Anda di halaman 1dari 10

1

Pengaruh Sudut Keruncingan Dan Diameter


Finial Franklin Terhadap Distribusi Medan
Listrik Dan Tingkat Tegangan Tembus
Harry Soekotjo Dachlan, Moch. Dhofir, Vico Fernanda

penangkap petir dan selanjutnya menyalurkan arus petir


Abstrak – Penangkap petir merupakan bagian utama tersebut melalui konduktor menuju ke tanah atau sistem
dari sistem penangkal petir eksternal. Finial atau pembumian.
penangkap petir berupa konduktor batang tegak Finial atau penangkap petir berupa konduktor batang
merupakan finial yang memiliki konstruksi berupa sisi tegak merupakan finial yang memiliki konstruksi berupa
ujung finialnya secara umum berbentuk metal yang sisi ujung finialnya secara umum berbentuk metal yang
runcing sebagai pengumpul muatan listrik statis. runcing sebagai pengumpul muatan listrik statis dan
Parameter utama yang menentukan baik buruknya diletakkan pada tempat yang tinggi khususnya pada
kinerja finial Franklin tersebut dilihat dari level atap bangunan miring, sehingga petir diharapkan
tegangan tembus (setelah korona) yang terjadi. Level
menyambar ujung metal tersebut terlebih dahulu. Jenis
tegangan tembus dipengaruhi oleh distribusi medan
finial ini disebut finial Franklin dan paling sering dipakai
listrik, sedangkan distribusi medan listrik sendiri
karena rata-rata bangunan di Indonesia beratap miring.
dipengaruhi oleh bentuk geometris elektroda. Pada finial
Franklin, faktor keruncingan sangat menentukan
Parameter utama yang menentukan baik buruknya
distribusi medan listrik yang terjadi. Faktor keruncingan kinerja finial Franklin dilihat dari level tegangan tembus
yang dimaksud adalah sudut keruncingan dan diameter (setelah korona) yang terjadi. Menurut Schwaiger, level
finial. Pada penelitian penelitian ini dilakukan atau tingkat tegangan tembus dipengaruhi oleh
pengujian finial Franklin dengan variasi sudut distribusi medan listrik, sedangkan distribusi medan
keruncingan untuk setiap diameter finial Franklin listrik sendiri dipengaruhi oleh bentuk geometris
terhadap tegangan korona dan tembus. Pengujian elektroda. Pada finial Franklin, faktor keruncingan sangat
tegangan korona dan tembus tersebut menggunakan menentukan distribusi medan listrik yang terjadi.
tegangan tinggi searah polaritas negatif dengan Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa berdasarkan
mengatur jarak sela elektroda. S elanjutnya dilakukan salah satu sifat konduktor pada konduktor yang
penggambaran distribusi medan listrik dan perhitungan bentuknya tidak teratur, muatan konduktor akan
efisiensi medan listrik setiap objek uji secara terkonsentrasi pada luas permukaan yang lebih sempit
eksperimen menggunakan metode kertas konduktif
(lebih runcing). Sedangkan kuat medan listrik tepat di
dengan sumber DC tegangan tendah.
luar konduktor bermuatan sebanding dengan kerapatan
muatan ρs (banyak muatan persatuan luas) yang
Kata Kunci: finial Franklin, sudut keruncingan dan
selanjutnya akan menentukan bentuk distribusi medan
diameter finial, tegangan korona, tegangan tembus,
listrik di sekitarnya.
distribusi medan listrik.
Dengan demikian, pada ujung runcing finial Franklin,
I. PENDAHULUAN luas permukaan ujungnya yang lebih sempit atau lebih
runcing sangat dipengaruhi oleh tingkat keruncingan
Hingga saat ini bentuk penangkap petir yang telah
dan luas permukaan yang tak lain adalah sudut
digunakan ialah berupa susunan finial mendatar
keruncingan dan diameter finial. Oleh karena itu bentuk
(sangkar faraday), susunan finial batang tegak atau finial
geometris ujung runcing finial yang penyusun
elektrostatik, finial sistem Ionization Corona, maupun
definisikan yaitu sudut keruncingan ujung finial dengan
finial radioaktif yang semuanya berfungsi sebagai
ukuran diameter yang berbeda. Dalam penelitian ini
dibuat finial Franklin dengan jumlah variasi sudut
Harry S. Dachlan dan Moch. Dhofir adalah dosen jurusan keruncingan yang berbeda untuk setiap ukuran diameter
T eknik `Elektro Universitas Brawijaya Malang. finial yang berbeda dan selanjutnya mengukur,
Vico Fernanda adalah asisten Lab.T eknik T egangan T inggi menentukan dan menganalisis besar tegangan korona,
jurusan T eknik `Elektro UB
tembus, dan distribusi medan listriknya serta
Ketiga penulis dapat dikontak di Jurusan T eknik Elektro
Universitas Brawijaya Malang, Jl. MT . Haryono 167 Malang. membandingkan hasil pengujian tersebut.
T elp 0341554166

