Anda di halaman 1dari 4

Digitalisasi Komunikasi Kunci Keberhasilan Kepemimpinan

Hafizhan Arhab Juswil (PC IMM BSKM)

Dunia berubah lebih cepat dari yang kita bayangkan. Dalam hitungan tahun, semua
menjadi begitu lebih dekat dan terbuka. Tiada lagi jarak tempuh dan waktu yang dijadikan
sebagai kambing hitam bagi penghambat dari terbukanya informasi. Dalam hitungan detik,
informasi dapat berpindah dan didapatkan dengan begitu mudahnya seolah membalikkan
telapak tangan. Seisi dunia seakan terhubung di dalam satu jaringan besar yang tak berbatas.
Semua kemudahan itu berawal dari revolusi industri 4.0 yang membuat semua manusia
merasakan dampak dan manfaatnya. Perangkat keras dengan ukuran volume yang berbeda-
beda berubah menjadi satu layar kaca yang dapat memberikan berjuta kemudahan. Era digital
berkat kemajuan teknologi benar-benar memukau sesiapapun yang hidup di dalamnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima, teknologi adalah
“keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yang diperlukan bagi kelangsungan
dan kenyamanan hidup manusia”. Pada hakikatnya teknologi hadir untuk membantu dan
memudahkan kehidupan manusia. Kehidupan manusia secara individu, dan masyarakat secara
kolektif, yang sebelumnya memerlukan usaha lebih dalam pelaksanannya, menjadi
terminimalisir berkat hadirnya teknologi. Secara singkat, kehadiran teknologi akan memangkas
materi dan usaha yang diperlukan manusia untuk mencapai suatu tujuan.

Fenomena yang terjadi pada era ini, teknologi tidak hanya menjadi sekedar alat, namun
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Lebih dalam lagi jika diamati,
lambat laun justru kehidupan manusia terpengaruh dan dipengaruhi oleh teknologi. Baik dari
teknologi sederhana sampai dengan teknologi paling mutakhir. Teknologi yang paling
sederhana seperti penggunaan alat-alat makan: sendok, garpu, piring hingga paling mutakhir
seperti ponsel pintar, hampir-hampir tidak dapat kita pisahkan dari kehidupan manusia dan
masyarakat. Semakin manusia memerlukan kemudahan dalam laku kehidupannya, teknologi
semakin dikembangkan sebagai jawaban dari tujuan yang hendak dicapai. Sampai di sini akan
didapatkan sebuah istilah baru sebagai kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi saat ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Berbagai
informasi yang terjadi di berbagai belahan dunia kini telah dapat langsung kita ketahui berkat
kemajuan teknologi (globalisasi). Kalau dahulu kita mengenal kata pepatah “dunia tak selebar
daun kelor”, sekarang pepatah itu selayaknya berganti menjadi dunia saat ini selebar daun
kelor, karena cepatnya akses informasi di berbagai belahan dunia membuat dunia ini seolah
semakin sempit dikarenakan kita dapat melihat apa yang terjadi di Amerika misalnya,
meskipun kita berada di Indonesia (Wahyudi dan Sukmasari, 2014).

Menurut Kupperschmidt (2000, dalam Putra, 2016) generasi adalah sekelompok orang
yang memiliki kesamaan tahun lahir, umur, lokasi, dan juga pengalaman historis atau kejadian-
kejadian dalam individu tersebut yang sama, yang kemudian memiliki pengaruh signifikan
dalam fase pertumbuhan mereka. Dapat dikatakan pula bahwa generasi adalah sekelompok
individu yang mengalami peristiwa-peristiwa yang sama dalam kurun waktu yang sama pula.
Generasi Z (mereka yang lahir 1995-2010) adalah penduduk asli era digital. Mereka yang lahir
dan besar di sebuah era keterbukaan. Mereka akrab dan menguasai kemajuan teknologi sejak
dari lahirnya. Bisa dikatakan juga bahwa generasi Z adalah pemilik era digital.

Sebagaimana perkataan sahabat Ali bin Abi Thalib r.a., “didiklah anakmu sesuai
dengan zamannya”, maka memperlakukan dan memengaruhi generasi Z yang akrab dengan
kehidupan digital tidak sesederhana mendidik generasi sebelumnya. Jika generasi sebelumnya
akrab dengan doktrin dan metode pendekatan yang bersifat represif, mendidik generasi Z harus
mengutamakan kesadaran dan pendekatan emosional yang lebih bersahabat. Khususnya
bagaimana mengarahkan dan memimpinkan mereka ke arah yang lebih baik. Tentu saja hal ini
berimbas kepada hal-hal dan norma-norma yang dianut oleh generasi Z yang berbeda dari
generasi sebelumnya. Kepemimpinan di era digital ini harus menempatkan generasi Z sebagai
sasaran utama karena mereka yang akan menjadi pelaku yang akan menghidupi suatu
masyarakat. Jika kepemimpinan terhadap generasi Z sebagai penduduk mayoritas era digital
gagal, maka sudah bisa ditebak bahwa episode kehidupan berikutnya akan jauh dari ekspektasi.

