perdata biasa lebih tepat.
Penulis berpendapat bahwa pembuktian
Commonality, Typicality dan Similarity ini sangat
rumit, dan kasuistis tergantung jenis perkaranya,
dengan kedua contoh tersebut sedikit banyak dapat
menggambarkan perbedaannya.
c. Kejujuran dan kesungguhan wakil kelompok untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang
diwakilinya.19

Dalam pasal 2 sub c PERMA juga mensyaratkan,


bahwa wakil kelompok harus memiliki kejujuran dan
kesungguhan untuk melindungi kepentingan anggota
kelompok yang diwakilinya. Tetapi Perma tidak memberi
penjelasan apa dan bagaimana sikap wakil kelas yang
pantas dan jujur.
Berbeda dengan Australia, Canada maupun Amerika
Serikat dimana perkara gugatan class action pada
umumnya ditangani oleh pengacara khusus di Indonesia
tidak ada kewajiban seseorang yang berperkara harus
mengunakan jasa pengacara, maka wakil kelompok ini
disamping mempunyai kesamaan fakta atau kesamaan
hukum dengan anggota kelas yang diwakilinya, sebagai
persyaratan suatu gugatan perwakilan, mereka harus
benar-benar orang yang jujur dan pantas, dan tidak
mendahulukan kepentingan pribadinya, serta telah
mempunyai rencana kerja yang baik, disamping cukup
mampu untuk menangulangi biaya-biaya yang timbul dari
gugatan ini. Wakil kelompok yang dianggap tidak cukup
melindungi kepentingan class member atau tidak layak
dapat diganti selama waktu berlangsungnya gugatan.
Dalam pasal 2 sub d PERMA No. 1 tahun 2002,
menentukan hakim dapat menganjurkan kepada wakil
kelompok untuk melakukan penggantian pengacara, jika
pengacara melakukan tindakan-tindakan yang berten-
tangan dengan kewajiban membela dan melindungi
kepentingan anggota kelompoknya. Karena persyaratan
kelayakan ini penting untuk mencegah gugatan yang
diajukan oleh wakil kelompok yang tidak jujur yang
mengeksplotasi class action untuk kepentingan tertentu,
oleh karena itu pasal 2 sub d juga dapat ditafsirkan
bahwa hakim dapat mengganti wakil kelas yang tidak
19 A. Paul V1ictor and Eva W. Cole , opcit hlm 5
memenuhi persyaratan “layak dan pantas”. Jadi pasal
tersebut ditafsirnya atas permintaan anggota kelas,
hakim dapat menganti wakil kelompok yang bertindak
sendiri dan ternyata tidak cukup melindungi kepentingan
anggota kelompoknya atau yang mengatasnamakan
kepentingan masyarakat atau kelompok tertentu, tetapi
sebenarnya mempunyai kepentingan pribadi (conflict of
interest)20
Di Amerika Serikat, persyaratan ini sangat penting.
Bukanlah suatu hal yang tepat untuk menyatakan bahwa
persyaratan ini telah terpenuhi hanya dengan penun-
jukkan penasehat hukum khusus (special attorney) untuk
menangani kasus tersebut. Bahkan, di Amerika Serikat
terdapat mekanisme pembuktian yang memungkinkan
tergugat untuk memeriksa apakah perwakilan kelompok
memiliki kejujuran dan kelayakan untuk menjadi perwa-
kilan kelompok yang bertujuan untuk melindungi
kepentingan kelompok yang mereka wakili.
Dalam hal ini, setiap perwakilan kelompok tunduk
kepada pemeriksaan timbal balik (cross-examination)
melalui proses penyelidikan (deposition) selama proses
sertifikasi berlangsung. Masalah yang ditemui dalam
praktek di Indonesia adalah tidak adanya suatu
mekanisme perlindungan terhadap perwakilan kelompok
yang tidak jujur, misalnya melalui mekanisme penye-
lidikan (deposition), seperti yang diterapkan di Amerika
Serikat.

E. Mekanisme Pemeriksaan Gugatan Class Action


1. Proses awal pemeriksaan persidangan atau Proses
Sertifikasi
Dalam proses awal prosedur gugatan class action
dikenal istilah proses sertifikasi yaitu proses awal untuk

20 Susanti
Adi Nugroho, Refleksi Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia,
Penerbit Mahkamah Agung RI hlm 28-30
menentukan apakah suatu gugatan dapat dilangsungkan
melalui prosedur class action atau tidak. PERMA telah
mengatur sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pada
awal proses pemeriksaan persidangan hakim wajib
memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan
perwakilan kelompok.
Mekanisme sertifikasi yang diterapkan di Amerika
Serikat dilakukan melalui preliminary certification test
yang diterapkan diawal persidangan dan sering kali
dirasa sebagai beban yang berat dikarenakan sangat
menyita bayak waktu dan mengakibatkan proses perkara
menjadi mahal. Proses sertifikasi awal yang bersifat
formal inilah yang menimbulkan citra bahwa proses
sertifikasi merupakan hambatan untuk mendayagunakan
prosedur class action. Dalam prakteknya preliminary
certification test melalui dengar pendapat formal
(hearing), seringkali lebih rumit, mahal dan menyita
waktu, dibandingkan dengan pemeriksaan atau dengar
pendapat tentang substansinya sendiri.
Masalah lain dalam preliminary certification test
melalui hearing ini mensyaratkan seluruh anggota kelas
harus sudah diindentifikasi pada awal proses class
action. Kewajiban indentifikasi pada awal proses
seringkali menjadi mustahil karena bahan-bahan serta
informasi yang diperlukan untuk melakukan indentifikasi
yang akurat masih terdapat pada tergugat.
Di Australia mekanisme sertifikasi ini tidak dikenal.
Dalam mensahkan gugatan class action hakim cukup
bersandar pada pasal 33 C (1) Federal Court Act yaitu
cukup menentukan satu common issue yang substansial,
maka class action dapat dikabulkan.
Bagaimana sebaiknya di Indonesia? Prosedur
gugatan Class Action ini sangat bermanfaat bagi
pengembangan hukum dan keadilan di Indonesia, untuk
menyederhanakan proses dalam mengajukan gugatan
dari kelompok orang yang menderita kerugian yang
sama, dan mempunyai kepentingan yang sama. Oleh
karena itu maka mekanisme prosedurnya perlu
disederhanakan, karena posisi dan kedudukan anggota
masyarakat di Indonesia pada umumnya secara sosial
dan ekonomis masih berada dalam posisi rentan,
sehingga mereka tidak dapat mencegah atau menangkal
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dan
atau penguasa / pemerintah terhadap diri mereka.
Dengan berpedoman manfaat diatas, dan penyesuaian
dengan sistem hukum yang berlaku, serta
mempermudah pemeriksaan, maka sebaiknya hakim
dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

2. Mekanisme proses pemeriksaan awal.


Ada 2 tahap pemeriksaan :
a. Pada awal proses pemeriksaan persidangan, atau
tahap pengakuan class action, hakim wajib
memeriksa dan mempertimbangkan kriteria-kriteria
dan persyaratan surat gugatan perwakilan kelompok
seperti :
- Jumlah anggota kelompok yang banyak.
- Terdapat persamaan fakta dan atau persamaan
hukum yang bersifat substansial dan terdapat
kesamaan jenis tuntutan antara wakil kelompok
dengan anggota kelompok.
- Wakil kelompok memiliki kejujuran dan
kesungguhan dalam melindungi angauta
kelompok yang diwakili.
Jika persyaratan formal surat gugatan tidak
memadai, hakim sebagaimana diatur dalam pasal 5
ayat (2), dapat memberikan penjelasan dan nasihat
kepada para pihak.
Selanjutnya penggugat wakil kelompok atau
pengacara/advokadnya yang harus membuktikan
adanya persamaan fakta atau persamaan hukum
yang bersifat substansial dan terdapat kesamaan
jenis tuntutan diantara wakil kelompok dengan
anggota kelompoknya. Untuk menentukan substan-
sial atau tidaknya persamaan ini, pernilaiannya harus
dilakukan kasus per kasus.
Dalam proses awal ini kepada tergugat harus
diberi 1x kesempatan untuk memberikan tanggapan-
nya (bukan jawaban substansi perkara) Pada
umumnya tanggapan tergugat akan berkisar pada (1)
wakil kelas tidak pantas menjadi wakil kelas, karena
mempunyai benturan kepentingan. (2) gugatan ini
tidak dapat diproses secara class action (3) tidak
mempunyai persamaan baik fakta maupun hukum
antara wakil kelas dan anggota kelas.
Dalam tahap permulaan ini hanya untuk
menentukan apakah digunakannya prosedur gugatan
class action dalam perkara tersebut dapat dikabulkan
atau tidak dikabulkan, sama sekali tidak memeriksa
substansi pokok perkara gugatan penggugat.
Meskipun gugatan class action ini juga termasuk
dalam proses berperkara di Pengadilan, namun
dalam tahap ini belum perlu dilakukan mediasi
sebagaimanan yang ditentukan dalam PERMA No. 1
tahun 2008, karena belum memasuki taraf
pemeriksaan sengketa. Proses Mediasi sebagaimana
diwajibkan dalam PERMA diatas, baru dilakukan
setelah hakim memutuskan bahwa prosedur class
action layak untuk diterapkan dalam kasus aquo, dan
setelah dilakukan notifikasi oleh wakil kelas, pada
tahap awal memasuki taraf pemeriksaan pokok
perkara.
Timbul pertanyaan apakah dalam gugatan
perwakilan kelompok ini juga dimungkinkan adanya
gugatan rekonvensi yang diajukan oleh pihak yang
digugat? Karena dalam hukum acara dikenal adanya
gugatan balik, maka dalam proses jawaban pokok
perkara, pihak tergugat juga dapat mengajukan
gugatan balik. Dan kemungkinan dapat terjadi
gugatan pokok permohonan ganti rugi penggugat /
wakil kelas ditolak, tetapi gugatan rekonvensi
dikabulkan. Jika terjadi demikian siapa yang harus
bertanggungjawab? Hal ini tidak diatur dalam
PERMA, tetapi anggota kelompok tidak dapat
dibebani biaya kontribusi apapun yang timbul dari
adanya gugatan class action tersebut.
Praktek yang berkembang diberbagai negara
hanya wakil kelas yang bertanggungjawab menang-
gung segala biaya, seperti biaya perkara, biaya
notifikasi yang biasanya berjumlah besar apalagi jika
digunakan sarana publikasi berupa advertensi di
berbagai surat kabar, dan pemberitahuan melalui
sarana televisi, dan biaya advokad kalau digunakan
jasa advokad. Dalam praktek perkara gugatan
perdata biasa, biaya perkara untuk mengajukan
gugatan dan biaya-biaya lain yang timbul dari
gugatan tersebut, seperti biaya panggilan saksi, saksi
ahli, sita jaminan jika ada, keseluruhannya ini
ditanggung lebih dahulu oleh pihak penggugat, dan
biaya-biaya ini keseluruhannya akan dibebankan
kepada pihak yang kalah perkara.
Demikian juga dalam perkara gugatan perwakilan
kelompok, karena PERMA tidak mengatur kepada
siapa biaya perkara harus dibebankan, maka kita
dapat mengacu pada gugatan perdata. Biaya
perkara, termasuk biaya pemberitahuan/notifikasi dan
biaya-biaya lainnya akan ditanggung oleh penggugat
/wakil kelompok. Wakil kelompok menang-gung
resiko membayar biaya perkara yang timbul dari
gugatan tersebut, jika gugatan perwakilan kelompok
ditolak oleh hakim. Anggota kelas tidak dapat
dibebani membayar biaya-biaya yang timbul dari
adanya gugatan perwakilan kelompok ini, kecuali
dengan suka rela ikut membantu. Oleh karena itu
pemilihan wakil kelas harus dilakukan secara hati-hati
dan wakil kelas dianggap memiliki bukti-bukti yang
paling kuat. Jika gugatan perwakilan kelompok ini
dikabulkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh
wakil kelas dapat lebih dahulu dipotongkan dengan
ganti kerugian yang diperoleh, sebelum dibagikan
kepada seluruh anggota kelas. Pada umumnya wakil
kelas dalam gugatan kelompok memperoleh ganti
kerugian yang lebih besar dari pada anggota
kelompoknya.21
Sah atau tidaknya gugatan perwakilan kelompok
setelah dipertimbangkan oleh hakim, dituangkan
dalam suatu penetapan pengadilan; atau dalam suatu
putusan hakim;
1) Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan
prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyata-
kan sah dan memenuhi syarat, maka hakim
menerbitkan suatu penetapan, yang mengabul-
kan pengunaan prosedur class action, dan
memerintahkan wakil kelas/advokadnya segera
mengajukan usulan model pemberitahuan /
notifikasi. Usulan notifikasi lebih dahulu
memperoleh persetujuan dari hakim sesuai
dengan kontek gugatannya
2) Apabila hakim memutuskan bahwa penggunaan
prosedur gugatan perwakilan kelompok dinyata-
kan tidak sah atau tidak memenuhi syarat, maka
pertimbangan penolakan tersebut dituangkan
dalam suatu putusan, sehingga pemeriksaan
perkara gugatan tersebut final berakhir tanpa
perlu memeriksa substansi gugatan penggugat.

3. Mekanisme Pemberitahuan / Notifikasi dan


Pernyataan keluar (Opt Out)
Sebelum pemberitahuan diumumkan di media masa,
hakim harus terlebih dahulu menyetujui isi maupun cara
melakukan pemberitahuan. Pengadilan dapat
memerintahkan agar notifikasi dilakukan melalui iklan
surat kabar, radio dan televisi, sesuai dengan kebutuhan

21 Ibid - Susanti Adi Nugroho hlm 73


dan jenis perkaranya, tetapi ini tidak bersifat otomatis.
Dapat dilakukan melalui media cetak dan/atau elektronik,
kantor-kantor pemerintah / kecamatan / kelurahan / desa
kantor pengadilan, atau secara langsung kepada anggota
kelompok yang bersangkutan sepanjang yang dapat
diidentifikasi berdasarkan persetujuan hakim. Cara
pemberitahuan ini berbeda kasus per kasus 22 Yang
terpenting sarana pemberitahuan ini harus mampu
menjangkau seluruh anggota kelompok.
Sesuai ketentuan pasal 7 ayat (2) PERMA No. 1
tahun 2002, pemberitahuan wajib dilakukan oleh
penggugat atau para penggugat sebagai wakil kelompok
kepada anggota kelompok pada tahapan sebagai
berikut :
1) Segera setelah hakim memutuskan bahwa
pengajuan prosedur gugatan perwakilan
kelompok dinyatakan sah;
2) Pada tahap penyelesaian dan pendistribusian
ganti kerugian ketika gugatan dikabulkan.
Notifikasi yang ditentukan dalam PERMA tersebut
lebih sederhana dan lebih fleksibel disesuaikan dengan
kondisi dan situasi di Indonesia, dibandingkan dengan
ketentuan notifikasi yang disyaratkan pada pengadilan
tingkat Federal di Amerika Serikat, yang menentukan
notifikasi disamping ditentukan dalam format tertentu,
dan atas persetujuan dari hakim, juga wajib dilakukan
pada tahap-tahap :
22 Dalam perkara misalnya pihak yang dirugikan adalah kaum nelayan, atau
penduduk desa tertentu, yang letaknya terpencil, sarana publikasi melalui media
cetak akan tidak efektif, karena biasanya mereka tidak media minded, tetapi
publikasi melalui kantor-kantor pemerintah / kecamatan / kelurahan / desa atau
radio, akan lebih afektif. Sebaliknya dalam perkara-perkara pelanggaran UU Anti
Monopoli, atau pelanggaran UU Pasar Modal sarana publikasi yang tepat adalah
melaui surat kabar, dan media elektronik lainnya seperti TV, Internet dll,
sedangkan publikasi di kantor-kantor kelurahan atau kecamatan akan tidak efektif.
a. tahap awal proses gugatan diajukan.
b. jika terjadi penggantian atau permohonan peng-
gantian wakil kelas.
c. tahap pendistribusian ganti kerugian yang
dikabulkan.
d. dalam hal ganti kerugian ditolak

Pada umumnya biaya notifikasi dibebankan kepada


wakil kelas atau pengacara khusus class-action, yang
bersedia menanggung resiko, jika ganti rugi tidak
dikabulkan oleh pengadilan. Pemberitahuan secara
individual (personal notice) kepada anggota kelas tidak
dapat dilakukan, kecuali memenuhi persyaratan praktis
(reasonably practicable) dan tidak mahal (not likely to be
unduly expensive)
Jika gugatan perwakilan kelompok yang diajukan
tersebut tidak menyangkut tuntutan ganti kerugian
berupa uang (monetary damages, financial damages),
hanya mengajukan permintaan deklaratif atau injunction
maka biasanya kewajiban untuk dilakukan notifikasi ini
tidak diperlukan
Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah
mekanisme yang diperlukan untuk memberi kesempatan
bagi anggota kelas untuk menentukan apakah mereka
menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan
putusan dalam perkara tersebut, atau tidak mengingin-
kannya yaitu dengan cara menyatakan keluar (opt out)
dari keanggotaan kelas dalam pemberitahuan tersebut
juga memuat batas waktu anggota kelas untuk keluar
dari keanggotaan (opt out), lengkap dengan tanggal dan
alamat yang harus dituju untuk menyatakan opt out.
Berbagai yurisdiksi di negara-negara dengan sistem
hukum common law, juga mengunakan prosedur opt out
ini, yaitu prosedur dimana anggota kelas yang telah
didefinisikan secara umum dalam gugatan, diberitahukan
melalui media masa (public notices). Pihak-pihak yang
termasuk dalam definisi umum tersebut diberi
kesempatan dalam jangka waktu tertentu untuk
menyatakan keluar (tidak mau ikut dalam kasus class
action tersebut), sehingga putusan pengadilan tidak
mengikat dirinya. Pihak yang telah menyatakan dirinya
keluar dari keanggotaan gugatan perwakilan kelompok,
secara hukum tidak lagi terikat dengan keputusan atas
gugatan perwakilan kelompok.
Pemberitahuan atau notifikasi harus memuat hal-hal
sebagai berikut : 23
- Nomor gugatan perkara dan hakim yang
menyidangkan serta memerintahkan dilakukan
pemberitahuan;
- Identitas penggugat atau para penggugat sebagai
wakil kelompok serta pihak tergugat atau para
tergugat;
- Penjelasan singkat tentang kasus posisi;
- Penjelasan tentang pendefinisian kelompok;
- Penjelasan dari implikasi keturut sertaan sebagai
anggota kelompok;
- Penjelasan tentang kemungkinan anggota
kelompok yang termasuk dalam definisi
kelompok untuk keluar dari keanggotaan
kelompok (opt out);
- Penjelasan tentang waktu (bulan, tanggal, jam)
pemberitahuan pernyataan keluar (opt out) dapat
diajukan ke pengadilan;
- Penjelasan tentang alamat yang ditujukan untuk
mengajukan pernyataan keluar (opt out);
- Apabila dibutuhkan oleh anggota kelompok
tentang siapa dan tempat yang tersedia bagi
penyediaan informasi tambahan;

23 Pasal 7 sub 4 Perma No 1 tahun 2002, dan contoh notifikasi dapat dilihat Refleksi
Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia, terbitan Mahkamah Agung
hal 89.
- Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota
kelompok
- Penjelasan tentang jumlah ganti kerugian yang
akan diajukan.
Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil
kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota
kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
hakim diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari
keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir
sebagaimana format yang telah ditentukan.24
Seperti halnya di Amerika Serikat dan Australia,
sebelum pemberitahuan diumumkan di media masa,
pengadilan/hakim harus terlebih dahulu menyetujui isi
maupun cara melakukan pemberitahuan. Di yurisdiksi
pengadilan tingkat Federal di Australia pemberitahuan
untuk melakukan opt out ditentukan dalam format
tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 33 X dan Order
73, rule 6 25
Pasal 33 X dan pasal 33 Y (4) dan (5) Federal Court
of Australia Act, prosedur notifikasi diatur secara rinci
sebagai berikut :
1. Pemberitahuan (notice) bukan merupakan kewajiban
jika tuntutan tidak dalam bentuk ganti kerugian uang
(financial damages)
2. Pengadilan dapat meminta agar pemberitahuan
dilakukan melalui iklan di media masa, siaran radio
atau televisi atau siaran lainnya (terbuka berbagai
pilihan mekanisme pemberitahuan)
3. Pemberitahuan secara individual (personal notice)
kepada anggota kelas tidak dapat dilakukan, kecuali
memenuhi persyaratan praktis (reasonably

24 Ibid
contoh formulir dan format lihat Mahkamah Agung - Praktek Gugatan
Perwakilan Kelompok di Indonesia
25 Lihat
lampiran contoh notifikasi dan format pemberitahuan dalam buku Proses
pengajuan gugatan kelompok, terbitan Mahkamah Agung RI, hal 91
practicable) dan tidak mahal (not likely to be unduly
expensive )

4. Putusan Hakim dan Ganti Kerugian


Dalam hal gugatan ganti rugi dikabulkan, hakim wajib
memutuskan jumlah ganti rugi secara rinci, penentuan
kelompok dan/atau sub kelompok yang berhak,
mekanisme pendistribusian ganti rugi dan langkah-
langkah yang wajib di tempuh oleh wakil kelompok dalam
proses penetapan dan pendistribusian seperti halnya
kewajiban melakukan pemberitahuan atau notifikasi.
Pada tingkat pembagian ganti kerugian akan dilakukan
pemberitahuan lagi kepada anggota kelas, dan anggota
kelas dapat mengambil ganti kerugian yang diterima,
dengan membuktikan bahwa dirinya juga sebagai
korban.
Jadi sesuai ketentuan Pasal 9 PERMA, hakim wajib
memutuskan :
a Jumlah ganti rugi secara rinci.
b Penentuan kelompok dan/atau sub kelompok
yang berhak.
c Mekanisme pendistribusian ganti rugi.
d Kewajiban wakil kelas untuk melakukan pemberi-
tahuan atau notifikasi.
Perma tidak menentukan jenis-jenis gantirugi selain
dari pada ganti rugi kepada anggota kelas secara
individu yang mengalami kerugian. Sedangkan di
Amerika Serikat gantirugi dapat meliputi : 26
a. Ganti kerugian secara individual terhadap korban
atau yang mengalami kerugian/penderitaan
b. Ganti kerugian untuk kepentingan komu-
nitas/kolektif yang terkena dampak kerusakan

26 Elisabeth Cabrasar dan Peter Hacker – Class Action - California State’s Report
2002
atau ganti kerugian untuk biaya pemulihan
lingkungan.
c. Ganti kerugian untuk individu atau komunitas
yang diperkirakan akan mengalami kerugian
diwaktu yang akan datang. Kerugian dimaksud
belum terlihat pada saat kini
d. Ganti kerugian untuk generasi yang akan datang
( future generation )
Untuk keadaan di Indonesia taraf penyelesaian ganti
rugi ini, akan menimbulkan kesulitan, karena para pihak
umumnya enggan untuk berdamai dan perkara berlanjut
sampai putusan kasasi. Sedangkan pelaksanaan
eksekusi suatu putusan adalah wewenang dari Ketua
Pengadilan Negeri, yang tidak selalu juga sebagai hakim
yang menyidangkan perkara tersebut. Dan bagaimana
membagikan ganti rugi kepada anggota kelompok yang
berjumlah banyak dan bukti-bukti apa yang harus
diajukan. Oleh karena itu usulan pembentukan suatu tim
atau panel sangat membantu, jika dimohonkan dalam
petitum gugatan.

5. Duplikasi gugatan perwakilan kelompok /


Multidistrict Litigation
Kemungkinan dapat terjadi bahwa gugatan
perwakilan kelompok diajukan di beberapa pengadilan
negeri oleh wakil kelas yang berbeda yang mengatas
namakan anggota kelas tertentu yang sama. Duplikasi
gugatan perwakilan kelompok ini, di Amerika Serikat
telah diatur secara khusus. Congress pada tahun 1968
telah menerbitkan peraturan ”Judicial Panel on
Multidistrict Litigation” atau umum lebih dikenal sebagai
”Panel”. Terbitnya peraturan tersebut lebih dipacu karena
adanya kebutuhan bahwa pada saat itu muncul kurang
lebih 2000 gugatan class action atas dugaan
pelanggaran Antitrust (price-fixing), di 35 Pengadilan
Negeri di berbagai wilayah di Amerika, melawan
perusahaan-perusahaan elektronik. 27
Peraturan tersebut menyatakan bahwa dalam hal
terjadi gugatan yang melibatkan banyak orang dengan
permasalahan yang sama dibeberapa pengadilan negeri,
gugatan tersebut dapat di tranfer ke pengadilan negeri
tertentu untuk dilakukan konsolidasi dan koordinasi pada
awal pemeriksaan. Penyerahan dilakukan oleh ”Judicial
Panel on Multidistrict Litigation”. Dalam menentukan
pengadilan mana yang ditunjuk, ”Panel” akan
memperhatikan kepentingan, kemudahan para pihak,
saksi-saksi dan lain-lain yang bersifat efisiensi. Semua
gugatan-gugatan, oleh ”panel” akan di serahkan pada
pengadilan yang ditunjuk sebelum diputuskan pre trial
proceedings.28
Di Australia nampaknya tidak diatur secara khusus
namun dalam praktek hakim akan melakukan tindakan
sebagai berikut:29
a. Memerintahkan kepada penggugat untuk mela-
kukan koordinasi atau konsolidasi atau mela-
kukan penggabungan menjadi satu gugatan
perwakilan kelompok atau.
b. Mendelegasian gugatan kepada satu kesatuan
yurisdiksi pengadilan tertentu atau.
c. Melakukan penilaian tentang kualitas dan keca-
kapan atau kapabilitas dan kredibilitas wakil
kelompok dan kuasanya untuk menentukan pihak
mana yang lebih berhak mengajukan gugatan
perwakilan kelompok.
Mengenai adanya gugatan perwakilan kelompok
yang sama yang diajukan di pengadilan negeri yang

27 Gregory Hansel, Futures Extreme Litigation, An Interview with Judge Wim Terrell
Hodges, Chairmant of the Judicial Panel on Multydistrict Litigation 19
Me.B.J.16.16 (2004), yang disadur oleh A. Paul Victor and Eva W. Cole hlm 37
28 Ibid Gregory Hansel hlm 38
29 Justice M. Wilcox, opcit
berbeda, PERMA tidak mengaturnya, tetapi hal tersebut
sebenarnya sulit terjadi di Indonesia, karena proses
beracara kita mengacu pada HIR atau Rbg dimana
gugatan diajukan antara lain ditempat tinggal /domicili
tergugat atau salah satu dari tergugat jika tergugat lebih
dari satu. Namun jika terjadi duplikasi gugatan, mengenai
masalah yang sama, terhadap tergugat yang sama, yang
memiliki wilayah usaha yang luas, sehingga gugatan
yang sama diajukan di pengadilan negeri yang berbeda
oleh wakil klas yang berbeda, Penulis berpendapat
bahwa tergugat dapat memohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri, agar gugatan perwakilan tersebut
digabungkan. Atas permintaan tersebut Ketua
Pengadilan Negeri wajib meneruskan kepada Mahkamah
Agung untuk ditunjuk pengadilan negeri mana yang
ditetapkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara
tersebut, dengan tembusan kepada pengadilan negeri
lain yang juga memeriksa perkara yang sama. Dalam hal
ini, selain mengajukan permohonan penggabungan class
action kepada ketua pengadilan negeri yang terkait,
tergugat juga dapat mengajukan permohonan tersebut
secara langsung kepada Mahkamah Agung.
Sebagaimana tujuan dan manfaat gugatan class
action, agar supaya proses berperkara lebih ekonomis
dan biaya lebih efisien. Manfaat ekonomis ini, tidak saja
dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat,
sebab dengan pengajuan gugatan terhadap tergugat
yang sama, mengenai hal yang sama, diberbagai tempat
yang berbeda, adalah tidak efektif dan tidaklah adil, jika
tergugat harus berkali-kali melayani gugatan pihak-pihak
atau kelompok yang sama mengenai masalah yang
sama. Pemeriksaan oleh pengadilan yang berbeda, juga
dikawatirkan dapat berakibat putusan yang berbeda
Proses acara yang demikian bukanlah hal yang baru
bagi pengadilan, karena dalam perkara keberatan
terhadap putusan KPPU yang sama yang diajukan oleh
pelaku usaha di beberapa pengadilan yang berbeda,
KPPU berdasarkan Perma No 3 tahun 2005 dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung
untuk menunjuk salah satu pengadilan negeri yang juga
menerima keberatan dari pelaku usaha. Dan pengadlan
negeri yang menerima tembusan permohonan
penggabungan harus menghentikan pemeriksaan dan
menunggu penunjukan dari Mahkamah Agung.
Pengadilan yang menerima penunjukan dari Mahkamah
Agung yang akan meneruskan pemeriksan gugatan class
action yang diajukan, sedangkan pengadilan negeri yang
tidak ditujuk menyerahkan berkas perkara kepada
pengadilan yang ditunjuk.

