Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Stereotipe Perempuan

Pangestu Galih Pambayun


Universitas Negeri Malang
e-mail: pangestu.galihhhp@gmail.com

Abstrak
Hegemoni laki-laki yang terus berjaya akibat berkembangnya budaya patriarki
menyebabkan stereotip gender, terutama perempuan. Walaupun stereotip terhadap laki-laki
juga berkembang, tetapi perempuan tetap menjadi pihak paling dirugikan. Stereotip yang
berkembang terhadap perempuan yaitu perempuan adalah makhluk yang lemah, sensitif,
emosional, hanya cocok melakukan pekerjaan domestik, dan masih banyak stereotip yang
merugikan perempuan. Jurnal ini menggunakan metode pengumpulan data library research dari
berbagai sumber literatur yang kredibel. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan
perempuan mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam banyak hal, seperti dalam pekerjaan,
rumah tangga, hak politik, dan masih banyak lagi. Perempuan seakan-akan makhluk nomor
dua dalam kasta masyarakat, di bawah laki-laki. Hasil penelitian dalam berbagai jurnal
mendeskripsikan betapa menderitanya perempuan yang dibatasi geraknya oleh masyarakat
secara sadar maupun tidak sadar. Bisa secara tidak sadar karena budaya patriarki yang sudah
berkembang lama menjadikan banyak hal terlihat biasa saja oleh masyarakat padahal itu
merupakan hal yang salah. Melihat data yang ada menunjukkan budaya patriarki seharusnya
dihilangkan dari masyarakat, karena dalam masyarakat yang adil tidak ada pihak yang
mendapatkan perlakuan berbeda, karena semua setara tanpa melihat gender, suku, ras, atau
agama.
Kata kunci: Budaya patriarki, Stereotip perempuan, Diskriminasi terhadap perempuan

Pendahuluan
Stereotip terhadap perempuan yang muncul dalam masyarakat disebabkan oleh budaya
yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri, yaitu budaya patriarki. Budaya patriarki
sudah berkembang begitu lama sehingga sebagian besar masyarakat menganggap wajar
berbagai hal yang sebenarnya apabila dilihat ulang menimbulkan kerugian kepada pihak
tertentu, misalnya perempuan. Dalam hal gender, laki-laki dipandang sebagai individu yang
kuat, ditakdirkan sebagai pemimpin, dan berada di atas perempuan dalam berbagai bidang
kehidupan. Sebaliknya, perempuan dipandang sebagai individu yang lemah dan harus tunduk
kepada laki-laki. Hal seperti itu dapat dilihat dalam berbagai bidang, misalnya karir, politik,
pendidikan, bahkan dalam keluarga. Perempuan selalu berada dibawah laki-laki dan dinomor
duakan. Oleh karena itu, berkembangnya budaya patriarki dipandang sangat merugikan
perempuan dan sangat menguntungkan laki-laki. Yang mana seharusnya dalam masyarakat
tidak boleh ada pihak yang dirugikan atas pihak lain.
Bourdieu (2010) mengatakan hegemoni laki-laki terjadi karena perbedaan biologis yakni
maskulin dan feminine. Kejantanan pada organ seksual laki-laki dianggap titik kehormatan
yang digunakan sebagai alat konservasi dan juga peningkatan kehormatan. Laki-laki dianggap
sebagai kunco sedangkan perempuan sebagai gembok, apabila kunci digunakan untuk
membuka banyak gembok maka akan dianggap kunci yang luar biasa, sedangkan apabila
gembok dibuka dengan berbagai kunci maka dianggap gembok telah rusak. Hal ini
dikonstruksi pada masyarakat, bagaimana laki-laki adalah lazim apabila mendominasi dan
perempuan harus ada untuk mendampingi laki-laki.
Laki-laki dan perempuan memang merupakan makhluk yang berbeda, keduanya tidak
dapat disamakan dan keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun
dalam konteks budaya peran keduanya memiliki kesetaraan, baik hak ataupun kewajiban.
Budaya patriarki menempatkan laki-laki diatas perempuan yang menjadikan tidak adanya
kesetaraan. Perempuan dianggap makhluk lemah yang membutuhkan laki-laki sedangkan laki-
laki dianggap makhluk yang lebih kuat dapat melakukan apapun sendirian tanpa
memperhatikan perempuan.
Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan
menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi. Ketidaksetaraan antara peran
laki-laki dan perempuan ini menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan
individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Dengan adanya patriarki
munculah stereotip bahwa perempuan merupakan individu yang lemah.
Perempuan masih dianggap sebagai kelompok paling rentan dalam masyarakat,
walaupun mulai banyak perempuan yang berhasil membuktikan bahwa itu tidak benar.
Kenyataan yang ada di masyarakat Indonesia masih banyak perempuan yang mendapat
stigmasisasi, diskriminasi, persekusi, dan berbagai tindakan kekerasan lainnya. Dalam sebuah
forum berteme “Perempuan Melawan _______” yang diadakan oleh Opini.id, banyak isu yang
terangkat, seperti stereotip yang dimiliki perempuan dalam ranah professional hingga isu
kekerasan seksual yang kerap dialami perempuan. Menurut dr. Sophia, Kondisi tersebut di-
sebabkan lingkungan yang patriarkal, yang menjadikan perempuan sebagai objek, misalnya
kerap kali perempuan dijadikan lelucon seksis oleh sebagian besar laki-laki. Menurut catatan
tahunan Komnas Perempuan pada tahun 2015, setidaknya tiap dua jam sekali ada perempuan
di Indonesia mengalami kekerasan seksual.
Penelitian Moss-Racusin mengindikasikan bahwa para profesor atau atasan perempuan
lebih cenderung memperlihatkan bias gender terhadap mahasiswi dibandingkan terhadap
mahasiswa. Ia mengatakan bahwa hal ini disebabkan stereotip gender yang menekankan
bahwa sains itu bidang yang maskulin dan ilmuwan perempuan kurang kompeten. Mengutip
studi yang lain, Toni Schmader, ketua riset psikologi sosial di Universitas British Columbia di
Vancouver, Kanada, mengatakan bahwa “para mahasiswa/mahasiswa yang lebih banyak
mendapat dosen laki-laki untuk kuliah matematika dan sains cenderung memiliki bias kuat
bahwa matematika identik dengan laki-laki selama satu tahun pertama di universitas.”
Hasil dari sebuah penelitian pada masyarakat daerah papua mengungkapkan bahwa
perempuan dianggap makhluk kedua yang harus mengalah dan patuh pada suami. Bentuk
ketidakadilan yang diterima perempuan terjadi dalam banyak bidang, diantaranya pendidikan
dan pekerjaan. Perempuan dianggap sebagai milik suami sehingga suami berhak melakukan
apapun terhadap istri. Dalam penelitian lain menunjukkan akibat adanya budaya patriarki,
perempuan mendapatkan beberapa stereotip, yaitu: perempuan merupakan makhluk lemah,
perempuan mendapat diskriminasi haknya dalam hal pendidikan, Perempuan dikebiri dari
kehidupan politik, perempuan kerap kali dijodohkan, kecantikan perempuan dijadikan objek
seksuall dan kekuasaan laki-laki.
Ketertinggalan kaum perempuan masih menjadi permasalahan belum dapat teratasi
dengan baik. Jumlah penduduk perempuan  adalah 118.010.413 orang data tahun 2010.
Pembangunan Indonesia yang lambat selama hampir 70 tahun dikarenakan  kaum perempuan
kurang berperan atau tidak diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan, baik
nasional maupun intenasional. Persoalan ini dapat merugikan perempuan serta pembangunan
dalam berbagai sektor. Dalam melaksanakan program pembangunan, dibutuhkan
perempuan yang mempunyai kualitas hidup yang optimal, sehingga perempuan akan dapat
bekerjasama dengan baik sebagai mitra sejajar laki-laki dalam pembangunan.