Perbedaan karakteristik yang paling signifikan antar generasi adalah penguasaan


informasi dan teknologi. Bagi generasi Z, informasi dan teknologi adalah hal yang sudah
menjadi bagian dari kehidupan mereka karena mereka lahir dimana akses terhadap internet
sudah menjadi budaya global, sehingga berpengaruh terhadap nilai dan pandangan tujuan hidup
mereka. Pada tahun ini, rata-rata di dunia pendidikan, generasi yang paling banyak jumlahnya
sedang menempuh jenjang perkuliahan adalah generasi milenial. Dimana generasi milenial
biasanya menyukai sesuatu yang out of the box, sangat suka tantangan dan penghargaan.
Mereka cenderung overconfidence, berani mengungkapkan pendapat, baik langsung ataupun
lewat media sosial.

Menurut Burns (1979), kepemimpinan adalah membujuk pengikut untuk mencapai


tujuan bersama. Tujuan ini merefleksikan nilai-nilai, motivasi, keinginan, kebutuhan, aspirasi
yang diharapkan oleh pemimpin dan pengikut. Hal ini mengisyaratkan bahwa pemimpin perlu
mengerahkan segala cara untuk dapat memengaruhi dan mengimplementasikan tujuannya yang
dianggap sebagai tujuan bersama. Kegagalan seorang pemimpin untuk bisa mengubah sikap-
sikap orang yang dipimpinnya, semakin menguatkan kegagalan suatu masyarakat kepada
kemajuan. Hal ini jika dikorelasikan kepada generasi Z sebagai penguasa era digital akan
membawa dampak buruk yang lebih signifikan.

Problematika yang terjadi hari ini adalah, para pemimpin gagal dalam menarasikan
gagasan dan ide-ide kepemimpinannya untuk memengaruhi masyarakat di era digital seperti
sekarang ini. Hadirnya istilah buzzer dan hoax menjadi bukti bahwa kepemimpinan yang luhur
kalah oleh nafsu segelintir golongan yang tidak bertanggung jawab. Untuk menyelesaikan
persoalan ini diperlukan jawaban dari pertanyaan mengapa kepemimpinan di era digital,
khususnya pemerintah, belum berhasil untuk mengendalikan segenap warga bangsa dari efek
negatif digitalisasi?

Perlu kita sadari bahwa generasi Z cenderung menciptakan lingkungan kuliah, kerja,
dan percakapan sehari-hari yang tidak terlalu formal. Hal ini menunjukkan bahwa generasi Z
lebih menyukai semua bentuk komunikasi yang lebih bersahabat dan nada bicara yang lebih
akrab. Maka menjadi amat penting untuk memahami karakteristik komunikasi generasi Z
dalam kesehariannya. Dalam menginternalisasikan nilai-nilai moral dan karakter ada 4
pendekatan yang dapat digunakan, yaitu pendekatan penanaman moral, pendekatan transmisi
nilai bebas, pendekatan teladan, dan pendekatan klarifikasi nilai (Kirschenbaum et al, 2007).

Maka solusi yang dapat ditawarkan untuk berusaha mengurai persoalan kepemimpinan
yang ideal di era digital ini adalah, memperbaiki pola komunikasi kepemimpinan yang selama
ini telah eksis dan menjadi pedoman segenap pemimpin yang berada pada tatanan masyarakat
kita. Jika generasi Z menggandrungi pola komunikasi non-formal, maka alangkah baiknya jika
pemimpin yang diera saat ini berusaha melakukan pendekatan tersebut dengan cara yang tetap
anggun dan menunjukkan kharismanya sebagai seorang pemimpin.

Selain itu pula, kepekaan dan kepedulian seorang pemimpin di era digital sekarang ini
sangat diperlukan demi tercapainya kepemimpinan yang ideal. Menyesuaikan dengan
perkembangan zaman memang menjanjikan, tapi diawal tentu akan sangat melelahkan. Karena
adaptasi membutuhkan jangka waktu yang memerlukan pengorbanan. Menarik dan
memenangkan hati generasi Z adalah kunci kepemimpinan yang ideal di serba digital seperti
sekarang ini.
Referensi

Burns, R. B. (1979). The self-concept: Theory, measurement, development and behavior.


London and New York: Longman.

Kupperschmidt, BR. (2000). Multigeneration Employees: Strategies for Effective


Management. Europe PMC. DOI: 10.1097/00126450-200019010-00011.

Putra, Y. S. (2016). Theoritical Review: Teori Perbedaan Generasi. Among Makarti. Salatiga.

Kirschenbaum, H. (2007). The life and work of Carl Rogers. American Counseling
Association; PCCS Books.
Wahyudi, Hendro Setyo & Sukmasari, Mita Puspita. 2014. Teknologi dan Kehidupan
Masyarakat. Universitas Negeri Sebelas Maret. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai