DAN PERKEMBANGANNYA
Posted on 30/03/2009 by mazguru
I. PENDAHULUAN
Madrasah merupakan ciri khas dalam pendidikan dunia Islam. Banyak orang
yang memandang sebelah mata apabila dikenalkan nama pendidikan Islam. Menurut
sebagian orang, pendidikan Islam kalah kualitas dibandingkan pendidikan umum.
Benarkah ?
Tentunya, mereka yang berpandangan demikian karena belum pernah
membaca sejarah Islam secara utuh. Pada pertengahan abad kedelapan Masehi atau
abad kedua Hijriyah, merupakan masa-masa keemasan Islam (The Golden Ages of
Islam). Kondisi ini berlangsung pada masa kekhalifahan Islam di bawah kekuasaan
Dinasti Abbasiyah (133-656 H/750-1258 M). Saat itu, dua per tiga bagian dunia
dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Selain itu, tradisi keilmuan berkembang pesat.
Berbagai sumber menyebutkan, masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, terjadi pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid. Dia
adalah khalifah Dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada 786 M hingga 809 M.
Salah satu puncak pencapaian yang membuat nama Khalifah Harun al-Rasyid
melegenda adalah perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada masa
kepemimpinannya, terjadi penerjemahan sejumlah karya dari berbagai bahasa. Inilah
yang menjadi titik awal kemajuan yang dicapai Islam. Menggenggam dunia dengan
ilmu pengetahuan dan peradaban. Pada era itu pula, beragam disiplin ilmu pengetahuan
dan peradaban mulai berkembang. Perkembangan tersebut berkat dorongan pemerintah
saat itu yang menyediakan berbagai fasilitas dan memberikan kebebasan intelektual
para siswanya.
Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu dilakukan dengan beberapa
cara. Pertama, dilakukan penerjemahan buku-buku Yunani, Persia, Suriah, dan India ke
dalam bahasa Arab. Ribuan buku yang diambil dari perpustakaan-perpustakaan lama,
dibawa ke Irak (pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah–Red) untuk diterjemahkan dan
sejumlah perpustakaan baru didirikan. Gerakan penerjemahan ini berlangsung dari
tahun 750-850 M.
Kedua, karya-karya yang diterjemahkan itu kemudian diberi komentar oleh
para sarjana Islam. Teori-teori yang ada diberi penjelasan dan disesuaikan dengan
ajaran Islam. Melalui renungan, pengamatan, penelitian, dan eksperimen (percobaan),
para tokoh Muslim dapat melahirkan teori-teori dan konsep-konsep baru. Dari kegiatan
ini, mereka menghasilkan ribuan karya tulis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Ketiga, didirikan lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai
tingkat tinggi, seperti Baitul Hikmah (perpustakaan raksasa sekaligus pusat kajian ilmu
pengetahuan dan peradaban terbesar pada masa itu), Majelis al-Manazarah, dan
Madrasah Nizhamiyah. Selain itu, masjid-masjid, istana, dan rumah para sarjana
difungsikan sebagai tempat belajar.[1]
Pada tulisan ini kami menghususkan membahas mengenai sejarah dan
perkembangan Madrasah Nizamiyah, asal usul pendirinya serta berbagai
keunggulannya.
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Pendiri Madrasah Nizamiyah, Nizam Al-Mulk
Nizam al-Mulk (Radkan, Tus, 10 April 1018 – Sihna, 14 Oktober 1092)
adalah seorang perdana menteri Dinasti Salajikah (Seljuk) pada masa pemerintahan
Sultan Alp Arslan dan Sultan Maliksyah. Nama aslinya Abu Ali al-Hasan bin Ali bin
Ishaq at-Tusi. Dia pernah ke Nisabur dan menuntut ilmu pada ulama’ Mazhab Syafi’i,
Hibatullah al-Muwaffaq. Ayahnya adalah seorang pegawai pemerintahan Gaznawi di
Tus, Khurasan. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah,
ayahnya dengan membawa Nizam al-Mulk lari ke Khusrawijrd dan seterusnya ke
Gazna. Di Gazna, Nizam al-Mulk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud
Gaznawi.
