METODE PENELITIAN
5
dalam analisisnya dan dikembangkan menjadi analisis menggunakan Metode
Elemen Hingga (Finite Element Method) yang lebih dapat merepresentasikan
analisis pada lereng batuan sangat terkekarkan dengan prinsip pengurangan kuat
geser (shear strength reduction) hingga kekuatan propertis massa batuan
mengalami keruntuhan (Romer., 2016; El-Latif., 2016).
Gambar 2.1 Komponen penting dalam desain lereng (Wyllie dan Mah., 2004)
Dalam penilaian kestabilan lereng diperlukan nilai dasar yang dijadikan acuan
dalam penentuan performa suatu lereng dimana biasanya lebih dikenal dengan
istilah faktor keamanan atau factor of safety (FoS) dan probabilitas kelongsoran
atau probability of failure (PoF). Nilai faktor keamanan lereng dan probabilitas
6
kelongsoran dikemukakan oleh Read dan Stacey (2009) yang kemudian
digunakan dalam Kepmen ESDM – 1827 Tahun 2018 sebagai acuan dalam desain
kestabilan lereng tambang (Tabel 2.1).
Singh dan Goel (2012) merangkum beberapa klasifikasi massa batuan yang sering
digunakan secara luas untuk menggambarkan karakteristik kualitas massa batuan
yaitu Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski., 1989), Slope Mass Rating (SMR)
(Romana., 1985), dan Geological Strength Index (GSI) (Hoek dan Brown., 1997).
7
yaitu kuat tekan uniaksial batuan utuh, Rock Quality Designation (RQD), spasi
bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontinuitas dan kondisi air tanah (Tabel
2.2).
Gambar 2.2 Prosedur pengukuran RQD dengan pemboran inti (Deere., 1964)
Jika data pemboran tidak tersedia , penentuan nilai RQD dapat dilakukan dengan
pendekatan yang dikemukakan oleh Priest dan Hudson (1976) menggunakan
8
persamaan 2.2 dengan memenuhi syarat distribusi frekuensi kekar harus
membentuk fungsi eksponensial (Saptono dkk., 2012).
9
Tabel 2.3 Panduan Klasifikasi Kondisi Diskontinuitas (Bieniawski., 1989)
Panjang
diskontinuitas < 1m 1-3m 3-10m 10-20m >20m
(persistence)
Bobot 6 4 2 1 0
Pemisahan Tidak
<0,1mm 0,1-1mm 1-5mm >5mm
(Aperture) ada
Bobot 6 5 4 1 0
Sangat Sedikit
Kekasaran Kasar Halus Licin
kasar kasar
Bobot 6 5 3 1 0
Pengisi Pengisi Pengisi
Pengisi Tidak Pengisi
keras keras lunak
(gouge) ada lunak >5mm
<5mm >5mm <5mm
Bobot 6 4 2 2 0
Pelapukan Tidak Sedikit Pelapukan Pelapukan Decompose
lapuk lapuk sedang tinggi d
Bobot 6 5 3 1 0
10
Penilaian bobot dalam klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dapat dilihat pada
Tabel 2.3 dan kelas massa batuan hasil penilaian menggunakan persamaan 2.3
dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.5 Kelas Massa Batuan Slope Mass Rating (Romana., 1985)
Kelas Batuan V IV III II I
SMR 0 - 20 20 - 40 40 - 60 60 - 80 80 - 100
Sangat
Deskripsi Buruk Normal Baik Sangat baik
buruk
Sama
Kestabilan sekali Tidak Sebagian Sangat
Stabil
jenjang/lereng tidak stabil stabil stabil
stabil
Longsoran Planar Planar / Dikontrol Berupa Tidak
11
oleh
besar /
baji adanya
seperti blok longsor
besar kekar atau
tanah
baji kecil
Probabilitas
0.9 0.6 0.4 0.2 0
longsoran
12
Perbedaan antara JCond89 dan JCond79 terletak pada parameter ukuran blok (jarak
dan RQD), diskontinuitas dan kondisi air tanah (Saptono dkk., 2020).