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


2

II. DASAR TEORI sebagai kerapatan udara relatif


(0.9-1.1)
A. Korona A + dan B+ = 31-39.8 dan 11.8-8.4 (korona
Korona adalah terlepasnya muatan listrik dari positif)
permukaan konduktor yang merupakan salah satu gejala A - dan B- = 29.4-40.3 dan 9.9-7.3 (korona
tembus parsial karena adanya kuat medan listrik yang negatif)
sangat tinggi di permukaan elektroda sehingga terjadi r = jari-jari konduktor (cm)
tembus di sekitar daerah elektroda tersebut. Korona
diawali dengan adanya ionisasi dalam udara yaitu B. Tegangan Tembus pada Berbagai Kondisi
adanya kehilangan elektron dari molekul udara Atmosfer
(Arismunandar, 1994). Jika tegangan tinggi dikenakan Menurut Schwaiger, besar tegangan tembus listrik (Ud
pada sepasang elektroda yang salah satunya berbentuk = Ûd) pada berbagai kondisi atmosfer dirumuskan
kawat, jarum atau bentuk lain dengan radius kecil, medan sebagai berikut:
listrik di sekitar permukaannya akan menjadi tinggi. p
Elektron bebas di sekitar medan tinggi ini akan Ud = 0,289 Ûd0 (2-3)
dipercepat sampai kecepatan yang mencukupi untuk
273 t
keterangan:
membebaskan elektron dari kulit terluar sebuah molekul
Ûd0 = tegangan tembus untuk sela bola
gas melalui tumbukan yang menghasilkan sebuah ion
menurut Schwaiger pada kondisi
positif dan elektron bebas lainnya.
kerapatan udara standar (p 0 = 1013
Elektron bebas tambahan ini mengalami proses yang mbar, t 0 = 20 0C) (kV)
sama untuk menyebabkan ionisasi tumbukan berikutnya. Ud = tegangan tembus (kV)
Proses ini dinamakan avalance, yang terjadi berulang δ = faktor koreksi atau disebut sebagai
kali sehingga timbul elektron dan ion positif dalam kerapatan udara relatif (0.9-1.1)
jumlah besar di sekitar daerah korona. Korona p = tekanan udara pada ruangan (mbar)
dipengaruhi oleh beberapa kondisi yaitu tekanan udara, t = temperatur udara pada ruangan (0C)
bahan elektroda, adanya uap air di udara, photoionisasi
C. Medan Listrik
dan tipe tegangan tinggi yang diterapkan
(Hermagasantos, 1994:53). Sedangkan karakteristik Medan listrik adalah suatu daerah (ruang) di sekitar
korona tergantung pada tegangan, bentuk permukaan muatan yang masih dipengaruhi oleh gaya elektrik. Oleh
elektroda, dan kondisi permukaan (Hermagasantos, Michael Faraday medan listrik digambarkan sebagai
1994:56). vektor garis medan listrik yang keluar dari muatan positif
Korona yang terjadi pada ujung permukaan dan masuk ke muatan negatif. Kuat medan listrik yang
penangkap petir merupakan jenis korona positif karena semakin besar digambarkan dengan garis medan yang
awan menginduksikan muatan positif yang semakin rapat.
terkonsentrasi pada ujung runcing finial petir dengan Pada setiap titik di dalam medan listrik ada suatu
tipe tegangan petir ialah tegangan tinggi searah. Proses kuantitas yang menyatakan tingkat kekuatan medan
terjadinya korona ini yaitu proses avalance akan tersebut, yang disebut kuat medan listrik. Kuat medan
menghasilkan ion-ion positif yang bergerak menuju listrik (E) di sebuah titik adalah gaya per satuan muatan
elektroda negatif, sedangkan elektron-elektron bebas yang dialami oleh sebuah muatan di titik tersebut.
pada udara akan bergerak menuju elektroda korona yaitu Secara matematis dapat ditulis sebagai:
ujung finial. F
E= (2-4)
Nilai dari kuat medan listrik yang diperlukan untuk q
permulaan korona pada konduktor bergantung pada Kuat medan listrik dalam elektroda ialah:
polaritas tegangan, tekanan dan temperatur udara
Q ^
disekitarnya (Salam, 2000:158). Berdasarkan hasil k
2
ar
eksperimen, nilai kuat medan listrik korona dapat E= r (2-5)
dirumuskan sebagai berikut (Salam, 2000:158):
Untuk AC: Distribusi medan listrik ialah penyebaran medan listrik
E0 = 30 δ (2-1) pada ruang yang terdapat di antara elektroda positif
Untuk DC: (anoda) dan negatif (katoda). Distribusi medan listrik
mempunyai tingkat intensitas yang berbeda pada tiap
E± = A ±δ + B± (2-2) titik dalam jarak sela. Intensitas medan listrik akan
r memberikan tekanan listrik pada suatu bahan dielektrik
keterangan: yang disebut stress listrik. Sedangkan kekuatan
E0, E± = kuat medan listrik korona maksimum bahan dalam menahan stress listrik agar tidak
(kV/cm) terjadi tembus disebut kekuatan dielektrik bahan.
δ = faktor koreksi atau disebut Kekuatan dielektrik dan tekanan listrik dinyatakan dalam

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


3

besaran kV/cm. grafit dengan suatu tahanan permukaan (yakni resistansi


Bentuk distribusi medan listrik sangat menentukan yang terukur antara kedua sisi permukaan dari sampel
besarnya intensitas medan listrik pada setiap titik yang yang berbentuk bujur sangkar yang panjang sisinya 1 m)
artinya juga menentukan besarnya nilai tegangan sekitar 10 kΩ dan ini sama dengan pelapis konduktif
tembus. Besarnya intensitas medan listrik pada sebuah pada kabel tegangan tinggi.
titik adalah: Permukaan elektroda disimulasikan dengan lapisan cat
U perak yang konduktif atau biasanya dengan lembaran
E= (2-6) aluminium foil. Pada bidang batas antara elektroda dan
x
dielektrik atau antara dua dielektrik yang berbeda, kertas
keterangan:
konduktif harus terhubung dengan baik secara listrik.
E = intensitas medan listrik pada sebuah
Untuk itu perlu dilakukan pemakuan kertas konduktif
titik (kV/cm)
ΔU = beda potensial antar dua titik yang pada alas. Keuntungan metode ini yaitu garis medan
berdekatan (kV) listrik dapat langsung digambar pada kertas dengan
Δx = jarak antar dua titik yang berdekatan (cm) pertolongan garis ekipotensial.

Bentuk distribusi medan listrik dapat dibedakan


menjadi dua bagian yaitu distribusi medan listrik DC
elektroda
Power Supply probe
seragam dan tidak seragam. Ukuran seragam tidaknya
distribusi medan listrik diantara susunan elektroda dapat V
Kertas
diketahui dari nilai efisiensi medan listrik yang konduktif

didefinisikan Schwaiger yaitu:


Gambar 2.5. Rangkaian percobaan untuk mencari garis
Erata rata ekipotensial dengan bantuan kertas konduktif
(2-7)
Emaks Sumber: www.webphysics.davidson.edu
Penentuan dan pemodelan garis ekipotensial dan
Pada Gambar 2.2.b ditunjukkan konfigurasi elektroda
medan listrik dari rangkaian di atas ialah sebagai berikut:
jarum-pelat yang mempunyai distribusi medan listrik non
1. Hubungkan terminal output sumber tegangan DC
homogen atau tak seragam. Artinya, alat uji berupa
rendah ke terminal dari kedua elektroda dengan
penangkap petir dan model awan nantinya dapat kita
menggunakan sebuah kabel.
analogikan sebagai konfigurasi elektroda jarum-pelat
2. Gambar konfigurasi elektroda yang akan diuji pada
tersebut.
sebuah kertas milimeter dengan koordinat yang
Besar faktor efisiensi medan listrik bergantung pada
sama pada kertas konduktif tersebut.
bentuk geometris dari susunan elektroda, yaitu untuk
3. Tentukan jumlah garis ekipotensial yang akan
susunan elektroda yang memberikan distribusi medan
digambar pada susunan elektroda tersebut dengan
listrik homogen maka ≈ 1, sedangkan pada susunan
menetapkan nilai-nilai potensial (UV) yang akan
elektroda yang menghasilkan distribusi medan listrik non dicari dengan range kenaikan potensial (ΔUV) yang
homogen maka nilai < 1. Karena tegangan tembus sama.
pada sela elektroda dapat ditentukan yaitu: 4. Nyalakan sumber tegangan DC, kemudian lacak nilai
Ud E s potensial yang akan dicari pada susunan elektroda
= d (2-8)
tersebut dengan meletakkan ujung probe pada
keterangan:
kertas konduktif. Gerakkan probe hingga nilai
Ud = tegangan tembus pada susunan potensial UV terbaca pada Voltmeter. Untuk setiap
elektroda (kV) potensial UV, akan didapatkan lebih dari satu buah
E d =kuat medan listrik yang menyebabkan koordinat titik pada daerah sela elektroda tersebut.
terjadi tembus (kV/cm) Tetapkan jumlah titik tersebut semisal 8 buah titik.
s = jarak sela (cm) Plot titik-titik tersebut pada kertas milimeter.
maka dapat disimpulkan, bentuk finial petir yang 5. Ulangi langkah d untuk nilai UV yang lain. Setelah
runcing akan memberikan tegangan tembus yang lebih selesai memplot semua titik potensial yang dicari
kecil dan lebih cepat dibandingkan bentuk finial yang pada kertas milimeter, matikan sumber tegangan DC
kurang runcing. kemudian hubungkan titik-titik sepotensial dengan
sebuah garis sehingga nantinya akan didapatkan
D. Metode Pemetaan Kertas Konduktif gambar garis-garis ekipotensial.
Untuk medan listrik dua dimensi, dapat diukur dengan Akhirnya, sketsa atau gambar garis medan listrik
sederhana dan cukup teliti dengan menggunakan kertas dengan memotong garis ekipotensial secara tegak lurus
konduktif, yaitu konstanta dielektrik yang disimulasikan sehingga didapatkan distribusi medan listrik pada
dengan konduktivitas sebanding dengan jumlah lapisan susunan elektroda tersebut.
kertas konduktif. Sebagai kertas konduktif dikenal kertas

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


4

III. METODOLOGI PENELITIAN menggunakan pembangkitan tegangan tinggi bolak-balik


yang keluarannya dihubungkan dengan rangkaian
A. Objek Uji penyearah setengah gelombang (menggunakan dioda
Jenis komponen, bahan, bentuk dan ukuran finial tegangan tinggi). Untuk rangkaian penyearah dengan
Franklin ditunjukkan dalam table 3.1. kapasitor perata memberikan tegangan searah yang lebih
T ABEL 3.1. murni daripada tanpa kapasitor. Dengan memperbesar
JENIS KOMPONEN BESERT A DIMENSI FINIAL
ukuran kapasitor perata, frekuensi dan jumlah fasa akan
FRANKLIN PADA PENELIT IAN
No. Kompo- Jenis Bentu Ukuran mengurangi tegangan cacat yang dihasilkan.
ne n baha k Dari rangkaian pembangkitan pada Gambar 3.2, dioda
n disusun bias balik sehingga jenis tegangan tinggi searah
1. Kepala Besi Pejal Tabel 3.2
yang dibangkitkan ialah tegangan tinggi searah polaritas
(ujung runcing
finial) negatif. Alat ukur tegangan tinggi searah yang akan
2. Batang Besi Batang Ø (diame ter) membaca nilai tegangan korona dan tembus ialah DGM
tegak silinder disesuaikan yang diseri dengan resistor tegangan tinggi sebagai
pejal dengan No.1
pembagi resistif.
3. Penghan- T emb Pilin 50 mm 2 , 7 3
tar penya- aga mm, Ø 9 mm d1 d2
TU
lur utama
4. Elektroda T emb Rod Ø 16 mm (0.63 Pelat
pembumi- aga silinder inci), 1 0 m RM awan
CM s (mm)
an pejal
~ Penangkap
petir
T ABEL 3.2.
UKURAN DIAMET ER (D) DAN SUDUT DGM
KERUNCINGAN (Α) PADA ELEKT RODA UJUNG
RUNCING FINIAL
D1 = 2 cm D2 = 4 cm Gambar 3.2 Rangkaian pembangkitan dan pengujian tegangan
tinggi searah polaritas negatif
n αn 0

