Abstrak
Hegemoni laki-laki yang terus berjaya akibat berkembangnya budaya patriarki
menyebabkan stereotip gender, terutama perempuan. Walaupun stereotip terhadap laki-laki
juga berkembang, tetapi perempuan tetap menjadi pihak paling dirugikan. Stereotip yang
berkembang terhadap perempuan yaitu perempuan adalah makhluk yang lemah, sensitif,
emosional, hanya cocok melakukan pekerjaan domestik, dan masih banyak stereotip yang
merugikan perempuan. Jurnal ini menggunakan metode pengumpulan data library research dari
berbagai sumber literatur yang kredibel. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan
perempuan mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam banyak hal, seperti dalam pekerjaan,
rumah tangga, hak politik, dan masih banyak lagi. Perempuan seakan-akan makhluk nomor
dua dalam kasta masyarakat, di bawah laki-laki. Hasil penelitian dalam berbagai jurnal
mendeskripsikan betapa menderitanya perempuan yang dibatasi geraknya oleh masyarakat
secara sadar maupun tidak sadar. Bisa secara tidak sadar karena budaya patriarki yang sudah
berkembang lama menjadikan banyak hal terlihat biasa saja oleh masyarakat padahal itu
merupakan hal yang salah. Melihat data yang ada menunjukkan budaya patriarki seharusnya
dihilangkan dari masyarakat, karena dalam masyarakat yang adil tidak ada pihak yang
mendapatkan perlakuan berbeda, karena semua setara tanpa melihat gender, suku, ras, atau
agama.
Kata kunci: Budaya patriarki, Stereotip perempuan, Diskriminasi terhadap perempuan
Pendahuluan
Stereotip terhadap perempuan yang muncul dalam masyarakat disebabkan oleh budaya
yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri, yaitu budaya patriarki. Budaya patriarki
sudah berkembang begitu lama sehingga sebagian besar masyarakat menganggap wajar
berbagai hal yang sebenarnya apabila dilihat ulang menimbulkan kerugian kepada pihak
tertentu, misalnya perempuan. Dalam hal gender, laki-laki dipandang sebagai individu yang
kuat, ditakdirkan sebagai pemimpin, dan berada di atas perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai individu yang lemah dan harus tunduk
kepada laki-laki. Hal seperti itu dapat dilihat dalam berbagai bidang, misalnya karir, politik,
pendidikan, bahkan dalam keluarga. Perempuan selalu berada dibawah laki-laki dan dinomor
duakan. Oleh karena itu, berkembangnya budaya patriarki dipandang sangat merugikan
perempuan dan sangat menguntungkan laki-laki. Yang mana seharusnya dalam masyarakat
tidak boleh ada pihak yang dirugikan atas pihak lain.
Bourdieu (2010) mengatakan hegemoni laki-laki terjadi karena perbedaan biologis yakni
maskulin dan feminine. Kejantanan pada organ seksual laki-laki dianggap titik kehormatan
yang digunakan sebagai alat konservasi dan juga peningkatan kehormatan. Laki-laki dianggap
sebagai kunco sedangkan perempuan sebagai gembok, apabila kunci digunakan untuk
membuka banyak gembok maka akan dianggap kunci yang luar biasa, sedangkan apabila
gembok dibuka dengan berbagai kunci maka dianggap gembok telah rusak. Hal ini
dikonstruksi pada masyarakat, bagaimana laki-laki adalah lazim apabila mendominasi dan
perempuan harus ada untuk mendampingi laki-laki.
Laki-laki dan perempuan memang merupakan makhluk yang berbeda, keduanya tidak
dapat disamakan dan keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun
dalam konteks budaya peran keduanya memiliki kesetaraan, baik hak ataupun kewajiban.
Budaya patriarki menempatkan laki-laki diatas perempuan yang menjadikan tidak adanya
kesetaraan. Perempuan dianggap makhluk lemah yang membutuhkan laki-laki sedangkan laki-
laki dianggap makhluk yang lebih kuat dapat melakukan apapun sendirian tanpa
memperhatikan perempuan.
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan
menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran
laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan
individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Dengan adanya patriarki
munculah stereotip bahwa perempuan merupakan individu yang lemah.
Perempuan masih dianggap sebagai kelompok paling rentan dalam masyarakat,
walaupun mulai banyak perempuan yang berhasil membuktikan bahwa itu tidak benar.
