Disusun oleh:
Ai Yenti
NIM: MB1218005
Puji dan syukur penulis kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PPOM (penyakit paru obstruksi
menahun)” dengan baik.
Makalah ini dibuat sebagai salah satu tuntutan mata kuliah keperawatan kritis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini telah memperoleh banyak
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Untuk itu penulis patut menyampaikan terima kasih kepada dosen
pembimbing.
Penulis berupaya semaksimal mungkin agar makalah ini bisa menjadi baik dan
layak untuk sesama, namun penulis menyadari kesempurnaan masih jauh. Maka
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikan makalah ini
sangatlah diharapkan dan akan diterima dengan lapang dada. Kiranya semua bantuan
yang telah penulis dapatkan dibalaskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Penyakit paru-paru obstruksi menahun (PPOM) merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan
ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara. Ketiga penyakit yang
membentuk satu kesatuan yang ditandai dengan sebutan PPOM adalah : Bronkhitis,
Emifisema paru-paru dan Asma bronkial.
Perjalanan PPOM yang khas adalah panjang dimulai pada usia 20-30 tahun
dengan “batuk merokok” atau batuk pagi disertai pembentukan sedikit sputum
mukoid. Mungkin terdapat penurunan toleransi terhadap kerja fisik, tetapi biasanya
keadaan ini tidak diketahui karena berlangsung dalam jangka waktu yang lama.
Akhirnya serangan brokhitis akut makin sering timbul, terutama pada musim dingin
dan kemampuan kerja penderita berkurang, sehingga pada waktu mencapai usia 50-
60 an penderita mungkin harus mengurangi aktifitas.
Penderita dengan tipe emfisematosa yang mencolok, perjalanan penyakit
tampaknya tidak dalam jangka panjang, yaitu tanpa riwayat batuk produktif dan
dalam beberapa tahun timbul dispnea yang membuat penderita menjadi sangat lemah.
Bila timbul hiperkopnea, hipoksemia dan kor pulmonale, maka prognosis adalah
buruk dan kematian biasanya terjadi beberapa tahun sesudah timbulnya penyakit.
(Price & Wilson, 1994 : 695)
B. Tujuan
a. Tujuan umum
Setelah mempelajari praktek keperawatan kritis mahasiswa mampu
memahami asuhan keperawatan pada pasien PPOM
b. Tujuan khusus
Mengetahui tentang definisi dari PPOM
Mengetahui penyebab dari PPOM.
Mengetahui tanda dan gejala dari PPOM.
Mengetahui Penatalaksanaan PPOM pada lansia.
Mengetahui Pengkajian, Diagnosa, Intervensi,dengan PPOM.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Defenisi PPOM
PPOM adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup bronkitis kronis,
bronkiektasis, emfisema dan asma. (Bruner & Suddarth, 2002). PPOM merupakan
kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran
masuk dan keluar udara paru-paru.
II. BRONKIEKTASIS
a. Pengertian
Bronkiektasis adalah dilatasi bronki dan bronkiolus kronis yang mungkin
disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk infeksi paru dan obstruksi bronkus;
aspirasi benda asing, muntahan, atau benda-benda dari saluran pernapasan atas;
dan tekanan akibat tumor, pembuluh darah yang berdilatasi, dan pembesaran
nodus limfe. (Bruner & Suddarth)
b. Patofisiologi
Infeksi merusak dinding bronkial, menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum yang kental yang akhirnya dapat
menyumbat bronki. Dinding bronkial menjadi teregang secara permanen akibat
batuk hebat. Infeksi meluas ke jaringan peribronkial sehingga dalam kasus
bronkiektasis sakular, setiap tuba yang berdilatasi sebenarnya adalah abses
paru, yang eksudatnya mengalir bebas melalui bronkus. Bronkiektasis biasanya
setempat, menyerang lobus atau segmen paru. Lobus yang paling bawah lebih
sering terkena.
Retensi sekresi dan obstruksi yang diakibatkannya pada akhirnya
menyebabkan alveoli di sebelah distal obstruksi mengalami kolaps
(ateletaksis). Jaringan parut atau fibrosis akibat reaksi inflamasi menggantikan
jaringan paru yang berfungsi.
Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernapasan dengan penurunan
kapasitas vital, penurunan ventilasi dan peningkatan rasio volume residual
terhadap kapasitas paru total. Terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi
(ketidakseimbangan ventilasi-perfusi) dan hipoksemia.
d. Pemeriksaan Penunjang
i. Bronkografi
ii. Bronkoskopi
iii. CT-Scan : ada/tidaknya dilatasi bronkial
III.EMFISEMA
a. Pengertian
Emfisema didefinisikan sebagai suatu distensi abnormal ruang udara diluar
bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli. (Bruner & Suddarth,
2002)
b. Patofisiologi
Pada emfisema beberapa faktor penyebab obstruksi jalan napas yaitu :
inflamasi dan pembengkakan bronki; produksi lendir yang berlebihan;
kehilangan rekoil elastik jalan napas; dan kolaps bronkiolus serta redistribusi
udara ke alveoli yang berfungsi.
Karena dinding alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang
kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu berkurang, menyebabkan
peningkatan ruang rugi (area paru dimana tidak ada pertukaran gas yang dapat
terjadi) dan mengakibatkan kerusakan difusi oksigen.
Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir
penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan
peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan
menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, jaring-jaring kapiler
pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan ventrikel kanan
dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam arteri
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasai emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai,
distensi vena leher atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung.
Sekresi meningkat dan tertahan menyebabkan individu tidak mampu untuk
membangkitkan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan
kronis dengan damikian menetap dalam paru yang mengalami emfisema
memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik ke aliran masuk dan
aliran keluar udara dari paru. Paru-paru dalam keadaan heperekspansi kronik.
Untuk mengalirkan udara kedalam dan keluar paru-paru, dibutuhkan tekanan
negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus
dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi. Posisi selebihnya adalah salah satu
inflasi.
Daripada menjalani aksi pasif involunter, ekspirasi menjadi aktif dan
membutuhkan upaya otot-otot. Sesak napas pasien terus meningkat, dada
menjadi kaku, dan iga-iga terfiksaksi pada persendiannya. Dada seperti tong
(barrel chest) pada banyak pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru
karena adanya kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk
mengembang.
d. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen dada : hiperinflasi, pendataran diafragma, pelebaran interkosta
dan jantung normal
2. Fungsi pulmonari (terutama spirometri) : peningkatan TLC dan RV,
penurunan VC dan FEV
IV. ASMA
a. Pengertian
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel dimana
trakea dan bronki berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu. (Bruner
& Suddarth, 2002)
b. Patofisiologi
Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-
sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan
antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut
mediator) seperti histamin, bradikinin dan prostaglandin serta anafilaksis dari
substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam
jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus
yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh
impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non
alergi ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti
infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang
dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan
bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang
dibahas diatas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah
terhadap respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor - dan -adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak
dalam bronki. Ketika reseptor adrenergik dirangsang , terjadi
bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor -adrenergik yang
dirangsang. Keseimbangan antara reseptor - dan -adrenergik dikendalikan
terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor –alfa
mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator
kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi respon
beta- mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan
adalah bahwa penyekatan -adrenergik terjadi pada individu dengan asma.
Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi
dan konstriksi otot polos.
3. Etiologi PPOM
PPOM disebabkan oleh factor lingkungan dan gaya hidup, yang sebagian besar
bias dicegah. Merokok diperkirakan menjadi penyebab timbulnya 80-90% kasus
PPOM. Faktor resiko lainnya termasuk keadaan social-ekonomi dan status
pekerjaaan yang rendah, kondisi lingkungsn yang buruk karena dekat lokasi
pertambangan, perokok pasif, atau terkena polusi udara dan konsumsi alcohol yang
berlebihan. Laki-laki dengan usia antara 30 hingga 40 tahun paling banyak menderita
PPOM.
4. Patofisiologi
Patofisiologi PPOM adalah sangat kompleks dan komprehensif sehingga
mempengaruhi semua sisitem tubuh yang artinya sama juga dengan mempengaruhi
gaya hidup manusia. Dalam prosesnya, penyakit ini biasanya menimbulkan
kerusakan pada alveolar sehingga bisa mengubah fisiologi pernafasan, kemudian
mempengaruhi oksigenasi tubuh secara keseluruhan.