1 15 Keterangan gambar:
2 25
TU = Trafo Uji tiga belitan tegangan
3 35
4 45 tinggi 220 V/220 V/100 kV
d 1, d 2 = Dioda tegangan tinggi 100 kΩ,
α2 α3 α4
20 mA, 140 kV
α1
CM = Kapasitor perata 10000 pF
RM = Resistor pengukuran 280 MΩ
h
DGM = Alat ukur tegangan tinggi searah
(kV)

D1 D1 D1 D1 C. Memetakan Medan Listrik Dengan Metode


(i)
Kertas Konduktif
α1 α2 α3 α4
Bentuk luasan yang akan dicari nilai potensial pada
metode kertas konduktif yang selanjutnya dilakukan
h
penggambaran bentuk distribusi garis ekipotensialnya
dapat dilihat pada Gambar 3.4.
D2 D2 D2 D2
(ii)

Gambar 3.1. Variasi sudut keruncingan finial


(i) Untuk D1 = 2 cm, h = 10 cm
(ii) Untuk D2 = 4 cm, h = 10 cm
s = 50 mm
finial awan

B. Pembangkitan dan Pengujian Korona serta


Tembus dengan Tegangan Tinggi Searah
Pembangkitan tegangan tinggi searah adalah
tegangan yang dibutuhkan untuk mendapatkan nilai
tegangan korona dan tembus pada konfigurasi objek uji
dengan pelat awan. Sebagai dielektrik pada konfigurasi Gambar 3.3 Bentuk luasan pada pemetaan medan listrik dengan
tersebut adalah udara pada ruangan. Untuk kertas konduktif
pembangkitan tegangan tinggi searah dapat

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


5

Dari Gambar 3.4 tersebut, luasan yang dipakai ialah A. Pengujian Tegangan Korona
luasan diantara elektroda ujung runcing finial dan Hasil pengujian untuk setiap variabel objek finial
elektroda pelat awan yang diisi oleh dielektrik udara. dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut ini.
Oleh karenanya kertas konduktif nanti direpresentasikan 30

Tegangan korona Uc (kV)


sebagai dielektrik udara tersebut. Agar sebuah kertas
25
konduktif dapat mewakili sebuah dielektrik dalam jenis
20
tertentu, maka kertas konduktif disusun bertumpuk
sehingga mempunyai permitivitas sama dengan 15

permitivitas ε dielektrik tersebut. Karena jenis dielektrik 10

yang dipakai ialah udara dan εr udara = 1, maka kertas 5


konduktif yang dipakai cukup satu lapis. Bahan yang 0
dipakai untuk memodelkan elektroda ujung runcing finial 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
jarak sela s (mm)
dan pelat awan terbuat dari aluminium foil yang
sudut α = 15 sudut α = 25 sudut α = 35 sudut α = 45
dipotong sesuai dengan dimensi kedua elektroda
Gambar 4.1. Grafik tegangan korona Ūc sebagai fungsi jarak sela s
tersebut. Selanjutnya aluminium foil tersebut ditempel untuk berbagai sudut αn dengan D1 = 2 cm
pada kertas konduktif yang telah terhubung sebelumnya Sumber: Hasil Pengujian
pada sebuah alas dari kayu. 30

Tegangan korona U c (kV)


25

20

15
UV V 4 10
probe
5
UDC 2
0
3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
jarak sela s (mm)
1 sudut α = 15 sudut α = 25 sudut α = 35 sudut α = 45

Gambar 4.2. Grafik tegangan korona Ūc sebagai fungsi jarak sela s


untuk berbagai sudut αn dengan D2 = 4 cm
Ga Sumber: Hasil Pengujian
mbar 3.4 Rangkaian pengujian medan listrik dua dimensi dengan Dari Gambar 4.1 dan 4.2 dapat dilihat bahwa nilai
bantuan kertas konduktif
tegangan korona untuk setiap sudut bertambah besar
Keterangan gambar: apabila jarak sela diperlebar. Kemudian dari gambar di
Kertas konduktif sebagai dielektrik udara (1 lapis atas, apabila jarak sela elektroda diperlebar maka korona
kertas εr = 1). muncul lebih lama dari sebelumnya yang ditandai
Kertas aluminium foil sebagai model elektroda ujung dengan nilai Uc yang lebih besar. Hal ini dapat dijelaskan
runcing finial dan pelat awan. bahwa pada susunan antara finial dan awan
DC power supply. menghasilkan kapasitansi C yang nilainya didekati
Voltmeter DC. menggunakan persamaan:
r 0 A
D. Langkah-Langkah Pengujian dan Analisis C≈ , εr udara = 1 dan
Data s
Dilakukan pengujian korona dan tembus untuk setiap ε0 = 8.854 109 N.m2/C2
objek finial dengan pengaturan jarak sela s. Setelah data dengan A ialah luas permukaan elektroda dan s ialah
tegangan korona dan tembus terkumpul, dilakukan jarak sela udara.
analisis berdasarkan hukum Schwaiger. Dari persamaan tersebut, jika nilai s diperbesar
Pemetaan medan listrik menggunakan kertas konduktif menyebabkan nilai kapasitansi yang dihasilkan semakin
untuk setiap objek uji dengan mengukur potensial titik kecil. Karena nilai C sebanding dengan muatan Q dan
yang berada di pinggir luasan pada kertas konduktif dan berbanding terbalik dengan tegangan U atau secara
titik-titik di dalam daerah luasan sehingga didapatkan Q
matematis dapat dituliskan C = , maka untuk jarak sela
bentuk distribusi medan listrik. Kemudian dilakukan U
perhitungan nilai efisiensi medan listrik (η) dan kuat s = 20 mm dihasilkan C1 sedangkan jarak sela s = 25 mm
medan listrik setiap konfigurasi elektroda. dihasilkan C2.
Q1 Q1
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
U1 C1
C1 = → U1 =

