BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan. .............................................. 87
B. Saran. ........................................................ 89
LAMPIRAN ......................................................................... 95
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Class Action dan citizen lawsuit serta hak gugat (standing)
adalah isu yang sensitif di masyarakat, namun selalu menjadi
wacana publik yang tidak pernah selesai diperdebatkan. Karena
menyangkut kepentingan masyarakat maupun warga Negara.
Akhir-akhir ini, pro dan kontra terhadap permasalahan gugatan
perwakilan kelompok kembali mengemuka sekaligus memper-
tanyakan alternatif-alternatif solusi yang harus dilakukan oleh
pemerintah guna memberikan perlindungan terhadap warga
negaranya. Isu ini menjadi sangat sensitif karena tidak saja
berkaitan dengan permasalahan yuridis semata namun juga
menyangkut permasalahan sosial, ekonomi dan kesehatan
masyarakat. Perdebatan yang terjadi pun menjadi tidak jelas dan
jauh dari penyelesaian.
Keberadaan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Undang-
undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, sebenarnya
telah memperkenalkan asaz gugatan perwakilan kelompok
secara terbuka sebagai jalan keluar permasalahan ini; Dan
masih banyak undang undang yang terkait dengan gugatan
perwakilan kelompok seperti Undang-undang No. 24 tahun 1992
tentang penataan ruang, Undang-undang No. 27 tahun 2003
tentang panas bumi, Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang
sumber daya air, undang undang No. 31 tahun 2004 tentang
perikanan, semuanya Pada dasarnya merupakan pedoman kata
dari istilah class action dan legal standing yang sering digunakan
dalam praktek peradilan di Negara barat, khususnya di Negara
anglo amerika yang umumnya menganut system common law,
dimana system ini banyak menitik beratkan pada penciptaan
kaidah hukum melalui putusan putusan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep gugatan perwa-
kilan kelompok atau class action dengan berjalannya waktu, juga
diadopsi dan diterima serta dipraktekkan di Negara Negara
continental yang menganut civil law (yaitu system yang menitik
beratkan pada penciptaan hukum melalui aturan perundangan
yang dibuat oleh parlemen) hal ini juga dianut oleh Indonesia.
Dalam beberapa kejadian pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup tertentu, korban pencemaran atau perusakan
lingkungan bisa berjumlah sangat banyak. Sehingga bila
masyarakat korban melakukan gugatan secara individu atau bila
korban pencemaran menggugat secara sendiri-sendiri maka
prosesnya akan sangat lama dan memakan biaya yang besar
akibatnya asaz peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
(constante justitie) seperti yang dituangkan dalam pasal No. 5
ayat (2) undang undang tentang kekuasaan kehakiman tidak
akan tercapai undang undang pengelolaan lingkungan hidup No.
32 tahun 2009 merupakan produk hukum di Indonesia yang
memungkinkan masyarakat korban pencemaran lingkungan
mengajukan gugatan perwakilan (class action), secara bersama
sama dengan diwakili oleh sekelompok kecil orang yang disebut
perwakilan kelas (class representative).
Dengan telah diatur dan diberlakukan PERMA No. 1 tahun
2002 yang merupakan asaz beracara gugatan perwakilan
kelompok (class action) hal tersebut diharapkan menjadi lebih
jelas; Namun dalam praktek pengadilan, di lapangan masih
terdapat penafsiran penafsiran yang rancu terhadap substansi
PERMA dimaksud, diantaranya menjadi fatal dan tidak jelas
justru dikalangan para hakim; Sehingga terjadi disparitas antara
putusan yang satu dengan putusan yang lain. PERMA No. 1
2002 seyogyanya menjadi payung bagi para hakim dalam
mempertimbangkan dan menyelesaikan persoalan persoalan
gugatan class action, sehingga masyarakat dan pencari keadilan
menjadi lebih puas dan pasti dalam mendapatkan keputusan
dari para hakim tentang gugatannya, selain dari pada itu
eksistensi PERMA No 1 tahun 2002 rasanya ke depan perlu
ditinjau kembali apakah akan terus dipertahankan sebagaimana
adanya, atau ke depan perlu penyempurnaan dan perlu
dilakukan upaya-upaya pembaharuan hukum (law and legal
reform).
Gugatan perwakilan kelompok (class action) merupakan kali
ke dua puslitbang hukum dan peradilan dalam penelitian class
action ini; penelitian dengan topic yang sama pernah dilakukan
pada tahun 2002 dan penelitian tersebut telah pula melahirkan
sebuah naskah akademis berbentuk buku yang juga telah
didistribusikan kepada pengadilan-pengadilan yang menjadi
responden penelitian. Hal tersebut tentu saja perlu kajian ulang
yang mendalam mengingat setelah hampir 7 tahun pember-
lakuan PERMA No. 1 tahun 2002 ternyata dari hasil yang
didapat atas putusan hakim tentang gugatan perwakilan
kelompok (class action) masih terdapat banyak perbedaan tafsir,
yang berakibat putusan yang satu dengan putusan yang lain
menjadi bertolak belakang. Hal inilah yang mendorong
puslitbang kumdil Mahkamah Agung RI menganggap perlu
melakukan kajian ulang dengan melakukan penelitian kembali
terhadap gugatan perwakilan kelompok. Perkembangan
kehidupan sosial dan pemahaman hukum serta kebutuhan
masyarakat atas hukum yang memberikan keseimbangan hak
dan kewajiban, bagi semua warga Negara membuat keberadaan
perma No. 1 tahun 2002 ini, perlu dipertanyakan eksistensinya.
Beberapa responden hakim ada yang beranggapan PERMA ini
hanyalah upaya legalilasi dan toleransi terhadap fenomena
hukum yang berkembang dimasyarakat. Di sisi lain terdapat pula
yang beranggapan PERMA 1 tahun 2002 dalam
pelaksanaannya banyak terjadi penafsiran yang berbeda justru
di kalangan para hakim sendiri, sehingga pemahaman dan
pengetahuan hakim guna tegaknya hukum dan kepastian hukum
perlu dilakukan pemahaman ulang atas hal yang menyangkut
mekanisme gugatan class action maupun citizen lawsuit.
Masyarakat menyadari urgensi keberadaan undang-undang
yang terkait dengan masalah lingkungan, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa keberpihakan dan keperdulian terhadap
masalah lingkungan dari pemerintah terhadap warga Negara
dirasa masih sangat minim. Puslitbang hukum dan peradilan
dalam penelitian kali ini, selain akan mengevaluasi tentang
keberadaan PERMA No. 1 tahun 2002 juga akan berupaya
mendapatkan masukan dan pengalaman serta kesulitan-
kesulitan para hakim dalam memutus perkara/gugatan
perwakilan kelompok (class action) secara lebih luas dan
mendalam. Puslitbang hukum dan peradilan juga akan mengkaji
secara lebih kritis dari segi teori, norma dan tujuan hukum
secara mendalam, sehingga diharap-kan pembaharuan
perundang-undangan (law and legal reform) akan tercapai ,
sekaligus untuk menyiapkan penyusunan naskah akademis
yang mengatur gugatan perwakilan kelompok (class action)
dengan lebih lengkap dan comperhandsive, sehingga pada
akhirnya akan ditemukan penemuan hukum baru
(rechtsvinding), maupun penciptaan hukum (rechtsschepping).
Adapun tentang pengertian prosedur gugatan dengan
menggunakan mekanisme citizen lawsuit, yang merupakan
perwujudan akses individu/perorangan warga Negara untuk
kepentingan keseluruhan warga Negara, atau kepentingan
public dimana setiap warga Negara dapat melakukan gugatan
terhadap tindakan atau bahkan pembiaran (omisi) oleh Negara
terhadap hak-hak warga Negara. Seperti yang kita ketahui
bahwa citizen lawsuit tidak dikenal dalam system civil law yang
dianut dan diterapkan di Indonesia, citizen lawsuit sendiri lahir di
Negara Negara yang menganut system hukum common law,
seperti di amerika serikat, Australia dan Negara lainnya;
walaupun dalam lazimnya gugatan citizen lawsuit diajukan
kepada Negara namun dalam perkembangannya sesama warga
Negara maupun institusi privat yang dianggap telah melanggar
hukum dan kepentingan public dapat digugat, akibat pembiaran
(omisi) oleh Negara.
Subjek hukum penggugat, adalah warga Negara yang
bertindak mengatas namakan warga Negara. Penggugat dalam
hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah warga Negara
Indonesia. Berbeda dengan class action, penggugat dalam
gugatan citizen lawsuit tidak harus merupakan kelompok warga
Negara yang dirugikan secara langsung oleh Negara, oleh
karena itu penggugat tidak harus membuktikan kerugian materiil
yang telah dideritanya sebagai dasar gugatan, berbeda dengan
gugatan perdata biasa. Selain itu penggugat secara keseluruhan
adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu dipisah-
pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan kerugian sebagai-
mana dalam gugatan class action.
Subjek hukum tergugat, adalah penyelenggara Negara,
mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai pemimpin
teratas, menteri dan seterusnya sampai kepada penjabat
Negara dibidang yang dianggap telah melakukan kelalaian,
dalam memenuhi hak warga Negaranya. Dalam hal ini pihak
selain penyelenggara Negara boleh dimasukkan ke pihak turut
tergugat, tetapi tergugat utama adalah pengelenggara Negara,
karena inilah bedanya antara citizen lawsuit dengan gugatan
biasa yaitu dimaksudkan untuk melidungi warga Negara dari
kemungkinan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan
atau pembiaran dari Negara atau otoritas Negara.
Perbuatan melawan hukum yang didalilkan dalam gugatan
adalah kelalaian penyelenggara Negara dalam pemenuhan hak-
hak warga Negara. Dalam hal ini harus diuraikan bentuk
kelalaian apa yang telah dilakukan oleh Negara dan hak warga
Negara apa yang gagal dipenuhi oleh penyelenggara Negara.
Penggugat harus membuktikan bahwa Negara telah melakukan
perbuatan melawan hukum tersebut, sebagaimana gugatan
perdata biasa.
Ada beberapa alasan, dari hasil evaluasi dan pengamatan
puslitbang hukum dan peradilan bahwa pelatihan hakim tentang
citizen lawsuit masih memerlukan gambaran yang lebih jelas
sehingga, pengetahuan hakim untuk membedakan hak gugat
(standing), class action, citizen lawsuit perlu pelatihan berkala,
untuk memecahkan dan memahami perbedaan konseptual
tentang hal tersebut.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri ada beberapa
putusan, yang dari hasil evaluasi puslitbang terdapat kerancuan
dan tumpang tindih antara hak gugat (standing) dengan class
action. Sebagai tindak lanjutnya puslitbang hukum dan
peradilan, menganggap perlu mengambil langkah yang
konstruktif untuk mengatasi hal tersebut.
B. Pokok permasalahan
Dari latar belakang yang diuraikan sebelumnya, dapat
diambil beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana penerapan PERMA No. 1 tahun 2002 yang
mengatur tentang mekanisme gugatan perwakilan kelompok
(class action) dan urgensi PERMA tersebut sehingga patut
dipertahankan dalam penerapannya di peradilan.
b. Bagaimana efektifitas PERMA no 1 tahun 2002 dalam kurun
waktu 7 tahun keberlakuan PERMA tersebut.
c. Untuk mengetahui pendapat para hakim yang menjadi
responden dalam penelitian ini apakah sudah cukup gugatan
citizen lawsuit dipahami secara kritis dan mendalam
berdasarkan putusan-putusan yang ada.
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah menunjukan eksis-
tensi dan urgensi keberlakuan PERMA No. 1 tahun 2002
dalam mengantisipasi perkara perkara yang terkait
dengan mekanisme gugatat perwakilan kelompok. Di
samping itu, penelitian juga bertujuan untuk mencari
upaya dan solusi yang lebih baik dalam hal tata cara
yang terkait dengan belum adanya perma khusus
tentang citizen lawsuit.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui
apakah keberadaan PERMA No. 1 tahun 2002 sudah
cukup memadai memberi pedoman beracara class
action.
a. Untuk mengetahui sejauh mana hakim melak-
sanakan gugatan class action berdasarkan PERMA
No. 1 tahun 2002, apakah sudah cukup memadai
atau perlu penyempurnaan.
b. Apakah diperlukan PERMA untuk gugatan citizen
lawsuit seperti halnya class action berdasarkan pasal
79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 yang di ubah
dangan Undang-undang No. 5 Tahun 2004. Untuk
mengukur pengetahuan hakim dan pemahaman
hakim di Indonesia tentang gugatan perwakilan
kelompok (class action) dan gugatan citizen lawsuit.
D. Kerangka konseptual
Pengertian class action menurut Undang-undang No. 32
tahun 2009 adalah hak masyarakat untuk mengajukan
gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya
sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila
mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Pengertian class action menurut Undang-undang No. 41
tahun 1999 adalah hak masyarakat untuk mengajukan
gugatan perwakilan kepengadilan atas kerusakan hutan
yang merugikan kehidupan masyarakat akibat
pengelolaan hutan yang tidak sesuai dengan undang-
undang yang berlaku.
Pengertian class action menurut Undang-undang No. 7
tahun 2004 pasal 90 adalah masyarakat yang dirugikan
akibat berbagai masalah pengelolaan sumber daya air
berhak mengajukan gugatan perwakilan kepengadilan.
Pengertian class action menurut Undang-undang No. 8
tahun 1999 adalah gugatan yang diajukan oleh
sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama yang benar benar dirugikan dan dapat
dibuktikan secara hukum.
Pengertian class action menurut PERMA No. 1 tahun
2002 adalah sebagai suatu tata cara pengajuan gugatan,
dalam mana satu orang atau lebih yang mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri
meraka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok
orang yang jumlahnya banyak, yang mewakili kesamaan
fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan
anggota kelompok dimaksud.
Pengertian citizen lawsuit adalah mekanisme bagi warga
negara untuk menggugat tanggung jawab penyelenggara
negara atas kelalaian dalam memenuhi hak hak warga
negara.
E. Metode penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kepustakaan sebagaimana penelitian yang
dilakukan untuk kajian bidang hukum; Bukan penelitian sosial
oleh karena itu, data yang digunakan adalah data sekunder yang
diperoleh melalui studi dokumen walaupun demikian kemung-
kinan wawancara kepada narasumber yang terkait tetap
dilakukan perlu dijelaskan pula bahwa metode analisis data yang
digunakan adalah kualitatif maka tulisan ini pun sebenarnya
semi metode penelitian lapangan artinya data sekunder dan data
primer serta hasil observasi evaluasi dan kwesioner tetap
digunakan.
Penelitian ini digunakan beberapa pendekatan yakni
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach)
pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan
kasus (case approach) dan pendekatan presepsional (percep-
tional approach).
Dari sudut bentuknya, penelitian ini adalah penelitian yang
menggabungkan bentuk penelitian evaluatif, diagnostic, dan
preskriptif. Penelitian evaluatif adalah penelitian atas kegiatan
yang telah dilaksanakan penelitian diagnostic adalah penelitian
yang dilakukan guna mengetahui sebab-sebab suatu gejala
lebih lanjut.