Kenyataan yang ada di masyarakat Indonesia masih banyak perempuan yang mendapat
stigmasisasi, diskriminasi, persekusi, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Dalam sebuah
forum berteme “Perempuan Melawan _______” yang diadakan oleh Opini.id, banyak isu yang
terangkat, seperti stereotip yang dimiliki perempuan dalam ranah professional hingga isu
kekerasan seksual yang kerap dialami perempuan. Menurut dr. Sophia, Kondisi tersebut di-
sebabkan lingkungan yang patriarkal, yang menjadikan perempuan sebagai objek, misalnya
kerap kali perempuan dijadikan lelucon seksis oleh sebagian besar laki-laki. Menurut catatan
tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2015, setidaknya tiap dua jam sekali ada perempuan
di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
Penelitian Moss-Racusin mengindikasikan bahwa para profesor atau atasan perempuan
lebih cenderung memperlihatkan bias gender terhadap mahasiswi dibandingkan terhadap
mahasiswa. Ia mengatakan bahwa hal ini disebabkan stereotip gender yang menekankan
bahwa sains itu bidang yang maskulin dan ilmuwan perempuan kurang kompeten. Mengutip
studi yang lain, Toni Schmader, ketua riset psikologi sosial di Universitas British Columbia di
Vancouver, Kanada, mengatakan bahwa “para mahasiswa/mahasiswa yang lebih banyak
mendapat dosen laki-laki untuk kuliah matematika dan sains cenderung memiliki bias kuat
bahwa matematika identik dengan laki-laki selama satu tahun pertama di universitas.”
Hasil dari sebuah penelitian pada masyarakat daerah papua mengungkapkan bahwa
perempuan dianggap makhluk kedua yang harus mengalah dan patuh pada suami. Bentuk
ketidakadilan yang diterima perempuan terjadi dalam banyak bidang, diantaranya pendidikan
dan pekerjaan. Perempuan dianggap sebagai milik suami sehingga suami berhak melakukan
apapun terhadap istri. Dalam penelitian lain menunjukkan akibat adanya budaya patriarki,
perempuan mendapatkan beberapa stereotip, yaitu: perempuan merupakan makhluk lemah,
perempuan mendapat diskriminasi haknya dalam hal pendidikan, Perempuan dikebiri dari
kehidupan politik, perempuan kerap kali dijodohkan, kecantikan perempuan dijadikan objek
seksuall dan kekuasaan laki-laki.
Ketertinggalan kaum perempuan masih menjadi permasalahan belum dapat teratasi
dengan baik. Jumlah penduduk perempuan adalah 118.010.413 orang data tahun 2010.
Pembangunan Indonesia yang lambat selama hampir 70 tahun dikarenakan kaum perempuan
kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik
nasional maupun intenasional. Persoalan ini dapat merugikan perempuan serta pembangunan
dalam berbagai sektor. Dalam melaksanakan program pembangunan, dibutuhkan
perempuan yang mempunyai kualitas hidup yang optimal, sehingga perempuan akan dapat
bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan.
Pergeseran nilai-nilai di masyarakat mengenai perempuan bekerja memang dicatat
mengalami kemajuan yang terus meningkat dari dekade sebelumnya. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 1980 sebesar 32,43%, tahun 1990 sebesar
38,79%, dan pada tahun 2014 TPAK perempuan sudah menjadi 50,22%. Angka ini terus melaju
pesat setiap tahunnya dan dinilai sebagai kemajuan pembangunan. Ini menjadi laporan
peningkatan kualitas hidup kaum perempuan. Angka ini menjadi faktor penting dalam
berbagai hal untuk mencapai tujuan kesejahteraan kaum perempuan pada khususnya dan
masyarakat secara luas pada umumnya. Ada beberapa hal yang mendasari perkembangan
kemajuan perempuan seperti yang disebutkan Abdullah (2001:104), yaitu pergeseran dalam diri
perempuan sendiri dan pergeseran nilai, norma yang menyangkut perubahan peran
kelembagaan. Abdullah menegaskan pula bahwa perubahan ini merupakan tanda dukungan
kelembagaan yang memberikan jaminan bagi keterlibatan perempuan
Pembahasan
Definisi
a. Budaya Patriarki
Kata patriarki mengacu pada system budaya dalam arti sistem kehidupan diatur oleh
sistem “kebapakan”. Patriarki atau “Patriarkat” merujuk pada susunan masyarakat menurut
garis Bapak. Ini adalah istilah yang menunjukkan ciri-ciri tertentu pada keluarga atau
kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh kaum bapak atau laki-
laki tertua. Artinya, hukum keturunan dalam patirarkat menurut garis bapak. Nama, harta
milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariskan kepada anak laki-laki (Ensiklopedia
Indonesia 1984). Kini istilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “kekuasaan laki-
laki”. Khususnya hubungan kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan yang di dalamnya
berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang diwujudkan melalui bermacam-macam
cara dan media (Bhasin, 1996).