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


6

Q2 Q2 Q3 Q4
E3 = k 2
, E4 = k 2
C2 =
U2 C
→ U2 = 2 r3 r4
Jika diberikan nilai tegangan tinggi DC yang sama Karena besar pertambahan muatan listrik Q lebih
maka dengan menyamakan variabel tegangannya dominan dari pada pertambahan nilai jari-jari finial r
diperoleh: untuk sudut finial yang semakin runcing atau kecil maka
U1 = U2 perbandingan kuat medan listriknya adalah:
Q1 Q2 Q1 C1 E1 > E2 > E3 > E4
Dengan demikian, kuat medan listrik di ujung finial
C1 = C 2 → Q2 = C 2 → C >C semakin kecil apabila sudut finial diperbesar sehingga
1 2
sehingga Q1 > Q2 semakin runcing sudut finial maka waktu terjadinya
Dari hasil akhir persamaan tersebut didapatkan bahwa korona lebih cepat atau nilai tegangan korona U c
jumlah muatan listrik Q1 lebih banyak daripada Q2 semakin kecil seperti terlihat pada data hasil pengujian.
sehingga dengan memasukkan variabel Q tersebut ke Apabila dibandingkan Uc = f(s) untuk setiap
dalam persamaan 2-5, diperoleh kuat medan listrik E diameter finial, maka didapatkan bahwa tegangan korona
sebagai berikut: pada α1 = 150 dengan D1 = 2 cm nilainya cenderung lebih
besar dari Uc pada α1 = 150 dengan D2 = 4 cm untuk
Q1 Q
k 2
k 22 setiap jarak sela. Begitu pula untuk sudut yang lainnya
E1 = r dan E2 = r seperti yang terlihat pada Gambar 4.3.
Karena jari-jari finial r sama maka perbandingan kuat 28
medan listriknya adalah: 24
E1 Q1 20
Uc (kV)

E2 Q2 → E > E 16
1 2
12
Dengan kuat medan listrik E1 yang lebih besar dari E2
8
menyebabkan pembentukan muatan bebas di depan
4
ujung finial lebih cepat sehingga pada akhirnya waktu
0
terjadinya korona lebih cepat pula yang ditandai dengan
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55
nilai Uc yang semakin kecil. Oleh karenanya dengan jarak sela s (mm)
memperlebar jarak sela s maka dibutuhkan penambahan Uc dengan D = 2 cm Uc dengan D = 4 cm
tegangan agar timbul korona.
Gambar 4.3. Grafik perbandingan tegangan korona Ūc sebagai
Kemudian pada jarak sela yang sama, yaitu dengan fungsi jarak sela s untuk D1 = 2 cm dan D2 = 4 cm dengan α 4 = 45 0
sudut keruncingan yang berbeda akan memberikan nilai Sumber: Hasil Pengujian
tegangan korona yang tidak sama. Apabila sudut α Nilai Uc pada D2 yang selalu lebih kecil dari D1
diperbesar maka nilai Uc cenderung semakin meningkat. dipengaruhi oleh nilai kapasitansi susunan elektroda
Hal ini dapat dijelaskan bahwa dengan luas permukaan finial dan awan. Karena kapasitansi C sebanding dengan
finial A yang semakin kecil bila sudut keruncingan α luas permukaan elektroda, maka untuk setiap sudut finial
diperbesar maka pada jarak sela s yang sama yang sama, didapatkan luas permukaan diameter finial D2
menyebabkan kapasitansi C1 untuk α1 lebih besar dari C2 yang lebih besar dari D1 sehingga dengan menyamakan
untuk α2 sehingga diperoleh C1>C2>C3>C4. Bila setiap nilai s diperoleh kapasitansi C pada D2 lebih besar dari C
konfigurasi finial dengan α yang berbeda tersebut diberi pada D1 atau Cα,D1 < Cα,D2. Dengan demikian didapatkan
tegangan dengan nilai yang sama, maka dengan pula nilai muatan listrik Q untuk D2 yang lebih besar dari
menyamakan variabel U1, U2, U3 dan U4 didapatkan: D1 sehingga sesuai persamaan 2-5 diperoleh kuat medan
U1 = U2 = U3 = U4 listrik E sebagai berikut:
Q1 Q2 Q3 Q4 Q , D1
k
C1 C 2 C 3
= = =
C4
→Q1 > Q2 > Q3 > Q4
(r , D1 )2
Eα,D1 = dan
Dari hasil akhir persamaan tersebut didapatkan bahwa Q ,D2
jumlah muatan listrik Q1 semakin kecil dengan Eα,D2 = k ,Q ,D1 <Q ,D 2
memperbesar sudut α sehingga dengan memasukkan (r ,D2 )2
variabel Q tersebut ke dalam persamaan 2-5, diperoleh Karena nilai muatan listrik Q lebih dominan daripada
kuat medan listrik E sebagai berikut: nilai jari-jari finial r untuk setiap sudut finial yang sama
Q1 Q2 maka perbandingan kuat medan listriknya adalah:
E1 = k 2
, E2 = k 2
, E α,D1 < E α,D2
r1 r2 Dari hasil perbandingan kuat medan listrik di atas
dapat disimpulkan bahwa pada sudut keruncingan finial
yang sama maka dengan memperbesar diameter batang