Pergeseran nilai-nilai di masyarakat mengenai perempuan bekerja memang dicatat
mengalami kemajuan yang terus meningkat dari dekade sebelumnya. Tingkat Partisipasi
Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 1980 sebesar 32,43%, tahun 1990 sebesar
38,79%, dan pada tahun 2014 TPAK perempuan sudah menjadi 50,22%. Angka ini terus melaju
pesat setiap tahunnya dan dinilai sebagai kemajuan pembangunan. Ini menjadi laporan
peningkatan kualitas hidup kaum perempuan. Angka ini menjadi faktor penting dalam
berbagai hal untuk mencapai tujuan kesejahteraan kaum perempuan pada khususnya dan
masyarakat secara luas pada umumnya. Ada beberapa hal yang mendasari perkembangan
kemajuan perempuan seperti yang disebutkan Abdullah (2001:104), yaitu pergeseran dalam diri
perempuan sendiri dan pergeseran nilai, norma yang menyangkut perubahan peran
kelembagaan. Abdullah menegaskan pula bahwa perubahan ini merupakan tanda dukungan
kelembagaan yang memberikan jaminan bagi keterlibatan perempuan

Pembahasan
Definisi
a. Budaya Patriarki
Kata patriarki mengacu pada system budaya dalam arti sistem kehidupan diatur oleh
sistem “kebapakan”. Patriarki atau “Patriarkat” merujuk pada susunan masyarakat menurut
garis Bapak. Ini adalah istilah yang menunjukkan ciri-ciri tertentu pada keluarga atau
kumpulan keluarga manusia, yang diatur, dipimpin, dan diperintah oleh kaum bapak atau laki-
laki tertua. Artinya, hukum keturunan dalam patirarkat menurut garis bapak. Nama, harta
milik, dan kekuasaan kepala keluarga (bapak) diwariskan kepada anak laki-laki (Ensiklopedia
Indonesia 1984). Kini istilah itu secara umum digunakan untuk menyebut “kekuasaan laki-
laki”. Khususnya hubungan kekuasaan antara laki-laki terhadap perempuan yang di dalamnya
berlangsung dominasi laki-laki atas perempuan yang diwujudkan melalui bermacam-macam
cara dan media (Bhasin, 1996).
Murniati mendefinisikan patriarki sebagai suatu sistem laki yang berkuasa
untuk menentukan segala sesuatu yang akan dilakukan atau tidak dilakukan (2004:
8). Sistem ini dianggap wajar sebab pembenarannya disejajarkan dengan
pembagian kerja berdasarkan seks atau jenis kelamin dan bukan berdasarkan gender. Di
samping itu, Murniti juga mengungkapkan, ada yang meyakini bahwa kekuasaan yang
mengkontrol dan mendominasi pihak lain (2004:171). Pihak lain in menurut yang
meyakini definisi tersebut adalah kelompok miskin, lemah, rendah, tidak berdaya, juga
lingkungan hidup dan perempuan. Dalam budaya patriarki, negara yang menganut budaya
tersebut disebut patriarkis.
Menurut Ollenburger (1996:39) dalam budaya patriarki Peran perempuan (woman role)
dalam dunia politik kemudian diterima sebagai ketentuan sosial, bahkan oleh masyarakat
diyakini sebagai kodrat. Ketimpangan sosial yang bersumber dari perbedaan gender, sosial
budaya, dan kodrat.
Jadi, budaya patriarki merupakan sebuah budaya yang berkembang di masyarakat,
yang menjadikan laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Budaya patriarki sudah
berkembang lama di Indonesia, oleh karena ini budaya ini dianggap wajar dan seakan-akan
secara alamiah memang seperti itu.
b. Stereotip Perempuan
Stereotip secara umum adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok
tertentu (Fakih, 2003: 16). Gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan
yang dikontruksi secara sosial, yakni perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ketentuan
Tuhan melainkan diciptakan oleh manusia melalui proses sosial dan kultural yag panjang
(Fakih, 2003: 72). Sementara itu, stereotip gender yang terjadi dalam masyarakat, merupakan
diskriminasi yag terjadi pada perempuan yang berakibat, membatasi, menyulitkan,
memiskinkan, dan merugikan perempuan. Diskriminasi ini yaitu keyakinan masyarakat bahwa
laki-laki adalah pencari nafkah dan pekerjaan yang dilakukan perempuan dinilai hanya sebagai
tambahan dan oleh karenanya boleh saja dibayar lebih rendah (Fakih, 2012: 74).