Penelitian preskiptif adalah penelitian-penelitian yang
memberi jalan keluar dari suatu masalah. Mula-mula penelitian
ini diarahkan untuk mengevaluasi PERMA No. 1 tahun 2002
dan pengempurnaanya serta untuk menerbitkan PERMA baru
yang terkait dengan gugatan citizen lawsuit.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian tentang class action dan citizen
lawsuit dilaksanakan dilingkungan yurisdiksi pengadilan tinggi
Mataram, Banten, Banjarmasin, Pakanbaru, Denpasar dan
Yogyakarta, yang dilakukan secara acak/random pada
lingkungan peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama
Pengadilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Penelitian
ini diharapkan menghasilkan sebanyak 180 responden hakim,
dimana hakim hakim tersebut berasal dari keempat lingkungan
peradilan dengan menyebarkan kwesioner yang harus di jawab
oleh para hakim, juga dilengkapi dengan diskusi dan
wawancara, penelitian ini dilakukan oleh pusat penelitian dan
pengembangan hukum dan peradilan Mahkamah Agung RI.
yang diprioritaskan kepada para hakim yang di harapkan dapat
menerapkan dan menambah pengetahuan dalam setiap putusan
putusannya.
BAB II
PENGERTIAN ASPEK HUKUM CLASS ACTION
1 Dani
Saliswijaya, Himpunan Peraturan tentang Class Action, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2004, hal vii
sendiri sehingga menimbulkan ketidak efisienan bagi pihak yang
mengalami kerugian, maupun pihak tergugat bahkan bagi pihak
pengadilan sendiri. Namun di sisi lain, dalam kondisi-kondisi
tertentu, peraturan perundang-undangan sebaiknya mengutama-
kan kepentingan dan kewenangan suatu badan pemerintah
untuk mengatur perilaku bisnis, misalnya Federal Trade
Commission di Amerika Serikat yang mengatur permasalahan-
permasalahan terkait persaingan usaha. Atas dasar adanya
kewenangan yang dimiliki badan pemerintah tersebut,
pengajuan gugatan perdata, termasuk pengajuan gugatan class
action, menjadi tidak diperkenankan. Lebih lanjut, para
penggugat dalam kasus-kasus di Amerika Serikat telah
seringkali mendapatkan kritik karena menyalahgunakan
penerapan mekanisme class action. Oleh sebab itu, penerapan
mekanisme class action di Indonesia harus dilaksanakan secara
hati-hati.
Sesuai dengan tujuan gugatan class action, yaitu supaya
proses berperkara lebih ekonomis dan biaya lebih efisien
(judicial economy) tidaklah ekonomis bagi pengadilan jika harus
melayani gugatan yang sejenis secara satu persatu. Manfaat
ekonomis ini tidak saja dirasakan oleh penggugat, akan tetapi
juga oleh tergugat, sebab dengan pengajuan gugatan secara
class-action, tergugat hanya satu kali mengeluarkan biaya untuk
melayani gugatan pihak-pihak yang merasa dirugikan. Biaya
melalui mekanisme class action akan lebih murah dari pada
gugatan masing-masing individu, yang kadang-kadang tidak
sesuai dengan ganti kerugian yang akan diterima. Apalagi jika
biaya gugatan yang akan dikeluarkan tidak sebanding dengan
tuntutan yang diajukan. Mekanisme ini juga untuk mencegah
putusan-putusan yang berbeda antara majelis hakim yang satu
dengan majelis yang lain.
Dalam PERMA No. 1 tahun 2002, gugatan Perwakilan
Kelompok (Class Action) didefinisikan sebagai suatu tata cara
atau prosedur pengajuan gugatan, dimana satu orang atau
lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
dirinya sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang
yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau
kesamaan dasar hukum dan kesamaan tuntutan antara wakil
kelompok dan anggota kelompoknya.
2 Dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai gugatan class action
saja, tidak membahas legal standing hak gugat lembaga.
Karena hanya dalam undang-undang tersebut yang
mengatur kemungkinan dilakukan gugatan class-action,
timbul pertanyaan apakah pelanggaran-pelanggaran diluar
kelima undang-undang tersebut, tidak dapat diajukan gugatan
melalui perwakilan kelompok? Hal ini menimbulkan berbagai
penafsiran dan perbedaan pendapat diantara para hakim,
karena landasan pengaturan Class Action di Indonesoa
hanyalah Perma No. 1 tahun 1990, sedangkan Perma
hanyalah mengatur tata cara pengajuan gugatan perwakilan
kelompok, tanpa menyebutkan substansi atau jenis perkara
yang dapat diajukan melalui mekanisme gugatan perwakilan
kelompok.
Mengingat penerapan class action berasal dari negara-
negara yang menganut sistem common law, maka kita dapat
menarik manfaat dari mekanisme class action berdasarkan
sistem common law beserta permasalahannya dan menyesuai-
kannya dengan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Mekanisme gugatan class action dapat diterapkan untuk segala
jenis gugatan sepanjang memenuhi persyaratan mekanisme
gugatan class action. Seperti halnya di Amerika Serikat dan
Canada yang menerapkan persyaratan ketat, class action telah
meliputi kasus-kasus yang bervariasi secara luas seperti :
- Perbuatan melawan hukum meliputi kasus tanggung jawab
produk, misalnya produk alat pacu jantung yang malfungsi,
tranplantasi payudara, hepatitis C dan penularan HIV melalui
sistem bank darah
- Perbuatan melawan hukum massal misalnya kecelakaan
kereta api, polusi air, pelecahan seksual disekolah.
- Kasus-kasus kontrak meliputi class action konsumen
misalnya melawan perusahaan-perusahaan kartu kredit yang
menetapkan bunga secara illegal, penyesatan dalam
pembangunan perumahan, tidak dibayarnya manfaat
ansuransi
- Aksi pemecatan massal yang salah setelah pengambilalihan
perusahaan.
- Berbagai kasus lain seperti sengketa perusahaan waralaba,
dana pensiun, bencana alam, hak atas tanah adat dan hak
cipta. 3
- Karyawan suatu perusahaan yang menderita kerugian
karena praktek-praktek diskriminasi yang tidak adil
(discrimination) seperti perbedaan ras, umur, gender.
- Perkara-perkara yang berkaitan dengan pencemaran
lingkungan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
- Pasien yang mengkomsumsi obat-obatan yang tidak diberi
penjelasan cukup yang memberikan efek samping yang
berbahaya.
- Pedagang dan pembeli yang membeli produk kemahalan
karena praktek-praktek persaingan curang yang dilakukan
perusahaan (antitrust)4
- Investor yang menjadi korban karena perbuatan curang
dalam kaitannya dengan pembelian saham dan securities
lainnya (securities fraud)5
13 Moore’s
Federal Practice – Excerpts from Moore’s Federal Practice Chapter 23
Class Action hlm 19- 20
tertentu.14 Perlu pembuktikan adanya keadaan yang
sama, serupa atau saling berkaitan, dan ada kaitan
keadaan yang menimbulkan tuntutan. Mempunyai
persamaan jenis tuntutan, pada umumnya dalam
gugatan perwakilan kelompok, jenis tuntutan yang
dituntut adalah pembayaran ganti kerugian berupa
uang, meskipun tidak menutup ganti kerugian yang
lain.
Bahwa dalam pembuktian numerosity dan
commonality lebih difokuskan pada karakteristik dari
kelas, sedangkan dalam typicallity lebih difokuskan
kepada wakil kelas, yang merupakan bagian dari
kelas. Seperti misalnya dalam kasus “penetapan
harga” (price fixing) perkara pelanggaran Undang-
Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha tidak
Sehat, wakil kelas haruslah pelanggan dari produk
yang diduga melakukan penetapan harga. Untuk
menentukan apakah penggugat wakil kelas “typical”
pengadilan harus mempertimbangkan hal-hal
tersebut dibawah ini :
- Apakah penggugat wakil kelas adalah bagian dari
anggota kelas yang berjumlah banyak yang
diuraikan dalam gugatan.
- Apakah tuntutan yang diajukan berasal dari
peristiwa atau kejadian yang sama dan dalam
kurun waktu yang sama dan berdasarkan pada
keadaan hukum yang sama dengan anggota
kelas yang lain.
14 Adam Babich dalam Comparative Study of Class Action - Tulane Law School
Tahun 2002 menyatakan bahwa di State Louisiana, New Orleans yang banyak
menonjol adalah perkara-perkara gugatan dari wilayah perumahan yang dihuni
oleh orang-orang miskin yang dekat dengan pabrik yang memcemari air sungai
yang dipakai untuk umum, yang menyebabkan kanker. Sudah 4 tahun Pemerintah
Daerah tahu, tetapi tidak bereaksi dan digugat class action. Namun sangat sulit
untuk membuktikan karena kenyataannya tidak semua yang sakit kanker itu adalah
yang minum air yang tercemar tsb, karena ada yang sakit yang disebabakan faktor-
faktor lain seperti rokok dsb.
- Apakah tidak ada konflik kepentingan (anta-
gonistic interests) antara wakil kelas terhadap
anggota kelas lainnya.
Jika persyaratan-persyaratan tersebut, tidak
sesuai dengan landasan tuntutan dari anggota kelas
yang lain, maka persyaratan typically tidak
terpenuhi15
Untuk mempermudah pemahaman adanya
persamaan masalah fakta dan masalah hukum,
penulis berikan contoh dibawah ini dalam perkara
Jacqueline Spicer vs Pacific Dunlop, Teltronics cs 16
Dalam perkara ini, Spicer mengajukan gugatan
sebagai wakil dari orang yang memakai pacemaker
(alat pengatur detak jantung buatan Pasific Dunlop -
yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui operasi) -
dan yang terpaksa menjalani perawatan medis
dikarenakan cacat di pacemaker tersebut. Gugatan
itu menguraikan dengan sangat terperinci masing-
masing kesamaan masalah hukum dan fakta, dan
masing-masing kesamaan diuraikan dalam bagian
tersendiri17. Semua masalah hukum itu berdasarkan
undang-undang Australia yang melindungi hak para
konsumen. Undang-undang tersebut menentukan
bahwa perusahaan mempunyai pertanggung
jawaban mutlak atas kerugian yang dikarenakan
cacat dalam barang yang dijualnya kepada para
konsumen, serta menentukan bahwa pembuatan
iklan yang bersifat curang atau menyesatkan adalah
pelanggaran hukum.
15 A. Paul Victor and Eva W. Cole – US Private Antitrust Treble Damages Class
Action New York hlm 4
16 Justice M. Wilcox, Representative Proceedings in the Federal Court: a Progress
Report (1996 -1997) Australian Bar Review, hlm. 93-94.
17 Kasus Jacqueline Spicer adalah kasus class action yang tepat untuk dijadikan
contoh bagi pengajuan gugatan serupa di Indonesia berdasarkan undang-undang
perlindungan konsumen yang memungkinkan pengajuan gugatan class action.
Kesamaan masalah fakta dan hukum yang
diuraikan dalam gugatan tersebut antara lain :
- Apakah para tergugat melakukan perbuatan yang
menyesatkan atau bertujuan menipu, yang
merupakan pelanggaran Trade Practices Act
(undang-undang yang melindungi hak para
konsumen);
- Apakah pacemaker yang diciptakan, dibuat,
didistribusikan, dan diiklankan oleh para tergugat
itu memang cacat, dan apa sifat cacatnya.
- Apakah tergugat telah membuat uji coba yang
layak untuk menentukan apakah pacemaker itu
aman dipakai;
- Apakah tergugat melaporkan secara tepat hasil
uji coba itukepada pemerintah.
- Apakah tergugat telah membuat peringatan
mengenai resiko pacemaker itu, dan apakah tidak
dibuatnya peringatan merupakan perbuatan yang
lalai (negligence);
- Apakah pacemaker itu aman dipakai untuk fungsi
yang dimaksudkan dan apakah para tergugat
mempunyai pertanggung jawaban mutlak
(menurut Trade Practices Act) kepada orang di
Australia yang dirugikan oleh pacemaker buatan
tergugat;
- Bagaimana cara yang layak untuk menilai dan
memberikan ganti kerugian, serta mengadakan
tindakan pemulihan yang lain seperti mengurangi
resiko dan kerugian yang belum terjadi.
Sebaliknya dalam Kasus Tsang Chi Ming and Ou
Shi Kang vs Ivanna Pty Ltd; Ministrer for Immigration,
Local govermentand Ethnic Affairs,18 Keduanya
18 Ibid
- Justice M. Wilcox Lihat juga Susanti Adi Nugroho – Refleksi Gugatan
Perwakilan Kelompok di Indonesia Penerbit Mahkamah Agung RI hlm 25
adalah imigran asal China sebagai wakil kelas
mengajukan gugatan class action terhadap Ivanna
Pty Ltd, sebuah pelayanan jasa imigrasi untuk
mengurus status imigrasi dari sejumlah warga
imigran China yang berada di Australia. Dasar hukum
adalah misleading dan deceptive conduct yang diatur
dalam Trade Practice Act. Perkara gugatan class
action tersebut ditolak oleh hakim, berdasarkan fakta
yang terjadi bahwa masing-masing anggota kelas
maupun wakil kelas dalam melakukan pembicaraan
dan trasaksinya dengan tergugat Ivanna Pty Ltd
dilakukan secara sendiri-sendiri atau individual. Wakil
kelas dan anggota kelas dalam meminta jasa
tergugat secara lisan tidak tertulis, antara 5 Maret
1992 sampai tahun 1994. Sangat mungkin bahwa
yang dibicarakan masing-masing anggota kelas
maupun wakil kelas berbeda karena perjanjiannya
tidak tertulis. Hakim berpendapat bahwa karena
substansi dasar tuntutan adalah misleading dan
deceptive conduct yang menimbulkan kerugian bagi
seluruh anggota kelas, maka kesepakatan atau janji
secara lisan sulit sebagai dasar pembuktian
kebenaran dalil gugatan. Hakim berpendapat
gugatan perdata biasa lebih tepat.
Penulis berpendapat bahwa pembuktian
Commonality, Typicality dan Similarity ini sangat
rumit, dan kasuistis tergantung jenis perkaranya,
dengan kedua contoh tersebut sedikit banyak dapat
menggambarkan perbedaannya.
c. Kejujuran dan kesungguhan wakil kelompok untuk
melindungi kepentingan anggota kelompok yang
diwakilinya.19
20 Susanti
Adi Nugroho, Refleksi Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia,
Penerbit Mahkamah Agung RI hlm 28-30
menentukan apakah suatu gugatan dapat dilangsungkan
melalui prosedur class action atau tidak. PERMA telah
mengatur sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pada
awal proses pemeriksaan persidangan hakim wajib
memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan
perwakilan kelompok.
Mekanisme sertifikasi yang diterapkan di Amerika
Serikat dilakukan melalui preliminary certification test
yang diterapkan diawal persidangan dan sering kali
dirasa sebagai beban yang berat dikarenakan sangat
menyita bayak waktu dan mengakibatkan proses perkara
menjadi mahal. Proses sertifikasi awal yang bersifat
formal inilah yang menimbulkan citra bahwa proses
sertifikasi merupakan hambatan untuk mendayagunakan
prosedur class action. Dalam prakteknya preliminary
certification test melalui dengar pendapat formal
(hearing), seringkali lebih rumit, mahal dan menyita
waktu, dibandingkan dengan pemeriksaan atau dengar
pendapat tentang substansinya sendiri.