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


7

finial menghasilkan nilai kuat medan listrik di ujung finial homogen akan memberikan nilai tegangan tembus yang
yang semakin tinggi sehingga menyebabkan waktu lebih besar daripada distribusi medan listrik non-
terjadinya korona semakin cepat dan diperoleh nilai Uc homogen. Sedangkan distribusi medan listrik sendiri
juga makin kecil. akan dipengaruhi oleh bentuk geometris elektroda. Pada
penelitian ini, meskipun bentuk geometris objek uji finial
B. Pengujian Tegangan Tembus
adalah sama yaitu runcing namun dengan adanya
Hasil pengujian dapat dilihat pada gambar berikut perbedaan sudut keruncingan maka jelas menyebabkan
ini. konfigurasi elektroda objek uji dengan elektroda pelat
awan berbeda pula.
Tegangan Tembus Ud (kV)

48
40 untuk pengujian finial ini yang penentuan nilainya
32 secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
24 Ud
16
Erata-rata (4-1)
s
8
0 12
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

Erata-rata (kV/cm)
10
jarak sela s (mm)
sudut α = 15 sudut α = 25 sudut α = 35 sudut α = 45
8
Gam
6
bar 4.4. Grafik tegangan tembus Ūd sebagai fungsi jarak sela s
untuk berbagaisudut α n dengan D1 = 2 cm 4
Sumber: Hasil Pengujian 2
0
Tegangan Tembus Ud (kV)

48
40 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5 5.5
jarak sela s (cm)
32
D = 2 cm D = 4 cm
24
Gambar 4.7. Grafik perbandingan kuat medan rata-rata Erata-rata
16 sebagai fungsi jarak sela s untuk
8 D1 = 2 cm dan D2 = 4 cm dengan α 4 = 45 0
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 Dari Gambar 4.7 terlihat bahwa pengaruh jarak sela
jarak sela s (mm) memberikan kurva tak linier pada Erata-rata nya yaitu
sudut α = 15 sudut α = 25 sudut α = 35 sudut α = 45 nilainya cenderung naik dari s = 2 cm lalu mencapai nilai
Gambar 4.5. Grafik tegangan tembus Ūd sebagai fungsi jarak sela s maksimum pada saat jarak sela 3 cm kemudian nilainya
untuk berbagai sudut αn dengan D2 = 4 cm kembali mengecil. Hal ini menandakan bahwa nilai
Sumber: Hasil Pengujian
pertambahan Ud akan semakin besar dari s = 2 cm hingga
dicapai nilai ΔŪd maksimum pada s = 3 cm dan
Berdasarkan Gambar 4.4 dan 4.5 terlihat bahwa untuk
pertambahannya lebih kecil setelah itu. Hal ini berarti
setiap sudut keruncingan maka nilai tegangan tembus
waktu untuk terjadinya tembus dari jarak sela 2.5 cm ke 3
yang terjadi akan meningkat apabila jarak sela s
cm lebih lama. Bila kita bandingkan nilai Erata-rata pada D1
diperlebar. Dengan mengacu pada persamaan 2-8,
dan D2, maka akan didapatkan bahwa pada sudut yang
parameter jarak sela sangat mempengaruhi besar
sama, nilai Erata-rata D1 lebih kecil dari D2. Akibatnya waktu
tegangan tembus. Dari persamaan tersebut terlihat
tembus yang diperlukan pada konfigurasi finial-pelat
bahwa apabila jarak sela diperbesar maka nilai tegangan
awan dengan D1 lebih cepat dibandingkan dengan D2
tembus akan meningkat pula. Ini artinya proses
atau dengan kata lain kemampuan tersambar petir pada
breakdown pada isolasi lebih lama.
objek uji finial D1 lebih baik daripada objek uji finial D2.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk kenaikan
sudut α dengan jarak sela yang sama maka bila C. Pemetaan Medan Listrik dengan Metode
dibandingkan, nilai tegangan tembus akan mengecil Kertas Konduktif
namun kembali meningkat pada saat sudut α 4 = 45. Pada Pada pengujian ini, analisis data cukup dilakukan
data tersebut, ternyata sudut 150 sebagai sudut finial dengan menampilkan gambar bentuk distribusi garis
paling runcing memberikan nilai tegangan tembus lebih ekipotensial saja karena hal tersebut sudah dapat
tinggi kemudian diikuti oleh sudut α 2 = 250 dan α4 = 450. mewakili distribusi medan listriknya.
Sedangkan sudut α 3 = 350 justru memiliki nilai tegangan 1) Pemetaan Medan Listrik untuk Sudut Keruncingan
tembus yang paling rendah daripada sudut yang αn0 pada Diameter Finial D1 = 2 cm
lainnya. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa menurut Hasil penggambaran distribusi garis ekipotensialnya
hukum Schwaiger nilai tegangan tembus pada sela untuk sudut keruncingan α1 = 150 dapat dilihat pada
elektroda sangat ditentukan oleh bentuk distribusi gambar berikut ini.
medan listriknya yaitu bila distribusi medan listrik Dari Gambar 4.9 dapat dilihat bahwa jarak antar garis

