Anda di halaman 1dari 23

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Stabilitas Lereng
Kestabilan lereng merupakan salah satu pokok bahasan yang sering muncul dalam
bidang pertambangan karena dalam analisisnya memberikan kontribusi yang
penting dalam keamanan dan nilai keekonomisan desain lereng penambangan
(Abramson et al., 2002). Banyak permasalahan pada kelongsoran lereng tambang
menyebabkan kehilangan target produksi bersamaan dengan biaya pemulihan
material kelongsoran (El-Latif., 2016). Beberapa tujuan lain dari analisis
kestabilan lereng menurut Abramson et al., 2002 yaitu:
1. Untuk memahami perkembangan dan pembentukan lereng alami serta
proses yang berkaitan dengan kenampakan dengan lereng alami.
2. Untuk menilai kestabilan lereng jangka pendek (biasanya selama
konstruksi) dan kondisi jangka panjang.
3. Untuk menilai peluang kelongsoran lereng alami maupun buatan.
4. Menganalisis dan memahami mekanisme kelongsoran serta pengaruh
lingkungan.
5. Untuk perencanaan desain kembali lereng yang longsor dengan tindakan
perbaikan lereng jika dibutuhkan.
6. Untuk mempelajari pengaruh beban seismik pada lereng dan tanggul.

Penelitian mengenai analisis kestabilan lereng pada tambang terbuka mulai


berkembang pada tahun 1960 – 1970 an menggunakan pendekatan Metode
Kesetimbangan Batas (Limit Equilibrium Method) yang kemudian menjadi awal
perkembangan metode numerik dalam analisis kestabilan lereng (Romer., 2016).
Metode ini pada awalnya secara luas digunakan sebagai metode analisis numerik
dalam kestabilan lereng, tetapi pada perkembangannya metode ini memiliki
keterbatasan untuk analisis lereng dengan struktur kompleks sehingga Metode
Kesetimbangan Batas (Limit Equilibrium Method) dirasakan terlalu sederhana

5
dalam analisisnya dan dikembangkan menjadi analisis menggunakan Metode
Elemen Hingga (Finite Element Method) yang lebih dapat merepresentasikan
analisis pada lereng batuan sangat terkekarkan dengan prinsip pengurangan kuat
geser (shear strength reduction) hingga kekuatan propertis massa batuan
mengalami keruntuhan (Romer., 2016; El-Latif., 2016).

Dalam analisis kestabilan lereng tambang, resiko ketidakstabilan lereng


meningkat seiring meningkatnya kedalaman penambangan sehingga perlunya
pengelolaan desain lereng untuk meminimalisir bahaya terkait potensi
kelongsoran lereng. Menurut Wyllie dan Mah., 2004, ada tiga komponen utama
dalam desain tambang terbuka yaitu sudut lereng keseluruhan (overall angle),
sudut jalan bagian dalam lereng (inter-ramp angles), dan sudut jenjang (bench
angles) dimana sudut lereng keseluruhan terbentuk dari kemiringan bagian paling
atas lereng hingga bagian paling bawah lereng, sedangkan sudut jalan bagian
dalam lereng terbentuk dari rangkaian jenjang dan sudut jenjang merupakan sudut
dari masing-masing jenjang (Gambar 2.1)

Gambar 2.1 Komponen penting dalam desain lereng (Wyllie dan Mah., 2004)

Dalam penilaian kestabilan lereng diperlukan nilai dasar yang dijadikan acuan
dalam penentuan performa suatu lereng dimana biasanya lebih dikenal dengan
istilah faktor keamanan atau factor of safety (FoS) dan probabilitas kelongsoran
atau probability of failure (PoF). Nilai faktor keamanan lereng dan probabilitas

6
kelongsoran dikemukakan oleh Read dan Stacey (2009) yang kemudian
digunakan dalam Kepmen ESDM – 1827 Tahun 2018 sebagai acuan dalam desain
kestabilan lereng tambang (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Nilai Faktor Keamanan dan Probabilitas Kelongsoran Lereng


Tambang (Kepmen ESDM-1827 Tahun 2018)
Kriteria dapat diterima
(Acceptance Criteria)
Keparahan
Faktor Probabilitas
Longsor
Jenis Faktor Keamanan Longsor
(Concequenses
Lereng Keamanan (FK) Dinamis (Probability
of
(FK) Statis (Min) of Failure)
Failure/CoF)
(Min) (maks)
PoF (FK ≤ 1)
Lereng
Rendah - Tinggi 1,1 Tidak Ada 25-50%
Tunggal
Rendah 1,15 - 1,2 1,0 25%
Inter-ramp Menengah 1,2 - 1,3 1,0 20%
Tinggi 1,2 - 1,3 1,1 10%
Rendah 1,2 - 1,3 1,0 15-20%
Lereng
Menengah 1,3 1,05 10%
Keseluruhan
Tinggi 1,3 - 1,5 1,1 5%

2.1.2 Klasifikasi Massa Batuan


Massa batuan dapat didefinisikan sebagai sekumpulan blok dari batuan utuh yang
terpisah dikarenakan variasi diskontinuitas sehingga pertimbangan propertis
batuan utuh dan massa batuan penting untuk diklasifikasikan (Bieniawski., 1989).

Singh dan Goel (2012) merangkum beberapa klasifikasi massa batuan yang sering
digunakan secara luas untuk menggambarkan karakteristik kualitas massa batuan
yaitu Rock Mass Rating (RMR) (Bieniawski., 1989), Slope Mass Rating (SMR)
(Romana., 1985), dan Geological Strength Index (GSI) (Hoek dan Brown., 1997).

2.1.2.1 Sistem Klasifikasi Rock Mass Rating (RMR)


Klasifikasi massa batuan Rock Mass Rating (RMR) diperkenalkan pertama kali
oleh Bieniawski (1973) pada pengalaman pekerjaan penyanggaan terowongan
dangkal. Penggunaannya yang sederhana dalam klasifikasi massa batuan
menyebabkan sistem klasifikasi ini sering digunakan secara luas walaupun
mengalami beberapa penyempurnaan dan berkembang. Bienawski (1989)
memberikan enam parameter yang digunakan dalam sistem klasifikasi RMR,

7
yaitu kuat tekan uniaksial batuan utuh, Rock Quality Designation (RQD), spasi
bidang diskontinuitas, kondisi bidang diskontinuitas dan kondisi air tanah (Tabel
2.2).

Parameter yang digunakan dalam klasifikasi RMR memberikan pengaruh masing-


masing pada massa batuan dalam pemberian pembobotan. Penentuan kuat tekan
uniaksial dapat menggunakan pengujian skala laboratorium menggunakan
Uniaxial Compressive Strength (UCS) atau Point Load Test (PLI). Parameter
spasi diskontinutias, kondisi diskontinuitas, kondisi air tanah dan oritentasi
diskontinuitas dapat dilakukan dengan pengukuran langsung di lapangan. Khusus
untuk parameter Rock Quality Designation (RQD) dapat menggunakan cara
langsung dengan pemboran conto batuan di lapangan (Gambar 2.2) dan penentuan
nilai RQD menggunakan persamaan 2.1.

Gambar 2.2 Prosedur pengukuran RQD dengan pemboran inti (Deere., 1964)

jumlah panjang potongan bor inti ≥ 10 cm


RQD = x 100 %
total panjang pemboran
(2.1)

Jika data pemboran tidak tersedia , penentuan nilai RQD dapat dilakukan dengan
pendekatan yang dikemukakan oleh Priest dan Hudson (1976) menggunakan

8
persamaan 2.2 dengan memenuhi syarat distribusi frekuensi kekar harus
membentuk fungsi eksponensial (Saptono dkk., 2012).

RQD=100 e-0,1λ (0,1λ+1) (2.2)


dimana λ adalah 1/rata-rata spasi diskontinuitas.

Tabel 2.2 Penilaian Rock Mass Rating (Bieniawski., 1989)


Parameter Pembobotan
Untuk kuat
Kuat PLI >10 4-10 2-4 1-2 tekan rendah
tekan (Mpa)
perlu UCS
batuan
UCS 5- 1-
utuh >250 100-250 50-100 25-50 <1
(MPa) 25 5
Bobot 15 12 7 4 2 1 0
RQD (%) 90-100 75-90 50-75 25-50 <25
Bobot 20 17 13 8 3
Jarak
>2 m 0,6-2 m 0,2-0,6 m 0,06-0,2 m <0,06 m
diskontinuitas
Bobot 20 15 10 8 5
 Sa Agak Agak  Licin  Goug
ngat kasar kasar kasar  Tebal e lunak tebal
Tidak Pemisaha Pemisaha gouge > 5mm
Kondisi menerus n <1mm n <1mm <5mm  Pemis
diskontinuitas Tidak ada Sangat Sangat  Pemisahan ahan
(Tabel 2.3) pemisahan lapuk lapuk 1-5mm > 5mm
Dinding (menerus) (menerus)
batuan
tidak lapuk
Bobot 30 25 20 10 0
Kondisi Air tanah
Aliran per 10
m panjang
Tidak ada <10 10-25 25-125 >125
terowongan
(L/menit)
Rasio tekanan
air pada kekar
0 <0,1 0,1–0,2 0,2-0,5 >0,5
dan tegangan
utama mayor
Kondisi
Kering Lembab Basah Meneter Mengalir
umum
Bobot 15 10 7 4 0
Total Bobot
100-81 80-61 60-41 40-21 <20
RMR
Kelas I II III IV V
Sangat
Deskripsi Baik Sedang Buruk Sangat Buruk
Baik

9
Tabel 2.3 Panduan Klasifikasi Kondisi Diskontinuitas (Bieniawski., 1989)
Panjang
diskontinuitas < 1m 1-3m 3-10m 10-20m >20m
(persistence)
Bobot 6 4 2 1 0
Pemisahan Tidak
<0,1mm 0,1-1mm 1-5mm >5mm
(Aperture) ada
Bobot 6 5 4 1 0
Sangat Sedikit
Kekasaran Kasar Halus Licin
kasar kasar
Bobot 6 5 3 1 0
Pengisi Pengisi Pengisi
Pengisi Tidak Pengisi
keras keras lunak
(gouge) ada lunak >5mm
<5mm >5mm <5mm
Bobot 6 4 2 2 0
Pelapukan Tidak Sedikit Pelapukan Pelapukan Decompose
lapuk lapuk sedang tinggi d
Bobot 6 5 3 1 0

2.1.2.2 Sistem Klasifikasi Slope Mass Rating (SMR)


Sistem kelasifikasi Slope Mass Rating (SMR) pertama kali diperkenalkan oleh
Romana (1985) untuk penilaian kestabilan lereng yang dikembangkan dari
klasifikasi Rock Mass Rating (RMR) oleh Bieniawski (1989) dengan penyesuaian
hubungan diskontinuitas yang berpengaruh pada lereng dan bergantung faktor
metode penggalian ( Singh dan Goel., 2011; Romana et al., 2015). Nilai
klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dapat menggunakan persamaan 2.3.

SMR= RMR dasar + ( F1 x F2 x F3 ) +F4


(2.3)
dimana RMR dasar merupakan klasifikasi RMR yang dikeluarkan oleh Bieniawski
(1989), F1 bergantung pada paralelisme antara arah diskontinuitas dan arah
lereng, F2 bergantung pada dip diskontinuitas pada model longsoran bidang dan
longsoran guling bernilai sama dengan 1, F3 bergantung antara hubungan muka
lereng dan dip diskontinuitas, dan F4 faktor yang bergantung pada metode
penggalian seperti lereng alami (lebih stabil karena adanya vegetasi), presplitting
(dapat meningkatkan stabilitas lereng), peledakan baik (meningkatkan stabilitas
ketika selesai), normal blasting (tidak berpengaruh) dan peledakan buruk
(mengganggu stabilitas).

10
Penilaian bobot dalam klasifikasi Slope Mass Rating (SMR) dapat dilihat pada
Tabel 2.3 dan kelas massa batuan hasil penilaian menggunakan persamaan 2.3
dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Penilaian Slope Mass Rating (Romana., 1985)


Sangat
Sangat Tidak
Mengun Tidak
Jenis Longsoran Mengun Sedang Mengunt
tungkan Mengunt
tungkan ungkan
ungkan
Lb = (αj - αs)
Lg = (αj - αs)
- 180 > 30º 30 - 20º 20 - 10º 10 - 5º < 5º
F1 Lbj = (αi - α
s)
Lb = Lg =
0.15 0.40 0.70 0.85 1
Lbj
Lb = βj
< 20º 20-30º 30-35º 35 - 45º 45º
Lbj = βi
F2
Lb = Lbj 0.15 0.40 0.70 0.85 1
Lg 1 1 1 1 1
Lb = βj - βs
10º 10 - 0º 0º 0 – (-10º) < -10º
Lbj = βi - βs
F3 Lg = βj + βs < 110º 110-120º > 120º - -
Lb = Lg =
0 -6 -25 -50 -60
Lbj
Lereng Presplitti Peledaka Peledakan Peledakan
Metode
F4 Alami ng n Baik Normal Buruk
Penggalian
15 10 8 0 -8
Lb = Longsoran bidang αs = Arah lereng
Lg = Longsoran guling βs = Dip lereng
Lbj = Longsoran baji βj = Dip diskontinuitas
Keterangan
αj = Arah diskontinuitas
βi = Plunge dari garis
αi = Trend dari garis
perpotongan
perpotongan

Tabel 2.5 Kelas Massa Batuan Slope Mass Rating (Romana., 1985)
Kelas Batuan V IV III II I
SMR 0 - 20 20 - 40 40 - 60 60 - 80 80 - 100
Sangat
Deskripsi Buruk Normal Baik Sangat baik
buruk
Sama
Kestabilan sekali Tidak Sebagian Sangat
Stabil
jenjang/lereng tidak stabil stabil stabil
stabil
Longsoran Planar Planar / Dikontrol Berupa Tidak

11
oleh
besar /
baji adanya
seperti blok longsor
besar kekar atau
tanah
baji kecil
Probabilitas
0.9 0.6 0.4 0.2 0
longsoran

2.1.2.3 Geological Strength Index (GSI)


Klasifikasi Geological Strength Index (GSI) dikembangkan oleh Hoek (1994)
berdasarkan observasi massa batuan termasuk penilaian litologi, struktur dan
kondisi rekahan permukaan dimana pengembangan ini digunakan untuk massa
batuan dengan kualitas sangat buruk (Marinos et al., 2007). Klasifikasi GSI
digunakan untuk memberikan informasi dua faktor utama yang dipertimbangkan
berpengaruh pada propertis mekanik massa batuan seperti struktur dan kekar
(Hoek dan Brown., 2019).

Dalam perkembangannya, klasifikasi GSI mengalami beberapa perubahan


penyesuaian untuk mendapatkan pembacaan grafik yang pada dasarnya bersifat
kualitatif menjadi lebih kuantitatif seperti pada penelitian Sonmez dan Ulusay
(1999), Hoek dan Marinos (2000), Cai et al (2004), dan Hoek et al (2013).
Perkembangan terakhir klasifikasi GSI dengan kuantitatif dikemukakan oleh Hoek
et al (2013) untuk memberikan kenyamanan dalam klasifikasi massa batuan (Song
et al., 2020). Penambahan parameter kondisi kekar (JCond89 pada Tabel 2.3) yang
dikeluarkan Bieniawski (1989) dan Rock Quality Designation (RQD)
merepresentasikan tingkat blok (blockiness) pada massa batuan (Gambar 2.4)
sehingga nilai GSI dapat ditentukan dengan penjumlahan kedua parameter
JCond89 dan RQD yang ditunjukkan pada persamaan 2.4. Ketika parameter
JCond89 tidak tersedia, maka alternatif yang dapat digunakan yaitu menggunakan
kriteria diskontinuitas JCond76 oleh Bieniawski (1976) pada persamaan 2.5.

GSI = 1,5 JCond 89 +RQD/2


(2.4)

GSI = 2 JCond76 +RQD/2


(2.5)

12
Perbedaan antara JCond89 dan JCond79 terletak pada parameter ukuran blok (jarak
dan RQD), diskontinuitas dan kondisi air tanah (Saptono dkk., 2020).

Gambar 2.3 Kuantifikasi GSI dengan JCond89 dan RQD (Hoek et al., 2013)

2.1.3 Kriteria Keruntuhan Pada Massa Batuan Hoek-Brown


Kekuatan massa batuan merupakan hal yang penting dalam analisis kestabilan
lereng. Analisis kekuatan massa batuan secara luas dapat di prediksi dengan
menggunakan pendekatan uji laboratorium walaupun secara garis besar tidak
dapat merepresentasikan kekuatan massa batuan seluruhnya di lapangan (Romer.,
2016).
Dalam penentuan kriteria runtuhan massa batuan, kriteria Hoek-Brown untuk
batuan terkekarkan secara luas digunakan sebagai pendekatan secara empirik
dalam analisis keruntuhan massa batuan.

13
Kriteria keruntuhan Hoek-Brown merupakan kriteria keruntuhan non-linier pada
batuan utuh (intact rock) dalam simulasi tahanan gesekan pada permukaan
gelincir (Hoek dan Brown, 2019). Pengembangan kriteria keruntuhan Hoek-
Brown didasarkan dari teori keruntuhan Griffith (1924) mengenai rekahan pada
material getas (brittle) dari pengujian biaksial dan dimodifikasi dengan pengujian
triaksial untuk batuan utuh (Romer., 2016; Hoek dan Brown, 2019) sehingga
menghasilkan pendekatan empirik pada persamaan (2.6).

σ3
σ1 = σ3 + σ ci m i
√ σci
+1

(2.6)
dimana σ1 dan σ3 tegangan utama mayor dan minor, σci nilai kuat tekan uniaksial,
dan m i konstanta material batuan utuh.

Kriteria keruntuhan Hoek-Brown mengalami beberapa kali perubahan dan


memberikan peningkatan dalam estimasi konstanta massa batuan sehingga Hoek
et al (1995) memberikan persamaan (2.7) sebagai kriteria empirik yang dikenal
dengan Generalized Hoek-Brown Failure Criterion.

a
σ3'
'
σ1 = σ + σ ci3
'
( mb
σ ci
+s )
(2.7)
dimana m b ,s, dan a merupakan konstanta massa batuan yang dapat ditentukan
dengan persamaan (2.8 – 2.10).

m b = m i exp (GSI-100
28-4D )
(2.8)

s =exp (GSI-100
9-3D )
(2.9)

1 1
a= + ( e -GSI/15 - e -20/3 ) (2.10)
2 6

14
dimana m b merupakan faktor penurunan dari konstanta m i, s = 1, a = 0,5 dan D
faktor gangguan (disturbance) massa batuan dari peledakan dan relaksasi
tegangan dimana nilai faktor gangguan berkisar antara 0 yaitu massa batuan in
situ yang belum mengalami gangguan hingga 1 untuk massa batuan dengan
derajat ketergangguan tinggi.

Pada kriteria keruntuhan Hoek-Brown ditemukan kecenderungan hubungan yang


linier dengan kriteria Mohr-Coulomb antara tegangan normal dan tegangan geser
pada pengujian batuan utuh yang ditunjukkan pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Kurva Hoek-Brown pada Mohr-Coulomb (Wyllie dan Mah., 2004)
Dari gambar diatas, hubungan antar kurva Hoek-Brown dan Mohr-Coulomb
didapatkan persamaan untuk menentukan nilai kohesi ( c’ ) dan sudut gesek dalam
( ϕ’ ) untuk massa batuan seperti persamaan 2.11 dan 2.12 berikut.

6a . m b ( s + m b . σ '3 n ) a -1
'
ϕ = sin
-1

[ 2 ( a + 1 ) ( 2 + a ) + 6a . m b ( s + m b . σ '3n )
a -1
]
(2.11)

'
σci [ ( 1+ 2a ) s + (1-a ) m b . σ' 3n ] ( s + m b . σ '3 n )a - 1
c=
( a + 1 )( 2 + a ) 1+ (6a . m b ( s + m b . σ '3 n )a - 1 ) / ( ( a + 1 ) ( 2 + a ) )

(2.12)

15
dimana σ3n = σ' 3 max /σci , dengan σ'3 max merupakan batas atas tegangan hubungan
Hoek-Brown dan Moh-Coulomb yang ditentukan pada masing-masing kasus.

Kemudian dari nilai kohesi ( c’ ) dan sudut gesek dalam ( ϕ’ ) untuk massa batuan
disubtitusikan pada persamaan Mohr-Coulomb sehingga didapatkan persamaan
sebagai berikut.

τ = c' + σ tan ϕ'


(2.13)
dimana τ tegangan geser dan σ tegangan normal.

2.1.4 Diskontinuitas Pada Massa Batuan


Diskontinuitas pada massa batuan mengacu pada kenampakan struktur geologi
yang terbentuk alami di alam dimana hal ini menjadi pertimbangan dalam
kestabilan lereng seperti penentuan propertis dari diskontinuitas pada batuan yang
sudah tersingkap dan pengaruh orientasi diskontinuitas pada muka lereng (El-
Latif., 2012). Adanya diskontinuitas pada batuan merepresentasikan bidang
lemah yang memiliki kuat tarik dan kuat geser rendah dimana orientasi, persisten,
spasi, dan jumlah bidang kekar merupakan propertis utama dalam penyusun
geometri massa batuan (Ulusay dan Hudson., 2007; Wyllie dan Mah., 2004).

Faktor pengaruh pada kestabilan lereng sangat dipengaruhi oleh keberadaan


diskontinuitas pada massa batuan karena berperan tidak hanya dalam kontrol pada
struktur keseluruhan massa batuan tetapi juga berpengaruh pada propertis
mekanik batuan dan hidrogeologi (Tating et al., 2014). Parameter yang
menjelaskan karakteristik massa batuan menurut Wyllie dan Mah (2004)
ditunjukkan pada Gambar 2.5 berikut.

16
Gambar 2.5 Deskripsi parameter massa batuan (Wyllie dan Mah 2004)
Deskripsi parameter massa batuan Gambar 2.5 yaitu sebagai berikut:
A. Jenis Batuan: Didefinisikan sebagai batuan asal (sedimen, metamorf dan
beku), mineralogi, warna dan ukurang butir. Pentingnya deskripsi jenis
batuan memberikan pengetahuan ciri dari batuan yang berbeda sehingga
didapatkan informasi dari masing-masing jenis batuan.
B. Jenis Diskontinuitas: Tergolong dari kekar tarik dengan panjang
terbatas sampai patahan yang mengandung beberapa meter ketebalan
mineral lempung dengan panjang hingga beberapa kilometer. Beberapa
jenis diskontinuitas antara lain patahan, bidang perlapisal, foliasi, kekar,
belahan dan schistositas.
C. Orientasi Diskontinuitas: Digambarkan dengan dip dan strike dari
permukaan dimana dip dari bidang yaitu sudut maksimum terhadap
bidang horizontal, sedangkan strike merupakan arah garis horizontal dari
dip yang diukur searah jarum jam.
D. Spasi Diskontinuitas: Merupakan jarak antara diskontinuitas terdekat
yang diukur tegak lurus dengan pengukuran yang menggambarkan
ukuran dan bentuk blok.
E. Persisten: Merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas
diskontinuitas yang menjelaskan ukuran blok dan panjang potensi bidang
gelincir.

17
F. Kekasaran: Merupakan indeks tidak rata atau bergelombang pada
diskontinuitas parameter penting dalam komponen kuat geser khususnya
diskontinuitas yang tidak bergeser atau saling mengikat (interlocked).
G. Kekuatan Dinding (Wall Strength): Kekuatan dinding diskontinuitas
batuan yang berpengaruh pada kuat geser dari permukaan yang kasar.
Nilai kekuatan ini dapat diukur menggunakan Schmidt Hammer.
H. Pelapukan: Merupakan faktor yang mempengaruhi kuat geser dari
batuan karena adanya penurunan kekuatan geser batuan seiring
meningkatnya derajat pelapukan dari batuan. Tingkat pelapukan
dikategorikan dari batuan tanpa pelapukan (fresh) hingga tanah residu
(residual soil).
I. Bukaan (Aperture): Merupakan rongga diskontinuitas yang diperoleh
dari jarak tegak lurus antara dinding batuan yang berdekatan dari bidang
diskontinuitas yang didalamnya terisi oleh udara atau air.
J. Pengisi (Infilling): Merupakan material pengisi diskontinuitas yang
memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas.
Deskripsi material pengisi digunakan untuk mengetahui perilaku fisik
diskontinuitas meliputi: mineralogi, ukuran partikel, kandungan air,
kekasaran dinding, tebal dan hancuran batuan dinding.
K. Luahan (Seepage): Berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada
diskontinuitas atau massa batuan dengan kategori bervariasi dari kering
sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan posisi muka
air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan.
L. Jumlah Bidang Diskontinuitas: Merupakan jumlah bidang yang
membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong yang akan
menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa
menghancurkan batuan utuh. Meningkatnya jumlah bidang diskontinuitas
akan menurunkan ukuran blok pada massa batuan.
M.Bentuk dan Ukuran Blok: Bentuk dan ukuran blok ditentukan oleh
spasi diskontinuitas, persisten dan jumlah set diskontinuitas. Bentuk blok
termasuk blocky, tabular, shattered, dan columnar dapat berukurang
sangat besar ( > 8 m3) hingga sangat kecil (< 0,0002 m3).

18
2.1.4.1 Kuat Geser Diskontinuitas Barton-Bandis
Kriteria kuat geser Barton-Bandis merupakan kriteria empirik non linier yang
menggunakan parameter kekasaran, kuat tekan, dan sudut gesek dalam residu
(Barton dan Choubey., 1977). Kriteria ini juga memberikan pendekatan yang
lebih realistis dalam memprediksi perilaku kuat geser pada kekasaran kekar
karena telah mengalami pengujian secara luas dan diverifikasi dengan berbagai
hasil percobaan serta indeks yang sederhana dalam penentuan nilai parameter
masukan dengan keseuaian parameter yang nyata di lapangan (Prassetyo et al.,
2017).

Persamaan (2.14) digunakan dalam pendekatan empirik kekuatan geser pada


diskontinuitas.

JCS
(
τ = σn tan ϕ b +JRC log 10
( ))
σn
(2.14)

dimana ϕ b sudut gesek dalam basic (didapat dari nilai residu), JRC (Joint
Roughness Coefficient) yaitu nilai kekasaran kekar, JCS (Joint Compressive
Strength) yaitu kuat tekan batuan pada permukaan diskontinuitas.

Nilai kekasaran kekar pada dinding diskontinuitas merupakan salah satu hal
penting dalam nilai kekuatan geser karena dapat saling mengikat antar dinding
diskontinuitas khususnya pada kekar tanpa struktur pengisi dimana hal ini akan
berkurang seiring bertambahnya ketebalan struktur pengisi (infilling). Nilai
kekasaran diskontinuitas atau Joint Roughness Coefficient (JRC) oleh Barton dan
Choubey (1977) diperkirakan dengan membandingkan visualisasi dari permukaan
bidang diskontinuitas dimana ada 10 profil kekasaran permukaan diskontinuitas
yang dapat digunakan dalam penentuan nilai JRC (Gambar 2.6).

19
Gambar 2.6 Profil kekasaran permukaan dan JRC (Barton dan Choubey., 1977)
Penentuan nilai Joint Compressive Strength (JCS) untuk model Barton dapat
ditentukan dengan nilai yang sama dengan kuat tekan utuh ( σ c ) pengujian
Uniaxial Compressive Strength (UCS) untuk keadaan kekar yang fresh atau tanpa
pelapukan (Bacha et al., 2014) dan bernilai 0,25σc untuk dinding diskontinuitas
dengan kondisi pelapukan (Read dan Stacey., 2009). Penentuan JCS dapat
menggunakan Schmidt Hardness sebagai pengukuran langsung di lapangan sesuai
plotting Gambar 2.7.

20
Gambar 2.7 Penentuan nilai JCS dengan Schmidt Hardness (Mod. Hoek., 2007)

2.1.4.2 Model Jejaring Kekar Paralel Deterministik


Model jejaring kekar ini memberikan gambaran beberapa rangkaian kekar paralel
dengan orientasi konstan, spasi, dan persisten namun memungkinkan lokasi kekar
secara acak dan memiliki nilai strength reduction factor yang lebih tinggi
dibandingkan dengan model jejaring kekar lainnya (Moradi dan
Hosseinitoudeshki., 2015). Model jejaring kekar ini dapat diterapkan pada
permodelan massa batuan dengan panjang terbatas (non-persisten) dan tidak
terbatas (Gambar 2.8).

21
a) b)

Gambar 2.8 Model jejaring kekar paralel deterministik a) panjang tidak terbatas,
b) panjang terbatas (Modifikasi oleh Romer., 2016)

2.1.4.3 Model Jejaring Kekar Veneziano


Model jejaring kekar ini diperkenalkan oleh Veneziano (1978) dengan model
berdasarkan proses poisson plane untuk distribusi kekar dan poisson line untuk
menghasilkan kekar dengan panjang terbatas (Dershowitz dan Einstein., 1988).
Model ini pada awalnya digunakan untuk kestabilan lereng dan hidrogeologi pada
massa batuan terkekarkan dengan aplikasi dua dimensi hanya pada trace plane
hingga pada akhirnya perkembangan model berkembang menjadi tiga dimensi.

Berdasarkan penjelasan Dershowitz dan Einstein (1988), perkembangan model


jejaring kekar dengan tiga proses acak yaitu proses pertama dengan distribusi
orientasi pada poisson plane (Gambar 2.9a) dan kemudian terbagi menjadi banyak
poligon kekar yang merepresentasikan bentuk kekar (Gambar 2.9b). Proses ketiga
dan yang terakhir memberikan pemilihan acara dari poligon didefiniskan sebagai
massa batuan terkekarkan (Gambar 2.9c). Penggunaan bidang kekar dua dimensi
cenderung menggambarkan bagian-bagian coplanar joints (Gambar 2.9d).

a) b) c) d)

Gambar 2.9 Perkembangan jejaring kekar Veneziano a) 2D proses poisson line,


b) poligon kekar, c) 3D proses poisson line, d) 2D bagian coplanar
joints (Dershowitz dan Einstein., 1988)

2.1.5 Jenis Kelongsoran Lereng


Adanya diskontinuitas pada lereng merupakan salah satu penyebab terjadinya
kelongsoran khususnya pada lereng terkekarkan dimana adanya diskontinuitas

22
memberikan jenis longsoran yang berbeda. Ada tiga jenis longsoran yang
mungkin terjadi pada lereng terkekarkan yaitu bidang (plane), baji (wedge), dan
guling (toppling) dimana pendekatan awal yang digunakan untuk identifikasi
masing-masing jenis kelongsoran ini yaitu dengan analisis kinematik untuk
memberikan gambaran potensi longsoran berdasarkan geometri propertis massa
batuan, termasuk orientasi diskontinuitas dan sudut lereng (Kliche., 1999).

2.1.5.1 Longsoran Bidang


Longsoran bidang (planar) merupakan longsoran yang terjadi karena adanya
pergerakan blok batuan sepanjang bidang diskontinuitas (Hoek dan Bray., 1981).
Ada beberapa kondisi geometri yang dapat menyebabkan terjadinya longsoran
bidang pada lereng yaitu: 1) kemiringan bidang ( Ψ p ) harus lebih kecil dari

kemiringan muka lereng ( Ψ f ); 2) kemiringan bidang gelincir harus searah (± 20o)


dari muka lereng; 3) kemiringan bidang gelincir harus lebih besar dari sudut gesek
dalam (Ψ p > ϕ); 4) harus adanya batas bidang gelincir untuk pergerakan blok.
Dalam jenis longsoran bidang, adanya rekahan tarik) pada bagian atas lereng
menjadi pertimbangan terjadinya kelongsoran dan ketika rekahan berkembang
akan menyebabkan ketidakstabilan pada lereng (Hoek dan Bray., 1981).

Gambar 2.10 Mekanisme longsoran bidang (Modifikasi Hoek dan Bray., 1981)

2.1.5.2 Longsoran Baji


Jenis longsoran baji (wedge) merupakan longsoran yang terjadi karena ada
formasi perpotongan dua bidang diskontinuitas (Wyllie dan Mah., 2004). Analisis
kinematik digunakan dalam analisis baji untuk mengetahui arah perpotongan dari
diskontinuitas minimal ada dua diskontinuitas pada lereng. Ada beberapa kondisi
geometri diskontinuitas yang dapat menyebabkan terjadinya longsoran baji, yaitu:

23
1) adanya dua bidang berpotongan satu sama lain yang terlihat dari garis
perpotongan ( Ψ i ) diskontinuitas; 2) plunge dari garis perpotongan ( α i ) harus lebih

kecil dari dip direction muka lereng ( Ψ f ) dan lebih curam dari sudut gesek dalam
(ϕ) dua bidang perpotongan.

Gambar 2.11 Mekanisme longsoran baji (Modifikasi Hoek dan Bray., 1981)

2.1.5.3 Longsoran Guling


Longsoran guling (toppling) merupakan jenis longsorang yang berasosiasi dengan
massa batuan yang memiliki arah diskontinuitas dominan (umumnya perlapisan
dan foliasi) dengan nilai strike hampir paralel pada muka lereng (Sagaseta et al.,
2001). Longsoran guling memiliki tiga jenis yaitu block, flexure, block-flexure
toppling dengan analisis longsoran yang berbeda satu sama lain (Goodman dan
Bray., 1976) dimana pendekatan dalam analisis kestabilan lereng menggunakan
metode kesetimbangan batas karena adanya rangkaian kolom batuan (Zheng et al.
2018)

Untuk longsoran block toppling dapat terjadi ketika kolom batuan terpisah dengan
jarak diskontinuitas yang lebar dan kolom yang lebih besar diatasnya membebani
kolom yang lebih kecil dan pendek di bawahnya sehingga terjadi dorongan ke
depan hingga longsoran terjadi (Gambar 2.12a). Jenis longsoran flexural toppling
terjadi ketika lereng batuan tunggal memiliki jejaring kekar dengan panjang yang
menerus dimana kolom-kolom batuan dapat patah perlahan ke arah depan dengan
pengaruh gravitasi (Gambar 2.12b). Jenis longsoran block-flexural toppling
merupakan longsoran yang lebih kompleks dimana karakterisasi kelongsoran
dipengaruhi hanya beberapa kekar yang tersebar karena adanya akumulasi kekar
yang saling menyilang (Gambar 2.12c).