Gambar 2.3 Kuantifikasi GSI dengan JCond89 dan RQD (Hoek et al., 2013)
13
Kriteria keruntuhan Hoek-Brown merupakan kriteria keruntuhan non-linier pada
batuan utuh (intact rock) dalam simulasi tahanan gesekan pada permukaan
gelincir (Hoek dan Brown, 2019). Pengembangan kriteria keruntuhan Hoek-
Brown didasarkan dari teori keruntuhan Griffith (1924) mengenai rekahan pada
material getas (brittle) dari pengujian biaksial dan dimodifikasi dengan pengujian
triaksial untuk batuan utuh (Romer., 2016; Hoek dan Brown, 2019) sehingga
menghasilkan pendekatan empirik pada persamaan (2.6).
σ3
σ1 = σ3 + σ ci m i
√ σci
+1
(2.6)
dimana σ1 dan σ3 tegangan utama mayor dan minor, σci nilai kuat tekan uniaksial,
dan m i konstanta material batuan utuh.
a
σ3'
'
σ1 = σ + σ ci3
'
( mb
σ ci
+s )
(2.7)
dimana m b ,s, dan a merupakan konstanta massa batuan yang dapat ditentukan
dengan persamaan (2.8 – 2.10).
m b = m i exp (GSI-100
28-4D )
(2.8)
s =exp (GSI-100
9-3D )
(2.9)
1 1
a= + ( e -GSI/15 - e -20/3 ) (2.10)
2 6
14
dimana m b merupakan faktor penurunan dari konstanta m i, s = 1, a = 0,5 dan D
faktor gangguan (disturbance) massa batuan dari peledakan dan relaksasi
tegangan dimana nilai faktor gangguan berkisar antara 0 yaitu massa batuan in
situ yang belum mengalami gangguan hingga 1 untuk massa batuan dengan
derajat ketergangguan tinggi.
Gambar 2.4 Kurva Hoek-Brown pada Mohr-Coulomb (Wyllie dan Mah., 2004)
Dari gambar diatas, hubungan antar kurva Hoek-Brown dan Mohr-Coulomb
didapatkan persamaan untuk menentukan nilai kohesi ( c’ ) dan sudut gesek dalam
( ϕ’ ) untuk massa batuan seperti persamaan 2.11 dan 2.12 berikut.
6a . m b ( s + m b . σ '3 n ) a -1
'
ϕ = sin
-1
[ 2 ( a + 1 ) ( 2 + a ) + 6a . m b ( s + m b . σ '3n )
a -1
]
(2.11)
'
σci [ ( 1+ 2a ) s + (1-a ) m b . σ' 3n ] ( s + m b . σ '3 n )a - 1
c=
( a + 1 )( 2 + a ) 1+ (6a . m b ( s + m b . σ '3 n )a - 1 ) / ( ( a + 1 ) ( 2 + a ) )
√
(2.12)
15
dimana σ3n = σ' 3 max /σci , dengan σ'3 max merupakan batas atas tegangan hubungan
Hoek-Brown dan Moh-Coulomb yang ditentukan pada masing-masing kasus.
Kemudian dari nilai kohesi ( c’ ) dan sudut gesek dalam ( ϕ’ ) untuk massa batuan
disubtitusikan pada persamaan Mohr-Coulomb sehingga didapatkan persamaan
sebagai berikut.
16
Gambar 2.5 Deskripsi parameter massa batuan (Wyllie dan Mah 2004)
Deskripsi parameter massa batuan Gambar 2.5 yaitu sebagai berikut:
A. Jenis Batuan: Didefinisikan sebagai batuan asal (sedimen, metamorf dan
beku), mineralogi, warna dan ukurang butir. Pentingnya deskripsi jenis
batuan memberikan pengetahuan ciri dari batuan yang berbeda sehingga
didapatkan informasi dari masing-masing jenis batuan.
B. Jenis Diskontinuitas: Tergolong dari kekar tarik dengan panjang
terbatas sampai patahan yang mengandung beberapa meter ketebalan
mineral lempung dengan panjang hingga beberapa kilometer. Beberapa
jenis diskontinuitas antara lain patahan, bidang perlapisal, foliasi, kekar,
belahan dan schistositas.
C. Orientasi Diskontinuitas: Digambarkan dengan dip dan strike dari
permukaan dimana dip dari bidang yaitu sudut maksimum terhadap
bidang horizontal, sedangkan strike merupakan arah garis horizontal dari
dip yang diukur searah jarum jam.
D. Spasi Diskontinuitas: Merupakan jarak antara diskontinuitas terdekat
yang diukur tegak lurus dengan pengukuran yang menggambarkan
ukuran dan bentuk blok.
E. Persisten: Merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas
diskontinuitas yang menjelaskan ukuran blok dan panjang potensi bidang
gelincir.
17
F. Kekasaran: Merupakan indeks tidak rata atau bergelombang pada
diskontinuitas parameter penting dalam komponen kuat geser khususnya
diskontinuitas yang tidak bergeser atau saling mengikat (interlocked).
G. Kekuatan Dinding (Wall Strength): Kekuatan dinding diskontinuitas
batuan yang berpengaruh pada kuat geser dari permukaan yang kasar.
Nilai kekuatan ini dapat diukur menggunakan Schmidt Hammer.
H. Pelapukan: Merupakan faktor yang mempengaruhi kuat geser dari
batuan karena adanya penurunan kekuatan geser batuan seiring
meningkatnya derajat pelapukan dari batuan. Tingkat pelapukan
dikategorikan dari batuan tanpa pelapukan (fresh) hingga tanah residu
(residual soil).
I. Bukaan (Aperture): Merupakan rongga diskontinuitas yang diperoleh
dari jarak tegak lurus antara dinding batuan yang berdekatan dari bidang
diskontinuitas yang didalamnya terisi oleh udara atau air.
J. Pengisi (Infilling): Merupakan material pengisi diskontinuitas yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas.
Deskripsi material pengisi digunakan untuk mengetahui perilaku fisik
diskontinuitas meliputi: mineralogi, ukuran partikel, kandungan air,
kekasaran dinding, tebal dan hancuran batuan dinding.
K. Luahan (Seepage): Berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada
diskontinuitas atau massa batuan dengan kategori bervariasi dari kering
sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan posisi muka
air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan.
L. Jumlah Bidang Diskontinuitas: Merupakan jumlah bidang yang
membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong yang akan
menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa
menghancurkan batuan utuh. Meningkatnya jumlah bidang diskontinuitas
akan menurunkan ukuran blok pada massa batuan.
M.Bentuk dan Ukuran Blok: Bentuk dan ukuran blok ditentukan oleh
spasi diskontinuitas, persisten dan jumlah set diskontinuitas. Bentuk blok
termasuk blocky, tabular, shattered, dan columnar dapat berukurang
sangat besar ( > 8 m3) hingga sangat kecil (< 0,0002 m3).
18
2.1.4.1 Kuat Geser Diskontinuitas Barton-Bandis
Kriteria kuat geser Barton-Bandis merupakan kriteria empirik non linier yang
menggunakan parameter kekasaran, kuat tekan, dan sudut gesek dalam residu
(Barton dan Choubey., 1977). Kriteria ini juga memberikan pendekatan yang
lebih realistis dalam memprediksi perilaku kuat geser pada kekasaran kekar
karena telah mengalami pengujian secara luas dan diverifikasi dengan berbagai
hasil percobaan serta indeks yang sederhana dalam penentuan nilai parameter
masukan dengan keseuaian parameter yang nyata di lapangan (Prassetyo et al.,
2017).
JCS
(
τ = σn tan ϕ b +JRC log 10
( ))
σn
(2.14)
dimana ϕ b sudut gesek dalam basic (didapat dari nilai residu), JRC (Joint
Roughness Coefficient) yaitu nilai kekasaran kekar, JCS (Joint Compressive
Strength) yaitu kuat tekan batuan pada permukaan diskontinuitas.
