Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gas Metana Dari Tanah Sawah

Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan

rumus kimia CH4. Pembakaran satu molekul metana dengan oksigen akan

melepaskan satu molekul CO2 (karbondioksida) dan dua molekul H2O (air). Pada

suhu ruangan dan tekanan standar, metana adalah gas yang tidak berwarna dan

tidak berbau. Sebagai gas, metana hanya mudah terbakar bila konsentrasinya

mencapai 5-15% di udara. Metana yang berbentuk cair tidak akan terbakar kecuali

diberi tekanan tinggi (4-5 atmosfer) (Cao, et al., 2010).

Konsentrasi metana di atmosfer pada tahun 1998, dinyatakan dalam

fraksi mol adalah 1.745 nmol/mol (bagian per miliar). Pada tahun 2008,

kandungan gas metana di atmosfer meningkat kembali menjadi 1.800 nmol/mol.

Banyaknya aktivitas manusia yang menghasilkan metana maka membuat gas ini

menjadi salah satu penyebab pemanasan global. Radiasi panas dari permukaan

bumi yang terperangkap gas rumah kaca seperti karbon dioksida, nitrogen oksida

dan metana dapat menyebabkan pemanasan global (Rao, 1999).

Berdasarkan Denman, et al. (2007) dan IPCC (2007), metana

merupakan salah satu gas penting urutan kedua setelah karbon dioksida, dan tanah

sawah adalah salah satu sumber utama emisi metana, yaitu sekitar 5 - 19% metana

global. Lahan pertanian padi merupakan salah satu habitat terpenting dalam

menghasilkan metana global sebesar 10%. Aplikasi pupuk dengan penggunaan

10
11

urea dapat menghambat aktivitas dan mengurangi kelimpahan bakteri metanotrof

sehingga menyebabkan emisi metana menjadi lebih besar. Estimasi tingkat emisi

tahunan berkisar antara 60 dan 110 Tg (Tg = Terragram; 1Tg = 1012 gr )

(Cicerone, et al., 1988).

Sawah merupakan lahan pertanian yang harus mampu menyangga

genangan air, karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam

pertumbuhannya. Pada lahan sawah tergenang, metanogenesis diuntungkan oleh

kondisi anoksik, ketersediaan bahan organik dari akar, sisa jerami, biomassa

fotosintetik tanaman air, pH tanah mendekati netral, suhu tanah berkisar 20-30oC

selama pertumbuhan tanaman padi (Wihardjaka dan Abdurachman, 2007).

Total kontribusi metana global dari metabolisme mikroorganisme

sebesar 69%. Emisi metana dapat direduksi melalui proses oksidasi metana oleh

mikroorganisme metanotrof dengan menggunakan enzim metana

monooksigenase. Enzim metana monoksigenase mampu mengoksidasi metana

menjadi karbon dioksida dengan menghasilkan senyawa metabolik intermediet

seperti metanol, format, dan formaldehid (Topp dan Pattey, 1997). Proses

oksidasi metana dapat berlangsung dalam kondisi aerob maupun anaerob

(Christoserdova, et al., 2005).

Metanotrof memainkan peran penting dalam mengurangi jumlah metana

yang dilepaskan ke atmosfer. Gas metana sebanyak 90% yang dihasilkan dari

aktivitas metanogen sebenarnya digunakan oleh metanotrof sebelum terlepas ke

atmosfer (De Visscher, et al., 2007). Proses pembentukan gas metana dalam

ekosistem tanah sawah diawali adanya dekomposi material organik oleh mikroba
12

dekomposer. Proses ini melibatkan banyak enzim penghidrolisis yang akan

merubah material organik. Beberapa enzim yang terlibat pada proses hidrolisis

senyawa polisakarida yaitu selulase, amilase, invertase, urease, protease, dan

lipase (Adam dan Duncan, 2001).

Hasil hidrolisis polisakarida menghasilkan senyawa yang lebih

sederhana. Produk tersebut selanjutnya memasuki jalur fermentasi yang

menghasilkan asam organik seperti asam asetat dan karbondioksida. Pada kondisi

anaerob, asam asetat dan karbondioksida akan dikonversi menjadi gas metana

melalui proses metanogenesis (Hanson dan Hanson, 1996). Proses oksidasi

metana pada tanah sawah, merupakan salah satu faktor yang paling menentukan

siklus metana di alam untuk menekan jumlah gas metana yang teremisi ke

atmosfer. Metana terlepas dari lingkungan anaerobik ke atmosfer ketika tidak

dioksidasi oleh metanotrof.

Gambar 2.1. Skema terlepasnya gas metana dari tanah ke atmosfer


(Sumber: Whalen, 2005).

Berdasarkan Aiju dan Mingxing, (1996), emisi gas metana dari tanah

sawah yang diilustrasikan Gambar 2.1 diawali dengan adanya pembentukan


13

gelembung-gelembung gas metana di sebagian besar pada tanah tergenang yang

tidak ditanami tanaman. Kedua, metana teremisikan melalui proses difusi gas

yang dengan sendirinya akan terdifusi ke atmosfer pada permukaan lapisan air.

Ketiga, emisi gas metana melalui tanaman padi yang dimulai dari masuknya gas

metana ke dalam jaringan epidermis akar dan ikut terdifusi sampai jaringan

aerenkim melalui sistem pengangkutan air. Gas metana akan teremisi ke atmosfer

melewati jaringan aerenkim pada saat melakukan transport air dan oksigen.

Metana yang dilepas dari lahan tergenang ke atmosfer dilepaskan melalui tanaman

dan sisanya melalui gelembung air (ebullition). Hal yang sama seperti pada

tanaman padi emisi metana ini terlepas ke atmosfer melalui pembuluh aerenkim.

Metana sebagai produk akhir dari degradasi bahan organik berfungsi

sebagai substrat untuk bakteri metanotrof. Metanotrof dapat ditemukan di habitat

di mana metana dan oksigen berada di area yang sama, khususnya permukaan

tanah sawah dan perakaran (Henckel, et al., 2001). Namun, beberapa bakteri

metanotrof dapat dideteksi dalam sebagian tanah yang anoksik atau anaerob

(Eller dan Frenzel, 2001).

Pada lahan sawah dengan sistem penggenangan berkelanjutan, suplai

oksigen dari atmosfer ke tanah akan terputus, akibatnya terjadi fermentasi bahan

organik tanah secara anaerob yang akan menghasilkan gas metana sebagai akhir

prosesnya (Neue, 1993). Gas metana dengan berat molekulnya yang ringan

mampu mencapai lapisan ionosfer yang terdapat senyawa radikal O3 yang

berfungsi melindungi bumi dari radiasi gelombang pendek ultra violet.

Kehadiran gas metana pada lapisan ionosfer, menyebabkan penipisan lapisan O3


14

(ozon) bumi. Oleh karena itu, gas rumah kaca yang harus diwaspadai untuk

diturunkan emisinya dari lahan sawah adalah metana (Setyanto, dkk., 2008).

Emisi metana di lahan sawah untuk tiap wilayah besarnya berbeda.

Perbedaan emisi metana tersebut dipengaruhi oleh jenis tanah, pengelolaan tanah

dan tanaman. Cara budidaya padi di Indonesia, terutama pengelolaan air irigasi

dan rotasi tanaman, banyak melepaskan metana. Emisi metana sebagian besar

disebabkan oleh kegiatan yang tidak efisien, seperti pengairan yang terus

menerus dan berlebihan, cara pemupukan atau penggunaan pupuk yang tidak

tepat (Setyanto, dkk., 2004).

2.2 Bakteri Metanotrof

Bakteri yang berperan dalam proses oksidasi metana lebih dikenal sebagai

bakteri metanotrof. Metanotrof adalah bagian dari kelompok metilotrof, yang

memiliki kemampuan untuk tumbuh dan berkembang dengan menggunakan

senyawa berkarbon tunggal. Mikroorganisme ini pertama kali ditemukan pada

awal tahun 1900-an dan baru pada tahun 1960-an bakteri ini teridentifikasi lebih

lanjut, terutama jalur metabolismenya (Anthony, 1982). Metanotrof pertama kali

diidentifikasi pada tahun 1906 oleh Sohngen dan dibedakan dari mikroorganisme

lain dengan kemampuannya dalam memanfaatkan metana sebagai satu-satunya

sumber karbon dan energi. Metanotrof adalah mikroba yang dapat mengoksidasi

metana dengan oksigen menjadi metanol, formaldehid, format, dan

karbondioksida (Bowman, 2006).

Populasi bakteri metanotrof di dalam tanah jauh lebih kecil daripada

populasi mikrobia lain (Hanson dan Hanson, 1996). Pada dasarnya proses oksidasi
15

metana oleh bakteri metanotrof dapat berlangsung secara aerobik ataupun secara

anaerobik. Produksi metana dalam jumlah tinggi tetapi memberikan konsentrasi

rendah di atmosfer dikarenakan adanya oksidasi oleh mikroba (Christoserdova, et

al., 2005).