24
Gambar 2.11 Mekanisme longsoran guling (Goodman dan Bray., 1976)

2.1.6 Metode Elemen Hingga


Salah satu metode numerik yang secara luas digunakan dalam analisis kestabilan
lereng yaitu metode elemen hingga. Metode ini membagi beberapa domain
menjadi elemen-elemen kecil untuk memberikan simulai suatu rekahan (El-Latif.,
2016). Dalam analisis penentuan faktor keamanan suatu lereng, teknik penurunan
kuat geser atau Shear Strength Reduction (SSR) dengan pengurangan faktor
reduksi kekuatan (Strength Reduction Factor) pada propertis kuat geser seperti
kohesi (c) dan sudut gesek dalam (ϕ) yang dikurangi secara bertahap hingga
lereng mengalami kelongsoran (You et al., 2018). Beberapa keuntungan teknik
SSR (You et al., 2018) yaitu: 1) tidak adanya asumsi yang dibutuhkan distribusi
gaya geser pada masing-masing potongan (interslice); 2) permukaan kritis
kelongsoran dapat ditentukan dari regangan geser; 3) metode ini sesuai dengan
kondisi lereng kompleks dengan interpretasi perpindahan detail, tegangan, dan
tekanan air.

Perhitungan bidang gelincir dalam mekanisme kelongsoran berhubungan secara


langsung dengan regangan geser dan penurunan kekuatan geser akan
meningkatkan regangan geser dan zona potensi keruntuhan mengalami
perkembangan (Matsui dan San., 1992). Dalam penentuan faktor keamanan (f)
digunakan serangkaian percobaan peningkatan sesuai nilai pengurangan propertis
kuat geser (ctrial dan ϕtrial) seperti berikut (Hoek dan Bray., 1981):

c trial = (1f ) c (2.15)

ϕ trial = arctan ( 1f ) tan ϕ


(2.16)

25
Dengan peningkatan bertahap pada nilai f atau Strength Reduction Factor (SRF)
dan sesuai dengan nilai penurunan pada kuat geser, maka nilai kritis dari SRF atau
faktor keamanan (FK) dihitung dari nilai keamanan lokal sepanjang permukaan
kelongsoran (Matsui dan San., 1992).

2.2 Metode Pengambilan Sampel dan Data


Dalam penelitian yang akan dilakukan, sampel dan data lapangan dibutuhkan
untuk mencapai hasil yang diharapkan dalam penelitian. Sampel dan data
lapangan yang akan digunakan meliputi data primer yang merupakan data
langsung dari pengukuran di lapangan atau pengujian laboratorium serta data
sekunder yaitu data pendukung dalam penelitian.
1. Data Primer
 Pengukuran diskontinuitas menggunakan garis bentangan (scanline) pada
masing-masing lereng penambangan yang diproyeksikan dengan analisis
kinematik untuk mengetahui potensi longsoran dan arah umum bidang
kekar serta diklasifikasikan secara empirik dengan klasifikasi RMR dan
SMR untuk mengetahui kualitas massa batuan.
 Metode pengambilan sampel pengujian laboratorium akan dilakukan
pada masing-masing lereng jenjang agar diharapkan hasil yang mewakili
populasi massa batuan dimana pengaruh geometri dipertimbangkan untuk
banyaknya sampel tiap lereng jenjang dimana pengambilan titik sampel
masing-masing untuk batuan andesit lapuk, fresh dan intrusi. Estimasi
jumlah sampel awal yang digunakan yaitu 15 sampel untuk masing-
masing kondisi lereng (lapuk, fresh, dan intrusi) yang kemudian
dilakukan validasi menggunakan analisis statisik pada parameter hasil uji
laboratorium untuk menilai kecukupan data dan realibilitas data.
 Sampel lapangan kemudian dilakukan pengujian laboratorium meliputi
pengujian sifat fisik dan mekanik batuan (UCS dan Uji Geser Langsung)
yang kemudian digunakan sebagai parameter masukan analisis numerik
menggunakan Metode Elemen Hingga (Finite Element Method).
2. Data Sekunder

26
Data sekunder sebagai data pendukung penelitian meliputi Peta Topografi,
Peta Kemajuan Tambang dan Peta Geologi Regional yang bersumber dari
lokasi penelitian yaitu PT Lola Laut Timur.

2.3 Cara Pendekatan dan Metode Penelitian


Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari beberapa tahapan yaitu pemetaan
data kekar di lapangan menggunakan garis bentangan (scanline) dengan panjang
50 meter dan digunakan untuk mencari nilai RQD (persamaan 2.2) serta analisis
kinematik digunakan untuk mengetahui potensi kelongsoran. Kemudian
klasifikasi massa batuan RMR dan SMR digunakan sebagai analisis kelas massa
batuan serta analisis metode numerik menggunakan Metode Elemen Hingga
dengan permodelan jejaring kekar (Paralel Deterministik dan Veneziano) untuk
lereng jenjang dan lereng keseluruhan untuk mengetahui pengaruhnya pada faktor
keamanan serta permodelan diskontuitas mayor (intrusi) pada lokasi dalam
mengetahui besar pengaruh pada kestabilan lereng tambang keseluruhan. Analisis
beberapa parameter diskontinuitas seperti persisten dan kekasaran kekar (JRC)
dilakukan untuk mengetahui parameter yang paling berpengaruh pada faktor
keamanan lereng.

27

Anda mungkin juga menyukai