Jadi, stereotip perempuan merupakan pelabelan yang diberikan oleh masyarakat
kepada gender perempuan yang berakibat perempuan mendapatkan perlakuan berbeda dari
laki-laki. Perempuan diberikan stereotip berupa jenis manusia yang lemah fisik maupun
intelektual sehingga tidak layak untuk menjadi pemimpin. Perempuan dinilai banyak
mempunyai keterbatasan dibandingkan laki-laki dengan segala keleluasaannya.

Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Stereotip Perempuan


Budaya patriarki yang sudah berkembang sejak lama, terutama di Indonesia. Sebuah
budaya yang menjadikan laki-laki lebih banyak diuntungkan dibanding perempuan, sebaliknya
perempuan merasa mendapat kerugian dari budaya tersebut. Kerugian itu berupa munculnya
stereotip di masyarakat terhadap perempuan. Stereotip tersebut menjadikan perempuan
merasa terdiskriminasi dalam masyarakat. Perlakuan diskriminasi tersebut berupa membatasi,
menyulitkan, dan segala hal yang dapat merugikan perempuan dalam bermasyarakat.
Perlakuan diskriminasi ini terjadi dalam berbagai hal, seperti karir atau perkejaan, politik,
sosial, atau bahkan dalam keluarga. Budaya patriarki menjadikan perempuan hidup dalam
kehidupan sosial yang didominasi oleh peran laki-laki, hal tersebut sering kali tidak disadari
bahkan oleh perempuan, karena nilai masyarakat yang berupa budaya patriarki sudah
berlangsung lama sehingga dianggap sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan lagi
Stereotip awal yang berkembang di masyarakat terhadap perempuan berupa anggapan
bahwa perempuan adalah makhluk lemah, lebih lemah apabila dibandingkan dengan laki-laki.
Dari hal itu saja, misalnya dalam pekerjaan perempuan selalu mendapat perlakuan yang
berbeda dibandingkan dengan laki-laki, selain itu perempuan sangat jarang yang menempati
posisi penting, karena laki-laki dipandang lebih layak menempati posisi tersebut, dan juga
memang anggapan masyarakat bahwa makhluk yang lemah tidak cocok menempati posisi
teratas karena kepemimpinan lebih disematkan kepada kaum laki-laki.
Stereotip yang melekat pada perempuan yang lain adalah perempuan itu penakut,
mudah menangis, lemah, sensiftif, tidak berprestasi, emosional, dan mengalah. Stereotip yang
dimiliki oleh masyarakat terhadap perempuan, membuat masyarakat menyingkirkan
perempuan dari peran yang memiliki ruang lingkup luas, oleh karena itu perempuan dianggap
lebih baik mengurusi urusan domestik saja, segala hal tentang rumah dan sebagai ibu rumah
tangga. Dengan begitu banyak perempuan yang tidak memiliki kesempatan yang sama dalam
berkontribusi kepada masyarakat dibanding laki-laki.
Menurut teori yang dikembangkan Walby, terdapat dua jenis patriarki, yaitu patriarki
privat dan patriarki public. Patriarki privat mempunyai ruang lingkup dalam wilayah rumah
tangga. Rumah tangga dikatakan sebagai daerah awal utama kekuasaan laki-laki atas
perempuan. Sedangkan patriarki publik mempunyai ruang lingkup lebih luas seperti lapangan
pekerjaan dan negara. Dalam wilayah privat, laki-laki sebagai pemegang kekuasaan. Begitu
juga di wilayah publik, pemegang kekuasaan didominasi oleh laki-laki. Maka tidak heran
budaya patriarki sangat kental dalam masyarakat.
Rumah sebagai awal kontruksi sosial patriarki terbentuk. Dalam keluarga, anak laki-laki
diajarkan untuk menjadi maskulin sedangkan anak perempuan menjadi feminin. Para orang
tua akan cemas apabila anak mereka tidak bertingkah laku sesuai kontruksi sosial yang
menetapkan bagaimana anak laki-laki atau perempuan bertingkah laku. Ketika menjalani
pendidikan dasar, tanpa disadari anak-anak diajari budaya patriarki. Mereka sejak dini
mengkotak-kotakkan fungsi laki-laki dan perempuan sesuai nilai-nilai kepantasan tertentu
yang berlaku di masyarakat. Misalnya, apa yang pekerjaan untuk laki-laki dan apa pekerjaan
yang cocok untuk perempuan.