Nilai kekasaran kekar pada dinding diskontinuitas merupakan salah satu hal
penting dalam nilai kekuatan geser karena dapat saling mengikat antar dinding
diskontinuitas khususnya pada kekar tanpa struktur pengisi dimana hal ini akan
berkurang seiring bertambahnya ketebalan struktur pengisi (infilling). Nilai
kekasaran diskontinuitas atau Joint Roughness Coefficient (JRC) oleh Barton dan
Choubey (1977) diperkirakan dengan membandingkan visualisasi dari permukaan
bidang diskontinuitas dimana ada 10 profil kekasaran permukaan diskontinuitas
yang dapat digunakan dalam penentuan nilai JRC (Gambar 2.6).
19
Gambar 2.6 Profil kekasaran permukaan dan JRC (Barton dan Choubey., 1977)
Penentuan nilai Joint Compressive Strength (JCS) untuk model Barton dapat
ditentukan dengan nilai yang sama dengan kuat tekan utuh ( σ c ) pengujian
Uniaxial Compressive Strength (UCS) untuk keadaan kekar yang fresh atau tanpa
pelapukan (Bacha et al., 2014) dan bernilai 0,25σc untuk dinding diskontinuitas
dengan kondisi pelapukan (Read dan Stacey., 2009). Penentuan JCS dapat
menggunakan Schmidt Hardness sebagai pengukuran langsung di lapangan sesuai
plotting Gambar 2.7.
20
Gambar 2.7 Penentuan nilai JCS dengan Schmidt Hardness (Mod. Hoek., 2007)
21
a) b)
Gambar 2.8 Model jejaring kekar paralel deterministik a) panjang tidak terbatas,
b) panjang terbatas (Modifikasi oleh Romer., 2016)
a) b) c) d)
22
memberikan jenis longsoran yang berbeda. Ada tiga jenis longsoran yang
mungkin terjadi pada lereng terkekarkan yaitu bidang (plane), baji (wedge), dan
guling (toppling) dimana pendekatan awal yang digunakan untuk identifikasi
masing-masing jenis kelongsoran ini yaitu dengan analisis kinematik untuk
memberikan gambaran potensi longsoran berdasarkan geometri propertis massa
batuan, termasuk orientasi diskontinuitas dan sudut lereng (Kliche., 1999).
Gambar 2.10 Mekanisme longsoran bidang (Modifikasi Hoek dan Bray., 1981)
23
1) adanya dua bidang berpotongan satu sama lain yang terlihat dari garis
perpotongan ( Ψ i ) diskontinuitas; 2) plunge dari garis perpotongan ( α i ) harus lebih
kecil dari dip direction muka lereng ( Ψ f ) dan lebih curam dari sudut gesek dalam
(ϕ) dua bidang perpotongan.
Gambar 2.11 Mekanisme longsoran baji (Modifikasi Hoek dan Bray., 1981)
Untuk longsoran block toppling dapat terjadi ketika kolom batuan terpisah dengan
jarak diskontinuitas yang lebar dan kolom yang lebih besar diatasnya membebani
kolom yang lebih kecil dan pendek di bawahnya sehingga terjadi dorongan ke
depan hingga longsoran terjadi (Gambar 2.12a). Jenis longsoran flexural toppling
terjadi ketika lereng batuan tunggal memiliki jejaring kekar dengan panjang yang
menerus dimana kolom-kolom batuan dapat patah perlahan ke arah depan dengan
pengaruh gravitasi (Gambar 2.12b). Jenis longsoran block-flexural toppling
merupakan longsoran yang lebih kompleks dimana karakterisasi kelongsoran
dipengaruhi hanya beberapa kekar yang tersebar karena adanya akumulasi kekar
yang saling menyilang (Gambar 2.12c).
24
Gambar 2.11 Mekanisme longsoran guling (Goodman dan Bray., 1976)
25
Dengan peningkatan bertahap pada nilai f atau Strength Reduction Factor (SRF)
dan sesuai dengan nilai penurunan pada kuat geser, maka nilai kritis dari SRF atau
faktor keamanan (FK) dihitung dari nilai keamanan lokal sepanjang permukaan
kelongsoran (Matsui dan San., 1992).
26
Data sekunder sebagai data pendukung penelitian meliputi Peta Topografi,
Peta Kemajuan Tambang dan Peta Geologi Regional yang bersumber dari
lokasi penelitian yaitu PT Lola Laut Timur.
27