Abnormal pertukaran udara pada paru-paru terutama berhubungan dengan tiga
mekanisme berikut ini:
a. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
Hal ini menjadi penyebab utama hipoksemia atau menurunnya oksigenasi
dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi
aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Peningkatan keduanya terjadi
ketika penyakit yang semakin berat sehingga menyebabkan kerusakan pada
alveoli dan dan kehilangan bed kapiler. Dalam kondisi seperti ini, perfusi
menurun dan ventilasi sama. Ventilasi dan perfusi yang menurun biasa
dilihat pada pasien PPOM, dimana saluran pernafasannya terhalang oleh
mukus kental atau bronchospasme. Di sini penurunan ventilasi akan terjadi,
akan tetapi perfusi akan sama, atau berkurang sedikit. Banyak di diantara
pasien PPOM yang baik empisema maupun bronchitis kronis sehingga ini
menerangkan sebabnya mengapa mereka memiliki bagian-bagian,dimana
terjadi diantara keduanya yang meningkat dan ada yang menurun.
b. Mengalirnya darah kapiler pulmo
Darah yang tidak mengandung oksigen dipompa dari ventrikel kanan ke
paru-paru, beberapa diantaranya melewati bed kapiler pulmo tanpa
mengambil oksigen. Hal ini juga disebabkan oleh meningkatnya sekret
pulmo yang menghambat alveoli.
c. Difusi gas yang terhalang
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari satu atau
dua sebab yaitu berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara
sebagai akibat dari penyakit empisema atau meningkatnya sekresi, sehingga
menyebabkan difusi menjadi semakin sulit.
6. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan PPOM adalah :
a) Usaha-usaha pencegahan, terutama ditujukan terhadap memburuknya
penyakit.
b) Mobilisasi dahak.
c) Mengatasi bronkospasme.
d) Memberantas infeksi.
e) Penanganan terhadap komplikasi.
f) Fisioterapi, inhakasi terapi dan rehabilitasi.
ASUHAN KEPERAWATAN PPOM
1. Pengkajian
Anamnesa
Dispnea adalah keluhan utama ppom klien biasanya mempunyai riwayat
merokok dan rwayat batuk kronis,bertempat tinggal atau bekerja di area dengan
polusi udara berat,adanya riwayat alergi pada keluarga,adanya riwayat asma
pada saat anak-anak.
Perawat perlu mengkai riwayat atau adanya faktor pencetus eksaserbasi
yang meliputi alergen,stres emosien ,peningkatan aktifitas fisik yang
berlebihan,terpapar dengan folusi udara,serta infeksk saluran
pernafasan.perawat juga perlu mengkaji obat-obat yang biasa diminum
klen,memeriksa kembali setiap jenis obat apakah masih relevan untuk
digunakan kembal.
Pengkajian pada tahap lanjut penyakit,di dapatkan kadar oksigen yang
rendah(hipoksemia) dan kadar karbon dioksida yang paling tinggi
(hiperkapnea). Klien rentan terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat
penggumpulan sekresi. Setelah infeksi terjadi,klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi.
Anoreksia,penurunan berat badan,dan kelemahan adalah hal yang umum
terjadi.vena jugularis mungkin mengalami distensi selama aspirasi.pada
pengkajian yang dilakukan ditanggan,sering didapatkan adanya jari tabuh
(clubbing fringer) sebai dampak dari hipoksemia yang berkepanjangan.
Sebagai pengkajian untuk menentukan predisposisi penyakit yang
mendasarinya, perawat perlu merujuk kembali pada penyakit yang
mendasari,yaitu asma brochial,bronchitis klonis dan empisema pada
pembahasan selanjut nya
Palpasi
Pada palpasi, ekspansi menngkat dan taktil fremitus biasanya menurun
Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor sedangkan diagfragma
mendatar atau menurun.
Auskultasi
Sering didapatkan adanya bunyi napas ronchi dan whezzing sesuai tingkat keparahan
obstruktif bronkhiolus.