Masalah lain dalam preliminary certification test
melalui hearing ini mensyaratkan seluruh anggota kelas
harus sudah diindentifikasi pada awal proses class
action. Kewajiban indentifikasi pada awal proses
seringkali menjadi mustahil karena bahan-bahan serta
informasi yang diperlukan untuk melakukan indentifikasi
yang akurat masih terdapat pada tergugat.
Di Australia mekanisme sertifikasi ini tidak dikenal.
Dalam mensahkan gugatan class action hakim cukup
bersandar pada pasal 33 C (1) Federal Court Act yaitu
cukup menentukan satu common issue yang substansial,
maka class action dapat dikabulkan.
Bagaimana sebaiknya di Indonesia? Prosedur
gugatan Class Action ini sangat bermanfaat bagi
pengembangan hukum dan keadilan di Indonesia, untuk
menyederhanakan proses dalam mengajukan gugatan
dari kelompok orang yang menderita kerugian yang
sama, dan mempunyai kepentingan yang sama. Oleh
karena itu maka mekanisme prosedurnya perlu
disederhanakan, karena posisi dan kedudukan anggota
masyarakat di Indonesia pada umumnya secara sosial
dan ekonomis masih berada dalam posisi rentan,
sehingga mereka tidak dapat mencegah atau menangkal
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku ekonomi dan
atau penguasa / pemerintah terhadap diri mereka.
Dengan berpedoman manfaat diatas, dan penyesuaian
dengan sistem hukum yang berlaku, serta
mempermudah pemeriksaan, maka sebaiknya hakim
dapat memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
23 Pasal 7 sub 4 Perma No 1 tahun 2002, dan contoh notifikasi dapat dilihat Refleksi
Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok di Indonesia, terbitan Mahkamah Agung
hal 89.
- Formulir isian tentang pernyataan keluar anggota
kelompok
- Penjelasan tentang jumlah ganti kerugian yang
akan diajukan.
Setelah pemberitahuan dilakukan oleh wakil
kelompok berdasarkan persetujuan hakim, anggota
kelompok dalam jangka waktu yang ditentukan oleh
hakim diberi kesempatan untuk menyatakan keluar dari
keanggotaan kelompok dengan mengisi formulir
sebagaimana format yang telah ditentukan.24
Seperti halnya di Amerika Serikat dan Australia,
sebelum pemberitahuan diumumkan di media masa,
pengadilan/hakim harus terlebih dahulu menyetujui isi
maupun cara melakukan pemberitahuan. Di yurisdiksi
pengadilan tingkat Federal di Australia pemberitahuan
untuk melakukan opt out ditentukan dalam format
tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 33 X dan Order
73, rule 6 25
Pasal 33 X dan pasal 33 Y (4) dan (5) Federal Court
of Australia Act, prosedur notifikasi diatur secara rinci
sebagai berikut :
1. Pemberitahuan (notice) bukan merupakan kewajiban
jika tuntutan tidak dalam bentuk ganti kerugian uang
(financial damages)
2. Pengadilan dapat meminta agar pemberitahuan
dilakukan melalui iklan di media masa, siaran radio
atau televisi atau siaran lainnya (terbuka berbagai
pilihan mekanisme pemberitahuan)
3. Pemberitahuan secara individual (personal notice)
kepada anggota kelas tidak dapat dilakukan, kecuali
memenuhi persyaratan praktis (reasonably
24 Ibid
contoh formulir dan format lihat Mahkamah Agung - Praktek Gugatan
Perwakilan Kelompok di Indonesia
25 Lihat
lampiran contoh notifikasi dan format pemberitahuan dalam buku Proses
pengajuan gugatan kelompok, terbitan Mahkamah Agung RI, hal 91
practicable) dan tidak mahal (not likely to be unduly
expensive )
26 Elisabeth Cabrasar dan Peter Hacker – Class Action - California State’s Report
2002
atau ganti kerugian untuk biaya pemulihan
lingkungan.
c. Ganti kerugian untuk individu atau komunitas
yang diperkirakan akan mengalami kerugian
diwaktu yang akan datang. Kerugian dimaksud
belum terlihat pada saat kini
d. Ganti kerugian untuk generasi yang akan datang
( future generation )
Untuk keadaan di Indonesia taraf penyelesaian ganti
rugi ini, akan menimbulkan kesulitan, karena para pihak
umumnya enggan untuk berdamai dan perkara berlanjut
sampai putusan kasasi. Sedangkan pelaksanaan
eksekusi suatu putusan adalah wewenang dari Ketua
Pengadilan Negeri, yang tidak selalu juga sebagai hakim
yang menyidangkan perkara tersebut. Dan bagaimana
membagikan ganti rugi kepada anggota kelompok yang
berjumlah banyak dan bukti-bukti apa yang harus
diajukan. Oleh karena itu usulan pembentukan suatu tim
atau panel sangat membantu, jika dimohonkan dalam
petitum gugatan.
27 Gregory Hansel, Futures Extreme Litigation, An Interview with Judge Wim Terrell
Hodges, Chairmant of the Judicial Panel on Multydistrict Litigation 19
Me.B.J.16.16 (2004), yang disadur oleh A. Paul Victor and Eva W. Cole hlm 37
28 Ibid Gregory Hansel hlm 38
29 Justice M. Wilcox, opcit
berbeda, PERMA tidak mengaturnya, tetapi hal tersebut
sebenarnya sulit terjadi di Indonesia, karena proses
beracara kita mengacu pada HIR atau Rbg dimana
gugatan diajukan antara lain ditempat tinggal /domicili
tergugat atau salah satu dari tergugat jika tergugat lebih
dari satu. Namun jika terjadi duplikasi gugatan, mengenai
masalah yang sama, terhadap tergugat yang sama, yang
memiliki wilayah usaha yang luas, sehingga gugatan
yang sama diajukan di pengadilan negeri yang berbeda
oleh wakil klas yang berbeda, Penulis berpendapat
bahwa tergugat dapat memohon kepada Ketua
Pengadilan Negeri, agar gugatan perwakilan tersebut
digabungkan. Atas permintaan tersebut Ketua
Pengadilan Negeri wajib meneruskan kepada Mahkamah
Agung untuk ditunjuk pengadilan negeri mana yang
ditetapkan untuk memeriksa dan memutuskan perkara
tersebut, dengan tembusan kepada pengadilan negeri
lain yang juga memeriksa perkara yang sama. Dalam hal
ini, selain mengajukan permohonan penggabungan class
action kepada ketua pengadilan negeri yang terkait,
tergugat juga dapat mengajukan permohonan tersebut
secara langsung kepada Mahkamah Agung.
Sebagaimana tujuan dan manfaat gugatan class
action, agar supaya proses berperkara lebih ekonomis
dan biaya lebih efisien. Manfaat ekonomis ini, tidak saja
dirasakan oleh penggugat, akan tetapi juga oleh tergugat,
sebab dengan pengajuan gugatan terhadap tergugat
yang sama, mengenai hal yang sama, diberbagai tempat
yang berbeda, adalah tidak efektif dan tidaklah adil, jika
tergugat harus berkali-kali melayani gugatan pihak-pihak
atau kelompok yang sama mengenai masalah yang
sama. Pemeriksaan oleh pengadilan yang berbeda, juga
dikawatirkan dapat berakibat putusan yang berbeda
Proses acara yang demikian bukanlah hal yang baru
bagi pengadilan, karena dalam perkara keberatan
terhadap putusan KPPU yang sama yang diajukan oleh
pelaku usaha di beberapa pengadilan yang berbeda,
KPPU berdasarkan Perma No 3 tahun 2005 dapat
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung
untuk menunjuk salah satu pengadilan negeri yang juga
menerima keberatan dari pelaku usaha. Dan pengadlan
negeri yang menerima tembusan permohonan
penggabungan harus menghentikan pemeriksaan dan
menunggu penunjukan dari Mahkamah Agung.
Pengadilan yang menerima penunjukan dari Mahkamah
Agung yang akan meneruskan pemeriksan gugatan class
action yang diajukan, sedangkan pengadilan negeri yang
tidak ditujuk menyerahkan berkas perkara kepada
pengadilan yang ditunjuk.
30 Elisabeth Cabrasar dan Peter Hacker menyatakan bahwa di Amerika Serikat 95%
gugatan class-action yang diajukan berachir dengan settlement . Dalam settlement
agreement ini masih memerlukan persetujuan dari hakim, untuk mengawasi apakah
perdamaian yang dicapai adil bagi kedua belah pihak.
Jika gugatan dikabulkan, putusan hakim harus
memuat jumlah ganti kerugian secara rinci, penentuan
kelompok atau sub kelompok yang berhak menerima
ganti rugi, dan mekanisme pendistribusian ganti kerugian
dan langkah-langkah yang wajib ditempuh oleh wakil
kelompok dalam proses pendistribusian, termasuk
penunjukan tim/panel khusus yang terdiri dari pihak
penggugat, tergugat dan pengadilan, atau pihak lain yang
dianggap patut, yang bertanggung jawab mengelola dan
mendistribusikan dana ganti kerugian kepada anggota
kelas.
Meskipun tahapan penyelesaian ganti kerugian ini
hanya bersifat praktis administratif saja, tetapi
persoalannya tidak dapat dianggap ringan karena
menyangkut soal dana atau uang yang cukup besar dan
dapat memicu perpecahan apabila tidak diawasi dan
dikelola dengan baik.
BAB III
PENGERTIAN ASPEK HUKUM CITIZEN LAWSUIT
31
Indro Sugianto, Hak Gugat Warga Negara (Citizen law suit) Terhadap Negara –
Kajian Putusan No. 28/Pdt.G/2003/PN.Jkt.Pusat, Majalah Dictum-Jurnal Kajian
Putusan Pengadilan, edisi 2, 2004, hal. 34.
In the U.S., a citizen suit is a lawsuit by a private citizen to
enforce a statute.32
Citizen suits come in three forms.
First, a private citizen can bring a lawsuit against a
citizen, corporation, or government body for engaging in
conduct prohibited by the statute. For example, a citizen
can sue a corporation under the Clean Water Act for
illegally polluting a waterway.
Second, a private citizen can bring a lawsuit against a
government body for failing to perform a nondiscretionary
duty. For example, a private citizen could sue the
Environmental Protection Agency for failing to
promulgate regulations that the Clean Water Act required
it to promulgate.
In a third, less common form, citizens may sue for an
injunction to abate a potential imminent and substantial
endangerment involving generation, disposal or handling
of waste, regardless of whether or not the defendant's
conduct violates a statutory prohibition.
This third type of citizen suit is analogous to the common
law tort of public nuisance.33
Penggugat tentunya selalu mengatas namakan
kepentingan publik tapi uniknya karena klaim tersebut
sifatnya materiil sehingga penggugat tidak harus
mendapatkan surat kuasa dari warga negara yang lain
(publik) hal ini mirip dengan legal standing yang dimiliki
32
Citizen Suits: The Teeth in Public Participation, 25 Envtl. L. Rep. (Envtl. L. Inst.) 10141
(Mar. 1995), http://www.tulane.edu/~telc/assets/articles/Citz%20Suits%20Teeth-
ELR_95.pdf ; Jeffrey G. Miller & Environmental Law Inst., Citizen Suits: Private
Enforcement of Federal Pollution Control Laws (1987)
33
Middlesex City Board of Chosen Freeholders v. New Jersey, 645 F. Supp. 715, 721-
22(D.N.J. 1986); see also RCRA Imminent Hazard Authority: A Powerful Tool for
Businesses, Governments, and Citizen Enforcers, 24 Envtl. L. Rep. (Envtl. L.
Inst.) 10122 (March 1994),
http://www.tulane.edu/~telc/assets/articles/RCRA%20Haz%20ELR_94.pdf
LSM / Organisasi Lingkungan Hidup, 34 yang mengatas-
namakan kepentingan obyek alam dan lingkungan hidup
yang secara natural tidak bisa memperjuangkan
kepentinganya sendiri.
Persoalannya ketika hak gugat tersebut diakui,
tantangan selanjutnya adalah bagaimana agar suatu
gugatan Citizen Lawsuit tersebut dapat diterima oleh
pengadilan, untuk ini tentunya perlu dilakukan proses
khusus notifikasi semacam proses somasi, dimana
dalam bentuk statemen dari penggugat kepada tergugat,
yang sudah berisi tentang dasar pelanggaran dan
tuntutan spesifik yang akan dimintakan.
Persoalan lain mengenai tuntutan, masih agak
resistance karena tuntutan perdata adalah lajimnya
terutama tuntutan materil akan tetapi di sisi lain
penggugatnya bukan pihak yang dirugikan langsung, hal
ini misalnya bisa dianalogikan dengan legal standing
organisasi lingkungan hidup, dimana penggugat “hanya
boleh” meminta tuntutan perbuatan tertentu, misalnya
berupa rehabilitasi lingkungan untuk obyek alam dan
lingkungan hidup yang diwakilinya.
Di Amerika Serikat awal mula munculnya pengakuan
gugatan dengan prosedur Citizen Lawsuit adalah juga
dari pengajuan perkara ke Pengadilan, kemudian dimuat
dalam peraturan perundangan pertama kali pada tahun
1970 dalam Clean Air Act (pasal 304), juga dapat
ditemukan pada undang-undang lainnya antara lain
Clean Water Act (pasal 505), Comprehenship
Environmental Response Compensation and Liability Act
(pasal 310), Resource Conservation and Recovery Act
(pasal 7002).35 Yang menjamin secara hukum bahwa
setiap orang dapat menuntut pemerintah di Pengadilan
untuk menjalankan kewajiban yang diperintahkan oleh
34
baca: pasal 38 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
35
Mas Achmad Santosa, “Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, ICEL, Jakarta, 1997,
h.10.
undang-undang, bahkan setiap orang juga dapat
bertindak sebagai Penuntut Umum untuk mengajukan
tuntutan pidana lingkungan (environmental offence)
dalam bentuk tuntutan pidana denda, dalam hal penuntut
umum negara (public prosecutor) tidak menjalankan
tugasnya (pasal 109 CERCLA).36
Di Australia khususnya di negara bagian New South
Wales, prosedur gugatan Citizen Lawsuit tercakup dalam
Civil Enforcement Proceedings yang termasuk kategori
Class IV - environmental planning and protection and
development contract - civil enforcement, pada prosedur
pemeriksaan di Pengadilan Pertanahan & Lingkungan
(Land & Environment Court - Sydney). 37 Prosedur
tersebut dibatasi hanya kepada pemulihan lingkungan
atau pembatasan dari kerusakan lingkungan (remedy or
restrain). Adanya standing ini adalah didasarkan pada
dua faktor yaitu perlindungan kepentingan masyarakat
luas dan faktor penguasaan sumber daya alam atau
sektor-sektor yang memiliki dimensi publik. Dan sasaran
yang hendak dicapai dari Civil Enforcement adalah
untuk melaksanakan kekuasaan Undang-undang atau
peraturan mengenai lingkungan hidup, dengan
memberikan dorongan, sekaligus pendidikan hukum
kepada masyarakat terhadap hak lingkungannya, serta
memberikan efek penjera (deterrent effect) kepada
pelaku perusakan dan pencemaran lingkungan maupun
masyarakat luas. Salah satu bagian dari Civil
Proceedings adalah judicial review, dimana bila
diperbandingkan dengan Indonesia adalah termasuk
perkara Tata Usaha Negara.