6. Perjanjian Kesepakatan Perdamaian (Settlement


Agreement)
Dalam praktek negara-negara dengan common law
system, apabila aspek pertanggung jawabannya (liability)
telah berhasil dibuktikan oleh penggugat, maka biasanya
tergugat menawarkan bentuk dan jumlah kesepakatan,
dan kemudian terjadilah perundingan perdamaian antara
penggugat dan tergugat. Apabila tercapai kesepakatan,
kesepakatan tersebut dituangkan dalam perjanjian
kesepakatan perdamaian. Penggugat dan Tergugat
sendiri yang melakukan penafsiran jenis ganti kerugian
dan mekanisme pelaksanaanya. Sebagai perlindungan
bagi anggota kelas, terlebih dahulu hakim harus
memberikan persetujuan terhadap setiap usulan
kesepakatan penyelesaian perdamaian yang diajukan.
Praktek yang sering terjadi, tergugat menawarkan
usulan kesepakatan, walaupun belum sampai pada
pembuktian terhadap masalah pertanggung jawabannya
(liability). Hal ini dapat terjadi karena tergugat menyadari
bahwa bukti-bukti yang dimiliki penggugat sangat kuat,
sehingga untuk menghemat waktu dan biaya, tergugat
tidak ingin memperpanjang perkaranya, dan mengajukan
penawaran kesepakatan perdamaian, tanpa harus
menunggu proses pemeriksaan selesai. Baik di Australia
maupun di Amerika Serikat sebagian besar perkara
gugatan class action selesai dengan settlement
agreement ini.30
Untuk kondisi Indonesia dengan mengacu pada pasal
130 dan 131 HIR, dan Perma No 1 Tahun 2008, yang
mewajibkan hakim untuk mendamaikan para pihak
diawal persidangan, maka sebaiknya setelah penetapan
prosedur gugatan perwakilan kelompik dikabulkan,
sebelum dimulainya proses pemeriksaan pokok perkara,
hakim juga mendorong para pihak untuk menyelesaikan
perkaranya melalui mediasi/perdamaian. Seperti halnya
dinegara-negara dengan common law system, usulan
penyelesaian perdamaian yang diajukan oleh para pihak,
seyogianya mendapat persetujuan dari hakim dahulu,
demi untuk melindungi anggota kelas yang pada
umumnya tidak hadir(penggugat absentee).
Jika perdamaian tidak tercapai, maka pemeriksaan
pokok perkara diteruskan dengan proses acara seperti
dalam proses gugatan biasa, sampai tercapainya suatu
keputusan baik gugatan di kabulkan maupun gugatan
ditolak.

7. Pendistribusian Ganti Kerugian


Tahapan ini merupakan tahap terakhir dari proses
prosedur gugatan perwakilan kelompok setelah tahapan-
tahapan lainnya seperti yang dikemukakan diatas dilalui
yaitu :
Ganti kerugian dapat diberikan kepada anggota
kelas, atau sub kelas setelah dilakukan pemberitahuan
atau notifikasi. Dan anggota kelas atau sub kelas dapat
mengambil ganti rugi yang diterima dengan membuktikan
bahwa dirinya juga sebagai korban/penderita.

30 Elisabeth Cabrasar dan Peter Hacker menyatakan bahwa di Amerika Serikat 95%
gugatan class-action yang diajukan berachir dengan settlement . Dalam settlement
agreement ini masih memerlukan persetujuan dari hakim, untuk mengawasi apakah
perdamaian yang dicapai adil bagi kedua belah pihak.
Jika gugatan dikabulkan, putusan hakim harus
memuat jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan
kelompok atau sub kelompok yang berhak menerima
ganti rugi, dan mekanisme pendistribusian ganti kerugian
dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil
kelompok dalam proses pendistribusian, termasuk
penunjukan tim/panel khusus yang terdiri dari pihak
penggugat, tergugat dan pengadilan, atau pihak lain yang
dianggap patut, yang bertanggung jawab mengelola dan
mendistribusikan dana ganti kerugian kepada anggota
kelas.
Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini
hanya bersifat praktis administratif saja, tetapi
persoalannya tidak dapat dianggap ringan karena
menyangkut soal dana atau uang yang cukup besar dan
dapat memicu perpecahan apabila tidak diawasi dan
dikelola dengan baik.
BAB III
PENGERTIAN ASPEK HUKUM CITIZEN LAWSUIT

Prosedur gugatan dengan menggunakan mekanisme Citizen


Lawsuit adalah perwujudan akses individul / orang perorangan
warga negara untuk kepentingan keseluruhan warga negara
atau kepentingan publik, dimana setiap warga negara dapat
melakukan gugatan terhadap tindakan atau bahkan pembiaran
(omisi) oleh Negara terhadap hak-hak warga negara. Riilnya
misalnya ada pelanggaran hak (asasi/hukum) atau pelanggaran
hukum oleh negara dimana si penggugat tidak harus merupakan
pihak yang mengalami kerugiaan riil atau langsung, termasuk
untuk kepentingan alam & lingkungan hidup (natural &
environmental issues) dengan mengajukan gugatan di
Pengadilan, guna menuntut agar Penyelenggara Negara
melakukan penegakan hukum yang diwajibkan kepadanya atau
untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi.
Meskipun perkara gugatan dengan menggunakan
mekanisme Citizen Lawsuit telah beberapa kali muncul di
pengadilan Indonesia dan diantaranya telah diterima hak
gugatnya (standing to sue) serta telah ada yang dikabulkan oleh
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, , bahkan sudah
ada yang diputus di tingkat kasasi, hal ini adalah merupakan
suatu pertanda bahwa Gugatan Citizen Lawsuit telah hadir dan
mewarnai sistem peradilan Indonesia sebagai sebuah living law.
Namun karena belum adanya pedoman dan dasar hukum
berupa undang-undang atau peraturan pelaksanaannya untuk
prosedur pemeriksaan gugatan Citizen Lawsuit maka
selayaknya segera dibuat regulasi atau peraturan perundang-
undangan mengenai prosedur atau hukum acara Citizen
Lawsuit.

A. Aspek Hukum Citizen Lawsuit


Citizen Lawsuit atau Citizen Suit sebenarnya tidak
dikenal dalam sistem hukum Civil Law sebagaimana yang
diterapkan di Indonesia. Mungkin padanan yang pas dalam
sistem hukum Civil Law adalah Actio Popularis.
Citizen Lawsuit sendiri lahir di negara-negara yang
menganut sistem hukum Common Law, dan dalam
sejarahnya Citizen Lawsuit pertama kali diajukan terhadap
permasalahan lingkungan. Namun pada perkembangannya,
Citizen Lawsuit tidak lagi hanya diajukan dalam perkara
lingkungan hidup, tetapi pada semua bidang dimana negara
dianggap melakukan kelalaian dalam memenuhi hak warga
negaranya.
Sebagai suatu hak gugat warga negara, Citizen Lawsuit
banyak dikenal dalam sistem hukum common law seperti
misalnya di Amerika Serikat, India dan Australia, khususnya
dalam hukum lingkungan. Di Amerika Serikat hak gugat ini
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1970 dalam Clean
Air Act (pasal 304). Selain itu hak gugat ini juga dapat
ditemui pada beberapa undang-undang lainnya, antara lain
dalam Clean Water Act (pasal 505), Comprehensive
Environmental Response Compensation and Liability Act
(pasal 310), Resource Conservation and Recovery Act (pasal
7002).31 Selain itu juga terdapat dalam Surface Mining
Control and Reclamation Act of 1977, Endangered Species
Act of 1973 dan Emergency Planning and Community Right
To Know Act of 1986- SARA Title III.
Walaupun pada lajimnya gugatan Citizen Lawsuit
diajukan kepada Negara, tetapi dalam perkembanganya bisa
ditujukan terhadap sesama warganegara maupun institusi
privat yang diangap telah melanggar hukum dan kepentingan
publik, dimana disisi lain hal tersebut dilakukan pembiaran
(omisi) oleh Negara. Sebagaimana tercantum dalam
beberapa sumber berikut ini :

31
Indro Sugianto, Hak Gugat Warga Negara (Citizen law suit) Terhadap Negara –
Kajian Putusan No. 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pusat, Majalah Dictum-Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan, edisi 2, 2004, hal. 34.
In the U.S., a citizen suit is a lawsuit by a private citizen to
enforce a statute.32
Citizen suits come in three forms.
 First, a private citizen can bring a lawsuit against a
citizen, corporation, or government body for engaging in
conduct prohibited by the statute. For example, a citizen
can sue a corporation under the Clean Water Act for
illegally polluting a waterway.
 Second, a private citizen can bring a lawsuit against a
government body for failing to perform a nondiscretionary
duty. For example, a private citizen could sue the
Environmental Protection Agency for failing to
promulgate regulations that the Clean Water Act required
it to promulgate.
 In a third, less common form, citizens may sue for an
injunction to abate a potential imminent and substantial
endangerment involving generation, disposal or handling
of waste, regardless of whether or not the defendant's
conduct violates a statutory prohibition.
This third type of citizen suit is analogous to the common
law tort of public nuisance.33
Penggugat tentunya selalu mengatas namakan
kepentingan publik tapi uniknya karena klaim tersebut
sifatnya materiil sehingga penggugat tidak harus
mendapatkan surat kuasa dari warga negara yang lain
(publik) hal ini mirip dengan legal standing yang dimiliki

32
Citizen Suits: The Teeth in Public Participation, 25 Envtl. L. Rep. (Envtl. L. Inst.) 10141
(Mar. 1995), http://www.tulane.edu/~telc/assets/articles/Citz%20Suits%20Teeth-
ELR_95.pdf ; Jeffrey G. Miller & Environmental Law Inst., Citizen Suits: Private
Enforcement of Federal Pollution Control Laws (1987)
33
Middlesex City Board of Chosen Freeholders v. New Jersey, 645 F. Supp. 715, 721-
22(D.N.J. 1986); see also RCRA Imminent Hazard Authority: A Powerful Tool for
Businesses, Governments, and Citizen Enforcers, 24 Envtl. L. Rep. (Envtl. L.
Inst.) 10122 (March 1994),
http://www.tulane.edu/~telc/assets/articles/RCRA%20Haz%20ELR_94.pdf
LSM / Organisasi Lingkungan Hidup, 34 yang mengatas-
namakan kepentingan obyek alam dan lingkungan hidup
yang secara natural tidak bisa memperjuangkan
kepentinganya sendiri.
Persoalannya ketika hak gugat tersebut diakui,
tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar suatu
gugatan Citizen Lawsuit tersebut dapat diterima oleh
pengadilan, untuk ini tentunya perlu dilakukan proses
khusus notifikasi semacam proses somasi, dimana
dalam bentuk statemen dari penggugat kepada tergugat,
yang sudah berisi tentang dasar pelanggaran dan
tuntutan spesifik yang akan dimintakan.
Persoalan lain mengenai tuntutan, masih agak
resistance karena tuntutan perdata adalah lajimnya
terutama tuntutan materil akan tetapi di sisi lain
penggugatnya bukan pihak yang dirugikan langsung, hal
ini misalnya bisa dianalogikan dengan legal standing
organisasi lingkungan hidup, dimana penggugat “hanya
boleh” meminta tuntutan perbuatan tertentu, misalnya
berupa rehabilitasi lingkungan untuk obyek alam dan
lingkungan hidup yang diwakilinya.
Di Amerika Serikat awal mula munculnya pengakuan
gugatan dengan prosedur Citizen Lawsuit adalah juga
dari pengajuan perkara ke Pengadilan, kemudian dimuat
dalam peraturan perundangan pertama kali pada tahun
1970 dalam Clean Air Act (pasal 304), juga dapat
ditemukan pada undang-undang lainnya antara lain
Clean Water Act (pasal 505), Comprehenship
Environmental Response Compensation and Liability Act
(pasal 310), Resource Conservation and Recovery Act
(pasal 7002).35 Yang menjamin secara hukum bahwa
setiap orang dapat menuntut pemerintah di Pengadilan
untuk menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh

34
baca: pasal 38 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
35
Mas Achmad Santosa, “Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, ICEL, Jakarta, 1997,
h.10.
undang-undang, bahkan setiap orang juga dapat
bertindak sebagai Penuntut Umum untuk mengajukan
tuntutan pidana lingkungan (environmental offence)
dalam bentuk tuntutan pidana denda, dalam hal penuntut
umum negara (public prosecutor) tidak menjalankan
tugasnya (pasal 109 CERCLA).36
Di Australia khususnya di negara bagian New South
Wales, prosedur gugatan Citizen Lawsuit tercakup dalam
Civil Enforcement Proceedings yang termasuk kategori
Class IV - environmental planning and protection and
development contract - civil enforcement, pada prosedur
pemeriksaan di Pengadilan Pertanahan & Lingkungan
(Land & Environment Court - Sydney). 37 Prosedur
tersebut dibatasi hanya kepada pemulihan lingkungan
atau pembatasan dari kerusakan lingkungan (remedy or
restrain). Adanya standing ini adalah didasarkan pada
dua faktor yaitu perlindungan kepentingan masyarakat
luas dan faktor penguasaan sumber daya alam atau
sektor-sektor yang memiliki dimensi publik. Dan sasaran
yang hendak dicapai dari Civil Enforcement adalah
untuk melaksanakan kekuasaan Undang-undang atau
peraturan mengenai lingkungan hidup, dengan
memberikan dorongan, sekaligus pendidikan hukum
kepada masyarakat terhadap hak lingkungannya, serta
memberikan efek penjera (deterrent effect) kepada
pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan maupun
masyarakat luas. Salah satu bagian dari Civil
Proceedings adalah judicial review, dimana bila
diperbandingkan dengan Indonesia adalah termasuk
perkara Tata Usaha Negara.
Di India, dalam hal “Citizen Suit” maupun
Representative standing, warga negara yang menjadi

36
Mas Achmad Santosa, “Gugatan AJI: Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal
Standing)”, Dictum edisi 2, Leip, Jakarta, 2004, halaman 62.
37
Environmental Law Toolkit – NSW, Environmental Defender’s Office (NSW),
The Federation Press, Sydney, 2005, halaman 45.
Penggugat tidak perlu membuktikan adanya kerugian
langsung yang bersifat riil dan tangible. Dalam putusan
Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen
Suit antara S.H. Gupta melawan Union of India AIR
(1982 (Feb) SC 149), ditegaskan bahwa setiap anggota
masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan
apabila :
1. Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum
yang disebabkan oleh karena adanya suatu
pelanggaran terhadap konstitusi atau pelanggaran
atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang
bersifat menghukum;
2. Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan
pembebanan hukum yang dilakukan tanpa otoritas
hukum;
3. Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu
karena alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau
kecacatan atau jika secara ekonomi maupun sosial
berada dalam posisi merugikan tidak memiliki
kemampuan untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan.38
Jadi pada intinya Citizen Lawsuit adalah mekanisme
bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab
Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi
hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan
sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Oleh karena itu
Atas kelalaiannya tersebut, Negara dihukum untuk
melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu
kebijakan yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian
tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Beberapa kasus gugatan Citizen Lawsuit yang
pernah didaftarkan di Indonesia, antara lain :
1. Gugatan Citizen Lawsuit atas nama Munir Cs atas
Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang

38
Dictum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan - edisi 2, Leip, Jakarta, 2004, hal. 40.
dideportasi di Nunukan. Ini merupakan Gugatan
Citizen Lawsuit pertama yang muncul di Indonesia
Dikabulkan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat. Tetapi
oleh Pengadilan Tinggi DKI pada proses banding
sesuai putusan No. 480/PDT/2005/PT DKI yang
diputuskan tanggal 4 April 2006, PT DKI menyatakan:
Oleh karena para tergugat tidak terbukti telah
melakukan perbuatan melawan hukum, maka
gugatan para penggugat harus ditolak seluruhnya.
Meskipun perkara Citizen Lawsuit TKI Migran
mengalami kegagalan di tingkat Banding, namun
ternyata ada dampaknya setelah diputus PN Jakarta
Pusat berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat No.
28/Pdt.G/2003/PN. Jkt. Pst, tanggal 8 Desember
2003, yaitu dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia.
2. Gugatan Citizen Lawsuit atas kenaikan BBM oleh
LBH APIK. Gagal, dinyatakan bahwa bentuk gugatan
Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim PN
Jakpus.
3. Gugatan Citizen Lawsuit atas Operasi Yustisi oleh
LBH Jakarta. Gagal, dinyatakan bahwa bentuk
Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim PN
Jakarta Pusat.
4. Gugatan Citizen Lawsuit atas penyelenggaraan Ujian
Nasional oleh LBH Jakarta. Dikabulkan untuk
sebagian, Pemerintah diminta meninjau ulang
kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional.
Pemerintah (Tergugat) kemudian mengajukan
banding, dan pada tanggal 6 Desember 2007 telah
diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tertanggal 21 Mei 2007. Dan pada tingkat
kasasi yang diajukan oleh pihak Tergugat telah
ditolak oleh Mahkamah Agung melalui putusan No.
2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009 yang
berarti bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut telah berkekuatan hukum
tetap.
5. Gugatan Citizen Lawsuit oleh Para Penggugat yang
mengatasnamakan Masyarakat Pengguna Jalan Tol
pada Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dalam
Putusan perkara nomor 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel.
tanggal 19 Mei 2008 tersebut dinyatakan bahwa
Gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima,
karena tidak terpenuhinya syarat formil berupa
notifikasi;
6. Gugatan Citizen Lawsuit oleh Para Penggugat yang
mengatasnamakan warga negara pemegang hak
untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu)
2009, dalam Putusan perkara nomor 145 / Pdt.G /
2009/PN.JKT.PST. tanggal 03 Juni 2009, dinyatakan
bahwa Gugatan Para Penggugat tidak dapat
diterima, adalah juga karena tidak terpenuhinya
syarat formil, yaitu tidak memenuhi syarat jangka
waktu notifikasi;
Dari beberapa contoh perkara di atas dapat dilihat
bahwa di antara Hakim masih belum ada kesesuaian
pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen Lawsuit. Ada
Hakim yang berpendapat dapat menerima kehadiran
gugatan Citizen Lawsuit, namun ada pula Hakim yang
masih tidak dapat menerima bentuk Citizen Lawsuit. Hal
ini dimaklumi karena hingga saat ini prosedur gugatan
Citizen Lawsuit memang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, lain halnya dengan
bentuk gugatan Class Action yang telah tercantum dalam
beberapa Undang-undang serta telah di-akomodir hukum
acaranya dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 2002.

B. Prosedur Gugatan Citizen Lawsuit


Karakteristik Citizen Lawsuit, menurut Indro Sugianto
dapat digambarkan sebagai berikut :
a. Citizen Lawsuit merupakan akses orang perorangan atau
warga negara untuk mengajukan gugatan di Pengadilan
untuk dan atas nama kepentingan keseluruhan warga
negara atau kepentingan publik;
b. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga
negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai
akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau
otoritas negara;
c. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga
negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah
yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang
melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya
dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
d. Orang perorangan warga negara yang menjadi
penggugat dalam Citizen Lawsuit tidak perlu
membuktikan adanya kerugian langsung yang bersifat riil
atau tangible;
e. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap
tuntutan ganti kerugian jika diajukan dalam gugatan
Citizen Lawsuit.39
Berdasarkan gagasan pokok mengenai perkara-perkara
gugatan yang menggunakan mekanisme Citizen Lawsuit
tersebut, serta didasarkan pada perbandingan negara-
negara lain dalam penerapan mekanisme gugatan Citizen
Lawsuit, maka dapat dijabarkan karakteristik Gugatan
Citizen Lawsuit di Indonesia, adalah sebagai berikut :

C. Dasar Hukum :
Dasar hukum untuk prosedur maupun pemeriksaan
materi gugatan Citizen Lawsuit apabila menyimak pertim-
bangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST. adalah memper-
gunakan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan pasal 27 Undang-

39
Ibid.
undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang nomor 35 tahun 1999, demikian pula dalam
putusan-putusan gugatan Citizen Lawsuit yang muncul
belakangan setelah keluarnya undang-undang Kekuasaan
Kehakiman yang baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004,
diantaranya Putusan No. 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL dan
Putusan No. 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST, keduanya tetap
mempergunakan ketentuan yang sama yaitu pasal 16 ayat
(1) dan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004. Dan
kemudian dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (UU
No. 48 Tahun 2009) telah ditempatkan aturan yang pada
pasal 5 dan pasal 10.
Dalam pertimbangan hukum pada putusan-putusan
tersebut terdapat intisari argumentasi hukum sebagai
berikut :
- Gugatan Para Penggugat adalah Citizen Lawsuit yang
biasa juga dikenal dengan sebutan Actio Popularis, yakni
prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepen-
tingan umum (public interest) secara perwakilan;
Didasarkan pada prinsip bahwa setiap warga negara
tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan
umum, dengan demikian setiap warga negara atas nama
kepentingan umum (on behalf of the public interest)
dapat menggugat negara atau pemerintah atau siapapun
yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang
nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan
kesejahteraan luas (pro bono publico), hal inipun sesuai
dengan hak asasi manusia mengenai acces to justice
yaitu akses untuk mendapatkan keadilan, apabila negara
diam atau tidak melakukan tindakan apapun untuk
kepentingan warga negaranya tersebut;40
- Bahwa oleh karena sistem dalam Gugatan Warga
Negara (Citizen Lawsuit) yang sifat gugatannya adalah

40
Pertimbangan hukum pada Putusan No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST yang diikuti
oleh para hakim pada pemeriksaan perkara-perkara gugatan citizen lawsuit.
memperjuangkan kepentingan publik atau hajat hidup
orang banyak dalam hal negara tidak melaksananakan
kewajibannya untuk melindungi, menghormati, menegak-
kan dan memajukan hak-hak dan hak asasi warga
negara sehingga merugikan warga negaranya
sedangkan wakil-wakil dari warga negara tersebut yang
duduk di lembaga negara diam atau tidak mampu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan atau perso-
alan yang merugikan warga negaranya, maka Majelis
berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang mewajibkan Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat dapat menerima mekanisme atau
prosedur Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit).41
- Bahwa dalam gugatan a quo Para Penggugat adalah
sebagai warga negara yang berstatus sebagai pemegang
hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu),
aktivis dan pemantau pelaksanaan Pemilu, serta aktivis
hak asasi manusia yang bertindak mewakili jutaan warga
negara yang tidak dapat menikmati hak untuk memilih
dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan yang
ditempatkan sebagai Tergugat I adalah KPU sebagai
penyelengara Pemilu dan Tergugat II adalah Pemerintah,
yang nota bene Para Tergugat adalah institusi yang oleh
undang-undang diberi kewenangan untuk menjalankan
kepentingan publik, dengan alasan tersebut Para
Penggugat secara hukum telah memenuhi syarat hak
gugat “standing” untuk mengajukan gugatan secara
Citizen Lawsuit kepada Para Tergugat, dengan perihal
pokok gugatan sebagaimana tersebut dalam gugatan
Para Penggugat.

41
Pertimbangan hukum pada putusan No. 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel yang mengakui
standing Penggugat dalam prosedur gugatan Citizen Lawsuit.
Dengan menyimak argumentasi pada putusan-putusan di
atas, maka penggunaan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 UU
No. 4 tahun 2004 (sekarang terdapat di pasal 5 dan 10 UU
No. 48 Tahun 2009) dapat dijadikan dasar untuk
pemeriksaan Gugatan Citizen Lawsuit, sekalipun secara
umum tetap menggunakan hukum acara yang diatur HIR /
RBg dengan penyesuaian pada tahap awal pemeriksaan,
khususnya penentuan hak gugat (standing to sue) Individu
atas nama Kepentingan Umum.
Mengenai dasar konstitusional untuk mengajukan
gugatan Citizen Lawsuit apabila bercermin pada putusan
Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen Suit
antara S.H. Gupta melawan Union of India AIR (1982 (Feb)
SC 149), yang pertimbangannya antara lain “Terjadi suatu
kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan
oleh karena adanya suatu pelanggaran terhadap konstitusi
atau pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan
lain yang bersifat menghukum.” Maka kitapun dapat
mendasarkan pada konstitusi untuk landasan standing bagi
warga negara dalam mengajukan gugatan Citizen Lawsuit
atas dasar hak konstitusional terhadap hak asasi manusia,
yaitu pada pasal-pasal yang terdapat di Bab X A
Amandemen Kedua UUD 1945.

Subyek Hukum :
- Subyek hukum Penggugat, adalah warga negara yang
bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat
dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah
warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action,
Penggugat Citizen Lawsuit tidak harus merupakan
kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung
oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus
membuktikan kerugian materiil yang telah dideritanya
sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan
perdata biasa. Selain itu Penggugat secara keseluruhan
adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu
dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan
kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action.
- Subyek hukum Tergugat, adalah penyelenggara negara,
mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai
pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada
pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan
kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam
hal ini pihak selain penyelenggara negara boleh
dimasukkan sebagai pihak Turut Tergugat, tetapi
Tergugat utama adalah penyelenggara negara karena
inilah bedanya antara Citizen Lawsuit dengan gugatan
biasa. Yaitu dimaksudkan untuk melindungi warga
negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai
akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau
otoritas negara.

Dalil Pokok :
- Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam
Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam
pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus
diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh
negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi
oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa
Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa.
- Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu
notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan
sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action.
Dalam prakteknya di Indonesia yang didasarkan pada
pengaturan di beberapa negara common law, Citizen
Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi
berupa informasi ringkas kepada penyelenggara Negara
yang digugat. Isi informasi tersebut adalah bahwa telah
diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap
penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam
pemenuhan hak-hak Warga Negaranya dan memberikan
kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan
jika tidak ingin gugatan dilanjutkan. 42

Isi Petitum :
- Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti
rugi materiil, karena kelompok warga negara yang
menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara
materiil dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan
fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action.
- Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permo-
honan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan
pengaturan umum agar perbuatan melawan hukum
berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara
tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
- Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi
pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara
Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat
konkrit individual dan final karena hal tersebut
merupakan kewenangan dari peradilan TUN.
- Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh
memohon pembatalan atas suatu Undang-undang (UU)
karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak
boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal
tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung
melalui mekanisme judicial review.

42
Di Amerika Serikat, informasi yang mengandung bentuk somasi ini harus diajukan
selambat-lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan sehingga ada
kesempatan Pemerintah melakukan tindakan yang dituntut tanpa harus diteruskan
pengajuan gugatannya, namun karena di Indonesia belum ada satupun peraturan
formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat,
justru notifikasi dilakukan setelah ada penetapan Pengadilan mengenai diterimanya
prosedur Citizen Lawsuit.
Untuk mengajukan gugatan Citizen Lawsuit, penggugat
harus memiliki hak gugat (standing), bila standing Penggugat
tersebut dapat dipatahkan oleh Tergugat, maka Tergugat
dapat menuntut pembatalan gugatan Citizen Lawsuit. Namun
demikian bila hak gugat Citizen Lawsuit sudah diakui
(sertifikasi) dalam sebuah penetapan (putusan sela), maka
pada proses berikutnya adalah sebagaimana prosedur
perkara gugatan biasa, yaitu upaya perdamaian/mediasi,
jawab menjawab (jawaban, replik, duplik), pembuktian dan
putusan.
Menurut Indro Sugianto, materi surat pemberitahuan
(notifikasi) gugatan Citizen Lawsuit setidak-tidaknya memuat
antara lain :
a. Informasi tentang pelanggaran yang dituduhkan dan
lembaga yang relevan dengan pelanggaran yang
mendasari hal itu penggugat berniat untuk menggugat
Tergugat/para Tergugat;
b. Jenis pelanggaran yang menimbulkan gugatan Citizen
Lawsuit (obyek gugatan);43

Disinilah peran penting notifikasi dalam prosedur Citizen


Lawsuit, karena notifikasi adalah prasyarat yang harus
dipenuhi oleh Penggugat sebelum mengajukan gugatan, dan
itupun harus dilakukan dalam tenggang waktu yang layak.
Sedangkan mengenai kelayakan waktu untuk notifikasi
tersebut adalah menjadi penilaian hakim, apakah kelayakan
waktu tersebut 60 hari seperti yang dianut Amerika Serikat,
ataukah cukup 30 hari, semuanya masih menjadi penilaian
hakim, karena belum ada hukum acara yang mengatur.

43
Indro Sugianto, Hak Gugat Warga Negara...op.cit, hal 43
BAB IV
HASIL PENELITIAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT
DI LEMBAGA PERADILAN INDONESIA

A. Hasil Tabulasi
TABEL 2 : MENURUT SAUDARA, APAKAH SAAT INI SUDAH ADA YANG MENGGUNAKAN MEKANISME
GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT DI PENGADILAN DI TEMPAT SAUDARA
BERTUGAS ?

JENIS PERADILAN

JUMLAH
No. LOKASI

PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILM I/TI


S B S B S B S B S B S B S B
1 MATARAM 1 4 0 17 4 0 0 0 0 0 0 4 0 0 30
2 BANTEN 0 5 2 8 1 4 0 5 25
3 BANJARMASIN 0 5 1 14 0 4 0 0 g 0 0 4 0 2 30

4 DENPASAR 14 2 13 0 4 0 0 0 0 3 1 0 2 30
5 PEKANBARU 2 3 6 11 0 4 0 0 0 0 0 0 4 0 30
6 YOGYAKARTA 0 5 2 10 0 3 0 0 0 0 0 4 1 5 30
JUMLAH 4 26 13 73 5 19 0 5 0 0 3 13 5 9 175
JUMLAH % 2.29 14.86 7.43 41.71 2.86 10.86 0.00 2.86 0.00 0.00 1.71 7.43 2.86 5.14 100.00

KETERANGAN :
S SUDAH 30
B BELUM 145
JUMLAH 175
TABEL 3 : APAKAH SAUDARA SEBAGAI HAKIM, SUDAH PERNAH MENGADILI
PERKARA GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?

JENIS PERADILAN

JUMLA
No. LOKASI

H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILM I/T
I
S B S B S B S B S B S B S B
1 MATARAM 2 3 1 16 4 0 0 0 0 0 0 4 0 0 30
2 BANTEN 0 5 1 9 0 5 0 5 25
3 BANJARMASIN 0 5 0 15 0 4 0 4 0 2 0 0 0 0 30
4 DENPASAR 1 4 2 13 0 4 0 0 •0 0 1 3 0 2 30

5 PEKANBARU 0 5 2 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 30

6 YOGYAKARTA 0 5 1 11 0 3 0 0 0 0 0 4 1 5 30
JUMLAH 3 27 7 79 4 20 0 9 0 2 1 15 1 7 175
JUMLAH% 1.71 15.43 4.00 45.14 2.29 11.43 0.00 5.14 0.00 1.14 0.57 8.57 0.57 4.00 100.00

KETERANGAN :
S SUDAH 16
B BELUM 159
JUMLAH 175
TABEL 4 : MENURUT SAUDARA, APAKAH PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG GUGATAN PERADILAN
KELOMPOK (CLASS ACTION) SUDAH MEMADAI UNTUK DITERAPKAN ?

JENIS PERADILAN

JUMLA
No. LOKASI

H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILM I/TI
S B S B S B S B S B S B S B
1 MATARAM 2 3 5 12 2 2 0 0 0 0 2 2 0 0 30

2 BANTEN 1 4 2 8 14 1 4 25
3 BANJARMASIN 1 4 8 7 2 2 0 0 0 0 4 0 1 1 30
4 DENPASAR 14 5 10 0 4 0 0 0° 0 1 3 0 2 30
5 PEKANBARU 14 5 12 2 2 0 0 0 0 2 2 0 0 30
6 YOGYAKARTA 1 4 4 8 2 1 0 0 0 0 0 4 0 6 30

JUMLAH 7 23 29 57 9 15 1 4 0 0 9 11 1 9 175
JUMLAH % 4.00 13.14 16.57 32.57 5.14 8.57 0.57 2.29 0.00 0.00 5.14 6.29 0.57 5.14 100.00

KETERANGAN :
S SUDAH 56
B BELUM 119
JUMLAH 175
TABEL 5 APAKAH SAUDARA SUDAH MAHAMI MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA GUGATAN CLASS
ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT YANG DIATUR DALAM UU NO. 23 TAHUN 1997 YANG TELAH
DICABUT DAN DIPERBAHARUI DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ?

JENIS PERADILAN

JUMLAH
No. LOltASI

PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LMI/TI


CJ BJ KJ CJ BJ KJ CJ BJ KJ CJ BJ KJ CJ BJ KJ CJ BJ KJ CJ BJ KJ
1 MATARAM 4 1 0 6 9 2 0 3 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 30
2 BANTEN 0 2 3 5 3 2 2 2 1 2 2 1 2S
3 BANJARMASIN 5 0 0 9 3 3 2 1 1 0 0 0 é 0 0 3 0 1 1 1 0 30
4 DENPASAR 2 2 1 4 8 3 0 2 2 0 0 0 0 0 0 2 1 0 0 2 30
5 PEKANBARU 3 2 0 10 2 5 2 1 1 0 0 0 0 0 0 2 1 1 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 4 0 1 4 7 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 2 0 2 1 2 3 30

JUMLAH 18 7 5 38 32 16 7 7 10 2 2 1 0 0 0 11 4 5 2 3 5 175
JUMLAH % ## 4.00 2.86 21.7 18.2t 9.14 4.00 4.00 5.71 J.14 1.14 0.57 0.00 0.00 0.00 6.29 2.2£ 2.86 1.14 1.71 2.86 100

KETERANGAN
CJ CUKUP JELAS 78
BJ BELUM JELAS 55
KJ KURANG JELAS 42
JUMLAH 175
TABEL 6 : APAKAH PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM (RECHTS VINDING) DIPERLUKAN DALAM
MENGADILI PERKARA CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?

JENIS PERADILAN

JUMLAH
No. LOKASI

PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I L M I/T


I
SP TP SP TP SP TP SP TP SP TP SP TP SP TP
1 MATARAM 5 0 15 2 4 0 0 0 0 0 4 0 0 0 30

2 BANTEN 5 0 10 0 5 0 5 0 25
3 BANJARMASIN 5 0 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 5 0 15 0 4 0 0 0 0' 0 4 0 2 0 30
5 PEKANBARU 5 0 16 1 3 1 0 0 0 0 3 1 0 0 30
6 YOGYAKARTA 5 0 12 0 3 0 0 0 0 0 3 1 6 0 30
JUMLAH 30 0 83 3 23 1 5 0 0 0 18 2 10 0 175
JUMLAH % #### 0.00 47.43 1.71 13.14 0.57 2.86 0.00 0.00 0.00 10.29 1.14 5.71 0.00 100.00

KETERANGAN :
SP SANGAT PERLU 169
TP TIDAK PERLU 6
JUMLAH 175
TABEL 7 : MUNURUT SAUDARA, APAKAH MEKANISME ACARA PEMERIKSAAN
CITIZEN LAWSUIT PERLU DILENGKAPI DENGAN PERMA TERSENDIRI ?

JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN P TA PA PTTUN PTUN DILMI/TI
SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP
1 MATARAM 2 0 3 6 11 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 30
2 BANTEN 0 4 2 T 7 0 4 5 0 0 25
3 BANJARMASIN 2 3 0 2 13 0 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 0 4 1 2 11 2 0 3 1 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 2 0 30
5 PEKANBARU 0 5 0 2 12 3 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 0 5 0 1 6 5 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 2 2 30

JUMLAH 4 21 5 15 54 17 5 16 4 5 0 0 0 0 0 1 13 6 1 6 2 175
JUMLAH % 2.29 12.00 2.86 8.57 30.8 9.71 2.86 9.14 2.29 2.86 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.57 7.4t 3.43 0.57 3.43 1.14 100

KETERANGAN :
S P : SANGAT PERLU 31
P : PERLU 110
T P : TIDAK PERLU 34
JUMLAH 175
TABEL 8A : MUNURUT SAUDARA, APAKAH KELEBIHAN DARI PENERAPAN
PROSEDUR CLASS ACTION DALAM PERMA NO. 01 TAHUN 2002 ?

JENIS PERADILAN

JUMLAH
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILMI/TI
EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD
PR TT
1MATARAM
3 014 73311020 0 0 0 0 012010 0 030
0 0 0
2 BANTEN
1310 0523 0 3 203110 0 0 00 0 0 0 0 0 025
0 0
3 BANJARMASIN31105
6 313 010 0 0 0 0 0 0 02 2 0 02 0 0 030
0
4 DENPASAR 21
15 6 0 4 2 0 0 0 0 0“0 0 021010 0130
2 0 0
5 PEKANBARU
12023 617 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 030
0 0 0 0 0
6 Y0GY/W\RTA
0 4 0125 0513 0 0 0 0 0 0 0 0 3 01311030
0 0 0
JUMLAH
814 3 519359 237133 2 3 110 0 0 0 05 8 0 7 211J75
5
JUMLAH 13. 0 4 7 0 0
% 4.5 8.0 1.7 2.8 10.8 20.0 5.1 14. 7. 1.7 1.1 1. 0.5 0.5 0.0 0. 0.0 0.0 0. 2.8 4.5
0.0 1 @ .0
4.0 2.8 1.1 0.5 0.5

KETERANGAN :
E F : EFISIEN 47
P D : PEDOMAN 73
PR : PROTEKSI 17
T T : TIDAK TAHU 38
JUMLAH 175
TABEL 8B MENURUT SAUDARA, APAKAH KELEMAHAN DARI PENERAPAN PROSEDUR
CLASS ACTION DALAM PERMA NO. 01 TAHUN 2002 ?

JENIS PERADILAN

JUMLAH
No. LOKASI

PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILMI/TI


A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C
1 MATARAM 5 0 0 11 3 3 4 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0 30
2 BANTEN 2 2 1 8 1 1 4 0 3 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25

3 BANJARMASIN 3 0 2 9 5 1 0 3 1 0 0 0 0 0 0 3 1 0 1 0 1 30

4 DENPASAR 3 2 0 11 3 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 1 0 1 30
5 PEKANBARU 5 0 0 13 4 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 5 0 0 12 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 5 0 0 30
JUMLAH 23 4 3 64 16 6 18 5 2 3 0 2 0 0 0 10 3 7 7 0 2 175
JUMLAH % 13.1* 2.29 1.71 36.5- 9.14 3.43 \0.2f 2.86 1.14 1.71 0.00 1.14 0.00 0.00 0.00 5.71 1.71 4.00 4.00 0.00 1.14 00.00

KETERANGAN :
A: BELUM SEMPURNA 125
B: WEWENANG WAKIL 28
C: TIDAK TAHU 22
JUMLAH 175
TABEL 9 MENURUT SAUDARA, APAKAH MANFAAT MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION DAN
CITIZEN LAWSUIT BAGI PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA ?

JENIS PERADILAN

n
H
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN DI LMI/TI
A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C
MATARAM 2 3 0 J2 5 0 3 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 30
2 BANTEN 2 2 1 5 5 0 4 1 0 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25
3 BANJARMASIN 4 1 0 5 9 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 2 0 30
4 DENPASAR 5 0 0 11 3 1 3 1 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 1 1 0 30
5 PEKANBARU 3 1 1 11 6 0 3 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 2 3 0 12 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 4 \ 0 30
JUMLAH 18 10 2 56 28 2 17 7 1 2 3 0 0 0 0 15 3 2 5 4 0 175
JUMLAH % 0.JO 5.7J J.14 32.0 J6.0 J.J4 9.7J 4.00 0.57 J.14 J.7J 0.00 0.00 0.00 0.00 8.57 1.7J 1.J4 2.86 2.29 0.00 100.0

KETERANGAN :
A PENYEDERHANAAN MEKANISME HUKUM JJ3
B PROTEKSI MASYARAKAT 55
C TIDAKTAHU 7
JUMLAH 175
TABEL 10 : MENURUT SAUDARA, APA SAJAKAH KESULITAN / KENDALA DALAM MENGADILI
GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?

JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTU N PTUN DILMITTI
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
1 MATARMI 1 3 0 1 4 7 3 3 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 ! 0 0 0 30

2 BANTEN 1 3 1 0 0 5 2 3 0 3 2 0 f 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 26
3 BANJARMASN 3 1 i 0 5 D 3 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 2 0 0 0 O
DENFAS*R # 1 1 1 5 D 0 4 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 1 0 1 0 1 30

5 PEKANBARU 1 2 0 8 3 ( I 7, 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 30
6 Y0gY#URT/t 0 0 4 1 5 5 1 4 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 1 0 ! 2 2 1 1 30
JUML\F 8 10 7 5 22 35 10 22 6 11 3 2 3 0 0 0 0 0 7 6 0 7 4 1 1 JT5

JJ¥L/\F °/ 4.57 5.71 4.00 2,86 12.5 20. 5.71 12.5 143 6.29 \.71 1.14 1.71 0.57 0.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.00 3.43 0.00 4.00 229 J.7J 0.f7 0.\7 J0f.00

KETERANGAN
A KURANG PAHAM 50
B GANTIRUGI 66
C: KRITERIAHUKUM 22
D: TIDAK TAHU 37
JUMLAH 175
TABEL 11 : HUKUM ACARA DALAM CLASS ACTION ADALAH HIR, PERMA NO. 1 TAHUN 2002 DAN
PERMA NO. 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI SUDAH CUKUP ?

JENIS PERADILAN

JUMLA
No. LOKASI

H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I
/T I
C BC C BC C BC C BC C BC C BC C BC
1 MATARAM 2 3 11 6 2 2 0 0 0 0 4 0 0 0 30
2 BANTEN 2 3 0 10 14 1 4 25
3 BANJARMASIN 4 1 6 9 1 3 0 0 0 0 2 2 1 1 30
4 DENPASAR 0 5 2 13 1 3 0 0 0 0 2 2 2 0 30
5 PEKANBARU 4 1 5 12 0 4 0 0 0 0 0 0 0 4 30
6 YOGYAKARTA 4 14 9 2 1 0 0 0 0 1 3 3 2 30
JUMLAH 16 14 28 59 7 17 1 4 0 0 9 7 6 7 175
JUMLAH % 9.14 8.00 16.00 33.71 4.00 9.71 0.57 2.29 0.00 0.00 5.14 4.00 3.43 4.00 100.00

KETERANGAN :
C CUKUP 67
BC BELUM CUKUP 108
JUMLAH 175
TABEL 12 A : PERATURAN TENTANG GUGATAN CLASS ACTION DIATUR DALAM : UU NO. 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU NO. 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. APAKAH
MENURUT SAUDARA GUGATAN CLASS ACTION HANYA DAPAT DILAKUKAN DALAM KETIGA UU
ITU SAJA ?

JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I /T
I
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1 MATARAM 0 5 1 16 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 30
2 BANTEN 2 3 5 5 0 5 1 4 25
3 BANJARMASIN 0 5 3 12 2 2 0 0 0 0 1 3 0 2 30
4 DENPASAR 14 1 14 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 30
5 PEKANBARU 0 5 3 14 1 3 0 0 0 0 1 3 0 0 30
6 YOGYAKARTA 1 4 2 10 2 2 0 0 0 0 1 3 2 3 30
JUMLAH 4 26 15 71 5 20 1 4 0 0 3 17 2 7 175
JUMLAH % 2.29 14.86 8.57 40.57 2.86 11.43 0.57 2.29 0.00 0.00 1.71 9.71 1.14 4.00 100.00

KETERANGAN :

30
T TIDAK 145
JUMLAH 175
TABEL 12 B : PERATURAN TENTANG GUGATAN CLASS ACTION DIATUR DALAM : UU NO. 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU NO. 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
DAPATKAH DITERAPKAN DI LUAR UNDANG - UNDANG TERSEBUT DI ATAS ?

JENIS PERADILAN

JUMLA
No. LOKASI

H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I /T
I
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1 MATARAM 5 0 17 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 0 30
2 BANTEN 2 3 5 5 0 5 1 4 25
3 BANJARMASIN 5 0 14 1 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 4 1 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
5 PEKANBARU 5 0 14 3 4 0 0 0 0 0 3 0 0 30
6 YOGYAKARTA 4 1 12 0 3 1 0 0 0 0 4 0 3 2 30

JUMLAH 25 5 77 9 19 6 1 4 0 0 17 3 7 2 175
JUMLAH % 14.29 2.”86 44.00 5.14 10.86 3.43 0.57 2.29 0.00 0.00 9.71 1.71 4.00 1.14 100.00

KETERANGAN :
Y YA
146
T TIDAK
29
JUMLAH 175
B. Analisa Kuesioner
1. Bagaimana pemahaman saudara tentang gugatan Class
Action dan Citizen Lawsuit.
C M : Cukup Mengerti
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 168 x 100 % = 96 %
175
2. Menurut saudara, apakah saat ini sudah ada yang
menggunakan mekanisme gugatan Class Action dan
Citizen Lawsuit di pengadilan di tempat saudara
bertugas ?
Keterangan :
B : Belum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 145 x 100 % = 82.86 %
175
3. Apakah saudara sebagai hakim, sudah pernah mengadili
perkara gugatan Class Action dan Citizen Lawsui ?
Keterangan :
B : Belum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 159 x 100 % = 90.86 %
175

4. Menurut saudara, apakah PERMA no.1 Tahun 2002


tentang gugatan peradilan kelompok (Class Action)
sudah memadai untuk diterapkan ?
Keterangan :
B : Belum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 119 x 100 % = 68.00 %
175
5. Apakah saudara sudah memahami mekanisme pemerik-
saan perkara gugatan Class Action dan Citizen Lawsuit
yang diatur dalam uu no.23 Tahun 1997.
Yang telah dicabut dan diperbaharui dengan uu no.32
Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup ?
Keterangan :
C J : Cukup Jelas
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 78 x 100 % = 44.57 %
175
6. Apakah penemuan hukum oleh hakim (rechts vinding)
diperlukan dalam mengadili perkara Class Action dan
Citizen Lawsuit ?
Keterangan :
S P : Sangat Perlu
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 169 x 100 % = 96.57 %
175
7. Menurut saudara, apakah mekanisme acara pemerik-
saan citizen lawsuit perlu dilengkapi dengan PERMA
tersendiri ?
Keterangan :
P : Perlu
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 110 x 100 % = 62.86 %
175
8A. Menurut saudara, apakah kelebihan dari penerapan
prosedur class action dalam PERMA No. 01 Tahun
2002?
Keterangan :
P d : Pedoman
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 73 x 100 % = 41.71 %
175
8B. Menurut saudara, apakah kelemahan dari penerapan
prosedur Class Action dalam PERMA no.01 Tahun
2002?
Keterangan :
A : Belum Sempurna
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 125 x 100 % = 71.43 %
175
9. Menurut saudara, apakah manfaat mekanisme gugatan
Class Action dan Citizen Lawsuit
Bagi perkembangan hukum di indonesia ?
Keterangan :
A : Penyederhanaan mekanisme hukum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 113 x 100 % = 64.57 %
175
10. Menurut saudara, apa sajakah kesulitan / kendala dalam
mengadili gugatan
Class Action dan Citizen Lawsuit?
Keterangan :
B : Ganti rugi
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 66 x 100 % = 37.71 %
175

11. Hukum acara dalam Class Action adalah HIR, PERMA


No. 1 Tahun 2002 dan PERMA No. 1 Tahun 2008
tentang mediasi sudah cukup ?
Keterangan :
B C : Belum Cukup
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 108 x 100 % = 61.71 %
175
12A. Peraturan tentang gugatan Class Action diatur dalam :
UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup Undang-undang No. 41
Tahun 1999 tentang kehutanan Undang-undang No. 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Apakah
menurut saudara gugatan Class Action hanya dapat
dilakukan dalam ketiga Undang Undang itu saja ?
T : tidak
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 145 x 100 % = 82.86 %
175

12B. Peraturan tentang gugatan Class Action diatur


dalam : Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup UU
No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan Undang-
undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen dapatkah diterapkan di luar undang -
undang tersebut di atas ?
Y : ya
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 146 x 100 % = 83.43 %
175

C. Hasil Diskusi
Menindaklanjuti laporan penelitian Class Action dan Citizen
Lawsuit di wilayah Yurisdiksi Pengadilan Tinggi di 6 kota propinsi
di Indonesia, Puslitbang Kumdil MA-RI melemparkan beberapa
isu yang terkait dengan topik di atas dengan tujuan untuk
mencari pemahaman yang sama terhadap persoalan-persoalan
gugatan perwakilan kelompok yang menjadi acuan dan bahasan
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Sipakah sebaiknya yang melakukan analisa dan koreksi
gugatan Class Action, sebelum dimasukkan register? Berapa
lama ?
Panitera Muda Perdata/Panitera/ Hakim yang ditunjuk.
(Apakah diperlukan check list terhadap persyaratan yang
harus diperiksa?)
2. Apakah diperlukan Sidang Pendahuluan ”Preliminary
hearing” sebelum Penetapan (sertifikasi) yang menetapkan
bahwa pemeriksaan dengan prosedur GPK adalah sah dan
dilanjutkan.
Ataukah Penetapan (sertifikasi) dijatuhkan setelah jawab-
menjawab ?
3. Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah sebagai
mekanisme yang diperlukan untuk memberi informasi
kepada seluruh anggota kelas, dan untuk memberi
kesempatan bagi anggota kelas untuk menentukan apakah
mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan
putusan, atau tidak menginginkan, dengan cara menyatakan
keluar/opt out;
Bagaimana apabila notifikasi pertama, anggota kelas tidak
menyatakan opt-out, tetapi pada notifikasi tentang
mekanisme pendistribusian ganti rugi ia menyatakan
menolak. Apakah dimungkinkan ia mengajukan gugatan
tersendiri, diluar GPK ?
4. Bagaimana apabila perdamaian antara wakil kelas dengan
Tergugat dapat dicapai, tetapi isi perdamaian merugikan
kepentingan anggota kelas ?
Bagaimana Peran Hakim untuk memenuhi akses keadilan
bagi masyarakat (anggota kelas) ?
Apa perlu prosedur notifikasi untuk pemberitahuan
perdamaian?
5. Apabila dibuat Perma tentang Prosedur Citizen Lawsuit, apa
saja hal-hal pokok yang perlu diatur dalam Perma?
a. Prosedur apa saja yang perlu diatur secara khusus
dalam Perma tentang CLS ?
b. Siapa saja yang dapat menjadi subyek hukum tergugat ?
c. Hal apa saja yang menjadi obyek sengketa?
d. Bagaimana mekanisme pemeriksaan perkara CLS?
Ad. a
Sebelum diregister, gugatan Class Action dianalisa dan
dikoreksi oleh Panitera muda Perdata. Apabila telah memenuhi
persyaratan administratif maka gugatan Class Action diregister
dengan memenuhi prosedur SKUM. Bila tidak memenuhi
persyaratan formal maka gugatan Class Action diminta untuk
memenuhi persyaratan formal tersebut. Waktu yang diberikan
untuk memenuhi persyaratan formal tersebut maksimal 7 (tujuh)
hari.
Terhadap gugatan Class Action harus disertakan check list,
untuk memudahkan apakah gugatan merupakan Class Action
ataukah gugatan biasa, dan untuk pengadministrasian yang
jelas serta untuk menghindari permasalahan yang timbul
diantara anggota kelompok sendiri maupun antara wakil dengan
kelompok.

Ad. b
Sidang Pendahuluan atau ”Preliminary hearing” amat
diperlukan karena untuk memunuhi keabsahan gugatan
perwakilan kelompok yang termuat pada pasal 2 dan 3 PERMA
No.1 tahun 2002.
Hal-hal yang perlu diperiksa berdasarkan pasal 2 dan 3
Perma No.1 tahun 2002 adalah :
c. Meneliti jumlah anggota kelompok yang sedemikian banyak
supaya adanya kepastian terhadap jumlah anggota kelompok
tersebut.
d. Setelah adanya kepastian jumlah anggota kelompok
tersebut, diperiksa pula apakah adanya kesamaan fakta dan
dasar hukum serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya.
e. Majelis menilai apakah posita dan tuntutannya telah sesuai
secara jelas dan terperinci saat disampaikan dalam
gugatannya tersebut teridentifikasi atau tidak teridentifikasi.

Mekanisme yang efektif adalah sebagai berikut :


a. Mempelajari berkas perkara
b. Memanggil wakil kelompok untuk mengetahui kesungguhan
dalam mengajukan gugatan atau mencocokan gugatannya
apakah sudah sesuai atau belum. Dan tergugat turut
dipanggil untuk menilai atau menanggapi formalitas gugatan
dan diberikan waktu yang patut untuk menilai formalitas
gugatan.
c. Hakim menilai adakah kejujuran dan kesungguhan dari wakil
kelompok yang mana terdapat adanya kemampuan wakil
kelompok tersebut dalam membuat gugatan.
d. Setelah didatangkan kedua belah pihak dan ditanggapi oleh
tergugat, Majelis membuat salah satu bentuk ”Penetapan /
Putusan,” misalkan gugatan perwakilan kelompok tersebut
sah maka dituangkan dalam penetapan (sertifikasi) tetapi
apabila gugatan tersebut tidak sah maka dibuatkan putusan
yang isinya tidak dapat diterima.

Ad. c
Anggota kelas yang menolak pendistribusian ganti rugi tidak
dapat mengajukan gugatan di luar GPK, dengan alasan pada
pasal 7 ayat (2) PERMA No.1 tahun 2002. Dalam pemberi-
tahuan/notifikasi pertama, anggota kelas yang tidak menyatakan
opt out, sudah mengetahui implikasi keikutsertaan sebagai
anggota kelompok. Itu artinya anggota kelas tersebut sudah
mengetahui jumlah ganti rugi dan cara pendistribusiannya (Pasal
3 huruf f PERMA No.1 tahun 2002). Anggota kelas yang
menolak ganti rugi tersebut, uang ganti ruginya dititipkan di
Kepaniteraan Pengadilan (Konsiguasi)

Ad. d
Pada dasarnya anggota kelas harus tunduk terhadap isi
perdamaian selama tidak ada option out sebelum terjadi perda-
maian. Peran Hakim adalah mensosialisasikan Draft Perda-
maian kepada seluruh anggota kelas. Setelah itu, bila ada
anggota kelas yang tidak setuju, dipanggil untuk menentukan
sikap sebelum perdamaian ditandatangani para pihak.
Terkait dengan notifikasi, Hakim perlu melakukan prsedur
notifikasi perdamaian seperti diatur pada Perma No.1 tahun
2002 Pasal 7 ayat 2.
Ad. e
Hal-hal yang perlu diatur dalam Perma tentang Citizen
Lawsuit (CLS) adalah :
- Kriteria pengajuan gugatan CLS (Kriteria lembaga publik).
- Syarat-syarat pribadi/lembaga yang dapat mengajukan CLS,
misalkan: BUMN.
- Tatacara pemberitahuan oleh penggugat kepada tergugat
sebelum mengajukan gugatan.
- Jangka waktu notifikasi, Misalkan: maksimum 30 hari.
- Tatacara dan persyaratan mengajukan gugatan CLS.
- Syarat formal gugatan CLS.
- Tatacara persidangan gugatan CLS (mengacu kepada
Hukum Acara Perdata) perbedaanya: dalam CLS harus
melalui dismisal. Prosesnya dengan menunjuk Hakim khusus
dan setelah itu dilaporkan hasilnya kepada Majelis Hakim
yang akan memeriksa gugatan CLS tersebut.
- Upaya hukum terhadap sah tidaknya gugatan CLS.
BAB V
KESIMPULAN

1. Diakhir laporan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa untuk


prosedur gugatan Citizen Lawsuit yang paling spesifik adalah
penentuan hak gugat (standing) dari subyek hukum
Penggugat, kriteria Tergugat, kriteria materi gugatan serta
perlunya notifikasi yang kesemuanya masih memerlukan
pengaturan lebih khusus mengenai “Hak Gugat Warga
Negara Atas Nama Kepentingan Umum”, sehingga para
Hakim maupun masyarakat mempunyai pedoman yang baku
untuk menggunakan prosedur gugatan Citizen Lawsuit.
Prosedur gugatan Class Action ini adalah mekanisme yang
efisien, efektif dan bermanfaat untuk memperoleh keadilan
bagi banyak orang sebagai pihak yang dirugikan, tetapi kini
mulai muncul kekawatiran apakah mekanisme ini benar-
benar dapat melindungi dan memberikan keadilan bagi
anggota kelas, terutama dalam perkara konsumen yang
jumlah anggota kelasnya sangat banyak, dan berapa besar
ganti rugi yang diterima oleh anggota kelas, jika
dibandingkan dengan yang diterima oleh pengacara/wakil
kelas, jika gugatan pokok dikabulkan. Di Amerika dan
Canada perkara-perkara gugatan Class Action yang
dikabulkan, dengan ganti rugi yang cukup besar, tetapi ganti
rugi yang diterima konsumen sangat kecil dan biasanya
hanya berupa kupon belanja. Ketidakadilan inilah yang
seringkali dikritik oleh masyarakat. Disamping itu
kemungkinan ada anggota kelas yang ketinggalan yang tidak
dapat menerima ganti rugi, karena tidak tahu, atau karena
tidak cukup notifikasi atau publikasi yang disebarkan kepada
korban oleh wakil kelas atau karena wilayah kedudukan
anggota kelas sangat luas, dibandingkan dengan sedikitnya
pemberitaan, atau karena jenis publikasi yang tidak tepat
sehingga tidak dapat menjangkau anggota kelas yang
berjumlah banyak. Oleh karena itu dalam memeriksa dan
memutuskan perkara-perkara gugatan Class Action hakim
harus benar-benar objectif, dengan memperhatikan
kepentingan semua pihak.
2. Dalam penilaian ini dapat disimpulkan, bahwa sebagian
besar para hakim kita yang menjadi responden masih
menganggap dan memahami gugatan Class Action dan
Citizen Lawsuit perlu pelatihan dan pembekalan lebih lanjut,
mengingat PERMA No. 1 tahun 2002 masih sangat perlu
penyempurnaan dan perlu perubahan sebagai dasar dalam
mekanisme gugatan perwakilan kelompok (class action). Dari
hasil diskusi yang dilakukan di Pengadilan Tinggi Banten,
Mataram, Denpasar, Pekanbaru, Banjarmasin dan
Yogyakarta ternyata penerapan PERMA No. 1 tahun 2002
yang mengacu tentang mekanisme gugatan perwakilan
kelompok (class action) ternyata penerapannya di
pengadilan tingkat pertama masih dianggap kurang jelas dan
tidak efektif.
3. Penerapan Perma No. 1 tahun 2002 tentang Class Action
ternyata hanya dipahami sebatas teori saja, sehingga
pemahaman Hakim dalam mengambil keputusan masih ragu
untuk membuat analisa sendiri yang terkait dengan racht
vinding (penemuan hukum) artinya Hakim masih ragu dan
kurang memahami teknis Hukum Acara sesuai dengan
Perma No. 1 tahun 2002. Dari diskusi yang terkait dengan
zitizen lawsuit ternyata pemahaman sebagian besar
responden masih tumpang tindih antara class action. Hak
gugat organisasi maupun zitizen lawsuit sendiri, ditambah
lagi Perma khusus yang mengatur Hukum Acara tentang
zitizen lawsuit memang belum ada. Hukum Acara yang
mengatur mekanisme gugatan citizen lawsuit memang selalu
ditanyakan oleh para responden dan berharap lewat
Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI dapat
segera menerbitkan PERMA tentang zitizen lawsuit yang
mengaturnya.
Saran
1. Sebaiknya segera diterbitkan penyempurnaan Perma No. 1
tahun 2002 tentang Hukum Acara gugatan perwakilan
Kelompok (class action).
2. Segera dapat diterbitkan Perma khusus tentang mekanisme
gugatan zitizen lawsuit.
3. Segera ditindaklanjuti pelatihan atau pembekalan yang
terkait dengan gugatan class action dan citizen lawsuit guna
memberikan pemahaman bagi para Hakim Tingkat pertama.
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika,


Jakarta, 2005
Andiko, Advokasi Lingkungan Melalui Jalur Pengadilan, WALHI,
Jakarta, 2008
Ann M. Lininger. Liberalizing Standing For Environmental
Plaintiffs In The European Union. New York University
Environmental Law Journal, 1995.
http://www.law.nyu.edu/journals/envtllaw/issues/vol4/1/4n
yuelj90.html.
Arbuckle, Gordon J., et, al, Environmental Law Handbook;
Twelfth Edition, Government Institues, Inc. Rockville, MD,
1993.
Badriyah Harun, Tata Cara Menghadapi Gugatan, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, 2009.
Bunga Rampai Makalah Hukum Acara Perdata, Proyek Pusat
Pendidikan & Pelatihan Tehnis Fungsional Hakim dan
Non Hakim Mahkamah Agung RI, 2003
Bustanul Arifin, Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia –
Perspektif Ekonomi Etika dan Praktis Kebijakan,
Erlangga, Jakarta, 2001
Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan
Perdata, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992
Dinah Shelton and Alexandre Kiss. Judicial Handbook on
Environmental Law, UNEP, 2005.
Environmental Defender’s Office (NSW), Environmental Law
Toolkit – NSW, a Community Guide to Environmental
Law, The Federation Press, Sydney, 2005
Fredrik J. Pinakunary, Penerapan Tanggung Jawab Pidana
Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan,
www.Hukumonline.com, 29 Juli 2004
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definition of the
Terms and Phrases of American and English
Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paull, Minn, West
Publishing Co. 1991.
Indro Sugianto, Hak Gugat Warga Negara (Citizen law suit)
Terhadap Negara – Kajian Putusan No.
28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pusat, Majalah Dictum-Jurnal
Kajian Putusan Pengadilan, edisi 2, 2004
Kato, Hisakazu, The Role of the Judicial System in Promoting
Environmental Management in Japan, Paper Presented at
the Regional Symposium on the Role of the Judiciary in
promoting Sustainable Development; Case Studies from
Japan and Developing Countries in East Asia, Bangkok,
Thailand, June 21 – 23, 2004.
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Edisi
Ketujuh, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1999
Lisa Ogle, Civil enforcement of environmental law. 5 October
2005. Indonesia-Australia Specialized Training Project
Phase III.
Luc Lavrysen, The role of national judges in environmental law.
www.inece.org/newsletter/12/lavrysen.pdf.
M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem
Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, PT Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1997
Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, Hak Gugat
Organisasi Lingkungan (Environmental Legal Standing) ,
ICEL, Jakarta, 1997.
Mas Achmad Santosa et al, Penerapan Asas Tanggung Jawab
Mutlak (Strict Liability) di Bidang Lingkungan Hidup, ICEL,
Jakarta, 1997
Mas Achmad Santosa, “Perkembangan Penerapan “Locus
Standi” dalam Gugatan Lingkungan.” Bab dalam buku
berjudul “Peringatan 70 Tahun Prof. Dr. Ateng Syafrudin,
SH,” Manuscript pra-penerbitan.
Mas Achmad Santosa, Good Governance Hukum Lingkungan,
ICEL, Jakarta, 2001
M. Said Saile, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup, CV Restu
Agung, Jakarta, 2003
Naskah Akademis Gugatan Perwakilan Kelompok (Class
Action), Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah
Agung RI, 2003
Okubo, Noriko, Improving Capability and Responsiveness in the
Judicial System, Paper Presented at the Regional
Symposium on the Role of the Judiciary in promoting
Sustainable Development; Case Studies from Japan and
Developing Countries in East Asia, Bangkok, Thailand,
June 21 – 23, 2004.
P Joko Subagyo, Hukum Lingkungan Masalah dan
Penanggulangannya, Rineka Cipta, Jakarta, 1999
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh
Hakim Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan –
Buku II, Mahkamah Agung RI, Cetakan ke-4, Jakarta,
2003
Pedoman Praktis Gugatan Class Action, Indonesian Center For
Environmental Law (ICEL), Jakarta, 2003
PERMA No. I Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok, berupa formulir Pemberitahuan Tentang
Pernyataan Keluar Dari Anggota Kelompok Gugatan
Perwakilan Kelompok
Policy Paper, Strategi Terintegrasi Penaatan & Penegakan
Hukum Lingkungan, ICEL, 2003
R Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Cetakan
Kesepuluh, Jakarta, 1993
Ranuhandoko, I.P.M., Terminologi Hukum; Inggris – Indonesia,
Sinar Grafika., Jakarta. 2000.
Retnowulan Sutanto et.al, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 1997.
Richard A.Posner, A Theory of Negligence, dalam Perspective
on Tort Law, Robert L. Rabin Little, Brown and Company,
Boston,1990
Rodger, William H., Jr, Environmental Law; Second Edition,
Hornbook Series, West Publishing Co. St. Paul, Minn.,
1994.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan
Lingkungan Nasional, Airlangga University Press,
Surabaya, 1996
Sodikin, Penegakan Hukum Lingkungan-Tinjauan atas Undang-
undang Nomor 23 Tahun 1997, Djambatan, Jakarta,
2003.
Soeroso, R, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta; Sinar
Grafika, 2005).
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Menurut
UUPLH, dimuat dalam Jurnal Hukum Lingkungan,
Indonesian Center For Environmental Law (ICEL), edisi
Tahun V No. 1 Agustus 1999
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata,
Alumni, Bandung, 1992
Van Zeben, D.J., and Mulkey, M.E., Choosing Among Criminal, Civil
Judicial, And Administrative Enforcement Options; A
Comparative Discussion Of United States And Netherlands
Experience. http://www.inece.org/2ndvol1/vzeben.htm.
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa lingkungan hidup yang baik dan


sehat merupakan hak asasi setiap warga
negara Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa pembangunan ekonomi nasional
sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan
berdasarkan prinsip pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan;
c. bahwa semangat otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia telah
membawa perubahan hubungan dan
kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintah daerah, termasuk di bidang
perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
d. bahwa kualitas lingkungan hidup yang
semakin menurun telah mengancam
kelangsungan perikehidupan manusia
dan makhluk hidup lainnya sehingga
perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang
sungguh-sungguh dan konsisten oleh
semua pemangku kepentingan;
e. bahwa pemanasan global yang semakin
meningkat mengakibatkan perubahan
iklim sehingga memperparah penurunan
kualitas lingkungan hidup karena itu
perlu dilakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
f. bahwa agar lebih menjamin kepastian
hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak setiap orang untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan
ekosistem, perlu dilakukan pembaruan
terhadap Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf f, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta
asal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERLIN-


DUNGAN DAN PENGELOLAAN LING-
KUNGAN HIDUP.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup,
serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitas lingkungan hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang
terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat
KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang
selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut
UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup
yang telah ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran
batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan
hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber
daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia
sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir
secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu
yang dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat
B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena
sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya
disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup
tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi
dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang
terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang
tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan
untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta
pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan
integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang
secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat
kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah,
pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas
terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan
oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan
kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan
generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi :
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.
BAB III
PERENCANAAN

Pasal 5
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan melalui tahapan :
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.

Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup

Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan
hidup :
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya
alam yang meliputi :
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion

Pasal 7
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar
dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh
Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kesamaan :
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.

Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan
untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta
cadangan sumber daya alam.

Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
terdiri atas :
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b disusun berdasarkan :
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c disusun berdasarkan :
a. RPPLH provinsi;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.

Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan :
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH
kabupaten/kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang :
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya
alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi
lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.

(5) RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam


rencana pembangunan jangka panjang dan rencana
pembangunan jangka menengah.

Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta
RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMANFAATAN

Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan
RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud padaayat (1)
belum tersusun, pemanfaatan sumberdaya alam
dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan
masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkunganhidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan;
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas
kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di
wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.

BAB V
PENGENDALIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan,
peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Bagian Kedua
Pencegahan

Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaan dan/atau kerusakan
lingkungan hidup terdiri atas :
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis

Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelan-
jutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan
KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam
penyusunan atau evaluasi :
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah
(RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau
program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu
wilayah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan,
rencana, dan/atau program; dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
kebijakan, rencana, dan/atau program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.

Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain :
a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.

Pasal 17
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah.
(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah
terlampaui.
a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan
tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi
KLHS; dan
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak
diperbolehkan lagi.

Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 2
Tata Ruang

Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang
wilayah wajib didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup

Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur
melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi :
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke
media lingkungan hidup dengan persyaratan :
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c,
huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e,
dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.

Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup

Pasal 21
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,
ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria
baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan
akibat perubahan iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi :
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan
pada paramater antara lain :
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 5
Amdal

Pasal 22
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria :
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad
renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai
potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.

Pasal 24

Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22


merupakan dasar penetapan keputusan kelayakan lingkungan
hidup.
Pasal 25

Dokumen amdal memuat :


a. pengkajian mengenai dampak rencana usaha dan/atau
kegiatan;
b. evaluasi kegiatan di sekitar lokasi rencana usaha dan/atau
kegiatan;
c. saran masukan serta tanggapan masyarakat terhadap
rencana usaha dan/atau kegiatan;
d. prakiraan terhadap besaran dampak serta sifat penting
dampak yang terjadi jika rencana usaha dan/atau kegiatan
tersebut dilaksanakan;
e. evaluasi secara holistik terhadap dampak yang terjadi untuk
menentukan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan
hidup; dan
f. rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.

Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.

Pasal 27
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan
kepada pihak lain.
Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan
evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan
Menteri.

Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang
dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur :
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis
usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan
dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak;
dan
f. organisasi lingkungan hidup.

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Penilai Amdal


dibantu oleh tim teknis yang terdiri atas pakar independen
yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk
untuk itu.
(3) Pakar independen dan sekretariat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan
kewenangannya.

Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan
amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi
lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan
amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan
ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 6
UKL-UPL

Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam
kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.

Pasal 35

(1) Usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib dilengkapi UKL-


UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib
membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
(2) Penetapan jenis usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria :
a. tidak termasuk dalam kategori berdampak penting
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan
b. kegiatan usaha mikro dan kecil.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai UKL-UPL dan surat
pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan
lingkungan hidup diatur dengan peraturan Menteri.
Paragraf 7
Perizinan

Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal
atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau
rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan
apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal
atau UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(4) dapat dibatalkan apabila :
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalah-
gunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan
data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau
UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan
pengadilan tata usaha negara.

Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan
dan keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh
masyarakat.

Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau
kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.

Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup

Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan
dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.

Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
huruf a meliputi :
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk
domestik regional bruto yang mencakup penyusutan
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
antar daerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi :
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
dan pemulihan lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam
bentuk :
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan
hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan
hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar
modal yang ramah lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan
limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan
hidup;
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.

Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup

Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang
memadai untuk membiayai :
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan
hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi
khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan
kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam
rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya
telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat
undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan
lingkungan hidup.

Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup

Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup,
ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau
kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan
analisis risiko lingkungan hidup.
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan
hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup

Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawabusaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka
meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
melaksanakan audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.

Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau
menugasi pihak ketiga yang independen untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.
(2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.

Pasal 51
(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan
hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup.
(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi kemampuan :
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit
lingkungan hidup;
b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi
tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan; dan
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai
tindak lanjut audit lingkungan hidup.
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal
51 diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Penanggulangan

Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penang-
gulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan :
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pemulihan

Pasal 54
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan :
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan
unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 55
(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan
untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan
menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.

BAB VI
PEMELIHARAAN

Pasal 57
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya :
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi kegiatan :
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang
tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi :
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan
pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi
atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan
pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat
(1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan
pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri
pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada
pihak lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantum-
kan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan
kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
izin.
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Dumping

Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau
bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.

Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya
dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI

Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan
sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung
pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu
dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada
masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat
informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi ling-
kungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH
DAN PEMERINTAH DAERAH

Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
nasional dan emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengendalian dampak perubahan iklim dan
perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
B3, limbah, serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosiali-
sasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium
lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
pemerintah provinsi bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan
emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan
kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antarkota
serta penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program
dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada
tingkat provinsi.

(3) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,


pemerintah kabupaten/kota bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat
kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH kabupaten/kota;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan
emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan
kemitraan;
g. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabu-
paten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem
informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabu-
paten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada
tingkat kabupaten/kota.

Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan
oleh Menteri.

BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Bagian Kesatu
Hak

Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan
hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban :
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat,
terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Bagian Ketiga
Larangan

Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang :
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media
lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan
hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h


memperhatikan dengan sungguhsungguh kearifan lokal di
daerah masing-masing.
BAB XI
PERAN MASYARAKAT

Pasal 70
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa :
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,
pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk :
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat,
dan kemitraan;
c. menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d. menumbuh kembangkan ketanggap segeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF

Bagian Kesatu
Pengawasan

Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan
hidup yang merupakan pejabat fungsional.

Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin
lingkungan.

Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 74
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang :
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas
lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan
pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang
menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup.

Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas :
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.

Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah
menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang
serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.

Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.

Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau
pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.

Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 ayat (2) huruf b berupa :
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi
lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa
didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan
menimbulkan :
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak
segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya;
dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya.

Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas
setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.

Pasal 82
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk
memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau
dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan
lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 84
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan
secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa.

Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter
untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 86
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi
pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak
berpihak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan

Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan

Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari
suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak

Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.

Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan

Pasal 89
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku
terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3.

Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pasal 90
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat

Pasal 91
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk
kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta
atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara
wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup

Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan
hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan
apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.

Paragraf 7
Gugatan Administratif

Pasal 93
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara apabila :
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi
tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak
dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata
usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara.

BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN

Bagian Kesatu
Penyidikan

Pasal 94
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang
berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan
dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau
membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian,
ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik
pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan
penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil
memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran
penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan
tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai
negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.

Pasal 95
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan
hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan
hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-
undangan.

Bagian Kedua
Pembuktian

Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan
hidup terdiri atas :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan/atau
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 97
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.

Pasal 98
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).

Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku
mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali.

Pasal 101
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan
ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).

Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).

Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa
memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 111
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin
lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi
dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).

Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pence-
maran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya
dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat
pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-
sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.

Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan
usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di
dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.

Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan
atau tindakan tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun.

Pasal 120
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa
berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
untuk melaksanakan eksekusi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk
mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 121
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit
lingkungan hidup.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen
pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 122
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup
wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup.

Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin
lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-
Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diberlakukan.

Pasal 127
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta pada


tanggal 3 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 140

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,

ttd

SETIO SAPTO NUGROHO


PUTUSAN
Nomor: 116/Pdt.G/2004/PN.JKT.PST.

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan


mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, yang bersidang
secara Majelis telah menjatuhkan putusan sebagai berikut
dalam perkara:
1. CARREL TICUALU, SH
2. M.A. RAJA NASUTION, S.H.
3. FAJAR SANTOSO, S.H.
4. M. RUSDA MAWARDI, S.H.
5. DWI NARDIANTO, S.H.
6. SUGENG TEGUH SANTOSO, S.H. DAN Kawan-kawan
Advokat-Advokat dari Tim Advokasi Pemilihan Umum
yang beralamat di Jl. Suryo No. 41 Senopati Blok S
Kebayoran Baru Jakarta Selatan, bertindak untuk diri
sendiri dan bersama-sama untuk dan atas nama
pemberi kuasa :

1. Nama : ZAM ZAMI


Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Merak No. 46 Neusu Aceh
Kec. Baiturrahman Kota Banda
Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam,
sebagai : Penggugat I ;

2. Nama : JERRY ROMPAH


Pekerjaan : Pemulung
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : ex. Pos polisi Menteng, Jl. Pegang-
saan Barat, Jakarta Pusat, sebagai
: Penggugat II ;
3. Nama : DAHTIAR
Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Brigjen H. Hasan Basri Gg Al
Amin No. 6 RT 01 RW 01
Kelurahan Sungai Miai Banjar-
masin Utara, Kalimantan Selatan,
sebagai : Penggugat III.

4. Nama : ALIF KAMAL


Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Bunga Bangsa RT 06/RW 001
Tamalanrea Jaya Kec. Tama-
lanrea, Kota Makasar 90245,
sebagai: Penggugat IV

5. Nama : ABDUL HAKIM, SH


Pekerjaan : Advokat
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Jl. Muhammad Hatta No. 45 Kota
Kupang, Nusa Tenggara Timur
sebagai: Penggugat V;

6. Nama : CHARLES A.M. IMBIR


Pekerjaan : Mahasiswa
Kewarganegaraa : Indonesia
Alamat : Jl. Yos Sudarso I Kp. Baru RT
02/RW 002 Sorong, sebagai:
Penggugat VI.

Berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 10 April 2004


Legalisasi Nomor : 386/Leg.Srt. Kuasa/PN.JKT.PST tanggal 11
Mei 2004 dalam hal ini beranggotakan 6 (enam) orang sebagai
kelompok kecil mewakili masing-masing kelompok di Pulau
Sumatera dan Bangka Belitung untuk Penggugat I, Masyarakat
Pulau Jawa untuk Penggugat II, Penggugat III untuk Pulau
Kalimantan, Penggugat IV untuk Pulau Sulawesi, Penggugat V
di Pulau Bali dan Nusa Tenggara dan Penggugat VI di Pulau
Papua dan Maluku yang berjumlah kurang lebih 30.000.000
(tiga puluh juta) orang sebagai “Class Member” disebut Para
Penggugat Class Action.

MELAWAN
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini adalah Ketua,
Wakil Ketua, beserta seluruh Anggota KPU yang beralamat di Jl.
Imam Bonjol No. 29, Jakarta Pusat, sebagai : Tergugat Class
Action.

PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT;


Telah membaca, menelaah dan memperhatikan dengan
seksama seluruh berkas dalam perkara ini;
Telah mengkaji, menganalisis dan mempertimbangkan
tanggapan dari Tergugat;
Telah membaca, meneliti dan memperhatikan bukti-bukti yang
diajukan para pihak berperkara;
Telah mengeluarkan Penetapan Nomor : 116 / Pdt.G / 2004 /
PN.JKT.PST tentang prosedural gugatan para penggugat class
action;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA :


Menimbang, bahwa Para Penggugat dalam surat gugatannya
tertanggal 13 April 2004 yang diterima dan didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 13
April 2004 dalam daftar register perkara nomor :
116/Pdt.G/2004/PN.JKT.PST telah menggugat Tergugat dengan
mengemukakan dalil-dalil hukum sebagai berikut :

(KUTIF GUGATAN)
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan
Para Penggugat menghadap Sdr. Carrel Ticualu, SH dan
kawan-kawan, yang bertindak baik untuk diri sendiri maupun
kuasa dari Para Penggugat, demikian juga dengan pihak
Tergugat menghadap para kuasa hukumnya bernama :
1. Amir Syamsuddin, SH. MH
2. Denny Kailimang, SH. MH
3. Sirra Prayuna, SH
4. Nurhasyim Ilyas SH. MH
5. Didi Irawadi Syamsuddin, SH. MH
6. Yosef B. Badeoda, SH. MH. Dan kawan-kawan berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 1 Juni 2004 Legalisasi Nomor:
478/Leg.Srt.Kuasa/PN.JKT.PST tanggal 09 Juni 2004.

Menimbang, bahwa Majelis telah berusaha mendamaikan


kedua belah pihak berperkara sebagaimana ketentuan Pasal
130 HIR dan Peraturan Mahkamah Agung RI yaitu dengan
ditunjuknya hakim mediasi akan tetapi tidak berhasil, maka
pemeriksaan atas perkara bersangkutan dilanjutkan dengan
membacakan gugatan PENGGUGAT yang isinya tetap
dipertahankan tanpa adanya perubahan;
Menimbang, bahwa atas gugatan Class Action Para
Penggugat tersebut maka pihak Tergugat mengajukan jawaban
sebagai berikut :

(KUTIF TANGGAPAN TERGUGAT)


Menimbang, bahwa untuk meneguhkan gugatannya,
Penggugat mengajukan Replik tertanggal 25 Agustus 2004 dan
untuk meneguhkan jawabannya Tergugat mengajukan Duplik
tertanggal 6 September 2004;
Menimbang, bahwa dengan tujuan untuk menguatkan dalil-
dalil gugatannya pihak Penggugat mengajukan photocopy surat-
surat bukti bermeterai cukup (dinazegelen) dan telah dicocokkan
dengan aslinya, sebagai berikut :
Fotocopy Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia (Bukti P.1);
a. Fotocopy Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 (Bukti
P.2);
b. Fotocopy Kompas Cyber Media (Bukti P.3);
c. Fotocopy Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang telah
diratifikasi (Bukti P.4) ;
d. Fotocopy Surat Pengaduan (Bukti P.5);
e. Fotocopy Kliping Koran Kompas (Bukti P.6.1);
f. Fotocopy Kliping Koran Suara Merdeka (Bukti P.6.2);
g. Fotocopy Kliping Koran Kompas tentang perintah Presiden
Megawati mengenai kesiapan logistik di Daerah (Bukti
P.6.3);
h. Fotocopy Kliping Koran Kompas tentang pernyataan direktur
sistem informasi BPS(Bukti P.6.4);
i. Fotocopy Kliping Koran Warta Kota (Bukti P.6.5);
j. Fotocopy Kliping Koran Kompas tentang pernyataan Wakil
Ketua KPU (Bukti P.6.6);
k. Fotocopy Kliping Koran Solo Pos (Bukti P.6.7);
l. Fotocopy Proyeksi penduduk Indonesia dari BPS (Bukti
P.7);
m. Fotocopy Kliping Putusan KPU (Bukti P.8);
n. Fotocopy dari Cetro (Bukti P.9);
o. Fotocopy Berita Bali Post (Bukti P.10);
p. Fotocopy Detail Pemantauan Media (Bukti P.11);
q. Fotocopy on line Sinar Harapan (Bukti P.12);
r. Fotocopy berita tanggal 15 April 2004 (Bukti P.13);

Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil


jawabannya tergugat dimuka persidangan mengajukan alat-alat
bukti berupa :
a. Fotocopy Keputusan KPU No. 165.2 Tahun 2002 (Bukti
P.1);
b. Fotocopy Keputusan KPU No. 624 Tahun 2003 (Bukti P.2);
c. Fotocopy Keputusan KPU No. 16 Tahun 2004 (Bukti P.3);
d. Fotocopy Keputusan KPU No. 02 Tahun 2004 (Bukti P.4);
e. Fotocopy Keputusan KPU No. 01 Tahun 2004 (Bukti P.5);
f. Fotocopy 1 (satu) bendel Pamflet dan stiker Pemilu
Tahun 2004 (Bukti P.6);

Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian putusan ini


maka segala sesuatu yang terjadi di depan persidangan
sebagaimana dimuat dalam Berita Acara Persidangan dianggap
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam putusan
ini;
Menimbang, bahwa kedua belah pihak berperkara telah pula
mengajukan kesimpulan masing-masing, dan semua pada
akhirnya mereka lalu sama-sama mohon putusan pengadilan;

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA :

Dalam Eksepsi :
Menimbang, bahwa Eksepsi Tergugat pada pokoknya
berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut :
1. Bahwa para penggugat tidak memiliki alas hak dan
kedudukan sebagai legitima persona standi judicio dalam
perkara ini karena sama sekali tidak ditemukan kepentingan
hukum antara para penggugat dengan tergugat;
2. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan kedudukan para penggugat yang mewakili
kelompok masyarakat Indonesia karena tidak menjelaskan
secara rinci kelompok masyarakat seperti apa yang diwakili
di Pulau Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan,
Papua dan Maluku;
3. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tergugat selaku penguasa yaitu melanggar
kepatutan bernegara, kepatutan atas hak asasi manusia dan
melanggar hukum Pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 dan Pasal
12 UU 12/2003;
4. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan karena mencampuradukan pengertian pemilu
legislatif 2004 dengan pemilu 2004;
5. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas karena
petitum dalam provisi berisikan petitum sita jaminan yang
tanpa didahului dengan permohonan dalam provisi;

Menimbang, bahwa terhadap eksepsi sebagaimana tersebut


di atas maka Majelis akan mempertimbangkan eksepsi tersebut
secara satu persatu;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi angka 1, yaitu : “Bahwa
para penggugat tidak memiliki alas hak dan kedudukan sebagai
legitima persona standi judicio dalam perkara ini karena sama
sekali tidak ditemukan kepentingan hukum antara para
penggugat dengan tergugat”, maka Majelis berpendirian bahwa
perkara yang sedang diadili adalah perkara gugatan class action
dimana asas legitima persona standi judicio terlihat dengan
adanya kesamaan kepentingan hukum dalam aspek adanya
faktor kesamaan antara wakil kelas (class representatives) dan
anggota kelasnya (class members). Pada dasarnya, kesamaan
tersebut dapat terjadi karena adanya kesamaan faktanya
(question of fact) maupun kesamaan hukum yang dilanggar
(question of law). Secara teoritik dan praktik aspek ini
merupakan anasir “Commonality and Typicality and Similarity”.
Dalam konteks ini, apabila diperhatikan gugatan Para
Penggugat dan tanggapan dari tergugat maka pada hakekatnya
ada kesamaan fakta atau peristiwa dimana ditemukan sejumlah
orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih sehingga tidak dapat
mempergunakan dan kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu
Indonesia tahun 2004. Dari optik demikian maka terdapat
kesamaan kausa penyebab antara wakil kelas dan anggauta
kelasnya yaitu sama-sama menjadi korban yang kehilangan hak
pilihnya. Kemudian juga terdapat kesamaan dasar hukum yang
digunakan yang bersifat substansial yaitu Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Selain itu pula juga
didasarkan kepada jenis tuntutan yang sama diantara wakil
kelompok dengan anggauta kelompoknya yaitu tuntutan ganti
kerugian karena adanya perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1365, 1366 dan
1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
disebutkan di atas maka adanya hubungan hukum antara para
penggugat dengan tergugat sebagaimana manifestasi dari asas
legitima persona standi judicio sehingga adalah layak, adil dan
berargumentasi hukum apabila eksepsi angka 1 dari tergugat
dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi tergugat angka 2 yang
menyatakan, “gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan kedudukan para penggugat yang mewakili
kelompok masyarakat Indonesia karena tidak menjelaskan
secara rinci kelompok masyarakat seperti apa yang diwakili di
Pulau Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Papua
dan Maluku”, maka majelis berpendirian bahwa anasir ini telah
pernah dipertimbangkan Majelis dalam Penetapan Nomor :
116/Pdt.G./2004/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Juli 2004 dimana
pertimbangan dalam penetapan tersebut diambil alih lagi dalam
pertimbangan putusan ini yang merupakan satu kesatuan dan
tidak terpisahkan dalam putusan ini yang pada pokoknya
gugatan class action dari para penggugat telah memenuhi
persyaratan sebagaimana ketentuan Perma Nomor 1 Tahun
2002 yaitu memenuhi persyaratan class action seperti
Numerousity atau jumlah anggota kelompok yang banyak,
Commonality and Tpicality and Similarity dan kelayakan
perwakilan (Adequcy of Representation), sehingga berargumen-
tasi hukum apabila eksepsi angka 2 dari tergugat dinyatakan
ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi angka 3 dari tergugat
tentang, “gugatan para penggugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh tergugat selaku penguasa yaitu melanggar kepatutan
bernegara, kepatutan atas hak asasi manusia dan melanggar
hukum Pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 dan Pasal 12 UU
12/2003”, maka Majelis berpendirian bahwa aspek ini bukan
merupakan materi eksepsi oleh karena sudah memasuki wilayah
pokok perkara (bodem geschill) yang harus dibuktikan melalui
proses pembuktian, dan oleh karena itu maka eksepsi tergugat
angka 3 juga dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa terhadap eksepsi angka 4 dari tergugat
tentang, ”bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan karena mencampuradukan pengertian pemilu legislatif
2004 dengan pemilu 2004”, dan eksepsi angka 5 tentang
“gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas karena petitum
dalam provisi berisikan petitum sita jaminan yang tanpa
didahului dengan permohonan dalam provisi”, maka majelis
menetapkan pendiriannya sebagai berikut :
1. Bahwa terhadap eksepsi angka 4 maka esensi apakah
benar ataukah tidak adanya gugatan kabur dan tidak jelas
berkaitan mencampuradukan pengertian pemilu legislatif
2004 dengan pemilu 2004 maka aspek ini bukan merupakan
wilayah eksepsi baik yang bersifat materiil seperti eksepsi
dilatoir maupun eksepsi peremptoir maupun eksepsi
formal/procesuil seperti eksepsi deklinator, eksepsi
litispendentie, eksepsi inkracht van gewijsde zaak, eksepsi
plurium litis consortium, eksepsi diskualifikator, eksepsi
koneksitas maupun eksepsi van Beraad dan juga aspek
tersebut telah memasuki pokok perkara (bodem geschill)
sehingga irrelevant dipertimbangkan lebih detail;
2. Bahwa terhadap eksepsi angka 5 ini maka majelis
berpendirian dengan bertitik tolak dari jawaban dan replik
beserta duplik baik dari para penggugat maupun tergugat
adanya polarisasi pemikiran dimungkinkan tuntutan provisi
terhadap sita jaminan maka untuk aspek ini majelis akan
mempertimbangkan secara lebih spesifik materi aspek ini
dalam pertimbangan terhadap tuntutan dalam provisi ;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-


bangan sebagaimana telah diuraikan di atas maka majelis
berpendirian adalah layak, adil dan berargumentasi hukum
apabila dinyatakan eksepsi tergugat angka 4 dan 5 juga
dinyatakan ditolak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-
bangan di atas maka eksepsi tergugat adalah adil dari perspektif
yuridis apabila dinyatakan ditolak untuk seluruhnya;
Dalam Provisi :
Menimbang, bahwa adapun maksud tuntutan provisi
penggugat adalah sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian dalam putusan
ini maka segala sesuatu yang telah dipertimbangkan dalam
eksepsi sepanjang relevan maka secara mutatis mutandis
dianggap telah turut dipertimbangkan dan dianggap satu
kesatuan yang bulat dan utuh dalam pertimbangan tuntutan
provisi ini;
Menimbang, bahwa Penggugat pada pokoknya mengajukan
provisi tentang aspek bahwa untuk menjamin terlaksananya
ganti rugi dan berharganya gugatan ini maka perlu kiranya
meletakkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) atas aset-aset
KPU berupa bangunan gedung KPU yang terletak di Jl. Imam
Bonjol bo. 29 Jakarta Pusat, fasilitas para anggota KPU benda
bergerak dan tidak bergerak, serta anggaran KPU yang
digunakan untuk menyelenggarakan pemilu 2004;
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan provisi pengugat
tersebut maka Majelis mempertimbangkan tentang aspek-aspek
sebagai berikut :
1. Bahwa berdasarkan kajian teoritik ketentuan Pasal 180 ayat
(1) HIR/Pasal 191 ayat (1) RBg, Pasal 53 Rv maka putusan
provisi adalah putusan yang berisikan agar hakim
menjatuhkan putusan yang sifatnya segera dan mendesak
dilakukan terhadap salah satu pihak dan bersifat sementara
di samping adanya tuntutan pokok dalam surat gugatan.
(Vide lebih lanjut: Lilik Mulyadi, SH, MH, Tuntutan Provisionil
Dalam Hukum Acara Perdata Pada Praktik Peradilan,
Penerbit : Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 25).;
2. Bahwa terhadap tuntutan provisi Para Penggugat yang
menyatakan: “bahwa untuk menjamin terlaksananya ganti
rugi dan berharganya gugatan ini maka perlu kiranya untuk
meletakkan sita jaminan (Conservatoir Beslag) atas aset-
aset KPU berupa bangunan gedung KPU yang terletak di
Jl. Imam Bonjol No. 29 Jakarta Pusat, fasilitas para anggota
KPU benda bergerak dan tidak bergerak, serta anggaran
KPU yang digunakan untuk menyelenggarakan pemilu
2004”, maka Majelis berpendirian bahwa dengan bertitik
tolak kepada pendapat dari teoritisi Lilik Mulyadi, SH MH
dalam bukunya Tuntutan Provisionil Dalam Hukum Acara
Perdata Pada Praktik Peradilan, hal 88 maka adanya
tuntutan provisi terhadap sita jaminan merupakan salah
kaprah dalam praktek hukum acara perdata dimana sifat
dasar tuntutan provisi dan sita jaminan adalah berbeda.
Oleh karena itu dengan dasar pertimbangan tersebut di
atas, maka Majelis berpendirian bahwa terhadap sita
jaminan ini tidaklah tepat apabila dimasukkan dalam
tuntutan provisi oleh karena hakekat tuntutan provisi
berbeda dengan sita jaminan apalagi penggugat dalam
petitum angka 3 surat gugatan juga telah mencantumkannya
maka aspek ini irrelevant dan dikesampingkan
dipertimbangkan dalam tuntutan provisi dan lebih tepat
dipertimbangkan dalam putusan pokok perkara
sebagaimana dikenal dari aspek teoritik dan praktik
peradilan, maka oleh karena itu adalah adil, layak dan
berdasarkan hukum apabila tuntutan provisi dari para
penggugat dikesampingkan dan dinyatakan tidak dapat
diterima;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan


sebagaimana tersebut di atas maka majelis berpendirian adalah
layak, adil, sudah sepantasnya dan berdasarkan hukum apabila
tuntutan provisi Para Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara :


Menimbang, bahwa adapun maksud gugatan Para
penggugat adalah sebagaimana tersebut di atas;
Menimbang, bahwa untuk menyingkat uraian dalam putusan
ini maka segala sesuatu yang telah dipertimbangkan dalam
eksepsi dan dalam provisi sepanjang relevan maka secara
mutatis mutandis dianggap telah turut dipertimbangkan dan
dianggap satu kesatuan yang bulat dan utuh dalam
pertimbangan tuntutan dalam pokok perkara ini;
Menimbang, bahwa apabila diperhatikan secara lebih
cermat, detail dan terperinci gugatan para penggugat dan
jawaban dari para tergugat class action maka pada hakekatnya
pokok persengketaan ini secara substansial bertitik tolak kepada
adanya hak memilih yang tidak dapat dipergunakan sebagai-
mana mestinya dari para penggugat class action karena adanya
perbuatan melawan hukum dari tergugat class action sedangkan
di pihak lain tergugat membantahnya maka oleh karena itu
dengan bertitik tolak kepada dasar pertimbangan sebagaimana
ketentuan Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan Pasal 1865 KUH
Perdata Majelis menetapkan beban pembuktian kepada kedua
belah pihak yang berperkara;
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan meneliti dan
mempertimbangkan petitum surat gugatan penggugat secara
satu persatu;
Menimbang, bahwa terhadap petitum angka 2 para
penggugat class action tentang: ”menyatakan tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad)
karena telah tidak memberikan hak pilih penggugat pada pemilu
legislatif 2004”, maka majelis mempertimbangkan tentang
aspek-aspek sebagai berikut :
a. Bahwa untuk membuktikan dalil gugatannya maka para
penggugat class action mengajukan alat bukti surat berupa
P.1, P.2, P.3, P.4, P.5, P.6.1., 6.2., 6.3, 6.4, 6.5, 6.6, 6.7,
P.7, P.8, P.9, P.10, P.11, P.12, dan P.13 sedangkan
tergugat class action mengajukan alat bukti surat berupa
T.1, T.2, T.3, T.4, T.5, dan T.6 ;
b. Bahwa berdasarkan ketentuan bukti P.1 berupa ketentuan
Pasal 43 ayat (1) UU 39 tahun 1999 ditentukan, “Setiap
warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam
pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan-undangan”, dan bukti P.2 berupa ketentuan
Pasal 13 UU 12/2003 yang berbunyi, “Warga negara
Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara
sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah
kawin mempunyai hak memilih,” sedangkan ketentuan Pasal
53 UU 12/2003 menentukan, bahwa, “Pendaftaran pemilih
dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih dengan
mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat dilakukan
secara aktif oleh pemilih”;
c. Bahwa dengan tolak ukur ketentuan Pasal 53 UU 12/2003
maka yang jadi permasalahan sekarang adalah para
penggugat class action tidak terdaftar sebagai pemilih
sehingga kehilangan hak pilihnya dalam pemilu legislatif
tahun 2004, maka untuk itu majelis akan mempertim-
bangkan dan menetapkan pendiriannya tentang aspek-
aspek sebagai berikut :
1. Berdasarkan perumusan kebijakan formulatif ketentuan
Pasal 53 UU 12/2003 yang berbunyi, “Pendaftaran
pemilih dilakukan oleh petugas pendaftar pemilih
dengan mendatangi kediaman pemilih dan/atau dapat
dilakukan secara aktif oleh pemilih” maka perumusan
tersebut mensiratkan eksistensi adanya kewajiban
petugas pendaftar pemilih in caqu Komisi Pemilihan
Umum (KPU) untuk mendatangi kediaman pemilih
terlebih dahulu dan/atau oleh pemilih dilakukan
pendaftaran secara aktif. Perumusan ketentuan Pasal
53 UU 12/2003 tersebut bersifat campuran atau
gabungan, akan tetapi yang substansial dan harus
dilakukan menurut perumusan Pasal 53 UU 12/2003
adalah adanya kewajiban petugas pendaftar pemilih
terlebih dahulu untuk mendatangi pemilih sedangkan
dengan adanya redaksional kata “dapat” mensiratkan
bukan kewajiban imperatif pemilih yang harus
mendaftar, akan tetapi kewajiban fakultatif dari
pendaftar yang dapat mendaftar secara aktif apabila
belum dilakukan pendaftaran oleh petugas pendaftar;
2. Bahwa berdasarkan bukti P.3, P.5, 6.1, P.2, P.6.5,
P.6.6, P.6.7, P.11, P.12 dan P.13 faktanya banyak
orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih sehingga
tidak dapat melaksanakan hak pilihnya dalam pemilu
legislatif 2004 di satu sisi sedangkan di sisi lainnya
kebijakan formulatif ketentuan Pasal 53 UU 12/2003
mensiratkan adanya kewajiban petugas pemilih yang
mendatangi kediaman pemilih, sedangkan pemilih
hanyalah melekat kewajiban yang bersifat fakultatif
dalam hal mendatangi petugas pemilih secara aktif.
Aspek ini merupakan konsekuensi logis dan yuridis dari
kebijakan formulatif ketentuan Pasal 53 UU 12/2003
yang mempergunakan perumusan campuran atau
gabungan dalam perumusan pasal tersebut sebagai-
mana redaksional kata “dapat” yang berarti mempunyai
makna bersifat “fakultatif”;
3. Bahwa berdasarkan bukti-bukti yang diajukan tergugat
class action berupa bukti T.1, T.2, T.3, T.4, T.5, dan T.6,
pada dasarnya berorientasi kepada dimensi Keputusan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pelaksanaan
pendaftaran pemilih, Jumlah pemilih, Tata cara
pemungutan dan perhitungan suara dan sosialisasi
perhitungan suara maka secara global tidak ada
menjawab aspek mengapa sampai begitu banyak
orang yang tidak terdaftar sebagai pemilih untuk pemilu
sehingga kehilangan hak suaranya dalam pemilu
legislatif 2004, sedangkan berdasarkan bukti T.3 maka
orang yang terdaftar untuk pemilu legislatif sebanyak
147.310.885 orang dan berdasarkan bukti T.10, T.11,
T.12 dan T.13 banyak orang yang tidak terdaftar dan
kehilangan hak suaranya sebagai pemilih yang berkisar
jumlah 30.000.000 orang;
4. Bahwa dengan banyaknya orang yang tidak terdaftar
sebagai pemilih dan kehilangan hak pilihnya dalam
pemilu legislatif 2004 maka yang jadi permasalahan
lebih jauh dan perlu dikaji lebih intens dan terperinci
adalah apakah perbuatan petugas pendaftar pemilih
yang merupakan ruang lingkup tugas dan kerja Komisi
Pemilihan Umum (KPU) sebagai tergugat class action
dapatkah dikategorisasikan sebagai perbuatan melawan
hukum ataukah tidak maka majelis mempertimbangkan
dan menetapkan pendiriannya tentang anasir-anasir
sebagai berikut :
(a). Bahwa pada dasarnya dalam ilmu hukum dikenal 3
(tiga) kategorisasi dari perbuatan melawan hukum
yaitu perbuatan melawan hukum karena
kesengajaan, perbuatan melawan hukum tanpa
kesalahan dan perbuatan melawan hukum karena
kelalaian. Dari ketiga model pengaturan KUH
Perdata Indonesia tentang perbuatan melawan
hukum maka model tanggung jawab hukum dapat
berupa tanggung jawab dengan unsur kesalahan
baik karena kesengajaan maupun kelalaian
sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1365
KUH Perdata, tanggung jawab dengan unsur
kesalahan, khususnya unsur kelalaian sebagai-
mana terdapat dalam Pasal 1366 KUH Perdata dan
tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) dalam
arti yang sangat terbatas pada ketentuan Pasal
1367 KUH Perdata;
(b) Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata, pendapat doktrina hukum perdata seperti
Munir Fuady, S.H., M.H., LLM dalam bukunya:
“Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontem-
porer”, Rosa Agustina dalam bukunya: “Perbuatan
Melawan Hukum”, M.A. Moegni Djojodirdjo dalam
bukunya: “Perbuatan Melawan Hukum”, dan L.C.
Hofmann dalam bukunya: “Het Nederlandsch
Verbintenissenrecht”, maka pada hakekatnya anasir
atau unsur perbuatan melawan hukum mencakup :
1. Harus adanya suatu perbuatan.
2. Perbuatan itu harus melawan hukum.
3. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
4. Ada kerugian.
5. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan
melawan hukum itu dengan kerugian.

Menimbang, bahwa sekarang majelis akan mempertim-


bangkan dan meneliti anasir perbuatan melawan hukum tersebut
dikorelasikan dengan gugatan penggugat class action;
ad.1. Harus adanya suatu perbuatan.
Pada dasarnya, perbuatan di sini dapat berupa perbuatan
baik bersifat positif maupun bersifat negatif, artinya setiap
tingkah laku berbuat atau tidak berbuat. Menurut William C.
Robinson dalam bukunya: “Elementary Law”, maka pengertian
“perbuatan” dalam “perbuatan melawan hukum” adalah
Nonfeasance yaitu merupakan tidak berbuat sesuatu yang
diwajibkan oleh hukum, Misfeasance yaitu perbuatan yang
dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan
kewajibannya atau merupakan perbuatan dimana adanya hak
untuk melakukannya, dan Malfeasance merupakan perbuatan
yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk
melakukannya. Dengan tolok ukur sebagaimana konteks di atas
maka adanya ketentuan Pasal 53 UU 12/2003 yang
menghendaki petugas pendaftar pemilih yang mendatangi
kediaman pemilih maka kebijakan formulatif memberi
perumusan limitatif atau imperatif kepada petugas pendaftar
pemilih i.c. Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendata
pemilih sehingga pemilih dapat mendaftar dan tidak kehilangan
hak pilih dalam Pemilu legislatif 2004, akan tetapi fakta yang
terjadi berdasarkan bukti surat P.10, P.11, P.12 dan P.13
ternyata banyak orang yang tidak terdaftar dan kehilangan hak
pilihnya maka aspek ini merupakan Nonfeasance dan
Misfeasance;

Ad.2. Perbuatan itu harus melawan hukum.