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


8

ekipotensial tidaklah sama. Pada daerah yang paling 6 15 V - 18 V 3 2 1.50


dekat dengan permukaan elektroda baik elektroda anoda 7 18 V - 21 V 3 2.25 1.33
yaitu finial maupun elektroda katoda yaitu awan,
8 21 V - 24 V 3 2 1.50
menghasilkan bentuk garis ekipotensial yang paling
mengikuti alur permukaan elektroda tersebut. Dari 9 24 V - 27 V 3 1.50 2
gambar di atas terlihat pula, nilai potensial U yang 10 27 V - 30 V 3 1.25 2.40
terukur lebih dekat dengan permukaan elektroda semisal
27 V dengan 24 V pada finial dan 3 V dengan 6 V pada Dengan menggunakan Gambar 4.9 dan Tabel 4.1, maka
awan, akan menghasilkan garis -garis ekipotensial dapat dibuat grafik distribusi tegangan intensitas medan
dengan jarak pemisah yang lebih rapat atau kecil. listrik di sepanjang lintasan sela udara antara elektroda
finial 150 dan pelat awan seperti ditunjukkan pada
gambar-gambar berikut ini.
30
27
24

Tegangan U (V)
21
18
15
12
9
6
3
0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
x (mm)
Gambar 4.10. Distribusi tegangan pada sela udara
5 cm untuk α1 = 15 0 dan D1 = 2 cm
Gambar 4.9. Distribusi garis ekipotensial dengan interval 3 V
untuk α1 = 15 0 dan D1 = 2 cm
2.7
Sumber: Hasil Pengujian
Intensitas medan listrik E (V/mm)

2.4
Sedangkan pada tengah-tengah daerah sela yaitu
2.1
antara garis ekipotensial 6 V, 9 V, 12 V dan 15 V
1.8
memberikan jarak Δx yang lebih renggang atau lebar. 1.5
Berikut ini ditampilkan berupa tabel perhitungan nilai 1.2
kuat medan listrik pada konfigurasi finial 150 dengan 0.9
jarak sela 5 cm berdasarkan Gambar 4.7 dan 0.6
menggunakan persamaan sebagai berikut: 0.3

Uk 0
0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Ek
xk (4-2)
x (mm)

Gambar 4.11. Distribusi intensitas medan listrik pada sela udara 5


keterangan: cm untuk α 1 = 15 0
Ek = kuat medan listrik pada segmen dan D1 = 2 cm
k (V/mm)
k = segmen ke-1, 2, 3,..., 10 Kuat medan rata-rata untuk pengujian ini dengan
U k = interval tegangan antar garis sumber DC 30 V dan s = 5 cm ialah:

ekipotensial yaitu 3 V
30
Erata-rata 0.6 V/mm
x k = jarak antar garis ekipotensial yang 50
Pada finial D1 = 2 cm, diperoleh nilai-nilai Erata , Emaks, η,
berdekatan melalui sela udara (mm)
dan Ed seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
T ABEL 4.1. NILAI KUAT MEDAN LISTRIK E UNTUK SUDUT T ABEL 4.2 NILAI ERATA, EMAKS, Η , DAN ED UNTUK D1 = 2 CM
0
Α 1 = 15 , D1 = 2 CM
Erata-rata Emaks
Interval tegangan ΔU Δx E (α0 ) s (cm) Η Ed (kV/cm)
k (V/mm) (V/mm)
pada sela udara (V) (mm) (V/mm)
15 5 0.6 2.40 0.250 36.906
1 0 V- 3 V 3 1.50 2
25 5 0.6 1.71 0.351 25.924
2 3 V- 6 V 3 1.75 1.71
35 5 0.6 1.50 0.400 20.033
3 6 V- 9 V 3 12 0.25
45 5 0.6 1.33 0.451 18.756
4 9 V - 12 V 3 16.50 0.18
5 12 V - 15 V 3 9.25 0.32

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


9

2) Pemetaan Medan Listrik untuk Sudut Keruncingan 3.5


αn0 pada Diameter Finial D2 = 4 cm 3

Emaks (V/mm)
2.5
Hasil penggambaran distribusi garis ekipotensialnya 2
untuk sudut keruncingan α1 = 150 dapat dilihat pada 1.5
1
gambar berikut ini.
0.5
0 0 0
α1 = 150 α2 = 250 α3 = 35 α4 = 45
sudut
D1 = 2 cm D2 = 4 cm
Gambar 4.13. Grafik perbandingan E maks fungsi sudut keruncingan
α untuk D1 = 2 cm dan
D2 = 4 cm dengan s = 5 cm
10
8