Pengkajian diagnostik
Pengukuran Fungsi Paru
1. Kapasitas inspirasi menurun
2. Volume residu : meningkat pada bronkhitis, emfisiema, dan asma
3. FEV1 selalu menurun = derajat obstuksi progresf penyakit paru obstruksi
kronis
4. FVC awal normal : menurun pada bronkhitis dan asma
5. TLC normal sampai meningkat sedang (prodominan pada emfisema)
Analisa gas darah
PaO2 menurun PCO2 meningkat, sering menurun pada asma. Nlai pH normal,
asdosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
Pemeriksaan laboratorium
1. Hemoglobulin (Hb) dan hematokrit (Ht) meningkat pada polisitemia sekunder
2. Jumlah darah merah meningkat
3. Eosinofil dan total IgE serum meningkat
4. Pulse oksimetri : SaO2 oksigenasi menurun
5. Elektrolit menurun karena pemakaian obat diuretik
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran. Kuman patogen yang
biasa ditemukan adalah streptochocus, pneumonia, hemophylus inffluenza
Pemeriksaan bronkhogram
Menunjukkan dilatasi bronkhus kolap bronkhiale pada ekspirasi kuat.
EKG
Kelainan EKG yang paling awal terjadi adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah
terdapat korpulmonal, terdapat deviasi aksis kekanan dan P-pulmonal pada hantaran
II, III dan aVE. Voltase QRS rendah. Di VI rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 V1 rasio
R/S kurang dari 1 sering terdapat RBBB inkomplet.
Penatalaksanaan Medis
Intervensi medis bertujuan untuk :
o Memelihara kepatenan jalan napas dengan menurunkan spasme bronkhus dan
membersihkan sekret yang berlebihan.
o Memelihara keefektifan pertukaran gas.
o Mencegah dan mengobati infeksi saluran pernapasan.
o Meningkatkan toleransi latihan.
o Mencegah adanya komplikasi (gagal napas akut dan status asmatikus)
o Mencegah alergen/iritasi jalan napas.
o Membebaskan adanya kecemasan dan mengobati depresi yang sering
menyertai adanya obstruksi jalan napas kronis.
Manajemen medis yang diberikan berupa :
1) Pengobatan farmakologi
Anti-inflamasi (kortikosteroid, natrium kromolin, dll)
Bronkhodilator
Adrenegin : efedrin, epineprin, dan beta adrenergik agonis selektif.
Nonadrenergik : aminofili, teofilin.
Antihistamin
Steroid
Antibiotik
Ekspektoran
Oksigen digunakan 3 1/menit dengan nasal kanul.
2) Higiene paru
Cara ini bertujuan untuk membersihkan sekret dari paru, meningkatkan
kerja silia, dan menurunkan risiko infeksi. Dilaksanakan dengan
nebulizer, fisioterapi dada, dan postural drainase.
3) Latihan
Bertujuan untuk mempertinggi kebugaran dan melatih fungsi otak skeletal
agar lebih efektif. Dilaksanakan dengan jalan sehat
4) Menghindari bahan iritan
Penyebab iritasi jalan napas yang harus dihindari diantaranya asap rokok
dan perlu juga mencegah adanya elergen yang masuk tubuh.
5) Diet
Klien sering mengalami kesulitan makan karena adannya dispnea.
Pemberian porsi yang kecil namun sering lebih baik dari pada makan
sekaligus banyak.
2. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang b.d adanya bronkhokontriksi,
akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektf.
2. Gangguan pertukaran gas yang b.d retensi CO2 peningkatan sekresi, peningkatan
pernapasan dan proses penyakit.
3. Resiko tinggi infeksi pernafasan (pneumonia) b.d akumulasi sekret jalan napas
dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
4. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang b.d
penurunan nafsu makan
5. Gangguan ADL yang b.d kelemahan fisik umum dan keletihan.
3. Intervensi
- kolaborasi untuk
pemantauan AGD
- Kolaborasi - oksigen
pemberian diberikan ketika
oksigen via nasal tejadi
hipoksemia.
4. Implementasi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang b.d adanya bronkhokontriksi,
akumulasi sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektf.
Implementasi:
Mengkaji warna sputum = kehijau-hijauan,
Mengkaji kekentalan sputum ,dan
jumlah sputum1 cc
Mengatur posisi pasien semi fowler
Mengajarkan cara batuk efektif
Membantu klien latihan napas dalam
Mengkaji frekuensi pernapasan
auskultasi paru sebelum dan sesudah program latihan.