Namun tiga atau empat tahun kemudian ia meninggalkan Gazna dan menuju
ke daerah kekuasaan Salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai
Salajikah (tahun 432 H/1040-1041 M), kemudian pindah ke Marw. Kariernya
meningkat dengan cepat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Arp Arslan dengan perdana
menterinya Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika perdana menteri ini meninggal dunia,
Nizam al-Mulk ditunjuk oleh Sultan sebagai perdana menterinya.
Dalam jabatannya sebagai perdana menteri ini ia menunjukkan kecakapannya
sebagai negarawan yang terpercaya. Untuk memelihara stabilitas negara ia
menasihatkan Sultan agar memberi lapangan pekerjaan kepada pengungsi-pengungsi
Turki yang datang ke Persia (Iran) akibat kemenangan Dinasti Salajikah, dan
meningkatkan kekuatan tempur angkatan bersenjata Salajikah serta gerak cepatnya
untuk menumpas pemberontakan, tetapi pemberontak yang menyerah harus diampuni.
Kemudian dinasti juga harus mempertahankan penguasa-penguasa lokal, baik Syiah
maupun Sunni, dan menunjuk keluarga Bani Seljuk sebagai gubernur-gubernur. Nizam
al-Mulk juga bertindak menghindari perebutan kekuasaan setelah meninggalnya sultan,
dengan cara mengumumkan dan menunjuk Maliksyah sebagai putra mahkota yang akan
menggantikan sultan. Hubungan dengan Khilafah Abbasyiah sebagai penguasa tertinggi
dunia Islam ketika itu juga dijalin dengan baik oleh Nizam al-Mulk sehingga ia
mendapat penghargaan dari Khalifah al-Qa’im dari Abbasyiah berupa gelar Qiwam ad-
Din (Pendukung Agama) dan Radi Amir al-Mu’minin (yang meridhai dan pemimpin
orang-orang beriman).
Nizam al-Mulk tetap menjadi perdana menteri Dinasti Salajikah, bahkan
setelah Alp Arslan terbunuh pada tahun 165 H/1072 M dan digantikan oleh Maliksyah.
Perannya pada masa Sultan Maliksyah bertambah besar dibanding sebelumnya. Ia
dipercaya oleh Sultan Maliksyah, yang ketika naik tahta berumur 18 tahun, untuk
mengatur pemerintahan dan menjalankan keputusan politik. Oleh Sultan ia diberi gelar
Ata Beq, artinya amir yang dianggap ayah. Ia tetap menjalankan politik kerjasama dan
taat kepada Khalifah Abbasyiah, diantaranya dengan mengawinkan sorang putrinya
kepada Khalifah Abbasyiah, ketika itu al-Muqtadi bin Amr Allah.
Nizam al-Mulk juga dikenal sebagai perdana menteri yang berpaham
Asy’ariyah dan mengusahakan penyebarannya melalui madrasah-madrasah di beberapa
kota dalam wilayah Salajikah. Madrasah terkenal yang didirikannya adalah Madrasah
Nizamiyah di Baghdad, yang diresmikan pada tahun 459 H/1067 M. menurut Philip K.
Hitti, Madrasah Nizamiyah merupakan contoh awal dari perguruan tinggi yang
menyediakan sarana belajar yang memadai bagi para penuntut ilmu. Diantara ulama’
yang mengajar di Madrasah Nizamiyah adalah Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, Syekh
Abu Nasr bin as-Sabbagh dan Syekh Abu Mansur bin Yusuf bin Abdul Malik. Cabang-
cabang Nizamiyah kemudian juga didirikan di hampir kota di Irak dan Khurasan.