Murniati mendefinisikan patriarki sebagai suatu sistem laki yang berkuasa
untuk menentukan segala sesuatu yang akan dilakukan atau tidak dilakukan (2004:
8). Sistem ini dianggap wajar sebab pembenarannya disejajarkan dengan
pembagian kerja berdasarkan seks atau jenis kelamin dan bukan berdasarkan gender. Di
samping itu, Murniti juga mengungkapkan, ada yang meyakini bahwa kekuasaan yang
mengkontrol dan mendominasi pihak lain (2004:171). Pihak lain in menurut yang
meyakini definisi tersebut adalah kelompok miskin, lemah, rendah, tidak berdaya, juga
lingkungan hidup dan perempuan. Dalam budaya patriarki, negara yang menganut budaya
tersebut disebut patriarkis.
Menurut Ollenburger (1996:39) dalam budaya patriarki Peran perempuan (woman role)
dalam dunia politik kemudian diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat
diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender, sosial
budaya, dan kodrat.
Jadi, budaya patriarki merupakan sebuah budaya yang berkembang di masyarakat,
yang menjadikan laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Budaya patriarki sudah
berkembang lama di Indonesia, oleh karena ini budaya ini dianggap wajar dan seakan-akan
secara alamiah memang seperti itu.
b. Stereotip Perempuan
Stereotip secara umum adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu (Fakih, 2003: 16). Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
yang dikontruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan
Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yag panjang
(Fakih, 2003: 72). Sementara itu, stereotip gender yang terjadi dalam masyarakat, merupakan
diskriminasi yag terjadi pada perempuan yang berakibat, membatasi, menyulitkan,
memiskinkan, dan merugikan perempuan. Diskriminasi ini yaitu keyakinan masyarakat bahwa
laki-laki adalah pencari nafkah dan pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai hanya sebagai
tambahan dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih, 2012: 74).
Jadi, stereotip perempuan merupakan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat
kepada gender perempuan yang berakibat perempuan mendapatkan perlakuan berbeda dari
laki-laki. Perempuan diberikan stereotip berupa jenis manusia yang lemah fisik maupun
intelektual sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin. Perempuan dinilai banyak
mempunyai keterbatasan dibandingkan laki-laki dengan segala keleluasaannya.
Kesimpulan
Budaya patriarki merupakan nilai yang sudah berkembang di masyarakat sejak dulu,
bahkan masih banyak negara yang menerapkan budaya tersebut. Walaupun sudah mulai ada
bentuk perlawanan yang menentang karena banyak yang merasa budaya patriarki merugikan
satu pihak dan terlalu menguntungkan pihak satunya, bentuk perlawanan banyak yang berasal
dari pihak perempuan. Mereka menamakan kelompok mereka dengan feminimisme, mereka
menyuarakan kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam berbagai bidang kehidupan. Karena selama ini mereka menilai realita yang terjadi
adalah perempuan mendapat diskriminasi dari masyarakat baik yang disadari maupun tidak
disadari.
Salah satu efek yang muncul dari berkembangnya budaya patriarki adalah munculnya
stereotip perempuan yang dinilai lemah dan sensitif. Perempuan dianggap berada di bawah
laki-laki menjadikan perempuan seakan dihalang-halangi mempunyai peran yang bersifat
publik oleh masyarakat. Nilai yang berkembang di masyarakat menjadikan perempuan harus
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, karena hal seperti itu sudah dianggap wajar oleh
masyarakat, perempuan juga membiarkan dan tidak ada usaha untuk mengubahnya, karena
kebanyakan perempuan sendiri juga merasa lemah, jadi percuma saja jika melawan laki-laki
untuk menghilangkan budaya patriarki.
Daftar Rujukan
Ramdhani, Hilal. (2018). Reorientasi Politik Gender dalam Sistem Masyarakat Patriarkis.