Edxη
4

0 0 0
α1 = 150 α2 = 25 α3 = 35 α4 = 450
Gambar 4.12. Distribusi garis ekipotensial dengan interval 3 V sudut
untuk α1 = 15 0 dan D2 = 4 cm D1 = 2 cm D2 = 4 cm
Sumber: Hasil Pengujian Gambar 4.14. Grafik perbandingan E d η fungsi sudut
Dengan cara yang sama maka didapatkan nilai-nilai keruncingan α untuk D 1 = 2 cm dan
D2 = 4 cm dengan s = 5 cm
Erata , Emaks, η, dan Ed seperti terlihat pada tabel berikut ini.
T ABEL 4.3 NILAI ERATA, EMAKS, Η , DAN ED UNTUK D2 = 4 CM
Dari Gambar 4.13, terlihat kurva cenderung menurun
Ed
s Erata-rata Emaks dengan nilai Emaks pada finial yang berdiameter D1 lebih
(α0 ) η (kV/cm
(cm) (V/mm) (V/mm)
) kecil daripada diameter D2.
15 5 0.6 3 0.200 46.467 Dari Gambar 4.14 terlihat nilai perkalian kuat medan
25 5 0.6 2 0.300 30.622
listrik tembus dengan efisiensi untuk s yang sama pada
diameter finial D2 = 4 cm lebih besar dari objek finial
35 5 0.6 1.71 0.351 26.112
dengan D1 = 2 cm untuk setiap perubahan nilai sudut
45 5 0.6 1.50 0.400 23.700 keruncingannya. Dengan demikian nilai tegangan
tembusnya lebih kecil. Hal tersebut dibuktikan melalui
Berdasarkan Tabel 4.2 dan 4.3, terlihat bahwa hasil pengujian tembus yang diperlihatkan pada Gambar
dengan memperbesar sudut keruncingan finial maka nilai 4.4 dan 4.5. Pada gambar tersebut terlihat pula bahwa
kuat medan listrik Emaks semakin kecil. Hal ini sama seperti nilai Ed η cenderung menurun dari sudut 150 hingga 350
objek uji untuk variasi α dengan D1 = 2 cm yaitu nilai dan naik kembali pada sudut 450. Dengan nilai minimum
Emaks terbesar didapatkan pada sudut keruncingan 150 diperoleh pada α 3 = 350 yaitu untuk D1 sebesar 8.0134
sehingga korona lebih cepat terjadi pada sudut 150. dan untuk D2 sebesar 9.16.

D. Perbandingan Hasil Pemetaan Medan Listrik V. KESIMPULAN


untuk D1 = 2 cm dengan D2 = 4 cm
Dari hasil pengujian pemetaan medan listrik Semakin besar sudut keruncingan finial α, maka nilai
dengan menggunakan kertas konduktif tersebut, maka tegangan korona Uc semakin besar pula. Sedangkan nilai
dengan menggunakan tabel nilai Erata , Emaks, η, dan Ed tegangan tembusnya Ud semakin kecil dari sudut α 1 = 150
setiap objek uji, maka didapatkan grafik Emaks dan hingga α3 = 350 dan membesar lagi pada sudut α 4 = 450.
perkalian Ed η seperti yang diperlihatkan pada gambar- Nilai tegangan tembus Ud paling kecil diperoleh untuk
gambar berikut ini. sudut keruncingan α 3 = 350 sehingga dapat disimpulkan
penangkap petir dengan sudut keruncingan 350
mempunyai kemampuan menangkap petir lebih baik
daripada sudut lainnya.
Semakin besar diameter finial, maka nilai tegangan
korona Uc semakin kecil sedangkan nilai tegangan
tembusnya Ud semakin besar. Dengan demikian
diperoleh nilai tegangan tembus untuk diameter D1 = 2
cm lebih kecil dari D2 = 4 cm.

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008


10

Dari pemetaan medan listrik dengan kertas konduktif


didapatkan bentuk distribusi medan listrik yang DAFTAR PUSTAKA
dihasilkan untuk setiap objek finial adalah non-homogen
dengan nilai efisiensi medan listrik η < 1. Semakin besar [1] Alonso. et al. 1967. Fundamental niversity Physics Vol. 2
sudut keruncingan finial maka Emaks-nya semakin kecil Fields and Waves. Addison-Wesley Publishing.
[2] Anonim. 2004. Electric Field Lines and Equipotential
dan nilai efisiensi medan listriknya η semakin besar.
Surfaces. http://www.physics.bu.edu/ulab/intro2/efield.pdf,
Sedangkan bila diameter finial diperbesar maka akses tanggal 3 Februari 2008 pukul 11.00 WIB.
didapatkan nilai Emaks yang semakin besar dan nilai [3] Anonim. 1983. Pedoman Perencanaan Penangkal Petir.
efisiensi medan listriknya η semakin kecil. Bandung: Direktorat penyelidikan masalah bangunan
Indonesia.
[4] Anonim. tanpa tahun. Capacitance.
http://www.abdn.ac.uk/physics/px3008/(6)capacitance.pdf,
akses tanggal 10 Februari 2008 pukul 15.00 WIB.
[5] Arismunandar, A. 1983. Teknik Tegangan Tinggi
Suplemen. Jakarta: PT . Ghalia Indonesia.
[6] ______________. 1994. Teknik Tegangan Tinggi. Jakarta:
PT . Pradnya Paramita.
[7] Dhofir, M. 1997. Diktat Gejala Medan Tinggi Jilid I dan II.
Malang: Percetakan Fakultas T eknik Unibraw.
[8] Uman, M. 1969. Lightning. New York: McGraw-Hill.
[9] Hermagasantos. 1994. Teknik Tegangan Tinggi, Teori dan
Pegangan untuk Laboratorium . Jakarta: PT . Rosda
Jayaputra.
[10] Kind, D. 1993. Pengantar Teknik Eksperimental Tegangan
Tinggi (T erjemahan KT . Sirait). Bandung: Penerbit IT B.
[11] Neuenschwander, Dwight E. 2004. Elegant Connections in
Physics, Lightning and Capacitance, Inductance, and
Resistance.
http://www.spsobserver.org/articles/04_elegant_connections
.pdf, akses tanggal 4 Maret 2008 pukul 08.00 WIB.
[12] Salam, M. A. 2000. High Voltage Engineering, Theory and
Practice. New York: Marcel Dekker Inc.
[13] T om Henderson. 1996. Electric Fields and Conductors.
http://www.glenbrook.k12.il.us/gbssci/phys/class/estatics/u8l
4d.html, akses tanggal 15 September 2007 pukul 11.25
WIB.

Jurnal EECCIS Vol. II, No. 1, Juni 2008

Anda mungkin juga menyukai