Usaha Nizam al-Mulk mendirikan madrasah dan lembaga keagamaan lainnya
mendapat dukungan dari ulama’-ulama’ yang bermazhab Syafi’i dan dalam teologi
beraliran Asy’ariyah. Para ulama tersebut bergembira dengan naiknya Nizam al-Mulk
dan kebijaksanaannya mengembalikan nama baik ulam-ulama Asy’ariyah yang dikutuk
oleh Perdana Menteri al-Kunduri pada masa Sultan Tugril Beq. Pada masa al-Kunduri
aliran Asy’ariyah bersama dengan Rafidah dikutuk melalui mimbar-mimbar masjid,
sehingga banyak ulama’ yang melarikan diri, seperti Imam al-Haramain Abu Ma’ali al-
Juwaini dan al-Qusyairi. Ulama-ulama baru mau kembali ke negeri mereka setelah
Nizam al-Mulk menjadi perdana menteri dan melarang pengutukan Asy’ariyah di
mimbar-mimbar masjid.
Disebutkan dalam al-Kamil fi at-Tarikh (Sejarah Lengkap) bahwa Nizam al-
Mulk adalah seorang alim, agamawan, dermawan, adil, penyantun, suka memaafkan
orang yang bersalah, banyak diam, majelisnya ramai didatangi para qari, faqih, ulama
dan orang-orang yang suka kebaikan dan kebajikan. Ia juga dikatakan menyampaikan
hadits di Baghdad, Khurasan dan kota lainnya dengan alasan ikut berpartisipasi
menyebarkan hadits Nabi SAW, sekalipun ia mengakui bahwa ia bukan ahli hadits.
Dikatakan pula ia senang menjamu dan menghibur orang-orang fakir miskin. Pada
tahun 479 H (1086-1087 M) ia menghapuskan khumus (pajak yang tidak dikenai sanksi
syariat), dan meningkatkan sarana dan prasarana bagi mereka yang menunaikan ibadah
haji. Setelah Hedzjaz kembali kepada kekuasaan Abbasyiah dari kekuasaan Fatimiyah
pada tahun 468 H/1076 M, ia mengamankan jalur perjalanan haji dari Irak ke Tanah
Suci dengan memberantas perampok-perampok yang mengancam jama’ah haji. Selain
itu, ia memprakarsai perluasan Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di
Madinah, serta pendirian tempat-tempat khusus bagi para abid, zahid dan faqih, serta
pendirian rumah sakit di Nisabur.
Setahun sebelum meninggal, pada tahun 484 H/1091 M ia menulis kitab
Siyaset-Name (buku mengenai politik) tentang siasat pemerintahan, berisi 50 bab
nasihat yang digambarkan melalui anekdot-anekdot sejarah. Pada tahun berikutnya, ia
menambah 11 bab tentang bahaya yang mengancam negara utamanya dari kaum
Qaramithah Ismailiyah. Ia mengingatkan bahaya yang mengancam keutuhan Salajikah
yang datang dari kaum Qaramithah yang pada tahun 483 H (1090-1091 M) menyerbu
kota Basra, dan bermarkas di benteng yang kokoh di Alamut. Kaum ini mempunyai
pasukan pembunuh yang disebut Hasyasyin dan dipimpin oleh Hasan bin Sabbah, yang
bertujuan menghidupkan Fatimiah. Seorang pasukan Hasan bin Sabbah, yang
menyamar sebagai sufi, berhasil membunuh Nizam al-Mulk di Sihna, Nahawand, ketika
ia dalam perjalanan dari Isfahan ke Baghdad. Nizam al-Mulk terbunuh pada tanggal 10
Ramadhan 485 H/14 Oktober 1092.[2]
B. Sejarah Madrasah Nizamiyah
Sebelum berdirinya Madrasah Nizamiyah di Baghdad, paling tidak ada empat
madrasah besar di Nishapur, yaitu Madrasah Baihaqiyyah, Madrasah As Sa’diyyah
yang dibangun oleh Amir Nasr bin Subuktakin, Madrasah Abu Sa’ad al-Astarabadi dan
Madrasah yang didirikan untuk Abu Ishaq al-Isfarayini. [3]
Madrasah Nizamiyah adalah sebuah lembaga pendidikan yang didirikan pada
tahun 1065-1067 oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nizamiyah ini pada mulanya hanya
ada di kota Baghdad, ibu kota dan pusat pemerintahan Islam pada waktu itu. Madrasah
Nizamiyah ini didirikan dekat pinggir sungai Dijlah, di tengah-tengah pasar selasah di
Baghdad. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M) dan selesai dibangun pada tahun
459 H (dua tahun lamanya baru selesai).[4] Pada masa itu, madrasah tersebut dicatat
sebagai tempat pendidikan yang paling masyhur. Kemudian Nizam al-Mulk
mengembangkan madrasah tersebut dengan membuka dan mendirikan madrasah serupa
di berbagai kota, baik di wilayah barat maupun timur dari daerah kekuasaan Islam.