Dikaji dari aspek teoritik dan praktik peradilan pada
hakekatnya sebelum tahun 1919 Hoge Raad Belanda dalam
Arrestnya tanggal 18 Pebruari 1853, Arrest tanggal 6 Januari
1905 dan Arrest tanggal 10 Juni 1910 berpendapat dan
menafsirkan perbuatan melawan hukum dalam artian sempit,
dimana perbuatan melawan hukum dinyatakan sebagai berbuat
atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau
bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang telah diatur
oleh undang-undang. Kemudian pada tahun 1919, Hoge Raad
Belanda melalui Arrest tanggal 31 Januari 1919 menafsirkan
perbuatan melawan hukum dalam artian luas, yang meliputi
perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku,
melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum atau
perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku, atau perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan
dan perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik
dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang
lain. Dalam perkara gugatan class action ini ternyata para
penggugat class action maupun masyarakat lainnya
berdasarkan bukti P.10, P.11, P.12 dan P.13 kurang lebih sekitar
30.000.000 orang tidak terdaftar dan kehilangan hak pilihnya
dan berdasarkan bukti tersebut di atas, maka perbuatan yang
dilakukan oleh tergugat class action adalah perbuatan yang
melanggar undang-undang yang berlaku khususnya Pasal 53
UU 12/2003 yang menentukan petugas pendaftar pemilih yang
mendatangi kediaman pemilih sehingga dengan demikian
diharapkan oleh kebijakan formulatif tidak adanya orang yang
tidak terdaftar dan kehilangan hak pilihnya dalam Pemilu
legislatif 2004, dan karena para penggugat class action tidak
terdaftar dan tidak dapat mempergunakan hak pilihnya dalam
pemilu legislatif 2004 maka perbuatan tergugat tersebut
merupakan perbuatan yang melanggar hak orang lain yang
dijamin oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku dan perbuatan yang bertentangan
dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain.

Ad.3. Adanya kesalahan dari pihak si pelaku.


Pada hakekatnya, ketentuan perbuatan melawan hukum
dalam ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata dan yurisprudensi
Mahkamah Agung RI mensyaratkan adanya unsur kesalahan,
sehingga konsepsi tanggung jawab tanpa kesalahan (strict
liability) tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan ketentuan
Pasal 1365 KUH Perdata. Dikaji dari perspektif teoritik dan
praktik peradilan maka ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
unsur “kesalahan” (schuld) mencakup anasir adanya unsur
kesengajaan (dolus), Adanya unsur “kelalaian” (negligence,
culpa), dan adanya alasan pembenar dan pemaaf
(rechtsvaardigingsround). Dalam perkara a quo ternyata para
penggugat class action tidak terdaftar dan tidak dapat
mempergunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2004 maka
perbuatan tergugat tersebut dapat dikategorisasikan sebagai
anasir kesalahan dari tergugat class action berupa “kelalaian”
(negligence, culpa), selain melanggar hak orang lain yang
dijamin oleh hukum atau perbuatan yang bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku dan perbuatan yang bertentangan
dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memper-
hatikan kepentingan orang lain, juga memenuhi unsur pokok
“kelalaian” (negligence, culpa), seperti disyaratkan ilmu hukum
yang berupa adanya perbuatan yang mengabaikan sesuatu
yang mestinya dilakukan, adanya suatu kewajiban kehati-hatian
(duty of care), kemudian tidak dijalankan kewajiban kehati-hatian
tersebut, adany kerugian bagi orang lain dan adanya hubungan
kausal antara perbuatan dengan kerugian yang ditimbulkannya.
Selain itu, majelis juga dengan bertitik tolak kepada teori Res
Ipsa Loquitoir, yaitu dengan banyaknya jumlah orang yang tidak
terdaftar dan kehilangan hak pilihnya maka di sini adanya aspek
“kelalaian” (negligence, culpa), dari petugas pendaftar pemilih in
caqu Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ad.4. Ada kerugian.


Pada dasarnya, kerugian dalam konteks ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata menurut yurisprudensi selain dikenal dengan
bentuk kerugian materiil, juga berupa kerugian inmateriil yang
dapat dinilai dengan bentuk uang. Dalam perkara a qu quo
ternyata para penggugat class action tidak terdaftar dan dapat
mempergunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2004 maka
perbuatan tergugat tersebut menimbulkan kerugian bagi para
penggugat class action, dimana menurut ketentuan Pasal 1365
KUH Perdata yang dimaksudkan dengan kerugian (schade)
adalah kerugian yang timbul karena adanya perbuatan melawan
hukum.

Ad.5. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan


melawan hukum itu dengan kerugian.
Pada esensinya, hubungan sebab akibat antara perbuatan
melawan hukum dengan kerugian tercakup dalam teori
hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab
akibat secara faktual (causalition in fact) merupakan masalah
“fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Dalam perkara
a quo ternyata para penggugat class action tidak terdaftar dan
dapat mempergunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif 2004
sehingga menderita kerugian dalam menjalankan hak
konstitusional maupun kehidupan berdemokrasi maka di sini ada
hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu
dengan kerugian.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-
bangan sebagaimana tersebut di atas maka majelis berpen-
dirian bahwa penggugat class action dapat membuktikan dalil
gugatannya bahwa tergugat class action in caqu Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dengan tidak memberikan hak pilih
kepada penggugat class action merupakan perbuatan melawan
hukum, dan oleh karena itu petitum angka 2 dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa sekarang majelis akan meneliti dan
mempertimbangkan petitum angka 4 yang menyatakan,
“memerintahkan kepada tergugat untuk membayar ganti
kerugian immateriil yang diderita para penggugat yang timbul
akibat perbuatan tergugat tidak memberikan hak pilih para
penggugat pada pemilu legislatif 2004 sebesar Rp.
1.000.000.000.000,00 (Satu Trillyun Rupiah), dan kerugian
materiil para penggugat sebesar Rp. 780.000.000.000,00 (Tujuh
ratus delapan puluh milyar rupiah)”, maka majelis menetapkan
pendiriannya sebagai berikut :
(a) Bahwa dikaji dari perspektif Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI maka konsepsi ganti kerugian dalam ketentuan
Pasal 1365 KUH Perdata di samping mengenal ganti
kerugian secara materiil juga dikenal ganti kerugian secara
in materiil;
(b) Bahwa ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata hanya
menentukan kewajiban pelaku perbuatan melawan hukum
untuk membayar ganti rugi namun tidak ada pengaturan
lebih lanjut mengenai ganti kerugian tersebut. Selanjutnya,
konsepsi ganti kerugian Pasal 1365 KUH Perdata tersebut
implisit mengacu ketentuan Pasal 1371 ayat (2) KUH
Perdata yang menentukan: “Juga penggantian kerugian ini
dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak, dan menurut keadaan,” dan ketentuan Pasal 1372
ayat (2) KUH Perdata yang menentukan, bahwa: “Dalam
menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat
ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan.”;
(c) Bahwa Hakim dalam menentukan besarnya kerugian akibat
perbuatan melawan hukum dalam konteks Pasal 1365 KUH
Perdata tidaklah terikat pada peraturan undang-undang
sebagaimana yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI
Nomor: 610 K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970 dalam perkara
R. Soegiyono melawan Walikota Kepala daerah Tingkat II
Kotamadya Blitar dimana kaidah dasarnya bahwa hakim
dalam menetapkan besarnya ganti kerugian harus
menetapkan menurut keadilan (ex aequo et bono), hakim
berwenang untuk menetapkan berapa sepantasnya harus
dibayar, hal ini tidak melanggar Pasal 178 ayat (3) HIR;
(d) Bahwa karena yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI
memberikan kewenangan dan kebijaksanaan kepada hakim
dalam hal menilai terhadap besarnya ganti kerugian akibat
perbuatan melawan hukum pasal 1365 KUH Perdata, maka
terhadap gugatan penggugat class action majelis
berpendirian bahwa kerugian materiil yang dapat dikabulkan
hanya berupa biaya transportasi dan biaya fotocopy karena
biaya ini yang mendasarkan dan harus dilakukan para
penggugat class action dalam mendapatkan hak pilihnya
yang menurut majelis dipandang adil dan layak dari pelbagai
aspek yaitu sebesar Rp. 15.000,00 (lima belas ribu rupiah)
perorang sehingga para penggugat class action yang tidak
mendapat hak pilih sekitar 30.000.000 mendapatkan
besarnya ganti kerugian sejumlah Rp. 450.000.000.000,00
(Empat Ratus Lima Puluh Miliar Rupiah), sedangkan
kerugian inmateriil yang digugat sebesar Rp.
1.000.000.000.000,00 (Satu Trillyun Rupiah) menurut
majelis dengan bertitik tolak kepada dimensi asas
kepatutan dan keadilan di satu pihak serta kemampuan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) di lain pihak maka majelis
memandang tuntutan kerugian inmateriil dapat dikabulkan
guna membangun kehidupan dan pembelajaran demokrasi
yang lebih baik serta relatif bertanggung jawab dalam
segala aspeknya dikemudian hari dan lebih diperhatikan
asas kehati-hatian bagi semua pihak khususnya bagi Komisi
Pemilihann Umum (KPU) dalam penyelenggaraan pemilu
berikutnya akan tetapi majelis memandang tuntutan ganti
kerugian yang dituntut terlalu besar sehingga menurut
majelis yang dipandang relatif adil dan sesuai dengan asas
kepatutan serta dengan tolok ukur kaidah dasar
Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI Nomor: 610
K/Sip/1968 tanggal 23 Mei 1970 besarnya tuntutan ganti
kerugian yang relatif pantas dan sesuai asas kepatutan
berdimensi keadilan kiranya dapat dikabulkan hanya
sebesar Rp. 550.000.000.000,00 (lima ratus lima puluh
milyar rupiah);

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-


bangan sebagaimana tersebut di atas maka majelis berpendirian
petitum angka 4 dapat dikabulkan;
Menimbang, bahwa terhadap petitum angka 5 yang
berbunyi, “Membentuk Komisi ganti rugi demi terlaksananya
dengan baik proses ganti rugi kepada para penggugat dan
anggota kelas”, maka majelis berpendirian aspek ini dapat
dikabulkan demi asas keadilan dan transparansi dari proses
ganti rugi tersebut, sedangkan terhadap petitum angka 3 yang
meminta agar menyatakan sah dan berharganya sita jaminan
ditolak karena dalam perkara ini tidak dilakukan sita jaminan,
begitu pula halnya petitum 6 dinyatakan ditolak karena petitum
ini tidak mencakup dimensi kerugian ketentuan Pasal 1365 KUH
Perdata, kemudian petitum angka 7 juga dinyatakan ditolak
karena dalam perkara ini ketentuan Pasal 180 (1) HIR dan Surat
Edaran Mahkamah Agung tidak terpenuhi, sedangkan untuk
petitum angka 8 dapat dikabulkan oleh karena tergugat dipihak
yang dikalahkan maka dihukum untuk membayar biaya perkara;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertim-
bangan sebagaimana disebutkan di atas maka gugatan para
penggugat class action dapat dikabulkan untuk sebagian;
Mengingat dan memperhatikan : ketentuan hukum yang
berlaku khususnya dalam HIR (Stb. 1941-44), Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang
Nomor: 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-
Undang Nomor : 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum dan
ketentuan pasal-pasal lain yang bersangkutan dengan perkara
ini;

MENGADILI:

Dalam Eksepsi :
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;

Dalam Provisi :
- Menyatakan tuntutan provisi Para Penggugat Class Action
tidak dapat diterima ;

Dalam Pokok Perkara :


1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian.
2. Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan
hukum karena telah tidak memberikan hak pilih penggugat
pada pemilu legislatif 2004.
3. Memerintahkan kepada tergugat untuk membayar ganti
kerugian immateriil yang diderita para penggugat yang
timbul akibat perbuatan tergugat tidak memberikan hak pilih
para penggugat pada pemilu legislatif 2004 sebesar Rp.
450.000.000,00 (Empat Ratus Lima Puluh Miliyar Rupiah)
dan kerugian inmateriil sebesar Rp. 550.000.000.000,00
(Lima Ratus Lima Puluh Miliyar Rupiah).
4. Membentuk Komisi Ganti Rugi demi terlaksananya dengan
baik proses ganti rugi kepada para penggugat dan anggota
kelas.
5. Menghukum tergugat membayar biaya perkara sebesar
Rp............. (.................).
6. Menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya.
Demikianlah ditetapkan dalam musyawarah Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari : Rabu, tanggal 10
Nopember 2004 oleh kami: LILIK MULYADI, SH MH sebagai
Hakim Ketua Majelis, RIDWAN MANSYUR, SH MH dan H.
HAMDI, SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, Putusan
mana diucapkan pada hari: Kamis, tanggal 11 Nopember 2004
dalam persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua
Majelis dengan didampingi Hakim Anggota RIDWAN
MANSYUR, SH MH dan ZULFAHMI, SH M.Hum dibantu oleh
SETYANINGSIH, SH Panitera Pengganti pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dan dihadapan kuasa hukum Para
Penggugat dan Tergugat.
PUTUSAN
Nomor : 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST.

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan


mengadili perkara-perkara perdata secara gugatan dengan
acara “Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit atau Actio
Popularis)” dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan
putusan sela sebagai berikut dalam perkara antara :
1. Standarkiaa, Warga Negara Indonesia, lahir di Jakarta, 24
Maret 1985, karyawan, alamat Jalan Bulak I Nomor 12
RT.011/007, Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit,
Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
2. Budi Utomo, Warga Negara Indonesia, lahir di Jakarta, 19
Februari 1978, Wiraswasta, alamat Pesona Bumyagara Blok
F 18/51, Keluarahan Mustika Jaya, Bekasi, dalam hal ini
bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;
3. CB. Henry Tri Hartono, Warga Negara Indonesia, lahir di
Jakarta, 28 Juni l967, Karyawan, alamat Jalan Rawa
Bahagia VI/8, RT 003/002, Kelurahan Grogol, Kecamatan
Grogol Petamburan, dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

4. Efrian, Warga Negra Indonesia, lahir di Padang, l0 Agustus


l962, Karyawan, alamat Jalan Kramat Pulo GG. IX/l86, RT
001/004, Kelurahan Kramat, Kecamatan Senen, Jakarta
Pusat, dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

5. Kurniasih, Warga Negara Indonesia, lahir di Jakarta, l9 Juni


l982, Karyawan, alamat Kapuk Pulo No. 26 RT 006/10,
Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat,
dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

6. Aldrin Apollo Situmeang, Warga Negara Indonesia, lahir di


Jakarta, 17 Juni l969, Wiraswasta, alamat Komp. RS.
Persahabatan RT. 016/13, Pisangan Timur, Kecamatan
Pulogadung, Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

7. Zulfiani Zaini, Warga Negara Indonesia, lahir 9 Mei l968,


Karyawan, alamat Jalan Bulak I No. 12, RT 011/007,
Kelurahan Klender, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur,
dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

8. Fitri Diani, Warga Negara Indonesia, lahir di Medan, 4 Mei


1968, Ibu Rumah Tangga, alamat Kp. Dua, Jalan Swadaya
V, Nomor 134, RT 003/002, Jakasampurna, Bekasi Barat,
dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

9. Ali Fahmi, Warga Negara Indonesia, lahir di Banjarmasin, 23


September I960, alamat Jalan Balai Pustaka Barat Nomor 9,
Pulogadung, Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk :
1) diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

10. Nurmiati, Waraga Negara Indonesia, lahir di Klaten, 12


Februari 1973, alamat Jalan Balai Pustaka Barat Nomor 9,
Pulogadung, Jakarta Timur, dalam hal ini bertindak untuk :
1) Diri sendiri;
2) Selaku Warga Negara Indonesia yang kehilangan hak
memilih dalam Pemilihan Umum Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah;

Selanjutnya untuk lebih mudahnya Penggugat 1 s/d


Penggugat 10 akan disebut sebagai...................................Para
Penggugat;
Para Penggugat dalam hal ini diwakili A. PATRA M. ZEN,
SH., LL.M.,Dkk., merupakan Advokat/Pembela Umum yang
sepakat memilih domisili hukum di Kantor Yayasan LBH
Indonesia, beralamat di jalan Pangeran Diponegoro Nomor 74
Jakarta Pusat. Dalam hal ini bertindak berdasarkan Surat Kuasa
Khusus, bermaterai cukup, masing-masing tertanggal 14 April
2009 (selengkapnya terlampir dalam berkas perkara ini);

M E L A W A N;

1. NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Cq. Komisi Pemilihan


Umum, Abdul Hafiz Anshary, selanjutnya disebut KPU, yang
bertanggung jawab dalam Penyelenggaraan Pemilihan
Umum, berlamat di Jalan Imam Bonjol No. 29, Jakarta Pusat
10310;
selanjutnya disebut sebagai.........................Tergugat I;

2. NEGARA REPUBLIK INDONESIA Cq. Presiden Republik


Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Kepala
Pemerintahan beralamat di Jalan Merdeka Utara, Jakarta
Pusat;
selanjutnya disebut sebagai...........................Tergugat II;
Selanjutnya untuk lebih mudahnya Tergugat I dan Tergugat
II akan disebut sebagai...............................Para Tergugat;

PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT;


Telah membaca surat-surat perkara ini;
Telah mendengar para pihak yang berperkara;
Telah membaca dan meneliti tanggapan pihak Para
Tergugat;

TENTANG DUDUK PERKARA;

Menimbang, bahwa Para Penggugat melalui kuasa


hukumnya A. PATRA M. ZEN, SH., LL.M.,Dkk., dengan surat
gugatannya tertanggal 23 April 2009 yang telah didaftarkan
dalam Register Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
No. 145/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tanggal 23 April 2009
bermaksud sebagai berikut :
- bahwa ………………….
- Kutip gugatan penggugat selengkapnya…………….

Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan :


- Pihak Para Penggugat : datang menghadap kuasa
hukumnya A. PATRA M. ZEN, SH., LL.M.,Dkk.,
- Pihak Tergugat I : datang menghadap kuasa hukumnya
DYAH ARNIASITA, SH., Staf pada Biro Hukum Sekretariat
Jenderal KPU, beralamat di Jalan Imam Bonjol No. 29
Jakarta Pusat; bertindak berdasarkan surat kuasa khusus,
Nomor : 830/KPU/V/2009, tertanggal 14 Mei 2009 jo.
SURAT TUGAS No. 253/ST/V/2009, tertanggal 14 Mei
2009, yang masing-masing ditandatangani oleh Prof. Dr.
H.A. HAFIZ ANSHARY, AZ, MA., selaku Ketua Komisi
Pemilihan Umum;
- Pihak Tergugat II tidak datang menghadap walaupun telah
dipanggil tiga kali secara sah dan patut sesuai dengan
ketentuan undang-undang sebagaimana ternyata dalam
surat panggilan sidang masing-masing No. :
145/PDT.G/PN.JKT.PST, tertanggal 4 Mei 2009, 11 Mei
2009 dan 15 Mei 2009;

Menimbang, bahwa oleh karena para pihak tidak lengkap


yaitu dimana pihak Tergugat II tidak hadir di persidangan, maka
gugatan ini tidak dilakukan mediasi dan sidang tetap dilanjutkan,
kemudian dibacakan surat gugatan Para Penggugat yang isinya
tetap dipertahankan oleh Para Penggugat;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat
ini sebagai gugatan “Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit
atau Actio Popularis), dan untuk hal tersebut para pihak yaitu
pihak Para penggugat dan pihak Tergugat I sepakat bahwa
acara persidangan dalam gugatan a quo akan diberlakukan
hukum acara Citizen Lawsuit;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan a quo akan
diberlakukan dengan hukum acara Citizen Lawsuit, maka tahap
selanjutnya adalah sertifikasi yaitu kepada pihak para tergugat
diberi kesempatan satu kali untuk memberi tanggapan atas
bentuk formil surat gugatan dan dalam tanggapannya tersebut
tidak mengenai materi pokok perkara dan hanya mengenai
persyaratan formil tentang sahnya bentuk gugatan Citizen
Lawsuit;
Menimbang, bahwa ternyata setelah Tergugat I diberi
kesempatan untuk mengajukan tanggapan atas bentuk formil
gugatan Para Penggugat, ternyata Tergugat I tidak hadir di
persidangan tanpa alasan yang sah sesuai undang-undang,
dengan demikian secara hukum majelis hakim berpendapat
bahwa Tergugat I tidak akan menggunakan haknya, maka
pemeriksaan dilanjutkan dengan putusan sela untuk menilai
apakah gugatan Para Penggugat telah memenuhi bentuk formil
akan sahnya gugatan Citizen Lawsuit;
Menimbang, bahwa segala sesuatu yang terjadi
dipersidangan telah tercatat secara lengkap dalam berita acara
sidang, untuk mempersinkat putusan ini segala yang termaktub
dalam berita acara sidang harap dianggap sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dalam putusan ini;

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM;

Menimbang, bahwa maksud dan bentuk surat gugatan Para


Penggugat adalah sebagaimana dimaksud dimuka;
Menimbang, bahwa dalam Hukum Acara Perdata yang
berlaku di Indonesia belum mengatur tentang prosedur gugatan
Citizen Lawsuit, demikian pula tidak satupun undang-undang di
Indonesia yang mengaturnya, namun demikian praktek peradilan
dengan alasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 Undang-undang Tentang Kekuasaan Kehakiman
“Hakim tidak boleh menolak perkara dan hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat” dimana
ketentuan ini mengamanatkan bahwa hakim harus terus
menerus mempelajari dan mengakui perkembangan hukum
yang ada di tengah masyarakat sebagai sumber hukum dalam
pengambilan keputusan atas perkara konkrit yang sedang
ditanganinya, dalam konteks yang demikian hakim harus
menemukan hukumnya”, maka dengan alasan tersebut praktek
peradilan di Indonesia telah dikenal dan diakui adanya gugatan
Citizen Lawsuit;
Menimbang, bahwa oleh karena penerapan prosedur
gugatan “Hak Gugat Warga Negara (Citizen Lawsuit atau Actio
Popularis)” di Indonesia belum diatur dalam Hukum Acara
Perdata, maka majelis hakim berpendapat dalam memeriksa
dan mengadili gugatan a quo hukum acara yang dipakai adalah
HIR, PERMA No. 01 Tahun 2008 tentang Mediasi, PERMA No.
01 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok,
pendapat para ahli dan praktek peradilan di negara lain yang
telah lama menerapkan gugatan Citizen Lawsuit sebagai
perbandingan;
Menimbang, bahwa untuk implementasi prosedur hukum
acara perdata Citizen Lawsuit majelis hakim akan melakukan
pendekatan perbandingan hukum yakni melakukan serangkaian
pentahapan pengkajian yang meliputi :
mempelajari bagaimana system hukum negara lain yang
telah memberikan pengaturan tentang Citizen Lawsuit;
I. Mengkaji tentang hukum acara perdata yang berlaku di
Indonesia yang berkaitan dengan Citizen Lawsuit;
II. Menjajarkan kedua system hukum dengan menitik beratkan
pada :
a. struktur hukum, termasuk lembaga hukum;
b. substansi hukum, meliputi norma kaidah dan perilaku;
c. budaya hukum meliputi perangkat nilai yang dianut;

Menimbang, bahwa dengan berpedoman pada teori dan


dasar hukum pada ketentuan hukum sebagaimana tersebut
diatas, pengertian dan hukum acara yang berlaku untuk gugatan
perwakilan kelompok Citizen Lawsuit adalah sebagai berikut :
Pengertian Dasar Citizen Lawsuit;
Menimbang, bahwa pengertian Citizen Lawsuit adalah
sebagai suatu hak gugat warga negara yang pada hakekatnya
merupakan akses orang perorangan atau warga negara untuk
kepentingan keseluruhan warga negara atau kepentingan publik
termasuk mengajukan gugatan di pengadilan guna menuntut
agar pemerintah melakukan penegakan hukum yang diwajibkan
kepadanya atau untuk memulihkan kerugian publik yang terjadi
atau dengan kata lain, Citizen Lawsuit memberikan kekuatan
kepada warga negara untuk menggugat pihak tertentu (privat)
yang melanggar undang-undang selain kekuatan kepada warga
negara untuk menggugat negara dan lembaga-lembaga
pemerintahan yang melakukan pelanggaran undang-undang
atau yang gagal dalam memenuhi kewajibannya dalam
pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
Menimbang, bahwa berdasarkan tentang dasar tujuan,
pengertian dan batasan Citizen Lawsuit dapat ditarik kesimpulan
bahwa Citizen Lawsuit mempunyai karakteristik antara lain
sebagai berikut :
a. Citizen Lawsuit merupakan akses orang perorangan atau
warga negara untuk mengajukan gugatan di pengadilan
untuk dan atas nama kepentingan keseluruhan warga
negara atau kepentingan publik;
b. Citizen Lawsuit dimaksudkan untuk melindungi warga
Negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai
akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau
otoritas negara;
c. Citizen Lawsuit memberikan kekuatan kepada warga
Negara untuk menggugat negara dan institusi pemerintah
yang melakukan pelanggaran undang-undang atau yang
melakukan kegagalan dalam memenuhi kewajibannya
dalam pelaksanaan (implementasi) undang-undang;
d. Orang perorangan warga negara yang menjadi penggugat
dalam Citizen Lawsuit, tidak perlu membuktikan adanya
kerugian langsung yang bersifat rii atau tangible;
e. Secara umum, peradilan cenderung reluctant terhadap
tuntutan ganti kerugian jika diajukan dalam gugatan Citizen
Lawsuit;

Hukum Standing;
Menimbang, bahwa Penggugat untuk mengajukan gugatan
Citizen Lawsuit harus memiliki standing. Standing seseorang
(individu) atau organisasi, sebagaian diatur dan ditentukan
sesuai dengan norma “any person” (siapapun) atau “any citizen”
(setiap warga negara) yang ada di dalam peraturan perundang-
undangan yang menetapkan adanya suatu penyebab
dimungkinkannya pengajuan suatu gugatan. Seharusnya
peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan
tentang “Citizen Lawsuit” secara khusus dirumuskan adanya hak
“any person” (siapapun) untuk melakukan gugatan terhadap
pelanggar;
Menimbang, bahwa untuk “standing” majelis hakim
berpendapat perlu adanya penafsiran yang lebih luas dengan
tidak perlu membuktikan adanya kerugian secara langsung yang
bersifat riil, hal tersebut bertujuan untuk membuka akses
keadilan bagi setiap warga negara dengan alasan telah
terjadinya kejahatan terhadap konstitusi atau hak hukum.
Dengan mengacu perkembangan hukum “standing” di Amerika
Serikat pengajuan gugatan Citizen Suit terjadi didasarkan pada
pendapat yang bersumber dari Putusan The Supreme Court
dalam kasus Administrative Procedure Act, yang menentukan
bahwa siapapun “yang dirugikan” (aggrived) dengan tindakan
lembaga negara dapat mengajukan gugatan (judicial review)
melawan para agen pemerintah untuk pelanggaran kewajiban
yang telah ditentukan oleh Kongres;

Notifikasi sebagai Syarat Prosedural Citizen Lawsuit;


Menimbang, bahwa sebagaimana gugatan class action,
pengajuan gugatan Citizen Lawsuit juga mensyaratkan adanya
proses pemberitahuan (notifikasi). Namun demikian, berbeda
dengan notifikasi dalam gugatan class action, dimana notifikasi
dilakukan oleh wakil kelas kepada anggota kelas dengan
maksud untuk memberikan hak kepada anggota kelas untuk
menyatakan setuju atau menolak sebagai anggota kelas melalui
mekanisme “Opt-in” ataupun “Opt-out”, sedangkan notifikasi
dalam Citizen Lawsuit kepada Tergugat dimaksudkan sebagai
pemberitahuan yang berupa “mini stement” tentang adanya
pelanggaran konstitusi atau pelanggaran undang-undang oleh
pemerintah atau lembaga pemerintah kepada warga negara;

Notifikasi dalam Citizen Lawsuit;


Menimbang, bahwa peraturan yang mengatur tentang
gugatan Citizen Lawsuit di Amerika Serikat mensyaratkan
bahwa orang perorangan warga negara harus melakukan
pemberitahuan (notice) terlebih dahulu tentang maksud dan
tujuan dari pengajuan gugatan Citizen Lawsuit sebelum
pendaftaran dan pengajuan gugatan dilakukan. Pada pokoknya,
pemberitahuan (notice) tersebut merupakan suatu “mini
statement” (pernyataan singkat) tentang kasus dan dibuat sesuai
dengan syarat-syarat notifikasi yang telah diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
peraturan lain yang mengatur tentang notifikasi ini. Notifikasi
tersebut harus mengidentifikasikan pelanggaran dan tuntutan
spesifik yang kemudian menjadi dasar pengajuan gugatan,
disusun oleh Penggugat untuk diberikan kepada pelanggar dan
instansi yang bertanggung jawab menerapkan peraturan
perundang-undangan yang memberikan hak Citizen Lawsuit;
Ada beberapa maksud dan tujuan yang hendak dicapai dengan
adanya kewajiban melakukan notifikasi ini, antara lain :
1. Memberikan dorongan/insentif untuk pelanggar agar mulai
melakukan pentaatan;
2. Memberikan kesempatan secara fair kepada Tergugat untuk
mengajukan bantahan dalam kesempatan pada awal dari
proses penanganan perkara;
3. Kegagalan dalam menyediakan pemberitahuan yang
memenuhi syarat dapat dipergunakan sebagai alasan untuk
menolak gugatan;
4. Memberikan pendidikan kepada Penggugat untuk
mengajukan gugatan dengan dilengkapi bukti dan fakta
yang akurat;

Waktu Pemberitahuan (notice);


Menimbang, bahwa sistem hukum yang berlaku di Amerika
Serikat ketentuan terhadap pemberitahuan (notice) yang diatur
dalam Resources Conservation and Recorvery Act,
pemberitahuan harus dikirimkan selambat-lambatnya 60 hari
sebelum tuntutan hukum diajukan. Batas waktu pemberitahuan
ini menjadi suatu hal yang penting dalam prosedur pengajuan
gugatan Citizen Lawsuit karena pelanggaran terhadap batas
waktu pemberitahuan ini akan dapat dipergunakan sebagai
dasar alasan untuk mengajukan mosi penolakan Citizen Lawsuit;

Bentuk dan isi Pemberitahuan;


Menimbang, bahwa pemberitahuan Citizen Suit harus dibuat
dalam bentuk tertulis dan harus dikirimkan baik kepada
Pelanggar yang dituduh maupun kepada instansi yang
bertanggung jawab untuk mengimplementasikan undang-
undang yang dilanggar. Walaupun demikian, beberapa
ketentuan Citizen Lawsuit mensyaratkan pemberitahuan ini juga
dikirimkan kepada lembaga negara yang bertanggung jawab
dalam penegakan hukum;
Suatu pemberitahuan gugatan Citizen Lawsuit setidak-tidaknya
memuat antara lain :
1. Informasi tentang pelanggar yang dituduh dan lembaga
yang relevan dengan pelanggaran yang berdasar hal itu
Penggugat berniat untuk menggugat Tergugat;
2. Jenis pelanggaran yang menimbulkan gugatan Citizen
Lawsuit (obyek gugatan);

Menimbang, bahwa dengan dasar, teori dan ketentuan


hukum tersebut diatas dan dikaitkan dengan bentuk formil surat
gugatan Para Penggugat, majelis hakim selanjutnya akan
mempertimbangkan apakah gugatan Para Penggugat telah
memenuhi syarat formil tentang sahnya bentuk gugatan Citizen
Lawsuit, sebagai berikut :
1. Apakah Para Penggugat berhak atau mempunyai hak gugat
“standing” untuk mengajukan gugatan a quo;
2. Apakah bentuk surat gugatan Para Penggugat telah
memenuhi notifikasi sebagai syarat prosedural Citizen
Lawsuit;
a. Notifikasi dalam Citizen Lawsuit;
b. Bentuk dan isi pemberitahuan;
c. Waktu pemberitahuan;

Ad. 1. Apakah Para Penggugat berhak atau mempunyai hak


gugat “standing” untuk mengajukan gugatan a quo;

Menimbang, bahwa pokok gugatan Para Penggugat tentang


“Perbuatan melawan hukum menghilangkan hak setiap warga
negara untuk memilih (Right To Vote) dalam Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada tanggal 9 April
2009” dengan alasan Para Tergugat sebagai penyelenggara
Pemilu dan sebagai penyelenggara pemerintahan mempunyai
kewajiban untuk memenuhi hak asasi warga negara untuk
memilih dalam Pemilu di Indonesia berdasarkan ketentuan UUD
Tahun l945, UU No. 39 Tahun l999 tentang Hak Asasi Manusia,
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelanggaraan Pemilu dan
UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu;
Menimbang, bahwa Para Penggugat mendalilkan adalah
sebagai warga negara yang berstatus sebagai pemegang hak
untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu), aktivis dan
pemantau pelaksanaan Pemilu serta aktivis hak asasi manusia
dan dalam gugatan a quo bertindak mewakili jutaan warga
negara yang tidak dapat menikmati hak untuk memilih dalam
Pemilu Legislatif 9 April 2009, dikarenakan antara lain tidak
terdaftar dalam DPT menunjukkan Tergugat I tidak memiliki
intergritas, profesionalitas dan akuntabilitas dalam menyeleng-
garakan Pemilu Legislatif pada 9 April 2009, sedangkan
Tergugat II telah lalai dalam menyediakan data Kependudukan;
Menimbang, bahwa Para Penggugat berpendapat
berdasarkan UUD l945 dan peraturan perundangan-undangan
yang berlaku sudah semestinya kewajiban hukum Para Tergugat
untuk mereparasi dan merahibilitasi hak warga negara yang
telah kehilangan haknya untuk memilih, dengan cara
menyelenggarakan Pemilu susulan untuk memilih anggota DPR,
DPD dan DPRD;
Menimbang, bahwa Citizen Lawsuit adalah merupakan
perluasan dari hukum “standing” yang telah dikenal dalam
doktrin hukum perdata tradisional yang menganut azas “tiada
gugatan tanpa kepentingan”. Dalam Citizen Suit memberikan
hak kepada individu pribadi warga negara melakukan aksi
hukum “mewakili” warga negara atau nilai-nilai publik untuk
menegakkan hukum yang sedang tidak ditegakkan oleh
pemerintah. Dengan demikian setiap warga negara atas nama
kepentingan umum (on behalf on the public interest) dapat
menggugat negara atau pemerintah atau siapa saja yang
melakukan perbuatan melawan hukum yang nyata-nyata
merugikan kepentingan publik dan kesejahteraan luas (Pro Bono
Publico), hal ini sesuai dengan hak asasi manusia mengenai
“acces to justice” yaitu akses untuk mendapatkan keadilan
apabila negara diam atau tidak melakukan tindakan apapun
untuk kepentingan warga negaranya. Dalam instrument Citizen
Lawsuit atau Actio Popularis, hak mengajukan gugatan bagi
warga negara atas nama kepentingan publik adalah tidak harus
orang yang mengalami sendiri kerugian secara langsung, dan
juga tidak memerlukan surat kuasa khusus dari anggota
masyarakat yang diwakilinya;
Menimbang, bahwa dalam gugatan a quo Para Penggugat
adalah sebagai warga negara yang berstatus sebagai
pemegang hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu),
aktivis dan pemantau pelaksanaan Pemilu, serta aktivis hak
asasi manusia yang bertindak mewakili jutaan warga negara
yang tidak dapat menikmati hak untuk memilih dalam Pemilu
Legislatif 9 April 2009, dan yang ditempatkan sebagai Tergugat I
adalah KPU sebagai penyelengara Pemilu dan Tergugat II
adalah Pemerintah, yang nota bene Para Tergugat adalah
institusi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk
menjalankan kepentingan publik, dengan alasan tersebut Para
Penggugat secara hukum telah memenuhi syarat hak gugat
“standing” untuk mengajukan gugatan secara Citizen Lawsuit
kepada Para Tergugat, dengan perihal pokok gugatan
sebagaimana tersebut dalam gugatan Para Penggugat;

Ad. 2. Apakah bentuk surat gugatan Para Penggugat telah


memenuhi notifikasi sebagai syarat prosedural
Citizen Lawsuit;
Menimbang, bahwa baik dalam gugatan Class Action
maupun gugatan Citizen Lawsuit, pemberitahuan (notice)
sifatnya adalah imperatif yaitu harus dilakukan oleh Para
Penggugat, dan dalam gugatan Citizen Lawsuit pemberitahuan
kepada tergugat atau calon tergugat dilakukan sebelum gugatan
diajukan, lain halnya dengan gugatan class action notifikasi
dilakukan oleh wakil kelas kepada anggota kelas untuk
menyatakan setuju atau menolak sebagai anggota kelas melalui
mekanisme “Opt-in” atau “Opt-out”;
Menimbang, bahwa dalam dalil gugatannya menyatakan
sebelum gugatan ini diajukan, Para Penggugat telah meminta
secara terbuka dan melalui surat kepada Para Tergugat untuk
menyelenggarakan Pemilu susulan dalam jangka waktu 7 hari
kerja terhitung sejak tanggal 14 April 2009, tapi tidak direspon
oleh Para Tergugat sehingga mengakibatkan jutaan orang yang
telah kehilangan hak untuk memilih dalam Pemilu legislatif 9
April 2009 (vide, gugatan angka 14 dan 15);
Menimbang, bahwa dengan adanya dalil posita tersebut,
maka Para Penggugat secara hukum telah memberitahukan
kepada Para Tergugat, dengan demikian syarat notifikasi
sebagai prosedur formil gugatan Citizen Lawsuit telah terpenuhi;
Ad. a. Notifikasi dalam Citizen Lawsuit;

Menimbang, bahwa dalam gugatan Citizen Lawsuit


mensyaratkan “pemberitahuan (notice)” tentang maksud dan
tujuan dari pengajuan gugatan Citizen Lawsuit dilakukan
sebelum pendaftaran dan pengajuan gugatan. Pada pokoknya,
pemberitahuan (notice) tersebut berupa suatu “mini Statement”
(pernyataan singkat) tentang kasus dan dibuat sesuai dengan
syarat-syarat notifikasi yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan atau peraturan lain yang mengatur tentang
notifikasi ini. Notifikisasi harus mengindentifikasi pelanggaran
dan tuntutan spesifik yang kemudian menjadi dasar pengajuan
gugatan, disusun oleh penggugat untuk diberikan kepada
pelanggar dan instansi yang bertanggung jawab menerapkan
peraturan perundang-undangan yang memberi hak Citizen
Lawsuit;
Menimbang, bahwa dalam gugatan a quo Para Penggugat
mendalilkan telah meminta kepada Para Tergugat untuk
mereparsi atau merehabilitasi hak a quo yang telah dilanggar,
melalui surat terbuka dan surat yang dikirimkan langsung
kepada Para Tergugat (vide, gugatan angka 37). Atas dalil
tersebut majelis hakim berpendapat bahwa notifikasi yang
dilakukan oleh Para Penggugat telah cukup, adapun mengenai
substansi tentang bentuk dan tujuan dari notifikasinya, hal
tersebut tentunya akan dinilai dan dipertimbangkan dalam
pertimbangan hukum pokok perkara apabila perkara ini
dilanjutkan. Maka dengan alasan tersebut majelis hakim
berpendapat “notifikasi dalam Citizen Lawsuit” yang dilakukan
oleh Para Penggugat telah terpenuhi;

Ad. b. Bentuk dan isi pemberitahuan;


Menimbang, bahwa sebagaimana praktek peradilan di
negara lain, dalam pemberitahuan Citizen Suit harus dibuat
dalam bentuk tertulis dan harus dikirimkan baik kepada
Pelanggar yang dituduh maupun kepada instansi yang
bertanggung jawab untuk mengimplementasikan undang-
undang yang dilanggar;
Suatu pemberitahuan gugatan Citizen Lawsuit setidak-tidaknya
memuat antara lain :
1. Informasi tentang pelanggar yang dituduh dan lembaga yang
relevan dengan pelanggaran yang berdasar hal itu
Penggugat berniat untuk menggugat Tergugat;
2. Jenis pelanggaran yang menimbulkan gugatan Citizen
Lawsuit (obyek gugatan);

Menimbang, bahwa Para Penggugat dalam dalil gugatannya


telah memerinci sebagai lembaga yang bertanggung jawab
adalah KPU selaku penyelenggara Pemilu dan Pemerintah
selaku penyelenggara pemerintahan dan Para Penggugat juga
telah memerinci jenis pelanggaran yang telah dilakukan oleh
Para Tergugat, sebagaimana Vide, gugatan angka 33 sampai
dengan angka 43;
Menimbang, bahwa berdasarkan dalil posita tersebut,
gugatan a quo dapat disimpulkan telah memuat tentang syarat
“bentuk dan isi pemberitahuan” sebagaimana yang disyaratkan
dalam gugatan Citizen Lawsuit;

Ad. c. Waktu pemberitahuan;


Menimbang, bahwa sebagaimana dalam pertimbangan
hukum tersebut dimuka, bahwa dalam gugatan Citizen Lawsuit,
pemberitahuan (notice) sifatnya adalah imperatif dan harus
diajukan sebelum gugatan Citizen Lawsuit didaftarkan atau
diajukan di pengadilan;
Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan “berapa
waktu yang wajar yang wajib diberikan kepada Para Tergugat
untuk memenuhi tuntutan atas pemberitahuan (notice) yang
telah dilakukan oleh Para Penggugat, sehingga Para Tergugat
dapat dinyatakan lalai telah melakukan pembiaran (Omisi)
terhadap kewajiban undang-undang yang dibebankan
kepadanya;
Menimbang, bahwa Para Penggugat dalam gugatan a quo
dengan alasan yang pada pokoknya dikarenakan jadwal Pemilu
termasuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden telah memberi-
kan waktu selama 7 hari kerja untuk memenuhi tuntutan Para
Penggugat terhitung sejak tanggal 14 April 2009 (vide, gugatan
angka 14 dan angka 21);
Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan,
apakah waktu 7 hari kerja yang diberikan oleh Para Penggugat
merupakan waktu yang wajar sehingga Para Tergugat secara
hukum dapat dinyatakan telah melakukan pembiaran (omisi)
terhadap kewajiban undang-undang yang dibebankan
kepadanya;
Menimbang, bahwa sistem hukum yang berlaku di Amerika
Serikat ketentuan terhadap pemberitahuan (notice) pada
awalnya dipersyaratkan 30 hari untuk pemberitahuan lebih
dahulu sebagai persyaratan melakukan tindakan penegakan
hukum oleh warganegara, kemudian dirubah dan diatur dalam
Resources Conservation and Recorvery Act, pemberitahuan
harus dikirimkan selambat-lambatnya 60 hari sebelum tuntutan
hukum diajukan;
Menimbang, bahwa majelis hakim berpendapat bahwa
waktu yang diberikan oleh Para Penggugat kepada Para
Tergugat adalah tidak wajar, karena Para Tergugat tidak
mungkin dapat merespon atau melakukan “Pemilu Susulan”
dalam jangka waktu 7 hari kerja;
Menimbang, bahwa dengan alasan dan pertimbangan
hukum seperti tersebut diatas, majelis hakim berpendapat
bahwa gugatan Citizen Lawsuit yang diajukan oleh Para
Penggugat tidak memenuhi syarat “jangka waktu pemberitahuan
(notice) untuk pengajuan gugatan Citizen Lawsuit” dengan
demikian gugatan Para Penggugat dinyatakan Premature;
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan dinyatakan
“Premature”, maka majelis hakim tidak perlu melanjutkan
pemeriksaan pokok perkaranya dan secara hukum gugatan Para
Penggugat wajib dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijke Verklaard);
Menimbang, bahwa karena pada dasarnya pihak Para
Penggugat sebagai pihak yang dikalahkan, maka kepada pihak
Para Penggugat yang wajib dihukum untuk membayar biaya
yang timbul dalam perkara ini, yang besarnya tersebut dalam
amar putusan ini;
Mengingat, Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (2) UU No. 4
Tahun 2004, HIR, PERMA No. 01 Tahun 2002, PERMA No.01
Tahun 2008 dan peraturan lain, serta hukum yang berlaku;

M E N G A D I L I;

- Menyatakan surat gugatan Para Penggugat “Premature”


karena tidak memenuhi syarat “jangka waktu pemberitahuan
(notice) untuk pengajuan gugatan Citizen Lawsuit”;
- Menyatakan gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima
(Niet Ontvankelijke Verklaard);
- Menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya yang
timbul dalam perkara ini yang hingga kini diperhitungkan
sebesar Rp. ……………. (.................................);

Demikian diputuskan dalam rapat musyawarah majelis


hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada Hari KAMIS,
tanggal 04 Juni 2009, oleh kami SUGENG RIYONO, SH,
M.Hum.- selaku hakim ketua majelis, RENO LISTOWO, SH,
MH.- dan HERDI AGUSTEN, SH., MH.- masing-masing sebagai
hakim anggota, putusan mana diucapkan pada hari itu juga
dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh majelis
hakim tersebut diatas, dengan dibantu Benedictus, SH.- panitera
pengganti pada pengadilan tersebut, dengan dihadiri kuasa
hukum Para Penggugat dan kuasa hukum Tergugat I, dan
dengan tidak dihadiri Tergugat II.
Hakim- Hakim Anggota; Hakim Ketua Majelis;
Ttd. Ttd.
(RENO LISTOWO, SH, M.H.) (SUGENG RIYONO, SH.,
M.Hum.)

ttd.

(HERDI AGUSTEN, SH., MH.)

Panitera Pengganti

Ttd.

(BENEDICTUS, SH)
PUTUSAN
Nomor : 384/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST.

“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA“

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa


dan mengadili perkara perdata pada tingkat pertama, yang
bersidang secara Majelis telah menerbitkan penetapan sebagai
berikut dalam perkara :
ANDAR M. SITUMORANG, SH dan kawan-kawan dari
kelompok Non Sektarian dari Lintas Partai LEMBAGA
SWADAYA MASYARAKAT ‘GOVERMENT AGAINST
CORRUPTION & DISCRIMINATION’ Bidang
Pemberantasan Korupsi Ormas Independent “PATRIOT
MUDA DEMOKRAT’, beralamat di Jl. Kejaksaan Raya
No. 5 Pondok Bambu, Jakarta Timur disebut sebagai:
Penggugat Class Action.

MELAWAN:

DIREKTUR UTAMA PT. PERTAMINA (Persero), beralamat di Jl.


Medan Merdeka Timur No. 1-A, Jakarta Pusat sebagai:
Tergugat Class Action.

PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT;


Telah membaca, menelaah dan memperhatikan dengan
seksama seluruh berkas dalam perkara ini ;
Telah mengkaji, menganalisis dan mempertimbangkan gugatan
Penggugat serta tanggapan dari Tergugat ;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA :

Menimbang, bahwa Penggugat dalam surat gugatannya


tertanggal 23 Desember 2005 yang diterima dan didaftarkan di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 23
Desember 2005 dalam daftar register perkara nomor:
384/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST telah mengemukakan dalil-dalil
hukum sebagai berikut :

(KUTIF GUGATAN)
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan
Penggugat menghadap Sdr. Singal Situmorang, SH , Wakil
Ketua Umum dari kelompok Non Sektarian dari Lintas Partai
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT “GOVERMENT
AGAINST CORRUPTION & DISCRIMINATION” Bidang
Pemberantasan Korupsi Ormas Independent “PATRIOT MUDA
DEMOKRAT”.
Menimbang, bahwa atas gugatan Class Action Penggugat
tersebut maka pihak Tergugat mengajukan tanggapan sebagai
berikut:

(KUTIF TANGGAPAN TERGUGAT)

Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian penetapan


ini maka segala sesuatu yang terjadi di depan persidangan
sebagaimana dimuat dalam Berita Acara Persidangan dianggap
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam
penetapan ini ;

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM :

Menimbang, bahwa adapun maksud dan tujuan gugatan


Class Action Penggugat adalah sebagaimana diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa berhubung Penggugat mengajukan
gugatan perwakilan kelompok (Class Action) maka Majelis
memandang perlu menguraikan deskripsi, persepsi dan analisis
tentang dimensi tersebut agar dapat dipahami baik oleh
Penggugat dan Tergugat Class Action tentang aspek-aspek
sebagai berikut :
1. Bahwa terminologi “Class Action” yang dikenal dalam dunia
teoritik sebagaimana pendapat dari Henry Campbell Black,
Grollier Multi Media Encyclopedia, Kupchela & Hyland dan
praktik peradilan di Negara Command Law seperti Inggris,
Kanada, Australia dan Indonesia sebagai Negara penganut
Civil Law dikenal dalam bentuk lain seperti Actio Popularis,
Groep Acties, Citizen Lawsuit dan lain sebagainya diartikan
sebagai gugatan perwakilan kelompok, adalah gugatan
perdata (lazim berkorelasi dengan permintaan “injuction”
atau ganti kerugian) yang diajukan oleh sejumlah orang
sebagai perwakilan kelas (class representative) mewakili
kepentingan mereka sekaligus atau mewakili kepentingan
ratusan atau ribuan orang lainnya yang juga sebagai
korban, dan korban yang diwakili tersebut dikenal dengan
terminologi “Class members” (bandingkan dengan ketentuan
Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA)
Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok).
2. Bahwa pada hahekatnya prosedural yang dikenal dalam
kepustakaan Ilmu Hukum terhadap gugatan perwakilan
kelompok atau “class action” pertama kali dikenal di Negara
Inggris berdasarkan judge made law dan khusus untuk
perkara berdasarkan equility yang diperiksa oleh Court of
Chancery dan kemudian dikembangkan di negara Australia
dalam Law Reform Comitee of South Australia, Kanada
dalam The Ontario Judicature Act, India dalam Rule 8 of
Order 1 of Civil Procedure dan lain sebagainya. Berikutnya
pada tahun 1938 di Amerika Serikat dalam United State
Federal Rules of Civil Prosedure pada tahun 1938 dan
dalam Pasal 23 Federal Rule diatur tentang prosedur class
action yang kemudian direvisi serta diundangkan pada
tahun 1966.
3. Bahwa dikaji dari perspektif akademik serta praktik peradilan
maka konsepsi dan penerapan Class Action dikenal dalam
negara yang menganut sistem/rumpun hukum Anglo
Saxon/Cammond Law atau “Case Law” maka tidaklah
mengherankan apabila literatur yang membahas masalah
Class Action di Indonesia relatif jarang dijumpai, dan bahkan
tidak sedikit pula pengertian dan penerapan Class Action
dalam praktik dicampuradukkan sehingga rancu dengan
pengertian “Legal Standing” seperti yang pertama kali di
Indonesia ditempuh oleh yayasan WALHI menggugat lewat
Instansi Pemerintah dan PT Indorayon Utama pada tahun
1988 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pada hakekatnya,
perbedaan gradual tersebut implisit tercermin kepada aspek
bahwa ”Legal Standing”, merupakan hak perorangan
ataupun kelompok/organisasi yang bertindak untuk dan
mewakili kepentingan publik maupun kepentingan
lingkungan hidup ke Pengadilan sebagai penggugat. Hak
gugat ini merupakan salah satu bagian dari “standing law”
yang berkembang di beberapa negara dan bertitik tolak
kepada teori dari Christoper Stone yang memberikan hak
hukum kepada obyek-obyek alam (natural objects). Menurut
teori Christoper Stone hutan, laut atau sungai sebagai obyek
alam, layak memiliki hak hukum, hanya karena sifatnya
yang inanimatif, maka perlu diwakili. Oleh karena itu, inti
dasar Legal Standing terbatas pada tuntutan untuk hak
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi berupa uang kecuali biaya atau pengeluaran riil
sedangkan pada gugatan class action pada dasarnya
berupa tuntutan ganti kerugian berupa uang (finansial
damage), meskipun dimungkinkan juga terhadap tuntutan-
tuntutan lain.
4. Pada dasarnya, baik gugatan Class Action maupun Legal
Standing asalnya hanya dikenal di negara-negara yang
menganut sistem hukum Anglo Saxon atau Cammand
Law/Case Law. Di Indonesia dengan tolok ukur keadilan,
kebutuhan masyarakat dan kekosongan hukum maka
praktik peradilan dan perundangan-undangan memang
sudah mengenal dan mengakomodir model gugatan
perwakilan kelompok atau Class Action dalam perbagai
peraturan perundang-undangan seperti ketentuan Pasal 37
ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 71 UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan lain sebagainya.
5. Bahwa dengan titik tolak konsiderans huruf f Perma Nomor
1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok
yang berbunyi, “Bahwa sambil menunggu peraturan
perundang-undangan dan dengan memperhatikan wewe-
nang Mahkamah Agung dalam mengatur hukum acara
peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan
perundang-undangan, maka demi kepastian, ketertiban, dan
kelancaran dalam memeriksa, mengadili, dan memutus
gugatan perwakilan kelompok, dipandang perlu menetapkan
suatu Peraturan Mahkamah Agung”, maka pada hakekatnya
PERMA Nomor 1 Tahun 2002 berfungsi mengatur acara
pemeriksaan gugatan perwakilan kelompok yang dikenal
dalam UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Tentang
Kehutanan, UU Tentang Perlindungan Konsumen dan lain
sebagainya.

Menimbang, bahwa dengan titik tolak dari anasir dan


pertimbangan tersebut di atas maka sekarang Majelis akan
menelaah, meneliti dan mempertimbangkan dengan seksama
apakah gugatan Penggugat layak, cocok dan berdasarkan
hukum dapat diterima sebagai perkara gugatan perwakilan
kelompok (Class Action) ataukah tidak;
Menimbang, bahwa setelah membaca dengan detail dalil-
dalil Penggugat Class Action ternyata bertitik tolak kepada
dimensi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk
dimana aspek ini disangkal oleh Tergugat maka untuk itu Majelis
harus mengkaji terlebih dahulu secara lebih mendalam dari optik
yuridis apakah dapat dibenarkan dan telah tepat apabila
gugatan Penggugat Class Action dilakukan dengan titik tolak
ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ataukah tidak
dan untuk menjawab anasir tersebut maka Majelis menetapkan
pendiriannya dengan dasar pertimbangan sebagai berikut :
a. Bahwa secara eksplisit gugatan Class Action dalam
kebijakan legislatif di Indonesia dikenal dalam 3 (tiga)
Undang-Undang yaitu UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen dan UU Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan, sedangkan dikaji dari prakteknya
Majelis juga pernah memutus yang mengabulkan gugatan
class action terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003
tentang Pemilu dalam Penetapan Nomor : 116/ Pdt.G/
2004/PN. Jkt.Pst. Konkretnya, kebijakan legislatif di
Indonesia terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
yang menjadi dasar hukum gugatan class action dalam
ketentuan pasalnya tidak mengatur aspek class action.
b. Bahwa apabila dikaji dari aspek substansi dan komparatif
tentang undang-undang yang dapat dilakukan melalui
lembaga Class Action maka baik di Australia maupun di
Canada ruang lingkupnya lebih luas dari apa yang diatur di
Indonesia. Pada asasnya, sebagian besar perkara di
Australia dapat dilakukan melalui Class Action adalah
perkara yang berkorelasi dengan perlindungan konsumen
yaitu ganti rugi dan tanggung jawab atas hasil produksi yang
gagal (personal injury and product liability), perkara imigrasi,
iklan yang menyesatkan, lingkungan hidup, pelanggaran
terhadap Anti Discrimination Act, dan lain sebagainya.
Sedangkan di Kanada maka Class Action malah lebih
variatif diantaranya perkara perbuatan melawan hukum,
perkara-perkara kontrak, pelanggaran pelecehan seks,
pelanggaran terhadap premi asuransi, tuntutan tanah adat,
hak cipta, dan lain sebagainya.
c. Bahwa dengan bertitik tolak kepada punt a dan b di atas
maka pada hakekatnya ketentuan Undang-Undang di
Indonesia hanya mengenal secara eksplisit gugatan Class
Action terbatas kepada tiga undang-undang sedangkan di
beberapa negara pengaturan Class Action tidak terbatas
kepada undang-undang sebagaimana diterapkan dalam
hukum positif Indonesia. Tegasnya, pengaturan Class
Action lebih luas lagi jangkauan pengaturannya.
d. Bahwa yang menjadi permasalahan krusial dan fundamental
dari gugatan Class Action Penggugat di satu sisi adalah
didasarkan kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 tentang Merk sedangkan di sisi lainnya
ketentuan hukum positif Indonesia hanya mengenal Class
Action dapat dilakukan terhadap UU Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Tentang Kehutanan, dan UU
Tentang Perlindungan Konsumen;
Menimbang, bahwa untuk menjawab aspek ini yaitu apakah
gugatan Penggugat dapat dilakukan Class Action ataukah tidak
terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk
yang tidak diatur dalam hukum positif in casu tegasnya hukum
positif Indonesia hanya mengenal gugatan Class Action
terhadap UU Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Tentang
Kehutanan, dan UU Tentang Perlindungan Konsumen maka
Majelis menetapkan pendirian dengan mempertimbangkan
aspek-aspek sebagai berikut :
a. Bahwa dikaji dari Teori Hukum, kajian akademik dan aspek
sosiologis pada hakekatnya terdapat perbedaan yang
gradual antara hukum yang dalam buku (law in book)
dengan hukum yang diterapkan dalam praktek peradilan
(law in action). Tegasnya, adanya jurang yang cukup tajam
antara undang-undang sebagai kebijakan legislatif dan
hakim sebagai pelaksana undang-undang yang merupakan
kebijakan aplikatif;
b. Bahwa terhadap aspek ini maka Ilmu Hukum memberi
pelbagai penafsiran hukum yang dapat dilakukan hakim
sebagai kebijakan aplikatif untuk menafsirkan suatu undang-
undang agar menjadi jelas dalam tahap aplikatifnya. Apabila
dikaji dari ilmu perundang-undangan maka dalam perkara ini
di satu sisi tidak ada ketentuan imperatif dan limitatif yang
mengatur dan mengharuskan hakim bahwa gugatan Class
Action hanya dapat dilakukan kepada ketiga undang-undang
sebagaimana telah dikemukakan di atas, sedangkan di sisi
lainnya tidak ada pula ketentuan yang membolehkan dan
membebaskan hakim menerapkan class action di luar ketiga
undang-undang tersebut di atas maka untuk itu Majelis akan
menetapkan pendiriannya dengan titik tolak penemuan
hukum (rechts-vinding) yang lebih mengkedepankan
dimensi asas keadilan dan substansi perkara dari pada asas
kepastian hukum (rechts-zekerheids) sebagaimana dikenal
hukum positif sehingga putusan Majelis lebih dapat
dipertanggungjawabkan dari pelbagai aspek terutama dari
sisi masyarakat pencari keadilan, ilmu hukum itu sendiri,
aspek sosiologis, yuridis dan filosofis sebuah peraturan
perundang-undangan sebagai kebijakan legislatif dan demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. Bahwa secara eksplisit ketentuan Pasal 28 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
menentukan: Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.” Dengan titik tolak anasir ini pada
hakekatnya putusan hakim hendaknya mencerminkan dan
sesuai hukum dan rasa keadilan masyarakat. Untuk itu
dengan titik tolak anasir tersebut maka kebijakan legislatif
ingin mengarahkan kebijakan aplikatif hendaknya dalam
memutuskan perkara bertitik tolak kepada hukum dan rasa
keadilan masyarakat, terlebih lagi jikalau ketentuan hukum
tersebut kurang jelas ataupun bahkan tidak mengaturnya;
d. Bahwa dengan melalui optik aliran hukum kritis serta
dimensi aliran fragmatic legal realism yang lebih
menyeimbangkan aspek teoritik dan praktik sebagaimana
dianut beberapa negara yang menganut sistem hukum
anglo saxon/case law dan civil law, maka undang-undang
sifatnya umum, terbatas sehingga penerapan kasus secara
kasuistis atau kasus perkasus dan apabila suatu undang-
undang secara limitatif tidak mengaturnya maka hakim
sebagai pemegang kebijakan aplikatif dapat melakukan
penemuan hukum melalui ratio decidensi, mutatis mutandis
dan rasa keadilan masyarakat.
e. Bahwa dengan melakukan sebuah penafsiran dan
penemuan hukum maka Majelis menyadari sepenuhnya
memang terdapat adanya sedikit benturan dalam perkara ini
dimana in casu perkara merupakan perkara perdata dan
yang dicari adalah kebenaran formal semata-mata oleh
karena itu Hakim sebagai pemegang kebijakan aplikatif
harus bertitik tolak pada undang-undang sebagai hukum
positif sehingga yang harus dianut adalah aliran
legalistik/positivistik dimana relatif lebih menafikan keadilan
masyarakat akan tetapi Majelis dengan bertitik tolak pada
aspek tersebut di atas tetap memandang bahwa kebijakan
aplikatif harus bersikap lebih mengkedepankan keadilan
masyarakat karena keadilan yang ditegakkan hakim bukan
dalam sebuah “menara gading”, kemudian lembaga
pengadilan sebagai tempat pencari keadilan bagi segala
lapisan masyarakat sehingga dalam lembaga pengadilan
hendaknya harus dipenuhi oleh para hakim berjiwa
progresif yang mengkedepankan rasa keadilan in casu
ternyata apa yang dilakukan penggugat merupakan aspek
yang berdimensi masyarakat banyak, demi menegakkan
konsepsi negara hukum yang demokratis dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana
dikatakan Paul Sieghart dalam bukunya : “The Rights of
Mankind, An Introduction to the International Legal Code of
Human Rights‘’ dimana pada dasarnya Hak Asasi Manusia
mempunyai 3 (tiga) generasi yaitu salah satunya adalah
Hak Kelompok sebagai bentuk generasi ketiga yang
sekarang sedang dilakukan dan diperjuangkan oleh
Penggugat Class Action;

Menimbang, bahwa dengan bertitik tolak kepada anasir dan


pertimbangan tersebut di atas maka majelis memandang dan
berpendirian bahwa adalah adil, tepat, argumentitif yuridis
apabila gugatan Class Action terhadap Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 dapat dilakukan walaupun hukum positif tidak
mengaturnya;
Menimbang, bahwa oleh karena belum ada undang-undang
yang mengatur hukum acara gugatan perwakilan kelompok atau
class action maka dalam perkara ini Majelis dalam menerapkan
hukum acara berpedoman kepada Peraturan Mahkamah Agung
RI Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan
Kelompok;
Menimbang, bahwa meskipun dalam ketentuan Bab II
Pasal 2 dan 3 Perma Nomor 1 Tahun 2002 telah mengatur tata
cara persyaratan gugatan perwakilan kelompok akan tetapi
Perma tersebut tidak memberi penjelasan yang lebih intens,
detail dan terperinci mengenai bagaimanakah mekanisme
proses pemeriksaan gugatan perwakilan kelompok;
Menimbang, bahwa dalam pemeriksaan dan mempertim-
bangkan gugatan perwakilan kelompok pada asasnya ditempuh
melalui mekanisme dalam dua tahap, yaitu : (1) Tahap awal
proses pemeriksaan atau pengakuan eksistensi Class Action
(sertifikasi) yaitu proses awal untuk menentukan apakah suatu
gugatan dapat dilangsungkan melalui prosedur class action
ataukah tidak. Pada asasnya, tahap sertifikasi dalam Perma
Nomor 1 Tahun 2002 mekanismenya identik dengan yang
dilakukan Amerika Serikat, tidak seperti di Australia dan Kanada
yang relatif tidak mengenal mekanisme tahap sertifikasi yang
rumit. Adapun tujuan dari mekanisme sertifikasi adalah untuk
menjamin persyaratan class action seperti Numerousity atau
jumlah anggota kelompok yang banyak, Commonality and
Tpicality and Similarity dan kelayakan perwakilan (Adequcy of
Representation) terpenuhi serta untuk menjamin agar
kepentingan dari anggauta kelas potensial secara memadai
terlindungi.; dan (2) Tahap pemeriksaan liability atau peme-
riksaan substansi perkara sebagaimana pemeriksaan perkara
biasa pada umumnya.
Menimbang, bahwa dengan bertitik tolak kepada ketentuan
Pasal 2 Perma Nomor 1 Tahun 2002 ditentukan bahwa gugatan
yang dapat diajukan secara Class Action adalah apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Jumlah anggota kelompok yang banyak sehingga tidaklah
efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara sendiri-
sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan.
2. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan
dasar hukum yang digunakan yang bersifat substansial,
serta terdapat kesamaan jenis tuntutan diantara wakil
kelompok dengan anggota kelompoknya.
3. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya.

Menimbang, bahwa apabila ketiga persyaratan tersebut di


atas dikaji dari perspektif praktek peradilan di beberapa negara
maka nampaknya persyaratan dalam Perma Nomor 1 Tahun
2002 merupakan adaptasi dan campuran atau tegasnya “quasi”
yang secara mutatis mutandis dari ketentuan Class Action di
Inggris sebagaimana diatur dalam Order 15, Rule 12 English
Rules of Supreme Court tahun 1965 dan di Amerika Serikat
berdasarkan Pasal 23 a The United State of Federal Rules of
Civil Procedure pada tahun 1966.
Menimbang, bahwa sekarang Majelis akan meneliti,
mempertimbangkan dan menetapkan pendiriannya apakah
gugatan penggugat Class Action memenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan ketentuan Pasal 2 PERMA Nomor 1
Tahun 2002 ataukah tidak sebagaimana dilansir tergugat dalam
tanggapannya tertanggal 26 Maret 2006 dengan mengemu-
kakan aspek-aspek sebagai berikut :
a. Bahwa berdasarkan surat gugatan Penggugat tertanggal 23
Desember 2005 maka Penggugat berjumlah 11 (sebelas)
orang dari kelompok Non Sektarian dari Lintas Partai
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT “GOVERMENT
AGAINST CORRUPTION & DISCRIMINATION” Bidang
Pemberantasan Korupsi Ormas Independent “PATRIOT
MUDA akan tetapi penggugat tersebut dalam gugatan class
action tidak dijelaskan kedudukannya apakah sebagai
“Class Member” ataukah “Class Representative” dimana
aspek ini merupakan dimensi yang bersifat krusial dalam
suatu gugatan class action ;
b. Bahwa Perma Nomor 1 tahun 2002 hanya mensyaratkan
jumlah orang sedemikian banyak (numerous persons)
sebagaimana juga dikenal di Negara Inggris, Amerika
Serikat, Quebec, India dan lain sebagainya. Tegasnya,
Perma tidak mengenal jumlah minimal seperti misalnya
dikenal jumlah 2 (dua)orang sebagaimana dikenal di
Kanada dalam Supreme Court of Ontario Rules Procedures,
atau sebanyak 7 (tujuh) orang di Peradilan Federal
Australia.
c. Bahwa untuk menentukan prosedur dengan Class Action
juga harus adanya faktor kesamaan antara wakil kelas
(class representatives) dan anggota kelasnya (class
members). Pada dasarnya, kesamaan tersebut dapat terjadi
karena adanya kesamaan faktanya (question of fact)
maupun kesamaan hukum yang dilanggar (question of law).
Secara teoritik dan praktik aspek ini merupakan anasir
“Commonality and Typicality and Similarity”. Dalam konteks
ini, apabila diperhatikan gugatan Penggugat dan tanggapan
dari tergugat maka pada hakekatnya memang benar tidak
ada kesamaan fakta atau peristiwa dalam gugatan
penggugat mengenai pembatalan logo pertamina. Dari optik
demikian konsekuensi logisnya maka tidak terdapat
kesamaan kausa penyebab antara wakil kelas dan anggauta
kelasnya karena dalam gugatan tidak terdapat adanya
“Class Member” ataukah “Class Representative”.
Kemudian juga tidak terdapat adanya kesamaan dasar
hukum yang digunakan yang bersifat substansial didasarkan
kepada jenis tuntutan yang sama diantara wakil kelompok
dengan anggauta kelompoknya yaitu tuntutan ganti kerugian
karena adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
d. Bahwa dari ketentuan Pasal 2 huruf b PERMA Nomor 1
Tahun 2002 yang mensyaratkan khususnya persamaan
hukum yang dilanggar (question of law) haruslah
dimaksudkan sebagai persyaratan untuk dapat diajukan
gugatan secara class action ataukah tidak sebagai tahap
pengakuan class action atau lazim disebut sebagai tahap
sertifikasi, dan gugatan class action harus adanya
permintaan ganti kerugian yang dalam hal ini tidak
ditemukan dalam gugatan penggugat dan yang menggugat
adalah sebuah kelompok organisasi maka menurut majelis
lebih tepat apabila dilakukan gugatan secara legal standing
dan bukannya melalui mekanisme class action. Bahwa
selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 2 huruf c Perma 1
Tahun 2002 disyaratkan adanya “Wakil kelompok memiliki
kejujuran dan kesungguhan untuk melindungi kepentingan
anggauta kelompok yang diwakilinya”, maka aspek ini
dikenal dengan terminologi “Adequacy of Representation”,
atau kelayakan perwakilan.
Menimbang, bahwa selanjutnya dalam Pasal 3 Perma
Nomor 1 Tahun 2002 juga ditentukan bahwa selain harus
memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat gugat sebagai-
mana diatur dalam hukum acara perdata yang berlaku, surat
gugat perwakilan kelompok harus memenuhi antara lain: difinisi
kelompok secara rinci dan spesifik walaupun tanpa menyebut-
kan nama anggota kelompok satu persatu;
Menimbang, bahwa setelah meneliti dengan seksama
gugatan Penggugat yang diajukan melalui Class Action
sebagaimana telah dianalisis, dideskripsikan dan dipertim-
bangkan konteks di atas ternyata gugatan penggugat class
action telah tidak ada merumuskan kelompoknya secara rinci
dan spesifik yaitu orang yang merasa dirugikan sehingga baik
kelompok yang mewakili maupun anggota kelompok yang
diwakili dan tuntutan ganti kerugian sehingga menurut Majelis
gugatan class action tidak memenuhi syarat dan kretaria yang
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 PERMA Nomor 1/2002;
Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh uraian pertim-
bangan di atas, maka gugatan penggugat yang diajukan melalui
prosedur gugatan perwakilan kelompok (Class Action) adalah
tidak memenuhi syarat dan karenanya tidak dapat diterima dan
selanjutnya Majelis tidak perlu melanjutkan pemeriksaan
substansi gugatan class action dari penggugat;
Mengingat dan memperhatikan : ketentuan hukum yang
berlaku yaitu UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,
UU 8/2004 tentang Peradilan Umum, Perma Nomor 1 Tahun
2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dan
undang-undang lain yang bersangkutan dengan perkara ini.

MENETAPKAN:

1. Menyatakan bahwa gugatan Perwakilan Kelompok (Class


Action) Penggugat tidak dapat diterima ;
2. Menyatakan bahwa pemeriksaan substansi perkara tidak
perlu dilanjutkan ;
3. Menghukum Penggugat membayar beaya perkara sebesar
Rp....................................(..................................................) ;
Demikianlah ditetapkan dalam musyawarah Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada hari: Kamis, tanggal 11
Mei 2006 oleh kami: LILIK MULYADI, SH MH sebagai Hakim
Ketua Majelis, SUDRAJAD DIMIYATI, SH dan KUSRIYANTO,
SH masing-masing sebagai Hakim Anggota, Penetapan mana
diucapkan pada hari: SENIN, tanggal 15 Mei 2006 dalam
persidangan yang terbuka untuk umum oleh kami LILIK
MULYADI, SH MH sebagai Hakim Ketua Majelis dengan Hakim
Anggota SUDRAJAD DIMIYATI, SH dan ...................................
.......................... dibantu oleh R. IDA ISKANDIASTUTI, SH
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan
dihadapan Penggugat dan kuasa hukum Tergugat.
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

SURAT KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : 36/BLD/SK/XI/2009
Tentang
PENUNJUKAN TIM DALAM KEGIATAN PENELITIAN DAN
PERENCANAAN HUKUM CLASS ACTION

Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan


Penelitian Perencanaan Hukum pada
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan Peradilan pada Badan
Penelitian dan Pengembangan, Pendi-
dikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI khususnya bagi
peningkatan pengetahuan dan wawasan
bagi Pejabat Struktural, Hakim dan
Peneliti pada Mahkamah Agung RI, serta
Praktisi Hukum agar diperoleh pemikiran-
pemikiran dan masukan yang berkualitas
dan professional dipandang perlu untuk
melakukan Penelitian-Penelitian Perenca-
naan Hukum di Dalam Negeri;
b. bahwa untuk kelancaran penyelenggaraan
kegiatan Penelitian Perencanaan Hukum
tersebut perlu ditunjuk Tim Pelaksanaan
Kegiatan;
c. bahwa nama-nama tercantum dalam surat
keputusan ini dipandang memenuhi syarat
dan mampu melaksanakan tugas tersebut.
Mengingat : 1. TAP MPR Nomor : X/MPR/1998 Tentang
Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan
Dalam Rangka Penyelamatan dan
Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai
Garis Besar Haluan Negara;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara;
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999;
5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung RI sebagai-
mana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No.5 Tahun 2004
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-undang No. 3 Tahun
2009;
6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004;
7. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana diubah dan ditambah
dengan Undang-undang No. 9 Tahun
2004;
9. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer;
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2005 tentang Sekretaris
Mahkamah Agung;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Kepaniteraan Mahkamah Agung;
12. Peraturan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor : 134/PMK.06/2005
tentang Pedoman Pembayaran dalam
Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara;
13. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2000
tentang Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan belanja Negara;
14. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Instansi/Pemerintah;
15. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA)
Badan Litbang Diklat Mahkamah Agung
Tahun Anggaran 2009, Nomor :
0007.0/005/07./-/2009, tanggal 31
Desember 2008.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : Keputusan tentang Penunjukan Tim


Pelaksana kegiatan Penelitian dan
Perencanaan Hukum tentang Class Action.
Pertama : Menunjuk Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hukum dan Peradilan
Mahkamah Agung RI sebagai Penanggung
Jawab kegiatan Penelitian Perencanaan
hukum tentang Class Action;
Kedua : Menugaskan penanggung jawab selaku
penyelenggara Penelitian untuk mengatur
teknis pelaksanaan selanjutnya dan agar
berkoordinasi dengan Ketua Pengadilan
Tingkat Banding masing-masing Lingkungan
Peradilan bagi Penelitian di dalam negeri;

Ketiga : Para peserta Penelitian Perencanaan Hukum di


dalam negeri adalah Hakim Pengadilan Tingkat
Pertama dan Pengadilan Tingkat Banding dari
4 (empat) Lingkungan Peradilan;

Keempat : Menugaskan penanggung jawab selaku


penyelenggara penelitian untuk menunjuk
Panitia Tim Pelaksana Penelitian Perencanaan
Hukum;

Kelima : Waktu pelaksanaan penelitian ini disesuaikan


dengan perencanaan yang disusun selanjutnya
oleh Penanggung Jawab Kegiatan Penelitian
ini;

Keenam : Biaya yang berkaitan dengan penyelenggaraan


penelitian ini dibebankan dalam DIPA Badan
Litbang Diklat Mahkamah Agung Tahun
Anggaran 2009;

Ketujuh : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal


ditetapkan, dengan ketentuan segala sesuatu
akan diubah dan diperbaiki sebagaimana
mestinya apabila dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan.
Ditetapkan di : MEGAMENDUNG
Pada tanggal : 02 November 2009

KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI

H. ANWAR USMAN, SH., MH.

Salinan Keputusan ini dikirimkan Kepada Yth :


1. Ketua Mahkamah Agung RI;
2. Para Wakil Ketua Mahkamah Agung RI;
3. Para Ketua Muda Mahkamah Agung RI;
4. Panitera Mahkamah Agung RI;
5. Sekretaris Mahkamah Agung RI;
6. Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung RI;
7. Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI;
8. Dirjen Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara
Mahkamah Agung RI;
9. Kepala Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI;
10. Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI;
11. Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan RI;
12. Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional RI;
13. Ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan RI;
14. Dirjen Anggaran Departemen Keuangan RI;
15. Para Pejabat Esselon II Mahkamah Agung RI;
16. Tertinggal.

PETIKAN : Keputusan ini disampaikan kepada yang


bersangkutan untuk diketahui dan dilaksanakan
sebagaimana mestinya.
LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN
LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 36 /BLD/SK/XI/2009

Susunan Tim Penelitian dan Pengkajian/Seminar Class Action


pada Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan
Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI di 6
(enam) Wilayah Hukum Lingkungan Peradilan Indonesia :

A. Pelaksanaan Kegiatan :
1. Penanggungjawab : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo,
SH. MS.
2. Peneliti Utama : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo,
SH. MS.
3. Peneliti : 1. Fritz John Polnaja, SH
2. M. Iqbal, SH
3. Johanes Brata Wijaya, SH
4. Deddy Pudjiardjo, SH. CN.
4. Pembantu Peneliti : 1. H. Ady Suherman, SH. MH.
2. Arief Kartisworo, SH. MH.
3. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
4. Muchtar, SH
5. R.Wijaya Brata K.,S.Kom., MM.
6. Enny Yuniarti, S.Sos
7. Sri Amilianti, SH. MH.
8. Syamsuddin, SH
9. Imanuella Rosalia
10. Andre Tatengkeng
11. Iman Subekti
12. M. Rosyid
13. Elma Siti Salma
14. Imam Buhori
5. Pengolah Data : 1. Johannes, SS.
2. Rofran Samera, SH. MH.
3. Sudaryanto, SH

B. Narasumber :
1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. M. Iqbal, SH

C. Pakar :
1. Bambang Mulyono, SH. MH.
2. Sugeng Riyono, SH. MH.
3. I Ketut Tjukup, SH. MH.
4. Sukanda Husin, SH. LLM.
5. Wahyu Yun Santoso, SH. LLM.

D. Moderator :
1. Fritz John Polnaja, SH
2. Bettina Yahya, SH. MH.
3. H. Ady Suherman, SH. MH.
4. Arief Kartisworo, SH. MH.
5. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
6. Muchtar, SH
7. R. Wijaya Brata K., S.Kom., MM.
8. Johanes Brata Wijaya, SH
9. Deddy Pudjiardjo, SH. CN.
Ditetapkan di : MEGAMENDUNG
Pada tanggal : 02 November 2009

KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI

H. ANWAR USMAN, SH., MH.


LAMPIRAN : SURAT KEPUTUSAN KEPALA BADAN
LITBANG DIKLAT KUMDIL
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 36 /BLD/SK/XI/2009

Lokasi Penelitian dan Perencanaan Hukum Class Action pada


Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan
pada Badan Penelitian dan Pengembangan, Pendidikan dan
Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI adalah :

A. Mataram, 15 s.d. 17 November 2009


1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. Bambang Mulyono, SH. MH.
5. M. Iqbal, SH
6. Johanes Brata Wijaya, SH
7. Syamsuddin, SH
8. Sudaryanto, SH
9. Iman Subekti

B. Banten, 18 s.d. 20 November 2009


1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. M. Iqbal, SH
5. Sugeng Riyono, SH. MH.
6. R. Wijaya Brata K., S.Kom., MM.
7. Sri Amilianti, SH. MH.
8. Enny Yuniarti, S.Sos
9. Johannes, SS.
10. M. Rosyid
C. Banjarmasin, 22 s.d. 24 November 2009
1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. Bambang Mulyono, SH. MH.
5. M. Iqbal, SH
6. Deddy Pudjiardjo, SH. CN.
7. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
8. Enny Yuniarti, S.Sos
9. Iman Subekti

D. Denpasar, 29 November s.d. 01 Desember 2009


1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. Bambang Mulyono, SH. MH.
5. I Ketut Sjukup, SH. MH.
6. Johanes Brata Wijaya, SH
7. M. Iqbal, SH
8. R. Wijaya Brata K., S.Kom., MM.
9. Sri Amilianti
10. Enny Yuniarti, S.Sos
11. Elma Siti Salma

E. Pekanbaru, 02 s.d. 04 Desember 2009


1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. Sukanda Husin, SH. LLM.
5. Sugeng Riyono, SH. MH.
6. Johanes Brata Wijaya, SH
7. M. Iqbal, SH
8. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
9. Muchtar, SH
10. Iman Subekti
11. Rofran Samera, SH. MH.
12. Imam Buhori

F. Yogyakarta, 06 s.d. 08 Desember 2009


1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. Wahyu Yun Santoso, SH. LLM.
5. Sugeng Riyono, SH. MH.
6. M. Iqbal, SH
7. Muchtar, SH
8. Sudaryanto, SH
9. Iman Subekti

Ditetapkan di : MEGAMENDUNG
Pada tanggal : 02 November 2009

KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI

H. ANWAR USMAN, SH., MH.

Anda mungkin juga menyukai