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 4(3) 621-628. Diakses dari
https://journal.unnes.ac.id › sju › index.php › snh › article
Retnowulandari, Wahyuni. (2010). Budaya Hukum Patriarki versus Feminis: Dalam Penegakan
Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Hukum, 8(3) Januari
2010. Diakses dari http://portal.kopertis3.or.id/handle/123456789/714
Fakhirah, Rizka. Rochaeti, Nur. Dkk. (2016). Tinjauan Kriminologis Mengenai Kekerasan
Terhadap Perempuan Di Lingkungan Pekerjaan. Diponegoro Law Review, 5(2) 2016. Diakses
dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/11213
Darwin, Muhadjir. (1999). Maskulinitas: Posisi Laki-laki dalam Masyarakat Patriarki. Center for
Population and Policy Studies Gadjah Mada University. Diakses dari
https://cpps.ugm.ac.id/publication/maskulinitas-posisi-laki-laki-dalam-masyarakat
patriarkis/
Irma Sakina, A. Hasanah Siti, D. (2013). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. 118Share:
Social Work Jurnal, 7(1) 1-129. ISSN: 2339-0042 (p). ISSN: 2528-1577 (e). Diakses dari
http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13820
Yuliani, Sri. (2010). Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia.
Jurnal Sosiologi Dilema, 25, 2010. Diakses dari
https://eprints.uns.ac.id/818/1/Tubuh_Perempuan_MEDAN_KONTESTASI_KEKUASAAN
_PATRIARKIS.PDF
Kristina, Anita. (2010). Partisipasi Perempuan Dalam Perbaikan Perekonomian Keluarga dan
Masyarakat. Pamator, 3(1) 69-75. Diakses dari
https://journal.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/2404
Zamroni, Mohammad. (2013). Perempuan Dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender.
Jurnal Dakwah, 14(1), 103-132. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/77701-ID-perempuan-dalam-kajian-
komunikasi-politi.pdf
Ahdiah, Indah. (2013). Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat. JURNAL ACADEMIA Fisip
Untad, 5(2), 1085-1092. Diakses dari
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2247
Nurcahyo, Abraham. (2016). Relevansi Budaya Patriarki Dengan Partisipasi Politik dan
Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Jurnal Agastya, 6(1), 25-34. Diakses dari http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/878
Muzaiyanah, Dewi Alwiyatul. (2016). Konstruksi Gender Dalam Masyarakat Beragama di
Papua. Retrieved from . (12540096)
Eka P, Fitria Zainubi. (2016). Budaya Patriarki Masyarakat Desa Bungkuk Dalam Pemilihan
Kepada Daerah Kabupaten Lampung Timur. Retrieved from . (1216021047)
Adji, Muhammad. Meilinawati, Lina. Banita, Baban. (2009). Perempuan Dalam Kuasa Patriarki.
Puspitasari, Aprilia Hening. Muktiyo, Widodo. (2017). Menggugat Stereotip “Perempuan
Sempurna”: Framing Media terhadap Perempuan Pelaku Tindak Kekerasan. PALESTReN,
10(2), 248-272. Diakses dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/2610
Saguni, Fatimah. (2014). Pemberian Stereotip Gender. MUSAWA, 6(2), 195-223. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/138333-ID-pemberian-stereotype-gender.pdf
Aminah, Siti. (2012). Gender, Politik, dan Patriarki Kapitalsime dalam Perspektif Sosialis. Jurnal
Politik Indonesia, 1(2), 53-57. Diakses dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/abstrak_5253142_tpjua.pdf
Kumparan.com. (2019, 25 April). Kisah Perempuan dalam Melawan Stigma dan Stereotip di ]
Masyarakat. https://kumparan.com/kumparanstyle/kisah-perempuan-dalam
melawanstigma-dan-stereotip-di-masyarakat-1qxNybkwX02
Yumnasa, Finnuri. (2017). Gambaran Perempuan dalam Dominasi Laki-laki pada Novel
Psycopat Diary. Airlangga University. Diakses dari http://repository.unair.ac.id/69240/
Susanto, Nanang Hasan. (2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya
Patriarki. MUWAZAH, 7(2), 120-130. Diakses dari http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/517
Wibowo, Dwi edi. (2011). Peran Ganda Perempuan Dan Kesetaraan Gender. MUZAWAH, 3(1),
357-364. Diakses dari http://e
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/6
Khotimah, Khusnul. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor
Pekerjaan. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 4(1), 158-180. Diakses dari
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/226