Diantaranya didirikan di kota-kota Balkh, Nisabur, Isfahan, Mosul, Basra dan Tibristan.
Oleh karena itu, kota-kota tersebut kemudian menjadi pusat-pusat studi keilmuan dan
menjadi terkenal di dunia Islam pada masa itu. Para pelajar berdatangan dari berbagai
daerah untuk mencari ilmu di madrasah-madrasah Nizamiyah tersebut. Kesungguhan
Nizam al-Mulk dalam membina madrasah-madrasah yang didirikannya itu tercermin
pada kesediaannya menyisihkan waktunya untuk melakukan kunjungan ke madrasah-
madrasah Nizamiyah di berbagai kota tersebut. Disebutkan, bahwa dalam kesempatan
kunjungannya tersebut, ia dengan penuh perhatian ikut menyimak dan mendengarkan
kuliah-kuliah yang diberikan, sebagaimana ia juga kadang ikut mengemukakan pikiran-
pikirannya di depan para pelajar di madrasah itu.
Lembaga pendidikan Islam yang pertama menerapkan sistem yang mendekati
sistem pendidikan yang dikenal sekarang adalah madrasah-madrasah Nizamiyah
tersebut. Kurikulumnya berpusat pada Al-Qur’an (membaca, menghafal dan menulis),
sastra Arab, sejarah Nabi SAW dan berhitung, dengan menitikberatkan pada madzhab
Syafi’i dan sistem teologi Asyariyah. Seorang tenaga pengajar di Nizamiyah selalu
dibantu oleh dua orang pelajar (mahasiswa) yang bertugas membaca dan menerangkan
kembali kuliah yang telah diberikan kepada mahasiswa yang ketinggalan (asistensi).
Sistem belajar di Madrasah Nizamiyah adalah : tenaga pengajar berdiri di depan ruang
kelas menyajikan materi-materi kuliah, sementara para pelajar duduk dan
mendengarkan di atas meja-meja kecil (rendah) yang disediakan. Kemudian dilanjutkan
dengan dialog (tanya-jawab) antara dosen dan para mahasiswa mengenai materi yang
disajikan dalam suasana semangat keilmuan tinggi.
Status dosen di madrasah tersebut ditetapkan berdasarkan pengangkatan dari
khalifah dan bertugas dengan masa tertentu. Untuk menunjukkan betapa madrasah ini
mencoba mengembangkan diri menjadi suatu lembaga pendidikan yang lebih sesuai
dengan tuntutan zaman. Sesudah Nizam al-Mulk membuka madrasah-madrasah
Nizamiyah di banyak kota, ia menetapkan untuk memberi gaji setiap bulan bagi setiap
tenaga pengajar di madrasah-madrasah tersebut. Namun kebijaksanaan Nizam al-Mulk
tentang gaji tersebut belum bisa diterima oleh para tenaga pengajar di Madrasah
Nizamiyah. Mereka lebih suka tanpa digaji tetapi kesejahteraan hidupnya terjamin. Bagi
para dosen gagasan untuk menggaji guru pada masa itu dipandang sebagai suatu
gagasan yang terlalu maju.
Diantara kekuatan Madrasah Nizamiyah adalah bahwa madrasah tersebut
mendapat pengakuan negara. Madrasah Nizamiyah telah mencatat nama-nama besar
dan orang-orang yang mengabdikan dirinya sebagai tenaga pengajar. Di antara mereka
adalah :
1. Syekh Abu Ishaq asy-Syirazi, seorang faqih Baghdad
2. Syekh Abu Nasr as-Sabbagh
3. Abu Abdullah at-Tabari
4. Abu Muhammad asy-Syirazi
5. Abu Qasim al-Alawi
6. at-Tibrizi
7. al-Qazwini
8. al-Fairuzabadi
9. Imam al-Haramain Abdul Ma’ali al-Juwaini
10. Imam al-Ghazali [5]
C. Profil Dosen Nizamiyah, Abdul Ma’ali Al-Juwaini Sang ‘Cahaya Agama’
Dia sebagai guru besar di Madrasah Nizaminah, tempat di mana Imam al-
Ghazali pernah menimba ilmu. Ia dijuluki Imam Haramain karena pernah tinggal di dua
kota suci, Makkah dan Madinah.
Ulama ini bernama lengkap Abdul Malik bin Abdullah bin Yusuf bin
Muhammad Al-Juwanini An-Nisaburi. Dia dilahirkan di Bustanikan, Nisabur, pada 12
Pebruari 1058. Pendidikan pertamanya didapatkan dari ayahnya yang bernama Syekh
Abdullah, seorang keturunan Arab berdarah bangsawan. Di samping itu, Al-Juwaini
juga menimba ilmu di sekolah agama yang berada di wilayah tempat tinggalnya.
Setelah beberapa lama, Al-Juwaini memutuskan untuk meninggalkan Nisabur
dan pergi ke Baghdad, terutama untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Di sana ia pun
menerima pengajaran ilmu agama dari beberapa ulama terkemuka. Berkat bimbingan
para guru dan keinginannya untuk maju, Al-Juwaini tumbuh menjadi seorang terpelajar
yang menguasai beberapa ilmu.
Setelah beberapa tahun tinggal di kota ilmu itu, ia lalu pindah ke Makkah serta
Madinah, selain untuk menambah bekal ilmu juga mulai mengajar. Selama lebih kurang
empat tahun Al-Juwaini menetap di dua kota suci tersebut.
Nama Al-Juwaini lambat laun dikenal di kalangan ulama dan pengajar ilmu
agama di Makkah serta Madinah. Ini lantaran ditunjang kemampuan penguasaan
keilmuaannya yang mumpuni. Hingga selanjutnya, namanya sampai ke telinga Perdana
Menteri Nizam al-Mulk, penguasa dan pendiri Madrasan Nizamiyah di Nisabur, tempat
kelahirannya.
Secara pribadi, Nizam al-Mulk meminta kesediaan Al-Juwaini untuk kembali
ke negerinya dan menjadi tenaga pengajar di madrasah tadi. Permintaan ini pun
disanggupi oleh Al-Juwaini sebagai bentuk sumbangsihnya dalam memajukan
pendidikan di negeri sendiri.
Madrasah Nizamiyah pun kian diperhitungkan di kalangan terpelajar Timur
Tengah. Terlebih ketika Imam al-Ghazali diketahui pernah menimba ilmu di sana dan
tercatat merupakan lulusan perguruan ini yang diasuh Juwaini.
Pemuka ulama ahlusunnah wal jamaah dan pengikut Imam Abu Hasan al-
Asy’ari ini juga disebut Abdul Ma’ali untuk menunjukkan keutamaannya sebagai
ilmuwan, agamawan, dan pemuka masyarakat. Diya ad-Din, yang berarti cahaya agama
adalah gelar lain yang diberikan kepada al-Juwaini karena kelebihannya dalam
menerangi hati dan pikiran para pembela akidah Islam, yang karenanya menangkis
serangan para pengikut golongan sesat yang telah terjerumus dalam kegelapan.
Al-Juwaini juga menonjol di kalangan ulama Asy’ariyah karena memiliki
metode yang khas dalam membela paham Sunni. Dia berpendapat, akidah yang benar
adalah yang didasarkan pada akal dan naql serta kombinasi antara keduanya.
Akal itu cahaya Allah yang sifatnya fitrawi sebagai tanda kecintaan Allah
kepada kepada manusia dan untuk menjadi media bagi ilmu pengetahuan. Sedangkan
an-naql adalah semata-mata perkara daya serap pendengaran yang wajib diyakini
kebenarannya tanpa memerlukan pembuktian akal atasnya. Karena pendiriannya
tersebut, Al-Juwaini banyak disebut sebagai generasi keempat dari pemuka dan ulama
Asy’ariyah, sejajar dengan Al-Baghdadi dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi.
Pandangannya bahwa akal dan penalaran akan sanggup mengantar manusia
kepada keyakinan mantap membawanya pada pendirian bahwa penggunaan penalaran
dalam soal agama adalah wajib menurut syarak. Karena kekhasan metodenya itu pula
maka ia tidak selalu mengikuti pendapat para pendahulunya, sampai Imam Abu Hasan
Asy’ari sekalipun.
Di samping sebagai pengajar dan ahli ilmu agama, Al-Juwaini adalah pula
seorang penulis yang produktif. Pandangan dan pendapatnya mengenai suatu persoalan
agama kerap diungkapkannya dalam bentuk karya tulis. Tercatat, sudah puluhan buku
serta karya ilmiahnya yang sudah dihasilkan meliputi beberapa cabang keilmuan.
Ulama ini meninggal dunia di Bustanikan pada tanggal 20 Agustus 1085.
Sampai akhir hayatnya, ia dikenal sebagai pakar ilmu fikih, ushul fikih, dan ilmu kalam.
Kitab karyanya tetap dipelajari hingga saat ini.
Ushul fikih
* Al-Burhan fi Usul al-Fiqh (Argumentasi dalam Usul Fikih) * Al-Waraqat (Sehelai
Kertas)
Fikih
* Nihayat al-Matlab fi Dirayat al-Mazhab (Rujukan yang Tuntas dalam Ilmu Mazhab)
Ilmu kalam
* Al-Kamil fi-Ikhtisar asy-Syamil (Kitab yang Sempurna dalam Ikhtisar yang
Mencakup)
* Risalah fi Usul ad-Din (Risalah Tentang Dasar Agama)
* Nizamiyah fi al-Arkan al-Islamiyah (Sistematika Rukun-Rukun Islam).[6]
[1] . http://www.republika.co.id/koran/153/31656/Keunggulan_Pendidikan_I_Nizhamiyah_I
[2]. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45
[3] . Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta :
Gama Media, 2002), hlm. 101
[4]. http://indo-zahra.blogspot.com/2009/03/madrasah-madrasah-nizamiyah.html
[5] . Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam jilid 4, cetakan ke-10, (Jakarta : PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 2002), hal 44-45.
[6]. http://www.republika.co.id/berita/33877/Abdul_Ma_ali_Al_Juwaini_Sang_Cahaya_Agama
[7]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta :
Gama Media, 2002), hlm. 101
[8] . Beliau adalah muallif karya-karya besar dan popular yang lahir di kota Thus, sebuah kota di
Khurasan Persia tahun 450 H/1054 M.
[9] . Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik, (Yogyakarta :
Gama Media, 2002), hlm. 106
[10] . M. Faruqi, The Development of the Institutions of Madrasa and the Nizamiyya of Baghdad,
Islamic Studies, vol. 26, musim gugur 1987, hlm. 258
[11]. Lihat al-Subki, Tabaqat al-Shafi’iyya al-Kubra, (Kairo, 1964) vol III, hlm. 89
[12]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 107-108
[13] . lihat al-Faruqi, op.cit., hlm. 260
[14]. Abdurrahman Mas’ud, M.A, Ph.d, op.cit, hlm. 109-113
[15]. Lihat Badri Yatim, Dr, M.A, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2000) hlm. 120