Dalam keluarga, perempuan mendapat stereotip hanya cocok melakukan pekerjaan
domestik. Pekerjaan rumah yang berkaitan dengan dapur, bersih-bersih, dan lain-lain.
Perempuan pun masih mendapat perlakuan yang tidak adil dari laki-laki dalam sebuah
keluarga, misalnya saat pengambilan keputusan berkaitan dengan keluarga mereka. Laki-laki
yang merasa sebagai pemimpin atau orang terkuat di keluarga tersebut merasa bahwa
pendapat perempuan tidak lah penting. Oleh karena itu, keputusan di ambil berdasarkan
pemikiran laki-laki saja. Dalam keluarga saja, perempuan mendapat perlakuan tidak adil.
Belum lagi maraknya KDRT, kontruksi sosial budaya patriarki menyebabkan
perempuan harus mengikuti keinginan laki-laki sebagai suami meskipun itu untuk hal buruk.
Karena laki-laki merasa kuat dan perempuan merasa lemah kerap sekali terjadi kekerasan
dalam keluarga karena perempuan tidak menuruti laki-laki. Perempuan sebagai korban,
banyak yang tidak melaporkan kepada pihak berwajib dengan berbagai alasan. Biasanya
karena takut terhadap laki-laki atau ada ketergantungan secara finansial karena sebelumnya
laki-laki lah yang menjadi pencari nafkah utama bagi keluarga tersebut. Parahnya, ada
beberapa kasus KDRT di Indonesia malah ikut menyalahkan perempuan padahaal mereka
sebagai korban kekerasan.
Dalam masyarakat patriarki yang memposisikan laki-laki memiliki keleluasaan untuk
melakukan apapaun terhadap perempuan. Menjadikan laki-laki merasa perempuan merupakan
objek kesenangan bagi mereka. Misalnya, kekerasan seksual baik secara fisik maupun verbal.
Dianggap biasa apabila menjumpai laki-laki yang bersiul ketika perempuan lewat didepan
mereka. Bahkan perempuan yang menjadi korban disini dapat disalahkan, entah itu berkaitan
dengan cara berpakaian, cara berjalan, atau pembenaran lain yang tidak menempatkan laki-laki
sebagai korban. Padahal baik laki-laki ataupun perempuan tidak boleh dibedakan, mereka
harus menjaga tingkah laku supaya tidak mengundang perhatian dari lawan jenis yang dapat
membahayakan diri mereka.
Dalam dunia kerja, lapangan pekerjaan masih didominasi oleh laki-laki. Itu pun
perempuan hanya bekerja pada bidang tertentu yang didalamnya biasanya kebanyakan diisi
oleh perempuan juga. Setelah mendapat pekerjaan, perempuan masih saja mendapat perlakuan
diskriminasi akibat budaya patriarki dan stereotip yang melekat pada mereka. Seperti
kekerasan yang terjadi di lingkungan kerja. Dari data yang didapat Komnas Perempuan
diyakini sebenarnya masih banyak kekerasan yang dialami perempuan tetapi para korban
memilih diam, Karen malu, takut, menganggap sebagai aib, atau bahkan menganggap
perlakuan tersebut pantas mereka dapatkan dan merupakan kodrat dan takdirnya sebagai
perempuan. Padahal kekerasan merupakan kejahatan yang tidak dapat ditolerir, pelaku harus
ditindak tidak memandang gender dan korban harus dibela apapun gendernya.
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang
dilakukan, dimana perempuan bertanggungjawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan
laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah. Laki-laki yang bekerja sebagai pencari
nafkah dan menghasilkan uang untuk keluarga, dinilai menjadi penguasa di rumah dan
mempunyai status lebih tinggi di masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang bekerja
sebagai pekerja rumah tangga yang tidak menghasilkan uang. Ketidakadilan yang diterima
perempuan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untk pekerjaan yang terbatas
dan dengan upah rendah.
Dalam patriarki publik yang memiliki ruang lingkup sangat luas, hampir semua bidang
politik didominasi kaum laki-laki. Mereka tidak berperan di dalamnya. Seolah-olah ada
anggapan bahwa kehidupan politik bukan dunianya. Karena politik identic dengan pemimpin
suatu organisasi atau wilayah maka politik dianggap wilayah laki-laki dimana perempuan
tidak boleh ikut campur didalamnya atau setidaknya perempuan di batasi perannya dalam
berpolitik. Terlihat dari dominasi laki-laki pada posisi strategis pemerintah, yang sebenarnya
beberapa perempuan yang berhasil menduduki posisi-posisi tersebut menunjuukan prestasi
yang bagus, hal itu menunjukkan bahwa perempuan juga mampu diberi jabatan, kekuasaan,
dan wewenang yang selama ini hanya diberikan kepada laki-laki.
Menurut Bhasin (1996:5), ada beberapa bidang kehidupan perempuan yang dikontrol
oleh laki-laki dalam masyarakat patriarki. Bidang kehidupantersebut meliputi hal-hal sebagai
berikut.
1. Membatasi Daya Produktif atau Tenaga Kerja Perempuan
Selama ini berkembang anggapan seperti setinggi apapun perempuan menempuh
pendidikan akan menjadi ibu rumah tangga dan itu seperti menjadi keharusan dimana
perempuan tidak mempunyai pilihan meniti karir apapun, padahal perempuan mempunyai
kapasitas untuk itu. Kalaupun seorang perempuan memiliki karir atau pekerjaan, mereka
tidak benar-benar merdeka sebagai pekerja, karena tetap saja mendapatkan perlakuan
berbeda dengan pekerja laki-laki dalam hal gaji, waktu bekerja, atau gaji yang didapat.
2. Kontrol Atas Reproduksi Perempuan
Perempuan terkadang tidak memiliki kebebasan dalam hal reproduksi, semuanya
dikontrol oleh laki-laki (Bhasin, 1996: 6). Ditengah gencarnya program KB dari pemerintah,
masih banyak keluarga yang berencana memiliki lebih dari 2 anak. Perempuan sebagai
seseorang ibu yang melahirkan, terkadang hanya mengikuti keinginan suami yang masih
ingin menambah momongan. Padahal seharusnya perempuan juga memiliki pendapat
sendiri mengenai hal tersebut. Terlebih sebagai ibu, yang akan melahirkan dan merawat
anak yang lahir.
3. Kontrol Atas Seksualitas Perempuan
Perempuan diwajibkan untuk memberikan pelayanan seksual kepada laki-laki sesuai
kebutuhan laki-laki bukan perempuan (Bhasin, 1996:8). Masih banyak yang tidak mengerti
bahwa berhubungan badan harus atas persetujuan dua pihak, walaupun suddah menikah.
Baik laki-laki atau perempuan setuju untuk melakukan kegiatan seksual dan tidak ada
paksaan yang terjadi. Budaya patriarki menjadikan perempuan harus mengikuti hasrat
seksual laki-laki, tidak melihat keadaan atau kondisi perempuan yang perlu diperhatikan
juga. Apabila menolak, perempuan akan dianggap sebagai istri yang tidak taat kepada
suami, padahal dalam sebuah hubungan perlu adanya kesetaraan, dimana pendapat
keduanya perlu didengarkan.
4. Gerak Perempuan yang Dibatasi
Gerak-gerik perempuan memiliki batasan yang jelas dalam masyarakat patriarki
(Bhasin, 1996: 9-10). Banyak aturan, norma, atau nilai dalam masyarkat yang membatasi
perempuan. Misalnya perempuan dibatasi keluar rumah oleh orang tua atau pergaulan
perempuan biasanya mendapat pengawasan ekstra dari orang tua.
5. Harta Milik dan Sumber Daya Ekonomi Lainnya Dikuasai oleh Laki-Laki
Menurut Bhasin (1996:10), sebagian besar harta dan sumber daya produktif
dikendalikan oleh laki-laki kemudian diwariskan dari laki-laki ke laki-laki yang lainnya.
Dapat dilihat ketika warisan dibagi kepada keturunan orang yang sudah meninggal,
perempuan mendapat bagian yang lebih kecil daripada laki-laki, tidak hanya itu ketika
mendapat bagiaannya perempuan harus menyerahkan lagi kepada suaminya sebagai kepala
keluarga.
Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan gender disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu faktor akses, kontrol, partisipasi, dan benefit. Dari semua faktor
penyebab kesenjangan gender tersebut, perempuan mendapatkannya. Misalnya dalam
pendidikan, faktor akses yang terlihat nyata dalam proses penyusunan kurikulum dan proses
pembelajaran yang cenderung bias laki-laki, dimana proporsi laki-laki sangat dominan. Faktor
kontrol terhadap kebijakan juga didominasi laki-laki, dapat dilihat dari posisi strategis dalam
pengelola pendidikan dari tingkat rendah sampai pusat didominasi laki-laki. Faktor partisipasi
juga begitu, walaupun banyak faktor alasan perempuan lebih sedikit berpartisipasi dalam
pendidikan, tetapi karena perempuan dianggap lebih cocok bekerja dirumah membantu orang
tua, sedangkan laki-laki dianggap mempunyai kesempatan untuk sukses lebih besar daripada
perempuan maka seringkali anak perempuan lebih baik mengurus rumah sedangkan anak laki-
laki diberi pendidikan dengan harapan dapat mengubah nasib keluarga. Faktor benefit, banyak
posisi penentu kebijakan diisi oleh laki-laki, hal tersebut menujukkan perempuan
terpinggirkan.

Kesimpulan
Budaya patriarki merupakan nilai yang sudah berkembang di masyarakat sejak dulu,
bahkan masih banyak negara yang menerapkan budaya tersebut. Walaupun sudah mulai ada
bentuk perlawanan yang menentang karena banyak yang merasa budaya patriarki merugikan
satu pihak dan terlalu menguntungkan pihak satunya, bentuk perlawanan banyak yang berasal
dari pihak perempuan. Mereka menamakan kelompok mereka dengan feminimisme, mereka
menyuarakan kesetaraan gender, dimana laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama
dalam berbagai bidang kehidupan. Karena selama ini mereka menilai realita yang terjadi
adalah perempuan mendapat diskriminasi dari masyarakat baik yang disadari maupun tidak
disadari.
Salah satu efek yang muncul dari berkembangnya budaya patriarki adalah munculnya
stereotip perempuan yang dinilai lemah dan sensitif. Perempuan dianggap berada di bawah
laki-laki menjadikan perempuan seakan dihalang-halangi mempunyai peran yang bersifat
publik oleh masyarakat. Nilai yang berkembang di masyarakat menjadikan perempuan harus
bekerja sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, karena hal seperti itu sudah dianggap wajar oleh
masyarakat, perempuan juga membiarkan dan tidak ada usaha untuk mengubahnya, karena
kebanyakan perempuan sendiri juga merasa lemah, jadi percuma saja jika melawan laki-laki
untuk menghilangkan budaya patriarki.

Daftar Rujukan
Ramdhani, Hilal. (2018). Reorientasi Politik Gender dalam Sistem Masyarakat Patriarkis.
Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, 4(3) 621-628. Diakses dari
https://journal.unnes.ac.id › sju › index.php › snh › article
Retnowulandari, Wahyuni. (2010). Budaya Hukum Patriarki versus Feminis: Dalam Penegakan
Hukum Dipersidangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Hukum, 8(3) Januari
2010. Diakses dari http://portal.kopertis3.or.id/handle/123456789/714
Fakhirah, Rizka. Rochaeti, Nur. Dkk. (2016). Tinjauan Kriminologis Mengenai Kekerasan
Terhadap Perempuan Di Lingkungan Pekerjaan. Diponegoro Law Review, 5(2) 2016. Diakses
dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/view/11213
Darwin, Muhadjir. (1999). Maskulinitas: Posisi Laki-laki dalam Masyarakat Patriarki. Center for
Population and Policy Studies Gadjah Mada University. Diakses dari
https://cpps.ugm.ac.id/publication/maskulinitas-posisi-laki-laki-dalam-masyarakat
patriarkis/
Irma Sakina, A. Hasanah Siti, D. (2013). Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia. 118Share:
Social Work Jurnal, 7(1) 1-129. ISSN: 2339-0042 (p). ISSN: 2528-1577 (e). Diakses dari
http://jurnal.unpad.ac.id/share/article/view/13820
Yuliani, Sri. (2010). Tubuh Perempuan: Medan Kontestasi Kekuasaan Patriarkis di Indonesia.