Di India, dalam hal “Citizen Suit” maupun
Representative standing, warga negara yang menjadi
36
Mas Achmad Santosa, “Gugatan AJI: Perluasan Hak Gugat Organisasi (Legal
Standing)”, Dictum edisi 2, Leip, Jakarta, 2004, halaman 62.
37
Environmental Law Toolkit – NSW, Environmental Defender’s Office (NSW),
The Federation Press, Sydney, 2005, halaman 45.
Penggugat tidak perlu membuktikan adanya kerugian
langsung yang bersifat riil dan tangible. Dalam putusan
Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen
Suit antara S.H. Gupta melawan Union of India AIR
(1982 (Feb) SC 149), ditegaskan bahwa setiap anggota
masyarakat siapapun juga dapat mengajukan gugatan
apabila :
1. Terjadi suatu kesalahan hukum atau kerugian hukum
yang disebabkan oleh karena adanya suatu
pelanggaran terhadap konstitusi atau pelanggaran
atas hak hukum tertentu atau perbuatan lain yang
bersifat menghukum;
2. Terjadinya suatu kesalahan hukum atau perbuatan
pembebanan hukum yang dilakukan tanpa otoritas
hukum;
3. Seseorang atau kelompok masyarakat (klas) tertentu
karena alasan kemiskinan, ketidakberdayaan atau
kecacatan atau jika secara ekonomi maupun sosial
berada dalam posisi merugikan tidak memiliki
kemampuan untuk mengajukan gugatan ke
Pengadilan.38
Jadi pada intinya Citizen Lawsuit adalah mekanisme
bagi Warga Negara untuk menggugat tanggung jawab
Penyelenggara Negara atas kelalaian dalam memenuhi
hak-hak warga Negara. Kelalaian tersebut didalilkan
sebagai Perbuatan Melawan Hukum. Oleh karena itu
Atas kelalaiannya tersebut, Negara dihukum untuk
melakukan tindakan tertentu atau mengeluarkan suatu
kebijakan yang bersifat pengaturan umum agar kelalaian
tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Beberapa kasus gugatan Citizen Lawsuit yang
pernah didaftarkan di Indonesia, antara lain :
1. Gugatan Citizen Lawsuit atas nama Munir Cs atas
Penelantaran Negara terhadap TKI Migran yang
38
Dictum, Jurnal Kajian Putusan Pengadilan - edisi 2, Leip, Jakarta, 2004, hal. 40.
dideportasi di Nunukan. Ini merupakan Gugatan
Citizen Lawsuit pertama yang muncul di Indonesia
Dikabulkan Majelis Hakim PN Jakarta Pusat. Tetapi
oleh Pengadilan Tinggi DKI pada proses banding
sesuai putusan No. 480/PDT/2005/PT DKI yang
diputuskan tanggal 4 April 2006, PT DKI menyatakan:
Oleh karena para tergugat tidak terbukti telah
melakukan perbuatan melawan hukum, maka
gugatan para penggugat harus ditolak seluruhnya.
Meskipun perkara Citizen Lawsuit TKI Migran
mengalami kegagalan di tingkat Banding, namun
ternyata ada dampaknya setelah diputus PN Jakarta
Pusat berdasarkan putusan PN Jakarta Pusat No.
28/Pdt.G/2003/PN. Jkt. Pst, tanggal 8 Desember
2003, yaitu dikeluarkannya UU Nomor 39 Tahun
2004 tentang Penempatan dan perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia.
2. Gugatan Citizen Lawsuit atas kenaikan BBM oleh
LBH APIK. Gagal, dinyatakan bahwa bentuk gugatan
Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim PN
Jakpus.
3. Gugatan Citizen Lawsuit atas Operasi Yustisi oleh
LBH Jakarta. Gagal, dinyatakan bahwa bentuk
Citizen Lawsuit tidak diterima Majelis Hakim PN
Jakarta Pusat.
4. Gugatan Citizen Lawsuit atas penyelenggaraan Ujian
Nasional oleh LBH Jakarta. Dikabulkan untuk
sebagian, Pemerintah diminta meninjau ulang
kebijakan penyelenggaraan Ujian Nasional.
Pemerintah (Tergugat) kemudian mengajukan
banding, dan pada tanggal 6 Desember 2007 telah
diputus oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tertanggal 21 Mei 2007. Dan pada tingkat
kasasi yang diajukan oleh pihak Tergugat telah
ditolak oleh Mahkamah Agung melalui putusan No.
2596 K/PDT/2008 tanggal 14 September 2009 yang
berarti bahwa putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut telah berkekuatan hukum
tetap.
5. Gugatan Citizen Lawsuit oleh Para Penggugat yang
mengatasnamakan Masyarakat Pengguna Jalan Tol
pada Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR), dalam
Putusan perkara nomor 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel.
tanggal 19 Mei 2008 tersebut dinyatakan bahwa
Gugatan Para Penggugat tidak dapat diterima,
karena tidak terpenuhinya syarat formil berupa
notifikasi;
6. Gugatan Citizen Lawsuit oleh Para Penggugat yang
mengatasnamakan warga negara pemegang hak
untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu)
2009, dalam Putusan perkara nomor 145 / Pdt.G /
2009/PN.JKT.PST. tanggal 03 Juni 2009, dinyatakan
bahwa Gugatan Para Penggugat tidak dapat
diterima, adalah juga karena tidak terpenuhinya
syarat formil, yaitu tidak memenuhi syarat jangka
waktu notifikasi;
Dari beberapa contoh perkara di atas dapat dilihat
bahwa di antara Hakim masih belum ada kesesuaian
pendapat mengenai bentuk gugatan Citizen Lawsuit. Ada
Hakim yang berpendapat dapat menerima kehadiran
gugatan Citizen Lawsuit, namun ada pula Hakim yang
masih tidak dapat menerima bentuk Citizen Lawsuit. Hal
ini dimaklumi karena hingga saat ini prosedur gugatan
Citizen Lawsuit memang belum diatur dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia, lain halnya dengan
bentuk gugatan Class Action yang telah tercantum dalam
beberapa Undang-undang serta telah di-akomodir hukum
acaranya dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA)
No. 1 Tahun 2002.
C. Dasar Hukum :
Dasar hukum untuk prosedur maupun pemeriksaan
materi gugatan Citizen Lawsuit apabila menyimak pertim-
bangan hukum dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST. adalah memper-
gunakan ketentuan pasal 14 ayat (1) dan pasal 27 Undang-
39
Ibid.
undang nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang nomor 35 tahun 1999, demikian pula dalam
putusan-putusan gugatan Citizen Lawsuit yang muncul
belakangan setelah keluarnya undang-undang Kekuasaan
Kehakiman yang baru, yaitu UU No. 4 Tahun 2004,
diantaranya Putusan No. 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.SEL dan
Putusan No. 145/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST, keduanya tetap
mempergunakan ketentuan yang sama yaitu pasal 16 ayat
(1) dan pasal 28 ayat (1) UU No. 4 tahun 2004. Dan
kemudian dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (UU
No. 48 Tahun 2009) telah ditempatkan aturan yang pada
pasal 5 dan pasal 10.
Dalam pertimbangan hukum pada putusan-putusan
tersebut terdapat intisari argumentasi hukum sebagai
berikut :
- Gugatan Para Penggugat adalah Citizen Lawsuit yang
biasa juga dikenal dengan sebutan Actio Popularis, yakni
prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan kepen-
tingan umum (public interest) secara perwakilan;
Didasarkan pada prinsip bahwa setiap warga negara
tanpa kecuali mempunyai hak membela kepentingan
umum, dengan demikian setiap warga negara atas nama
kepentingan umum (on behalf of the public interest)
dapat menggugat negara atau pemerintah atau siapapun
yang melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) yang
nyata-nyata merugikan kepentingan publik dan
kesejahteraan luas (pro bono publico), hal inipun sesuai
dengan hak asasi manusia mengenai acces to justice
yaitu akses untuk mendapatkan keadilan, apabila negara
diam atau tidak melakukan tindakan apapun untuk
kepentingan warga negaranya tersebut;40
- Bahwa oleh karena sistem dalam Gugatan Warga
Negara (Citizen Lawsuit) yang sifat gugatannya adalah
40
Pertimbangan hukum pada Putusan No. 28/Pdt.G/2003/PN.JKT.PST yang diikuti
oleh para hakim pada pemeriksaan perkara-perkara gugatan citizen lawsuit.
memperjuangkan kepentingan publik atau hajat hidup
orang banyak dalam hal negara tidak melaksananakan
kewajibannya untuk melindungi, menghormati, menegak-
kan dan memajukan hak-hak dan hak asasi warga
negara sehingga merugikan warga negaranya
sedangkan wakil-wakil dari warga negara tersebut yang
duduk di lembaga negara diam atau tidak mampu
memperjuangkan kepentingan-kepentingan atau perso-
alan yang merugikan warga negaranya, maka Majelis
berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang mewajibkan Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup
dalam masyarakat dapat menerima mekanisme atau
prosedur Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit).41
- Bahwa dalam gugatan a quo Para Penggugat adalah
sebagai warga negara yang berstatus sebagai pemegang
hak untuk memilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu),
aktivis dan pemantau pelaksanaan Pemilu, serta aktivis
hak asasi manusia yang bertindak mewakili jutaan warga
negara yang tidak dapat menikmati hak untuk memilih
dalam Pemilu Legislatif 9 April 2009, dan yang
ditempatkan sebagai Tergugat I adalah KPU sebagai
penyelengara Pemilu dan Tergugat II adalah Pemerintah,
yang nota bene Para Tergugat adalah institusi yang oleh
undang-undang diberi kewenangan untuk menjalankan
kepentingan publik, dengan alasan tersebut Para
Penggugat secara hukum telah memenuhi syarat hak
gugat “standing” untuk mengajukan gugatan secara
Citizen Lawsuit kepada Para Tergugat, dengan perihal
pokok gugatan sebagaimana tersebut dalam gugatan
Para Penggugat.
41
Pertimbangan hukum pada putusan No. 40/Pdt.G/2008/PN.JKT.Sel yang mengakui
standing Penggugat dalam prosedur gugatan Citizen Lawsuit.
Dengan menyimak argumentasi pada putusan-putusan di
atas, maka penggunaan Pasal 16 ayat (1) dan pasal 28 UU
No. 4 tahun 2004 (sekarang terdapat di pasal 5 dan 10 UU
No. 48 Tahun 2009) dapat dijadikan dasar untuk
pemeriksaan Gugatan Citizen Lawsuit, sekalipun secara
umum tetap menggunakan hukum acara yang diatur HIR /
RBg dengan penyesuaian pada tahap awal pemeriksaan,
khususnya penentuan hak gugat (standing to sue) Individu
atas nama Kepentingan Umum.
Mengenai dasar konstitusional untuk mengajukan
gugatan Citizen Lawsuit apabila bercermin pada putusan
Mahkamah Agung India pada perkara gugatan Citizen Suit
antara S.H. Gupta melawan Union of India AIR (1982 (Feb)
SC 149), yang pertimbangannya antara lain “Terjadi suatu
kesalahan hukum atau kerugian hukum yang disebabkan
oleh karena adanya suatu pelanggaran terhadap konstitusi
atau pelanggaran atas hak hukum tertentu atau perbuatan
lain yang bersifat menghukum.” Maka kitapun dapat
mendasarkan pada konstitusi untuk landasan standing bagi
warga negara dalam mengajukan gugatan Citizen Lawsuit
atas dasar hak konstitusional terhadap hak asasi manusia,
yaitu pada pasal-pasal yang terdapat di Bab X A
Amandemen Kedua UUD 1945.
Subyek Hukum :
- Subyek hukum Penggugat, adalah warga negara yang
bertindak mengatasnamakan warga negara. Penggugat
dalam hal ini cukup membuktikan bahwa dirinya adalah
warga negara Indonesia. Berbeda dengan class action,
Penggugat Citizen Lawsuit tidak harus merupakan
kelompok warga negara yang dirugikan secara langsung
oleh negara, oleh karena itu Penggugat tidak harus
membuktikan kerugian materiil yang telah dideritanya
sebagai dasar gugatan, berbeda dengan gugatan
perdata biasa. Selain itu Penggugat secara keseluruhan
adalah mewakili Warga Negara Indonesia, tidak perlu
dipisah-pisah menurut kelompok kesamaan fakta dan
kerugian sebagaimana dalam Gugatan Class Action.
- Subyek hukum Tergugat, adalah penyelenggara negara,
mulai dari Presiden dan Wakil Presiden sebagai
pimpinan teratas, Menteri dan terus sampai kepada
pejabat negara di bidang yang dianggap telah melakukan
kelalaian dalam memenuhi hak warga negaranya. Dalam
hal ini pihak selain penyelenggara negara boleh
dimasukkan sebagai pihak Turut Tergugat, tetapi
Tergugat utama adalah penyelenggara negara karena
inilah bedanya antara Citizen Lawsuit dengan gugatan
biasa. Yaitu dimaksudkan untuk melindungi warga
negara dari kemungkinan terjadinya kerugian sebagai
akibat dari tindakan atau pembiaran dari negara atau
otoritas negara.
Dalil Pokok :
- Perbuatan Melawan Hukum yang didalilkan dalam
Gugatan adalah kelalaian Penyelenggara Negara dalam
pemenuhan hak-hak warga negara. Dalam hal ini harus
diuraikan bentuk kelalaian apa yang telah dilakukan oleh
negara dan hak warga negara apa yang gagal dipenuhi
oleh Negara. Penggugat harus membuktikan bahwa
Negara telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
tersebut, sebagaimana gugatan perdata biasa.
- Gugatan Citizen Lawsuit tidak memerlukan adanya suatu
notifikasi Option Out setelah gugatan didaftarkan
sebagaimana diatur dalam PERMA tentang Class Action.
Dalam prakteknya di Indonesia yang didasarkan pada
pengaturan di beberapa negara common law, Citizen
Lawsuit cukup hanya dengan memberikan notifikasi
berupa informasi ringkas kepada penyelenggara Negara
yang digugat. Isi informasi tersebut adalah bahwa telah
diajukan suatu Gugatan Citizen Lawsuit terhadap
penyelenggara Negara atas kelalaian negara dalam
pemenuhan hak-hak Warga Negaranya dan memberikan
kesempatan bagi negara untuk melakukan pemenuhan
jika tidak ingin gugatan dilanjutkan. 42
Isi Petitum :
- Petitum dalam gugatan tidak boleh meminta adanya ganti
rugi materiil, karena kelompok warga negara yang
menggugat bukan kelompok yang dirugikan secara
materiil dan memiliki kesamaan kerugian dan kesamaan
fakta hukum sebagaimana gugatan Class Action.
- Petitum gugatan Citizen Lawsuit harus berisi permo-
honan agar negara mengeluarkan suatu kebijakan
pengaturan umum agar perbuatan melawan hukum
berupa kelalaian dalam pemenuhan hak warga negara
tersebut di masa yang akan datang tidak terjadi lagi.