Evaluasi:
S : Klien mengatakan sejak tadi malam napas sudah berkurang sesaknya
O : RR= 24 x/i
Warna sputum = kental kehijau-hijauan
Jumlah sputum 0,5 cc
TD= 120/70 mmHg
S = 37 c
N = 75 x/i
A : Masalah sebagian teratasi
P : Intervensi di lanjutkan
I : Melatih batuk efektif
E : Bersihan jalan napas efektif
BAB III
TINJAUAN KASUS
1. Pengkajian
a. Identitas klien
Nama : Tn.S
Umur : 65 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Agama : islam
Status : menikah
Pekerjaan :-
Alamat : jln lolong no.14 Padang
Pendidikan : SMP
No. RM :
Alasan masuk : Sesak napas
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan rutin
Faal paru
- Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred.) <80%
- %VEP1% (VEP1/KVP) <75%
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variability harian pagi dan sore,
tidak lebih dari 20%.
2) Uji bronkodilator
Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan
VEP1 atau APE <20%>
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
3) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
4) Radiologi
Foto thoraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop
appearance)
Pada bronchitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
5) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK
terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.
6) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednisone atau metilprednisolon) sebanyak 30-50mg per hari selama 2
minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20% dan minimal
250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah
pemberian kortikosteroid.
7) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai:
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
8) Radiologi
- CT-Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emmfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto thoraks polos
- Scan ventilasi perfusi
9) Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
10) Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
11) Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik
yang tepat. infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama
eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan tertahannya sekresi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan in adekuat pertahanan
primer dan sekunder, penyakit kronis.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disprisa,
kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual / muntah.
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay dan
kebutuhan oksigen, kelemahan, dispnea.
3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan tertahannya sekresi.
Tujuan : Mengefektifkan jalan nafas
Hasil yang diharapkan :
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih / jelas
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
Intervensi :
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misal : mengi, krekels,
ronki.
Kaji frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi mengi (emfisema)
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman misal: peninggian kepala tempat tidur,
duduk dan sandaran tempat tidur.
Pertahankan polusi lingkungan minimum debu, asap dll
Bantu latihan nafas dalam
Berikan obat sesuai indikasi
Implementasi :
1. Mengauskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misal : mengi, krekels,
ronki.
2. Mengkaji frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi mengi (emfisema)
3. Mengkaji pasien untuk posisi yang nyaman misal: peninggian kepala tempat
tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
4. Mempertahankan polusi lingkungan minimum debu, asap dll
5. Mengajarkan teknik nafas dalam batu efektif
6. Memberikan obat sesuai indikasi
Evaluasi:
S : Klien mengatakan sejak tadi malam napas sudah tidak sesak lagi.
O : TD= 120/80 mmHg
Nadi = 60 x/i
Suhu = 36,5c
RR = 22x/i
Warna sputum= putih kekuning-kuningan
Kekentalan sputum= agak kental
A : Masalah teratasi sebagian
P : Intervensi dilanjutkan
I : Latihan napas dalam
E : Napas klien tampak tidak sesak
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pengkajian
Dalam pengkajian pada kasus PPOM kita sebagai perawat harus tahu
tentang identitas pasien,alasan pasien dibawah kerumah sakit. Dan untuk
mengumpulkan data selanjutnya perawat dapat menayakan riwayat kesehatan
pasien baik riwayat kesehatan sekarang,riwayat kesehatan dahulu dan riwayat
kesehatan keluarganya.
Untuk riwayat kesehatan sekarang kita bisa tanyakan keluhan yang
dirasakan pasien saat datang kerumah sakit, pada riwayat kesehatan dahulu
kita menanyakan apakah pasien ada riwayat merokok,minum-minum alkohol
dan tempat tinggal pasien apakah di tempat dengan polusi udara yang berat.
Sedagkan pada riwayat kesehatan keluarga yang perlu dikaji pada pasien
PPOM ini adalah apakah ada anggota keluarga sebelumnya mengalami
penyakit seperti yang dialami oleh pasien sekarang.
Dengan melakukan anamnesa kepada pasien atau keluarga kita senagai
perawat dapat menegakkan diagnosa keperawatan dengan data-data yang
mendukung.yang dapat kita lakukan pada proses pengkajian bukan hanya
melakukan aamnesa saja,kita juga bisa mendapatka data dari pemeriksaan
fisik pada pasien.
Pada pemeriksaan fisik bisa dilakukan secara head toe-toe atau persistem.
Pada kasus PPOM pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada sistem
pernapasan dan sistem kardiovaskuler,tetapi bukan berarti pada sistem yang
lain tidak dikaji. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan 4 cara yaitu
Inspeksi,Palpasi,Perkusi,dan Auskultasi(IPPA).