Jurnal Sosiologi Dilema, 25, 2010. Diakses dari
https://eprints.uns.ac.id/818/1/Tubuh_Perempuan_MEDAN_KONTESTASI_KEKUASAAN
_PATRIARKIS.PDF
Kristina, Anita. (2010). Partisipasi Perempuan Dalam Perbaikan Perekonomian Keluarga dan
Masyarakat. Pamator, 3(1) 69-75. Diakses dari
https://journal.trunojoyo.ac.id/pamator/article/view/2404
Zamroni, Mohammad. (2013). Perempuan Dalam Kajian Komunikasi Politik dan Gender.
Jurnal Dakwah, 14(1), 103-132. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/77701-ID-perempuan-dalam-kajian-
komunikasi-politi.pdf
Ahdiah, Indah. (2013). Peran-Peran Perempuan Dalam Masyarakat. JURNAL ACADEMIA Fisip
Untad, 5(2), 1085-1092. Diakses dari
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2247
Nurcahyo, Abraham. (2016). Relevansi Budaya Patriarki Dengan Partisipasi Politik dan
Keterwakilan Perempuan di Parlemen. Jurnal Agastya, 6(1), 25-34. Diakses dari http://e-
journal.unipma.ac.id/index.php/JA/article/view/878
Muzaiyanah, Dewi Alwiyatul. (2016). Konstruksi Gender Dalam Masyarakat Beragama di
Papua. Retrieved from . (12540096)
Eka P, Fitria Zainubi. (2016). Budaya Patriarki Masyarakat Desa Bungkuk Dalam Pemilihan
Kepada Daerah Kabupaten Lampung Timur. Retrieved from . (1216021047)
Adji, Muhammad. Meilinawati, Lina. Banita, Baban. (2009). Perempuan Dalam Kuasa Patriarki.
Puspitasari, Aprilia Hening. Muktiyo, Widodo. (2017). Menggugat Stereotip “Perempuan
Sempurna”: Framing Media terhadap Perempuan Pelaku Tindak Kekerasan. PALESTReN,
10(2), 248-272. Diakses dari
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/2610
Saguni, Fatimah. (2014). Pemberian Stereotip Gender. MUSAWA, 6(2), 195-223. Diakses dari
https://media.neliti.com/media/publications/138333-ID-pemberian-stereotype-gender.pdf
Aminah, Siti. (2012). Gender, Politik, dan Patriarki Kapitalsime dalam Perspektif Sosialis. Jurnal
Politik Indonesia, 1(2), 53-57. Diakses dari
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/abstrak_5253142_tpjua.pdf
Kumparan.com. (2019, 25 April). Kisah Perempuan dalam Melawan Stigma dan Stereotip di ]
Masyarakat. https://kumparan.com/kumparanstyle/kisah-perempuan-dalam
melawanstigma-dan-stereotip-di-masyarakat-1qxNybkwX02
Yumnasa, Finnuri. (2017). Gambaran Perempuan dalam Dominasi Laki-laki pada Novel
Psycopat Diary. Airlangga University. Diakses dari http://repository.unair.ac.id/69240/
Susanto, Nanang Hasan. (2015). Tantangan Mewujudkan Kesetaraan Gender Dalam Budaya
Patriarki. MUWAZAH, 7(2), 120-130. Diakses dari http://e-
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/517
Wibowo, Dwi edi. (2011). Peran Ganda Perempuan Dan Kesetaraan Gender. MUZAWAH, 3(1),
357-364. Diakses dari http://e
journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/6
Khotimah, Khusnul. (2009). Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor
Pekerjaan. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 4(1), 158-180. Diakses dari
http://ejournal.iainpurwokerto.ac.id/index.php/yinyang/article/view/226

Anda mungkin juga menyukai