- Petitum Gugatan Citizen Lawsuit tidak boleh berisi
pembatalan atas suatu Keputusan Penyelenggara
Negara (Keputusan Tata Usaha Negara) yang bersifat
konkrit individual dan final karena hal tersebut
merupakan kewenangan dari peradilan TUN.
- Petitum Gugatan Citizen Lawsuit juga tidak boleh
memohon pembatalan atas suatu Undang-undang (UU)
karena itu merupakan kewenangan dari Mahkamah
Konstitusi (MK). Selain itu Citizen Lawsuit juga tidak
boleh meminta pembatalan atas Peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-undang (UU) karena hal
tersebut merupakan kewenangan Mahkamah Agung
melalui mekanisme judicial review.
42
Di Amerika Serikat, informasi yang mengandung bentuk somasi ini harus diajukan
selambat-lambatnya 2 bulan sebelum gugatan didaftarkan sehingga ada
kesempatan Pemerintah melakukan tindakan yang dituntut tanpa harus diteruskan
pengajuan gugatannya, namun karena di Indonesia belum ada satupun peraturan
formal yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan ini tidak berlaku mengikat,
justru notifikasi dilakukan setelah ada penetapan Pengadilan mengenai diterimanya
prosedur Citizen Lawsuit.
Untuk mengajukan gugatan Citizen Lawsuit, penggugat
harus memiliki hak gugat (standing), bila standing Penggugat
tersebut dapat dipatahkan oleh Tergugat, maka Tergugat
dapat menuntut pembatalan gugatan Citizen Lawsuit. Namun
demikian bila hak gugat Citizen Lawsuit sudah diakui
(sertifikasi) dalam sebuah penetapan (putusan sela), maka
pada proses berikutnya adalah sebagaimana prosedur
perkara gugatan biasa, yaitu upaya perdamaian/mediasi,
jawab menjawab (jawaban, replik, duplik), pembuktian dan
putusan.
Menurut Indro Sugianto, materi surat pemberitahuan
(notifikasi) gugatan Citizen Lawsuit setidak-tidaknya memuat
antara lain :
a. Informasi tentang pelanggaran yang dituduhkan dan
lembaga yang relevan dengan pelanggaran yang
mendasari hal itu penggugat berniat untuk menggugat
Tergugat/para Tergugat;
b. Jenis pelanggaran yang menimbulkan gugatan Citizen
Lawsuit (obyek gugatan);43
43
Indro Sugianto, Hak Gugat Warga Negara...op.cit, hal 43
BAB IV
HASIL PENELITIAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT
DI LEMBAGA PERADILAN INDONESIA
A. Hasil Tabulasi
TABEL 2 : MENURUT SAUDARA, APAKAH SAAT INI SUDAH ADA YANG MENGGUNAKAN MEKANISME
GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT DI PENGADILAN DI TEMPAT SAUDARA
BERTUGAS ?
JENIS PERADILAN
JUMLAH
No. LOKASI
4 DENPASAR 14 2 13 0 4 0 0 0 0 3 1 0 2 30
5 PEKANBARU 2 3 6 11 0 4 0 0 0 0 0 0 4 0 30
6 YOGYAKARTA 0 5 2 10 0 3 0 0 0 0 0 4 1 5 30
JUMLAH 4 26 13 73 5 19 0 5 0 0 3 13 5 9 175
JUMLAH % 2.29 14.86 7.43 41.71 2.86 10.86 0.00 2.86 0.00 0.00 1.71 7.43 2.86 5.14 100.00
KETERANGAN :
S SUDAH 30
B BELUM 145
JUMLAH 175
TABEL 3 : APAKAH SAUDARA SEBAGAI HAKIM, SUDAH PERNAH MENGADILI
PERKARA GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?
JENIS PERADILAN
JUMLA
No. LOKASI
H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILM I/T
I
S B S B S B S B S B S B S B
1 MATARAM 2 3 1 16 4 0 0 0 0 0 0 4 0 0 30
2 BANTEN 0 5 1 9 0 5 0 5 25
3 BANJARMASIN 0 5 0 15 0 4 0 4 0 2 0 0 0 0 30
4 DENPASAR 1 4 2 13 0 4 0 0 •0 0 1 3 0 2 30
5 PEKANBARU 0 5 2 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 30
6 YOGYAKARTA 0 5 1 11 0 3 0 0 0 0 0 4 1 5 30
JUMLAH 3 27 7 79 4 20 0 9 0 2 1 15 1 7 175
JUMLAH% 1.71 15.43 4.00 45.14 2.29 11.43 0.00 5.14 0.00 1.14 0.57 8.57 0.57 4.00 100.00
KETERANGAN :
S SUDAH 16
B BELUM 159
JUMLAH 175
TABEL 4 : MENURUT SAUDARA, APAKAH PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG GUGATAN PERADILAN
KELOMPOK (CLASS ACTION) SUDAH MEMADAI UNTUK DITERAPKAN ?
JENIS PERADILAN
JUMLA
No. LOKASI
H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILM I/TI
S B S B S B S B S B S B S B
1 MATARAM 2 3 5 12 2 2 0 0 0 0 2 2 0 0 30
2 BANTEN 1 4 2 8 14 1 4 25
3 BANJARMASIN 1 4 8 7 2 2 0 0 0 0 4 0 1 1 30
4 DENPASAR 14 5 10 0 4 0 0 0° 0 1 3 0 2 30
5 PEKANBARU 14 5 12 2 2 0 0 0 0 2 2 0 0 30
6 YOGYAKARTA 1 4 4 8 2 1 0 0 0 0 0 4 0 6 30
JUMLAH 7 23 29 57 9 15 1 4 0 0 9 11 1 9 175
JUMLAH % 4.00 13.14 16.57 32.57 5.14 8.57 0.57 2.29 0.00 0.00 5.14 6.29 0.57 5.14 100.00
KETERANGAN :
S SUDAH 56
B BELUM 119
JUMLAH 175
TABEL 5 APAKAH SAUDARA SUDAH MAHAMI MEKANISME PEMERIKSAAN PERKARA GUGATAN CLASS
ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT YANG DIATUR DALAM UU NO. 23 TAHUN 1997 YANG TELAH
DICABUT DAN DIPERBAHARUI DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP ?
JENIS PERADILAN
JUMLAH
No. LOltASI
JUMLAH 18 7 5 38 32 16 7 7 10 2 2 1 0 0 0 11 4 5 2 3 5 175
JUMLAH % ## 4.00 2.86 21.7 18.2t 9.14 4.00 4.00 5.71 J.14 1.14 0.57 0.00 0.00 0.00 6.29 2.2£ 2.86 1.14 1.71 2.86 100
KETERANGAN
CJ CUKUP JELAS 78
BJ BELUM JELAS 55
KJ KURANG JELAS 42
JUMLAH 175
TABEL 6 : APAKAH PENEMUAN HUKUM OLEH HAKIM (RECHTS VINDING) DIPERLUKAN DALAM
MENGADILI PERKARA CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?
JENIS PERADILAN
JUMLAH
No. LOKASI
2 BANTEN 5 0 10 0 5 0 5 0 25
3 BANJARMASIN 5 0 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 5 0 15 0 4 0 0 0 0' 0 4 0 2 0 30
5 PEKANBARU 5 0 16 1 3 1 0 0 0 0 3 1 0 0 30
6 YOGYAKARTA 5 0 12 0 3 0 0 0 0 0 3 1 6 0 30
JUMLAH 30 0 83 3 23 1 5 0 0 0 18 2 10 0 175
JUMLAH % #### 0.00 47.43 1.71 13.14 0.57 2.86 0.00 0.00 0.00 10.29 1.14 5.71 0.00 100.00
KETERANGAN :
SP SANGAT PERLU 169
TP TIDAK PERLU 6
JUMLAH 175
TABEL 7 : MUNURUT SAUDARA, APAKAH MEKANISME ACARA PEMERIKSAAN
CITIZEN LAWSUIT PERLU DILENGKAPI DENGAN PERMA TERSENDIRI ?
JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN P TA PA PTTUN PTUN DILMI/TI
SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP SP P TP
1 MATARAM 2 0 3 6 11 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 30
2 BANTEN 0 4 2 T 7 0 4 5 0 0 25
3 BANJARMASIN 2 3 0 2 13 0 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 0 4 1 2 11 2 0 3 1 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 2 0 30
5 PEKANBARU 0 5 0 2 12 3 1 2 1 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 0 5 0 1 6 5 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 1 2 2 30
JUMLAH 4 21 5 15 54 17 5 16 4 5 0 0 0 0 0 1 13 6 1 6 2 175
JUMLAH % 2.29 12.00 2.86 8.57 30.8 9.71 2.86 9.14 2.29 2.86 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.57 7.4t 3.43 0.57 3.43 1.14 100
KETERANGAN :
S P : SANGAT PERLU 31
P : PERLU 110
T P : TIDAK PERLU 34
JUMLAH 175
TABEL 8A : MUNURUT SAUDARA, APAKAH KELEBIHAN DARI PENERAPAN
PROSEDUR CLASS ACTION DALAM PERMA NO. 01 TAHUN 2002 ?
JENIS PERADILAN
JUMLAH
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN D ILMI/TI
EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD PR TT EF PD
PR TT
1MATARAM
3 014 73311020 0 0 0 0 012010 0 030
0 0 0
2 BANTEN
1310 0523 0 3 203110 0 0 00 0 0 0 0 0 025
0 0
3 BANJARMASIN31105
6 313 010 0 0 0 0 0 0 02 2 0 02 0 0 030
0
4 DENPASAR 21
15 6 0 4 2 0 0 0 0 0“0 0 021010 0130
2 0 0
5 PEKANBARU
12023 617 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 030
0 0 0 0 0
6 Y0GY/W\RTA
0 4 0125 0513 0 0 0 0 0 0 0 0 3 01311030
0 0 0
JUMLAH
814 3 519359 237133 2 3 110 0 0 0 05 8 0 7 211J75
5
JUMLAH 13. 0 4 7 0 0
% 4.5 8.0 1.7 2.8 10.8 20.0 5.1 14. 7. 1.7 1.1 1. 0.5 0.5 0.0 0. 0.0 0.0 0. 2.8 4.5
0.0 1 @ .0
4.0 2.8 1.1 0.5 0.5
KETERANGAN :
E F : EFISIEN 47
P D : PEDOMAN 73
PR : PROTEKSI 17
T T : TIDAK TAHU 38
JUMLAH 175
TABEL 8B MENURUT SAUDARA, APAKAH KELEMAHAN DARI PENERAPAN PROSEDUR
CLASS ACTION DALAM PERMA NO. 01 TAHUN 2002 ?
JENIS PERADILAN
JUMLAH
No. LOKASI
3 BANJARMASIN 3 0 2 9 5 1 0 3 1 0 0 0 0 0 0 3 1 0 1 0 1 30
4 DENPASAR 3 2 0 11 3 1 4 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 1 1 0 1 30
5 PEKANBARU 5 0 0 13 4 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 5 0 0 12 0 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 3 5 0 0 30
JUMLAH 23 4 3 64 16 6 18 5 2 3 0 2 0 0 0 10 3 7 7 0 2 175
JUMLAH % 13.1* 2.29 1.71 36.5- 9.14 3.43 \0.2f 2.86 1.14 1.71 0.00 1.14 0.00 0.00 0.00 5.71 1.71 4.00 4.00 0.00 1.14 00.00
KETERANGAN :
A: BELUM SEMPURNA 125
B: WEWENANG WAKIL 28
C: TIDAK TAHU 22
JUMLAH 175
TABEL 9 MENURUT SAUDARA, APAKAH MANFAAT MEKANISME GUGATAN CLASS ACTION DAN
CITIZEN LAWSUIT BAGI PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA ?
JENIS PERADILAN
n
H
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN DI LMI/TI
A B C A B C A B C A B C A B C A B C A B C
MATARAM 2 3 0 J2 5 0 3 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 0 30
2 BANTEN 2 2 1 5 5 0 4 1 0 2 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25
3 BANJARMASIN 4 1 0 5 9 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 2 0 30
4 DENPASAR 5 0 0 11 3 1 3 1 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 1 1 0 30
5 PEKANBARU 3 1 1 11 6 0 3 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 2 0 0 0 30
6 YOGYAKARTA 2 3 0 12 0 0 2 2 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 4 \ 0 30
JUMLAH 18 10 2 56 28 2 17 7 1 2 3 0 0 0 0 15 3 2 5 4 0 175
JUMLAH % 0.JO 5.7J J.14 32.0 J6.0 J.J4 9.7J 4.00 0.57 J.14 J.7J 0.00 0.00 0.00 0.00 8.57 1.7J 1.J4 2.86 2.29 0.00 100.0
KETERANGAN :
A PENYEDERHANAAN MEKANISME HUKUM JJ3
B PROTEKSI MASYARAKAT 55
C TIDAKTAHU 7
JUMLAH 175
TABEL 10 : MENURUT SAUDARA, APA SAJAKAH KESULITAN / KENDALA DALAM MENGADILI
GUGATAN CLASS ACTION DAN CITIZEN LAWSUIT ?
JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTU N PTUN DILMITTI
A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D A B C D
1 MATARMI 1 3 0 1 4 7 3 3 1 1 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 0 ! 0 0 0 30
2 BANTEN 1 3 1 0 0 5 2 3 0 3 2 0 f 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 26
3 BANJARMASN 3 1 i 0 5 D 3 1 3 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 2 0 0 0 O
DENFAS*R # 1 1 1 5 D 0 4 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 0 1 0 1 0 1 30
5 PEKANBARU 1 2 0 8 3 ( I 7, 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4 0 0 0 0 30
6 Y0gY#URT/t 0 0 4 1 5 5 1 4 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 1 0 ! 2 2 1 1 30
JUML\F 8 10 7 5 22 35 10 22 6 11 3 2 3 0 0 0 0 0 7 6 0 7 4 1 1 JT5
JJ¥L/\F °/ 4.57 5.71 4.00 2,86 12.5 20. 5.71 12.5 143 6.29 \.71 1.14 1.71 0.57 0.57 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4.00 3.43 0.00 4.00 229 J.7J 0.f7 0.\7 J0f.00
KETERANGAN
A KURANG PAHAM 50
B GANTIRUGI 66
C: KRITERIAHUKUM 22
D: TIDAK TAHU 37
JUMLAH 175
TABEL 11 : HUKUM ACARA DALAM CLASS ACTION ADALAH HIR, PERMA NO. 1 TAHUN 2002 DAN
PERMA NO. 1 TAHUN 2008 TENTANG MEDIASI SUDAH CUKUP ?
JENIS PERADILAN
JUMLA
No. LOKASI
H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I
/T I
C BC C BC C BC C BC C BC C BC C BC
1 MATARAM 2 3 11 6 2 2 0 0 0 0 4 0 0 0 30
2 BANTEN 2 3 0 10 14 1 4 25
3 BANJARMASIN 4 1 6 9 1 3 0 0 0 0 2 2 1 1 30
4 DENPASAR 0 5 2 13 1 3 0 0 0 0 2 2 2 0 30
5 PEKANBARU 4 1 5 12 0 4 0 0 0 0 0 0 0 4 30
6 YOGYAKARTA 4 14 9 2 1 0 0 0 0 1 3 3 2 30
JUMLAH 16 14 28 59 7 17 1 4 0 0 9 7 6 7 175
JUMLAH % 9.14 8.00 16.00 33.71 4.00 9.71 0.57 2.29 0.00 0.00 5.14 4.00 3.43 4.00 100.00
KETERANGAN :
C CUKUP 67
BC BELUM CUKUP 108
JUMLAH 175
TABEL 12 A : PERATURAN TENTANG GUGATAN CLASS ACTION DIATUR DALAM : UU NO. 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU NO. 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. APAKAH
MENURUT SAUDARA GUGATAN CLASS ACTION HANYA DAPAT DILAKUKAN DALAM KETIGA UU
ITU SAJA ?
JENIS PERADILAN
No. LOKASI PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I /T
I
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1 MATARAM 0 5 1 16 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 30
2 BANTEN 2 3 5 5 0 5 1 4 25
3 BANJARMASIN 0 5 3 12 2 2 0 0 0 0 1 3 0 2 30
4 DENPASAR 14 1 14 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 30
5 PEKANBARU 0 5 3 14 1 3 0 0 0 0 1 3 0 0 30
6 YOGYAKARTA 1 4 2 10 2 2 0 0 0 0 1 3 2 3 30
JUMLAH 4 26 15 71 5 20 1 4 0 0 3 17 2 7 175
JUMLAH % 2.29 14.86 8.57 40.57 2.86 11.43 0.57 2.29 0.00 0.00 1.71 9.71 1.14 4.00 100.00
KETERANGAN :
30
T TIDAK 145
JUMLAH 175
TABEL 12 B : PERATURAN TENTANG GUGATAN CLASS ACTION DIATUR DALAM : UU NO. 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UU NO. 41 TAHUN 1999
TENTANG KEHUTANAN UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN.
DAPATKAH DITERAPKAN DI LUAR UNDANG - UNDANG TERSEBUT DI ATAS ?
JENIS PERADILAN
JUMLA
No. LOKASI
H
PT PN PTA PA PTTUN PTUN D I LM I /T
I
Y T Y T Y T Y T Y T Y T Y T
1 MATARAM 5 0 17 0 4 0 0 0 0 0 4 0 0 0 30
2 BANTEN 2 3 5 5 0 5 1 4 25
3 BANJARMASIN 5 0 14 1 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
4 DENPASAR 4 1 15 0 4 0 0 0 0 0 4 0 2 0 30
5 PEKANBARU 5 0 14 3 4 0 0 0 0 0 3 0 0 30
6 YOGYAKARTA 4 1 12 0 3 1 0 0 0 0 4 0 3 2 30
JUMLAH 25 5 77 9 19 6 1 4 0 0 17 3 7 2 175
JUMLAH % 14.29 2.”86 44.00 5.14 10.86 3.43 0.57 2.29 0.00 0.00 9.71 1.71 4.00 1.14 100.00
KETERANGAN :
Y YA
146
T TIDAK
29
JUMLAH 175
B. Analisa Kuesioner
1. Bagaimana pemahaman saudara tentang gugatan Class
Action dan Citizen Lawsuit.
C M : Cukup Mengerti
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 168 x 100 % = 96 %
175
2. Menurut saudara, apakah saat ini sudah ada yang
menggunakan mekanisme gugatan Class Action dan
Citizen Lawsuit di pengadilan di tempat saudara
bertugas ?
Keterangan :
B : Belum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 145 x 100 % = 82.86 %
175
3. Apakah saudara sebagai hakim, sudah pernah mengadili
perkara gugatan Class Action dan Citizen Lawsui ?
Keterangan :
B : Belum
Berdasarkan kompetensinya :
Jumlah prosentasenya : 159 x 100 % = 90.86 %
175
C. Hasil Diskusi
Menindaklanjuti laporan penelitian Class Action dan Citizen
Lawsuit di wilayah Yurisdiksi Pengadilan Tinggi di 6 kota propinsi
di Indonesia, Puslitbang Kumdil MA-RI melemparkan beberapa
isu yang terkait dengan topik di atas dengan tujuan untuk
mencari pemahaman yang sama terhadap persoalan-persoalan
gugatan perwakilan kelompok yang menjadi acuan dan bahasan
dalam penelitian ini, antara lain :
1. Sipakah sebaiknya yang melakukan analisa dan koreksi
gugatan Class Action, sebelum dimasukkan register? Berapa
lama ?
Panitera Muda Perdata/Panitera/ Hakim yang ditunjuk.
(Apakah diperlukan check list terhadap persyaratan yang
harus diperiksa?)
2. Apakah diperlukan Sidang Pendahuluan ”Preliminary
hearing” sebelum Penetapan (sertifikasi) yang menetapkan
bahwa pemeriksaan dengan prosedur GPK adalah sah dan
dilanjutkan.
Ataukah Penetapan (sertifikasi) dijatuhkan setelah jawab-
menjawab ?
3. Pemberitahuan kepada anggota kelas adalah sebagai
mekanisme yang diperlukan untuk memberi informasi
kepada seluruh anggota kelas, dan untuk memberi
kesempatan bagi anggota kelas untuk menentukan apakah
mereka menginginkan untuk ikut serta dan terikat dengan
putusan, atau tidak menginginkan, dengan cara menyatakan
keluar/opt out;
Bagaimana apabila notifikasi pertama, anggota kelas tidak
menyatakan opt-out, tetapi pada notifikasi tentang
mekanisme pendistribusian ganti rugi ia menyatakan
menolak. Apakah dimungkinkan ia mengajukan gugatan
tersendiri, diluar GPK ?
4. Bagaimana apabila perdamaian antara wakil kelas dengan
Tergugat dapat dicapai, tetapi isi perdamaian merugikan
kepentingan anggota kelas ?
Bagaimana Peran Hakim untuk memenuhi akses keadilan
bagi masyarakat (anggota kelas) ?
Apa perlu prosedur notifikasi untuk pemberitahuan
perdamaian?
5. Apabila dibuat Perma tentang Prosedur Citizen Lawsuit, apa
saja hal-hal pokok yang perlu diatur dalam Perma?
a. Prosedur apa saja yang perlu diatur secara khusus
dalam Perma tentang CLS ?
b. Siapa saja yang dapat menjadi subyek hukum tergugat ?
c. Hal apa saja yang menjadi obyek sengketa?
d. Bagaimana mekanisme pemeriksaan perkara CLS?
Ad. a
Sebelum diregister, gugatan Class Action dianalisa dan
dikoreksi oleh Panitera muda Perdata. Apabila telah memenuhi
persyaratan administratif maka gugatan Class Action diregister
dengan memenuhi prosedur SKUM. Bila tidak memenuhi
persyaratan formal maka gugatan Class Action diminta untuk
memenuhi persyaratan formal tersebut. Waktu yang diberikan
untuk memenuhi persyaratan formal tersebut maksimal 7 (tujuh)
hari.
Terhadap gugatan Class Action harus disertakan check list,
untuk memudahkan apakah gugatan merupakan Class Action
ataukah gugatan biasa, dan untuk pengadministrasian yang
jelas serta untuk menghindari permasalahan yang timbul
diantara anggota kelompok sendiri maupun antara wakil dengan
kelompok.
Ad. b
Sidang Pendahuluan atau ”Preliminary hearing” amat
diperlukan karena untuk memunuhi keabsahan gugatan
perwakilan kelompok yang termuat pada pasal 2 dan 3 PERMA
No.1 tahun 2002.
Hal-hal yang perlu diperiksa berdasarkan pasal 2 dan 3
Perma No.1 tahun 2002 adalah :
c. Meneliti jumlah anggota kelompok yang sedemikian banyak
supaya adanya kepastian terhadap jumlah anggota kelompok
tersebut.
d. Setelah adanya kepastian jumlah anggota kelompok
tersebut, diperiksa pula apakah adanya kesamaan fakta dan
dasar hukum serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok
dengan anggota kelompoknya.
e. Majelis menilai apakah posita dan tuntutannya telah sesuai
secara jelas dan terperinci saat disampaikan dalam
gugatannya tersebut teridentifikasi atau tidak teridentifikasi.
Ad. c
Anggota kelas yang menolak pendistribusian ganti rugi tidak
dapat mengajukan gugatan di luar GPK, dengan alasan pada
pasal 7 ayat (2) PERMA No.1 tahun 2002. Dalam pemberi-
tahuan/notifikasi pertama, anggota kelas yang tidak menyatakan
opt out, sudah mengetahui implikasi keikutsertaan sebagai
anggota kelompok. Itu artinya anggota kelas tersebut sudah
mengetahui jumlah ganti rugi dan cara pendistribusiannya (Pasal
3 huruf f PERMA No.1 tahun 2002). Anggota kelas yang
menolak ganti rugi tersebut, uang ganti ruginya dititipkan di
Kepaniteraan Pengadilan (Konsiguasi)
Ad. d
Pada dasarnya anggota kelas harus tunduk terhadap isi
perdamaian selama tidak ada option out sebelum terjadi perda-
maian. Peran Hakim adalah mensosialisasikan Draft Perda-
maian kepada seluruh anggota kelas. Setelah itu, bila ada
anggota kelas yang tidak setuju, dipanggil untuk menentukan
sikap sebelum perdamaian ditandatangani para pihak.
Terkait dengan notifikasi, Hakim perlu melakukan prsedur
notifikasi perdamaian seperti diatur pada Perma No.1 tahun
2002 Pasal 7 ayat 2.
Ad. e
Hal-hal yang perlu diatur dalam Perma tentang Citizen
Lawsuit (CLS) adalah :
- Kriteria pengajuan gugatan CLS (Kriteria lembaga publik).
- Syarat-syarat pribadi/lembaga yang dapat mengajukan CLS,
misalkan: BUMN.
- Tatacara pemberitahuan oleh penggugat kepada tergugat
sebelum mengajukan gugatan.
- Jangka waktu notifikasi, Misalkan: maksimum 30 hari.
- Tatacara dan persyaratan mengajukan gugatan CLS.
- Syarat formal gugatan CLS.
- Tatacara persidangan gugatan CLS (mengacu kepada
Hukum Acara Perdata) perbedaanya: dalam CLS harus
melalui dismisal. Prosesnya dengan menunjuk Hakim khusus
dan setelah itu dilaporkan hasilnya kepada Majelis Hakim
yang akan memeriksa gugatan CLS tersebut.
- Upaya hukum terhadap sah tidaknya gugatan CLS.
BAB V
KESIMPULAN
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), serta
asal 33 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua
benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta makhluk hidup lain.
2. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah
terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
3. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial,
dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk
menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
4. Rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
yang selanjutnya disingkat RPPLH adalah perencanaan
tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup,
serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun
waktu tertentu.
5. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas,
dan produktivitas lingkungan hidup.
6. Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya
untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup.
7. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan keseimbangan antarkeduanya.
8. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan
lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau
komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
9. Sumber daya alam adalah unsur lingkungan hidup yang
terdiri atas sumber daya hayati dan nonhayati yang secara
keseluruhan membentuk kesatuan ekosistem.
10. Kajian lingkungan hidup strategis, yang selanjutnya disingkat
KLHS, adalah rangkaian analisis yang sistematis,
menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip
pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
11. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang
selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan
pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
12. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya
pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut
UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting
terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
13. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai
unsur lingkungan hidup.
14. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup
yang telah ditetapkan.
15. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran
batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati
lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan
hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.
16. Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup.
17. Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau
hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
18. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber
daya alam untuk menjamin pemanfaatannya secara
bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
19. Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang diakibatkan
langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia
sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir
secara global dan selain itu juga berupa perubahan
variabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu
yang dapat dibandingkan.
20. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
21. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat
B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena
sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup
manusia dan makhluk hidup lain.
22. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya
disebut Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan yang mengandung B3.
23. Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan,
pemanfaatan, pengolahan, dan/atau penimbunan.
24. Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang,
menempatkan, dan/atau memasukkan limbah dan/atau
bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup
tertentu.
25. Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua
pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi
dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
26. Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan
pada lingkungan hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha
dan/atau kegiatan.
27. Organisasi lingkungan hidup adalah kelompok orang yang
terorganisasi dan terbentuk atas kehendak sendiri yang
tujuan dan kegiatannya berkaitan dengan lingkungan hidup.
28. Audit lingkungan hidup adalah evaluasi yang dilakukan
untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
29. Ekoregion adalah wilayah geografis yang memiliki
kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta
pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan
integritas sistem alam dan lingkungan hidup.
30. Kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam
tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan
mengelola lingkungan hidup secara lestari.
31. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang
secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur,
adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta
adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi,
politik, sosial, dan hukum.
32. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
33. Instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat
kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah,
pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah pelestarian
fungsi lingkungan hidup.
34. Ancaman serius adalah ancaman yang berdampak luas
terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan keresahan
masyarakat.
35. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk
memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
36. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan
oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau
kegiatan.
37. Pemerintah pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota,
dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara
pemerintah daerah.
39. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
BAB II
ASAS, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Pasal 2
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan
berdasarkan asas :
a. tanggung jawab negara;
b. kelestarian dan keberlanjutan;
c. keserasian dan keseimbangan;
d. keterpaduan;
e. manfaat;
f. kehati-hatian;
g. keadilan;
h. ekoregion;
i. keanekaragaman hayati;
j. pencemar membayar;
k. partisipatif;
l. kearifan lokal;
m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan
n. otonomi daerah.
Bagian Kedua
Tujuan
Pasal 3
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan
manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan
kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan
lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan
generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas
lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana;
i. mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j. mengantisipasi isu lingkungan global.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 4
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi :
a. perencanaan;
b. pemanfaatan;
c. pengendalian;
d. pemeliharaan;
e. pengawasan; dan
f. penegakan hukum.
BAB III
PERENCANAAN
Pasal 5
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
dilaksanakan melalui tahapan :
a. inventarisasi lingkungan hidup;
b. penetapan wilayah ekoregion; dan
c. penyusunan RPPLH.
Bagian Kesatu
Inventarisasi Lingkungan Hidup
Pasal 6
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 huruf a terdiri atas inventarisasi lingkungan
hidup :
a. tingkat nasional;
b. tingkat pulau/kepulauan; dan
c. tingkat wilayah ekoregion.
(2) Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk
memperoleh data dan informasi mengenai sumber daya
alam yang meliputi :
a. potensi dan ketersediaan;
b. jenis yang dimanfaatkan;
c. bentuk penguasaan;
d. pengetahuan pengelolaan;
e. bentuk kerusakan; dan
f. konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat
pengelolaan.
Bagian Kedua
Penetapan Wilayah Ekoregion
Pasal 7
(1) Inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b menjadi dasar
dalam penetapan wilayah ekoregion dan dilaksanakan oleh
Menteri setelah berkoordinasi dengan instansi terkait.
(2) Penetapan wilayah ekoregion sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan
kesamaan :
a. karakteristik bentang alam;
b. daerah aliran sungai;
c. iklim;
d. flora dan fauna;
e. sosial budaya;
f. ekonomi;
g. kelembagaan masyarakat; dan
h. hasil inventarisasi lingkungan hidup.
Pasal 8
Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dilakukan
untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta
cadangan sumber daya alam.
Bagian Ketiga
Penyusunan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 9
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c
terdiri atas :
a. RPPLH nasional;
b. RPPLH provinsi; dan
c. RPPLH kabupaten/kota.
(2) RPPLH nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a disusun berdasarkan inventarisasi nasional.
(3) RPPLH provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b disusun berdasarkan :
a. RPPLH nasional;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
(4) RPPLH kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c disusun berdasarkan :
a. RPPLH provinsi;
b. inventarisasi tingkat pulau/kepulauan; dan
c. inventarisasi tingkat ekoregion.
Pasal 10
(1) RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disusun oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Penyusunan RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memperhatikan :
a. keragaman karakter dan fungsi ekologis;
b. sebaran penduduk;
c. sebaran potensi sumber daya alam;
d. kearifan lokal;
e. aspirasi masyarakat; dan
f. perubahan iklim.
(3) RPPLH diatur dengan:
a. peraturan pemerintah untuk RPPLH nasional;
b. peraturan daerah provinsi untuk RPPLH provinsi; dan
c. peraturan daerah kabupaten/kota untuk RPPLH
kabupaten/kota.
(4) RPPLH memuat rencana tentang :
a. pemanfaatan dan/atau pencadangan sumber daya
alam;
b. pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi
lingkungan hidup;
c. pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan
pelestarian sumber daya alam; dan
d. adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta
RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PEMANFAATAN
Pasal 12
(1) Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan
RPPLH.
(2) Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud padaayat (1)
belum tersusun, pemanfaatan sumberdaya alam
dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup dengan memperhatikan :
a. keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan
masyarakat.
(3) Daya dukung dan daya tampung lingkunganhidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh :
a. Menteri untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup nasional dan pulau/kepulauan;
b. gubernur untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup provinsi dan ekoregion lintas
kabupaten/kota; atau
c. bupati/walikota untuk daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup kabupaten/kota dan ekoregion di
wilayah kabupaten/kota.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB V
PENGENDALIAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup.
(2) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. pencegahan;
b. penanggulangan; dan
c. pemulihan.
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan,
peran, dan tanggung jawab masing-masing.
Bagian Kedua
Pencegahan
Pasal 14
Instrumen pencegahan pencemaan dan/atau kerusakan
lingkungan hidup terdiri atas :
a. KLHS;
b. tata ruang;
c. baku mutu lingkungan hidup;
d. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
e. amdal;
f. UKL-UPL;
g. perizinan;
h. instrumen ekonomi lingkungan hidup;
i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup;
j. anggaran berbasis lingkungan hidup;
k. analisis risiko lingkungan hidup;
l. audit lingkungan hidup; dan
m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan.
Paragraf 1
Kajian Lingkungan Hidup Strategis
Pasal 15
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelan-
jutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam
pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan
KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam
penyusunan atau evaluasi :
a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana
rincinya, rencana pembangunan jangka panjang
(RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah
(RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi
menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup.
(3) KLHS dilaksanakan dengan mekanisme :
a. pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau
program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu
wilayah;
b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan,
rencana, dan/atau program; dan
c. rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan
kebijakan, rencana, dan/atau program yang
mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Pasal 16
KLHS memuat kajian antara lain :
a. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup
untuk pembangunan;
b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup;
c. kinerja layanan/jasa ekosistem;
d. efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim; dan
f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Pasal 17
(1) Hasil KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
menjadi dasar bagi kebijakan, rencana, dan/atau program
pembangunan dalam suatu wilayah.
(2) Apabila hasil KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah
terlampaui.
a. kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan
tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi
KLHS; dan
b. segala usaha dan/atau kegiatan yang telah melampaui
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak
diperbolehkan lagi.
Pasal 18
(1) KLHS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1)
dilaksanakan dengan melibatkan masyarakat dan
pemangku kepentingan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan
KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Tata Ruang
Pasal 19
(1) Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang
wilayah wajib didasarkan pada KLHS.
(2) Perencanaan tata ruang wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan daya
dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Paragraf 3
Baku Mutu Lingkungan Hidup
Pasal 20
(1) Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur
melalui baku mutu lingkungan hidup.
(2) Baku mutu lingkungan hidup meliputi :
a. baku mutu air;
b. baku mutu air limbah;
c. baku mutu air laut;
d. baku mutu udara ambien;
e. baku mutu emisi;
f. baku mutu gangguan; dan
g. baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Setiap orang diperbolehkan untuk membuang limbah ke
media lingkungan hidup dengan persyaratan :
a. memenuhi baku mutu lingkungan hidup; dan
b. mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c,
huruf d, dan huruf g diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf e,
dan huruf f diatur dalam peraturan menteri.
Paragraf 4
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup
Pasal 21
(1) Untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup,
ditetapkan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
(2) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup meliputi kriteria
baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan
akibat perubahan iklim.
(3) Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi :
a. kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa;
b. kriteria baku kerusakan terumbu karang;
c. kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. kriteria baku kerusakan mangrove;
e. kriteria baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. kriteria baku kerusakan karst; dan/atau
h. kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
(4) Kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan
pada paramater antara lain :
a. kenaikan temperatur;
b. kenaikan muka air laut;
c. badai; dan/atau
d. kekeringan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 5
Amdal
Pasal 22
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2) Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria :
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Pasal 23
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan
maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat
menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan
sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan,
serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam
dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad
renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
nonhayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau
mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai
potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis usaha dan/atau
kegiatan yang wajib dilengkapi dengan amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan Menteri.
Pasal 24
Pasal 26
(1) Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan masyarakat.
(2) Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip
pemberian informasi yang transparan dan lengkap serta
diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. yang terkena dampak;
b. pemerhati lingkungan hidup; dan/atau
c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam
proses amdal.
(4) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal.
Pasal 27
Dalam menyusun dokumen amdal, pemrakarsa sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat meminta bantuan
kepada pihak lain.
Pasal 28
(1) Penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dan Pasal 27 wajib memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal.
(2) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun
amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. penguasaan metodologi penyusunan amdal;
b. kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan, dan
evaluasi dampak serta pengambilan keputusan; dan
c. kemampuan menyusun rencana pengelolaan dan
pemantauan lingkungan hidup.
(3) Sertifikat kompetensi penyusun amdal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi penyusun amdal yang ditetapkan oleh Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi dan kriteria
kompetensi penyusun amdal diatur dengan peraturan
Menteri.
Pasal 29
(1) Dokumen amdal dinilai oleh Komisi Penilai Amdal yang
dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(2) Komisi Penilai Amdal wajib memiliki lisensi dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Persyaratan dan tatacara lisensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30
(1) Keanggotaan Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 terdiri atas wakil dari unsur :
a. instansi lingkungan hidup;
b. instansi teknis terkait;
c. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan jenis
usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji;
d. pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan
dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan
yang sedang dikaji;
e. wakil dari masyarakat yang berpotensi terkena dampak;
dan
f. organisasi lingkungan hidup.
Pasal 31
Berdasarkan hasil penilaian Komisi Penilai Amdal, Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menetapkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 32
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah membantu penyusunan
amdal bagi usaha dan/atau kegiatan golongan ekonomi
lemah yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup.
(2) Bantuan penyusunan amdal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan
amdal.
(3) Kriteria mengenai usaha dan/atau kegiatan golongan
ekonomi lemah diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 6
UKL-UPL
Pasal 34
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam
kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.
(2) Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha
dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Pasal 35
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal
atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan
hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau
rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan
apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal
atau UKL-UPL.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(4) dapat dibatalkan apabila :
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalah-
gunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan
data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana
tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau
UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 38
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat
(2), izin lingkungan dapat dibatalkan melalui keputusan
pengadilan tata usaha negara.
Pasal 39
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan
dan keputusan izin lingkungan.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh
masyarakat.
Pasal 40
(1) Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh
izin usaha dan/atau kegiatan.
(2) Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau
kegiatan dibatalkan.
(3) Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan,
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
memperbarui izin lingkungan.
Pasal 41
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Paragraf 8
Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Pasal 42
(1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup,
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan
dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.
(2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;
b. pendanaan lingkungan hidup; dan
c. insentif dan/atau disinsentif.
Pasal 43
(1) Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2)
huruf a meliputi :
a. neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
b. penyusunan produk domestik bruto dan produk
domestik regional bruto yang mencakup penyusutan
sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
c. mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup
antar daerah; dan
d. internalisasi biaya lingkungan hidup.
(2) Instrumen pendanaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b meliputi :
a. dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
b. dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
dan pemulihan lingkungan hidup; dan
c. dana amanah/bantuan untuk konservasi.
(3) Insentif dan/atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42 ayat (2) huruf c antara lain diterapkan dalam
bentuk :
a. pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan
hidup;
b. penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan
hidup;
c. pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar
modal yang ramah lingkungan hidup;
d. pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan
limbah dan/atau emisi;
e. pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan
hidup;
f. pengembangan asuransi lingkungan hidup;
g. pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup;
dan
h. sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Paragraf 9
Peraturan Perundang-undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 44
Setiap penyusunan peraturan perundang-undangan pada tingkat
nasional dan daerah wajib memperhatikan perlindungan fungsi
lingkungan hidup dan prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Paragraf 10
Anggaran Berbasis Lingkungan Hidup
Pasal 45
(1) Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang
memadai untuk membiayai :
a. kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup; dan
b. program pembangunan yang berwawasan lingkungan
hidup.
(2) Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran dana alokasi
khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan
kepada daerah yang memiliki kinerja perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang baik.
Pasal 46
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam
rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya
telah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada saat
undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pemulihan
lingkungan hidup.
Paragraf 11
Analisis Risiko Lingkungan Hidup
Pasal 47
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berpotensi
menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup,
ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan, dan/atau
kesehatan dan keselamatan manusia wajib melakukan
analisis risiko lingkungan hidup.
(2) Analisis risiko lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. pengkajian risiko;
b. pengelolaan risiko; dan/atau
c. komunikasi risiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan
hidup diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 12
Audit Lingkungan Hidup
Pasal 48
Pemerintah mendorong penanggung jawabusaha dan/atau
kegiatan untuk melakukan audit lingkungan hidup dalam rangka
meningkatkan kinerja lingkungan hidup.
Pasal 49
(1) Menteri mewajibkan audit lingkungan hidup kepada:
a. usaha dan/atau kegiatan tertentu yang berisiko tinggi
terhadap lingkungan hidup; dan/atau
b. penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan
perundang-undangan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib
melaksanakan audit lingkungan hidup.
(3) Pelaksanaan audit lingkungan hidup terhadap kegiatan
tertentu yang berisiko tinggi dilakukan secara berkala.
Pasal 50
(1) Apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (1), Menteri dapat melaksanakan atau
menugasi pihak ketiga yang independen untuk
melaksanakan audit lingkungan hidup atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
bersangkutan.
(2) Menteri mengumumkan hasil audit lingkungan hidup.
Pasal 51
(1) Audit lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
48 dan Pasal 49 dilaksanakan oleh auditor lingkungan
hidup.
(2) Auditor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup.
(3) Kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi auditor
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
meliputi kemampuan :
a. memahami prinsip, metodologi, dan tata laksana audit
lingkungan hidup;
b. melakukan audit lingkungan hidup yang meliputi
tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengambilan
kesimpulan, dan pelaporan; dan
c. merumuskan rekomendasi langkah perbaikan sebagai
tindak lanjut audit lingkungan hidup.
(4) Sertifikat kompetensi auditor lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh lembaga sertifikasi
kompetensi auditor lingkungan hidup sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai audit lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal
51 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Penanggulangan
Pasal 53
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan penang-
gulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup.
(2) Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan :
a. pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat
b. pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;
c. penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup; dan/atau
d. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemulihan
Pasal 54
(1) Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup wajib melakukan pemulihan
fungsi lingkungan hidup.
(2) Pemulihan fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan :
a. penghentian sumber pencemaran dan pembersihan
unsur pencemar;
b. remediasi;
c. rehabilitasi;
d. restorasi; dan/atau
e. cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi
lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 55
(1) Pemegang izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 ayat (1) wajib menyediakan dana penjaminan
untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup.
(2) Dana penjaminan disimpan di bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(3) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk
melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup dengan
menggunakan dana penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VI
PEMELIHARAAN
Pasal 57
(1) Pemeliharaan lingkungan hidup dilakukan melalui upaya :
a. konservasi sumber daya alam;
b. pencadangan sumber daya alam; dan/atau
c. pelestarian fungsi atmosfer.
(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a meliputi kegiatan :
a. perlindungan sumber daya alam;
b. pengawetan sumber daya alam; dan
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
(3) Pencadangan sumber daya alam sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b merupakan sumber daya alam yang
tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu.
(4) Pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c meliputi :
a. upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
b. upaya perlindungan lapisan ozon; dan
c. upaya perlindungan terhadap hujan asam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan
pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi
atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VII
PENGELOLAAN BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
SERTA LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN
Bagian Kesatu
Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 58
(1) Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang,
mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan
pengelolaan B3.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
Pasal 59
(1) Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib
melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.
(2) Dalam hal B3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat
(1) telah kedaluwarsa, pengelolaannya mengikuti ketentuan
pengelolaan limbah B3.
(3) Dalam hal setiap orang tidak mampu melakukan sendiri
pengelolaan limbah B3, pengelolaannya diserahkan kepada
pihak lain.
(4) Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(5) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota wajib mencantum-
kan persyaratan lingkungan hidup yang harus dipenuhi dan
kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3 dalam
izin.
(6) Keputusan pemberian izin wajib diumumkan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Dumping
Pasal 60
Setiap orang dilarang melakukan dumping limbah dan/atau
bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin.
Pasal 61
(1) Dumping sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 hanya
dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan di lokasi yang telah ditentukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan
dumping limbah atau bahan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
BAB VIII
SISTEM INFORMASI
Pasal 62
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan
sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung
pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu
dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada
masyarakat.
(3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat
informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan
lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi ling-
kungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IX
TUGAS DAN WEWENANG PEMERINTAH
DAN PEMERINTAH DAERAH
Pasal 63
(1) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
Pemerintah bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan nasional;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH nasional;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
KLHS;
e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam
nasional dan emisi gas rumah kaca;
g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
sumber daya alam hayati dan nonhayati,
keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan
keamanan hayati produk rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pengendalian dampak perubahan iklim dan
perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
B3, limbah, serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan nasional, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan;
p. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antardaerah serta
penyelesaian sengketa;
r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan
pengelolaan pengaduan masyarakat;
s. menetapkan standar pelayanan minimal;
t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosiali-
sasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan
hidup;
w. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
x. mengembangkan sarana dan standar laboratorium
lingkungan hidup;
y. menerbitkan izin lingkungan;
z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan
penegakan hukum lingkungan hidup.
(2) Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,
pemerintah provinsi bertugas dan berwenang :
a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi;
b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi;
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
RPPLH provinsi;
d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai
amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan
emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi;
f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan
kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
lintas kabupaten/kota;
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan
peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan
perundang-undangan di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen
lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan
penyelesaian perselisihan antar kabupaten/antarkota
serta penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis, dan
pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang program
dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan
hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada
tingkat provinsi;
o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi;
p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan
teknologi ramah lingkungan hidup;
q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan
penghargaan;
r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan
s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada
tingkat provinsi.
Pasal 64
Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan
oleh Menteri.
BAB X
HAK, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN
Bagian Kesatu
Hak
Pasal 65
(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.
(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan
hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses
keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang
baik dan sehat.
(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan
terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup.
(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 66
Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun
digugat secara perdata.
Bagian Kedua
Kewajiban
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan
berkewajiban :
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat,
terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup
dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 69
(1) Setiap orang dilarang :
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan
perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia ke media
lingkungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan
hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media
lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan atau izin lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau
memberikan keterangan yang tidak benar.
Pasal 70
(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peran masyarakat dapat berupa :
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan,
pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Peran masyarakat dilakukan untuk :
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat,
dan kemitraan;
c. menumbuh kembangkan kemampuan dan kepeloporan
masyarakat;
d. menumbuh kembangkan ketanggap segeraan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
BAB XII
PENGAWASAN DAN SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Pengawasan
Pasal 71
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas
ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota dapat
mendelegasikan kewenangannya dalam melakukan
pengawasan kepada pejabat/instansi teknis yang
bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan, Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota menetapkan pejabat pengawas lingkungan
hidup yang merupakan pejabat fungsional.
Pasal 72
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib melakukan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap izin
lingkungan.
Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin
lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika
Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 74
(1) Pejabat pengawas lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) berwenang :
a. melakukan pemantauan;
b. meminta keterangan;
c. membuat salinan dari dokumen dan/atau membuat
catatan yang diperlukan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. memotret;
f. membuat rekaman audio visual;
g. mengambil sampel;
h. memeriksa peralatan;
i. memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi; dan/atau
j. menghentikan pelanggaran tertentu.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas
lingkungan hidup dapat melakukan koordinasi dengan
pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
(3) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang
menghalangi pelaksanaan tugas pejabat pengawas
lingkungan hidup.
Pasal 75
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat
pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan
pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3),
Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 76
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi
administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran
terhadap izin lingkungan.
(2) Sanksi administratif terdiri atas :
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan izin lingkungan; atau
d. pencabutan izin lingkungan.
Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika Pemerintah
menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak
menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang
serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Pasal 78
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal 79
Pengenaan sanksi administratif berupa pembekuan atau
pencabutan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 ayat (2) huruf c dan huruf d dilakukan apabila penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.
Pasal 80
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76 ayat (2) huruf b berupa :
a. penghentian sementara kegiatan produksi;
b. pemindahan sarana produksi;
c. penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
d. pembongkaran;
e. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran;
f. penghentian sementara seluruh kegiatan; atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi
lingkungan hidup.
(2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa
didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan
menimbulkan :
a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
lingkungan hidup;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak
segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya;
dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika
tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya.
Pasal 81
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dapat dikenai denda atas
setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi paksaan pemerintah.
Pasal 82
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk
memaksa penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
dilakukannya.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau
dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan
lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 84
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan.
(2) Pilihan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan
secara suka rela oleh para pihak yang bersengketa.
(3) Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila
upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak
yang bersengketa.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan
Pasal 85
(1) Penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan
dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :
a. bentuk dan besarnya ganti rugi;
b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau
perusakan;
c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan
terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif
terhadap lingkungan hidup.
(2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku
terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar
pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan/atau arbiter
untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.
Pasal 86
(1) Masyarakat dapat membentuk lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat
bebas dan tidak berpihak.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi
pembentukan lembaga penyedia jasa penyelesaian
sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak
berpihak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa
penyelesaian sengketa lingkungan hidup diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui Pengadilan
Paragraf 1
Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Pasal 87
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan perbuatan melanggar hukum berupa
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan
hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan
tindakan tertentu.
(2) Setiap orang yang melakukan pemindahtanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari
suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak
melepaskan tanggung jawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
(3) Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan
putusan pengadilan.
(4) Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Mutlak
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau
kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman
serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.
Paragraf 3
Tenggat Kedaluwarsa untuk Pengajuan Gugatan
Pasal 89
(1) Tenggat kedaluwarsa untuk mengajukan gugatan ke
pengadilan mengikuti tenggang waktu sebagaimana diatur
dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
dihitung sejak diketahui adanya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
(2) Ketentuan mengenai tenggat kedaluwarsa tidak berlaku
terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang
menggunakan dan/atau mengelola B3 serta menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3.
Paragraf 4
Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Pasal 90
(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang
bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Hak Gugat Masyarakat
Pasal 91
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk
kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
(2) Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta
atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara
wakil kelompok dan anggota kelompoknya.
(3) Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 6
Hak Gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Pasal 92
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan
hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk
melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti
rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan
apabila memenuhi persyaratan :
a. berbentuk badan hukum;
b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan
pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan
anggaran dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.
Paragraf 7
Gugatan Administratif
Pasal 93
(1) Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap
keputusan tata usaha negara apabila :
a. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib
amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal;
b. badan atau pejabat tata usaha negara menerbitkan izin
lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi
tidak dilengkapi dengan dokumen UKLUPL; dan/atau
c. badan atau pejabat tata usaha negara yang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak
dilengkapi dengan izin lingkungan.
(2) Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata
usaha negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara.
BAB XIV
PENYIDIKAN DAN PEMBUKTIAN
Bagian Kesatu
Penyidikan
Pasal 94
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi
pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan
tindak pidana lingkungan hidup.
(2) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang
berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan
dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga
terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan
dokumen lain;
f. melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil
pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas
penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
h. menghentikan penyidikan;
i. memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau
membuat rekaman audio visual;
j. melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian,
ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan
tempat dilakukannya tindak pidana; dan/atau
k. menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik
pejabat pegawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik
pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat pegawai negeri sipil melakukan
penyidikan, penyidik pejabat pegawai negeri sipil
memberitahukan kepada penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia dan penyidik pejabat polisi Negara
Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran
penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pegawai negeri sipil memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dengan
tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pegawai
negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum.
Pasal 95
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan
hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan
hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kedua
Pembuktian
Pasal 96
Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan
hidup terdiri atas :
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa; dan/atau
f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 97
Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan.
Pasal 98
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara
ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila
perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas
miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit
Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan
manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda
paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama
9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah).
Pasal 100
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku
mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah
dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali.
Pasal 101
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk
rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 103
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan
pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 104
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan
ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah).
Pasal 105
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat
miliar rupiah) dan paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah).
Pasal 106
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima
belas miliar rupiah).
Pasal 107
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 108
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 109
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa
memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat
kompetensi penyusun amdal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf i, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin
lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang
menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi
dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak
melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-
undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pence-
maran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan
hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan,
menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya
dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 114
Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak
melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-
halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat
pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai
negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).
Pasal 116
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. badan usaha; dan/atau
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak
pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang
berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin
dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-
sama.
Pasal 117
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau
pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa
pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan
usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di
dalam dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
Pasal 119
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan
atau tindakan tata tertib berupa :
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari usaha
dan/atau kegiatan;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
e. penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 120
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa
berkoordinasi dengan instansi yang bertanggung jawab di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
untuk melaksanakan eksekusi.
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 119 huruf e, Pemerintah berwenang untuk
mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di
bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 121
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki dokumen amdal wajib menyelesaikan audit
lingkungan hidup.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 2 (dua) tahun, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang telah memiliki izin usaha dan/atau kegiatan tetapi
belum memiliki UKL-UPL wajib membuat dokumen
pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 122
(1) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun, setiap penyusun amdal wajib
memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal.
(2) Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, dalam waktu
paling lama 1 (satu) tahun, setiap auditor lingkungan hidup
wajib memiliki sertifikat kompetensi auditor lingkungan
hidup.
Pasal 123
Segala izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup yang telah
dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya wajib diintegrasikan ke dalam izin
lingkungan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini
ditetapkan.
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 124
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan
perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan
dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3699) dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan
peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 125
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 126
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Undang-
Undang ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak
Undang-Undang ini diberlakukan.
Pasal 127
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
ANDI MATTALATTA
ttd
MELAWAN
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam hal ini adalah Ketua,
Wakil Ketua, beserta seluruh Anggota KPU yang beralamat di Jl.
Imam Bonjol No. 29, Jakarta Pusat, sebagai : Tergugat Class
Action.
(KUTIF GUGATAN)
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan
Para Penggugat menghadap Sdr. Carrel Ticualu, SH dan
kawan-kawan, yang bertindak baik untuk diri sendiri maupun
kuasa dari Para Penggugat, demikian juga dengan pihak
Tergugat menghadap para kuasa hukumnya bernama :
1. Amir Syamsuddin, SH. MH
2. Denny Kailimang, SH. MH
3. Sirra Prayuna, SH
4. Nurhasyim Ilyas SH. MH
5. Didi Irawadi Syamsuddin, SH. MH
6. Yosef B. Badeoda, SH. MH. Dan kawan-kawan berdasarkan
Surat Kuasa Khusus tanggal 1 Juni 2004 Legalisasi Nomor:
478/Leg.Srt.Kuasa/PN.JKT.PST tanggal 09 Juni 2004.
Dalam Eksepsi :
Menimbang, bahwa Eksepsi Tergugat pada pokoknya
berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut :
1. Bahwa para penggugat tidak memiliki alas hak dan
kedudukan sebagai legitima persona standi judicio dalam
perkara ini karena sama sekali tidak ditemukan kepentingan
hukum antara para penggugat dengan tergugat;
2. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan kedudukan para penggugat yang mewakili
kelompok masyarakat Indonesia karena tidak menjelaskan
secara rinci kelompok masyarakat seperti apa yang diwakili
di Pulau Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan,
Papua dan Maluku;
3. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan dengan perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh tergugat selaku penguasa yaitu melanggar
kepatutan bernegara, kepatutan atas hak asasi manusia dan
melanggar hukum Pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 dan Pasal
12 UU 12/2003;
4. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas
berkaitan karena mencampuradukan pengertian pemilu
legislatif 2004 dengan pemilu 2004;
5. Bahwa gugatan para pengugat kabur dan tidak jelas karena
petitum dalam provisi berisikan petitum sita jaminan yang
tanpa didahului dengan permohonan dalam provisi;
MENGADILI:
Dalam Eksepsi :
- Menolak eksepsi Tergugat untuk seluruhnya;
Dalam Provisi :
- Menyatakan tuntutan provisi Para Penggugat Class Action
tidak dapat diterima ;
M E L A W A N;
Hukum Standing;
Menimbang, bahwa Penggugat untuk mengajukan gugatan
Citizen Lawsuit harus memiliki standing. Standing seseorang
(individu) atau organisasi, sebagaian diatur dan ditentukan
sesuai dengan norma “any person” (siapapun) atau “any citizen”
(setiap warga negara) yang ada di dalam peraturan perundang-
undangan yang menetapkan adanya suatu penyebab
dimungkinkannya pengajuan suatu gugatan. Seharusnya
peraturan perundang-undangan yang memberikan pengaturan
tentang “Citizen Lawsuit” secara khusus dirumuskan adanya hak
“any person” (siapapun) untuk melakukan gugatan terhadap
pelanggar;
Menimbang, bahwa untuk “standing” majelis hakim
berpendapat perlu adanya penafsiran yang lebih luas dengan
tidak perlu membuktikan adanya kerugian secara langsung yang
bersifat riil, hal tersebut bertujuan untuk membuka akses
keadilan bagi setiap warga negara dengan alasan telah
terjadinya kejahatan terhadap konstitusi atau hak hukum.
Dengan mengacu perkembangan hukum “standing” di Amerika
Serikat pengajuan gugatan Citizen Suit terjadi didasarkan pada
pendapat yang bersumber dari Putusan The Supreme Court
dalam kasus Administrative Procedure Act, yang menentukan
bahwa siapapun “yang dirugikan” (aggrived) dengan tindakan
lembaga negara dapat mengajukan gugatan (judicial review)
melawan para agen pemerintah untuk pelanggaran kewajiban
yang telah ditentukan oleh Kongres;
M E N G A D I L I;
ttd.
Panitera Pengganti
Ttd.
(BENEDICTUS, SH)
PUTUSAN
Nomor : 384/Pdt.G/2005/PN.JKT.PST.
MELAWAN:
(KUTIF GUGATAN)
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan
Penggugat menghadap Sdr. Singal Situmorang, SH , Wakil
Ketua Umum dari kelompok Non Sektarian dari Lintas Partai
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT “GOVERMENT
AGAINST CORRUPTION & DISCRIMINATION” Bidang
Pemberantasan Korupsi Ormas Independent “PATRIOT MUDA
DEMOKRAT”.
Menimbang, bahwa atas gugatan Class Action Penggugat
tersebut maka pihak Tergugat mengajukan tanggapan sebagai
berikut:
MENETAPKAN:
SURAT KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 36/BLD/SK/XI/2009
Tentang
PENUNJUKAN TIM DALAM KEGIATAN PENELITIAN DAN
PERENCANAAN HUKUM CLASS ACTION
MEMUTUSKAN
KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI
A. Pelaksanaan Kegiatan :
1. Penanggungjawab : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo,
SH. MS.
2. Peneliti Utama : Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo,
SH. MS.
3. Peneliti : 1. Fritz John Polnaja, SH
2. M. Iqbal, SH
3. Johanes Brata Wijaya, SH
4. Deddy Pudjiardjo, SH. CN.
4. Pembantu Peneliti : 1. H. Ady Suherman, SH. MH.
2. Arief Kartisworo, SH. MH.
3. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
4. Muchtar, SH
5. R.Wijaya Brata K.,S.Kom., MM.
6. Enny Yuniarti, S.Sos
7. Sri Amilianti, SH. MH.
8. Syamsuddin, SH
9. Imanuella Rosalia
10. Andre Tatengkeng
11. Iman Subekti
12. M. Rosyid
13. Elma Siti Salma
14. Imam Buhori
5. Pengolah Data : 1. Johannes, SS.
2. Rofran Samera, SH. MH.
3. Sudaryanto, SH
B. Narasumber :
1. H. Anwar Usman, SH. MH.
2. IG. Agung Sumanatha, SH
3. Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH. MS.
4. M. Iqbal, SH
C. Pakar :
1. Bambang Mulyono, SH. MH.
2. Sugeng Riyono, SH. MH.
3. I Ketut Tjukup, SH. MH.
4. Sukanda Husin, SH. LLM.
5. Wahyu Yun Santoso, SH. LLM.
D. Moderator :
1. Fritz John Polnaja, SH
2. Bettina Yahya, SH. MH.
3. H. Ady Suherman, SH. MH.
4. Arief Kartisworo, SH. MH.
5. Hj. Nini Warsini, SH. MH.
6. Muchtar, SH
7. R. Wijaya Brata K., S.Kom., MM.
8. Johanes Brata Wijaya, SH
9. Deddy Pudjiardjo, SH. CN.
Ditetapkan di : MEGAMENDUNG
Pada tanggal : 02 November 2009
KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI
Ditetapkan di : MEGAMENDUNG
Pada tanggal : 02 November 2009
KEPALA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
HUKUM DAN PERADILAN
MAHKAMAH AGUNG RI