Pengkajian pada sistem pernapasan data yang sering ditemukan pada
pada pasien PPOM adalah:
a. Inspeksi
Dilihat dari bentuk dada adanya perubahan bentuk dada dari yang normal
bisa mejadi barrel chest(dada seperti tong) karena batuk yang telah
lama,sehingga sulit untuk bernapas dan sewaktu bernapas menggunakan
otot bantu pernapasan. Dari inspeksi juga bisa dilihat kesimetrisan antara
dada kiri da dada kanan pasien,dilihat keadaan kulit pasien.
b. Palpasi
Dilakukan dengan cara meraba dada pasien apakah ada udem pada dada
pasien,adaya nyeri tekan dan apakah ada massa di dada pasien.
c. Perkusi
Pada perkusi yang perlu dikaji yaitu bagaimana bunyi lapang paru saat
dilakukan perkusi.
d. Auskultasi
Auskultasi pada pemeriksaan paru digunakan untuk mengetahui apakah
ada bunyi napas tambahan seperti ronki,dan mengi.
Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik dilakukan untuk data penunjang supaya bisa menegakkan
diagnosa. Tidak cukup data pemeriksaan fisik saja yang bisa menegakkan
diagnosa juga diperlukan pemeriksaan penunjang seperti:
a) Analisis gas darah
b) Pemeriksaan laboratorium
c) Pemeriksaan sputum
d) Pemeriksaan radiologi thoraks
e) EKG
2. Diagnosa
Untuk diagosa keperawatan pada kasus PPOM yang bisa ditegakkan
berdasarkan teori dan dilihat dari kasus yaitu tentag masalah pernapasan.
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan tertahannya
sekresi.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai oksigen.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan in adekuat pertahanan
primer dan sekunder, penyakit kronis.
4. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disprisa, kelemahan, efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual /
muntah.
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplay
dan kebutuhan oksigen, kelemahan, dispnea.
3. Intervensi
Pada intervensi yaitu merencakan tindakan yang akan dilakukan kepada
pasien dengan gangguan sistem pernapasan. Kita sebagai perawat melakukan
intervensi kepada pasien PPOM yaitu harus mempertahankan jalan napas
pasien untuk mempertahankan hidupnya.
4. Implementasi
Pada implementasi yang kita lakukan sebagai perawat yaitu melaksanakan
rencana yang telah kita buat pada intervensi sebelumya.
5. Evaluasi
Sejauh mana asuhan keperawatan yang kita berikan kepada pasien telah
tercapai. Apakah sudah sesuai dengan yang kita harapkan pada intervensi atau
belum. Jika belum kita bisa melanjutkan intervensi yang belum dicapai.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
PPOM adalah kelainan paru yang ditandai dengan gangguan fungsi paru
berupa memanjangnya periode ekspirasi yang disebabkan oleh adanya penyempitan
saluran nafas dan tidak banyak mengalami perubahan dalam masa observasi
beberapa waktu.PPOM terdiri dari kumpulan tiga penyakit yaitu Bronkitis kronik,
Emfisema paru dan Asma.
Faktor resiko dari PPOM adalah : merokok sigaret yang berlangsung lama,
Polusi udara, Infeksi paru berulang, Umur, Jenis kelamin, Ras, Defisiensi alfa-1
antitripsin, Defisiensi anti oksidan
Penatalaksanaan pada penderita PPOM : Meniadakan faktor etiologi dan
presipitasi, Membersihkan sekresi Sputum, Memberantas infeksi, Mengatasi
Bronkospasme, Pengobatan Simtomatik, Penanganan terhadap komplikasi yang
timbul, Pengobatan oksigen, Tindakan ”Rehabilitasi”
B. Saran
Makalah yang telah disusun ini jauh dari kata sempurna. Maka dari itu di
harapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca demi sempurnanya
makalah ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin arif.2012.asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem pernapasan.
Jakarta : salemba medika.
Somantri irman. 2008.keperawatan medikal bedah asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan sistem pernapasan.penerbit salemba medika,Jakarta.
Brunner & suddarth.2001.buku ajar Keperawatan medikal bedah,ed 8.Jakarta:EGC.
Doenges marilynn E. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Ed 3. Jakarta :EGC.