2.2.1 Habitat Bakteri Metanotrof

Bakteri metanotrof tersebar luas di habitat alami. Metanotrof

membutuhkan metana yang tinggi untuk pertumbuhannya, namun beberapa

metanotrof rupanya dapat memanfaatkan metana dengan komposisi rendah. Oleh

karena itu, secara ekologis dapat ditemukan dilingkungan berbeda pada lahan

basah, air tawar, sedimen laut, kolam air, limbah lumpur, tanah, sawah, rawa dan

gambut, sedimen, tempat pembuangan sampah bahkan metanotrof juga ditemukan

sebagai endosimbion, misalnya pada kerang laut (Hanson dan Hanson, 1996).

Oksidasi metana dapat terjadi dalam keadaan lingkungan aerob maupun

anaerob. Oksidasi metana aerob dilakukan oleh metanotrof dan oksidasi metana

anaerob baru-baru ini ditemukan dilakukan oleh bakteri metanotrof dengan bakteri

pengguna sulfat atau nitrat sebagai donor untuk oksidasi metana. Pada kondisi

aerob, bakteri metanotrof menggunakan oksigen sebagai elektron aseptor terminal

untuk mengoksidasi metana, dan kondisi anaerob bakteri metanotrof

menggunakan sulfat (SO4-2) ataupun nitrat (NO3) sebagai elektron aseptor

terminalnya (Octaviana, 2010).

Pada umumnya metanotrof tumbuh baik pada pH sedang (5-8) dengan

temperatur antara 20–35oC. Metanotrof yang telah terisolasi ada yang bersifat
16

psikrophilik tumbuh pada <15oC, termofilik >40oC, alkalopilik pada pH >9,0 dan

asidopilik tumbuh pada < pH 5 (Semrau, et al., 2010).

2.2.2 Klasifikasi Bakteri Metanotrof

Bakteri metanotrof termasuk ke dalam filum Proteobacteria. Klasifikasi

bakteri metanotrof dapat didasarkan pada perbedaan dalam sistem enzim untuk

oksidasi metana, dan jalur yang digunakan untuk asimilasi karbon. Bakteri

metanotrof juga berbeda dalam komposisi kimia seluler dan kemampuan untuk

bersaing dihabitat yang berbeda (Semrau, et al., 2010; Smith, et al., 2010).

Menurut Rahman (2010), metanotrof diklasifikasikan berdasarkan kriteria

seperti:

1. Afinitas metanotrof, konsentrasi metana yang dibutuhkan untuk pertumbuhan:

afinitas tinggi dan afinitas rendah.

2. Kebutuhan oksigen sebagai akseptor elektron untuk mengoksidasi metana:

aerobik dan anaerobik.

3. Berdasarkan kemampuan dalam menggunakan senyawa multikarbon sebagai

sumber karbon selain metana: metanotrof obligat dan metanotrof fakultatif.

4. Berdasarkan filogeni: Alphaproteobacteria, Gammaproteobacteria dan

Verrucomicrobial.

5. Bedasarkan pada morfologi, fisiologi dan biokimia: metanotrof tipe I, tipe II

dan tipe X.

Berdasarkan struktur internal cytoplasmic membrane (ICM), jalur

asimilasi karbon, asam lemak fosfolipid, dan penempatan filogenetik (hubungan

kekerabatan) bakteri metanotrof aerob dikelompokkan menjadi 3 kelompok utama


17

yakni tipe I (Gammaproteobacteria), tipe II (Alphaproteobacteria) dan tipe X.

Murrell, et al. (1998), menyebutkan terdapat 8 genus bakteri yang termasuk

bakteri metanotrof, yaitu Methylomonas, Methylosphaera, Methylocaldum,

Methylococcus, Methylosinus, Methylobacter, Methylomicrobium, dan

Methylocystis.

Gambar 2.2. Jalur metabolisme bakteri metanotrof


(Sumber: Hanson dan Hanson, 1996).

Jalur metabolisme pada Gambar 2.2, bakteri metanotrof akan merubah

metana yang dioksidasi menjadi metanol (CH3OH). Metanol kemudian diubah

menjadi formaldehid (HCHO). Formaldehid dapat diasimilasikan menjadi karbon

sel baik melalui jalur RuMp atau jalur serin. Formaldehid dikonversi menjadi

format (HCOOH), yang akhirnya diubah menjadi karbondioksida (Rahman,

2010).

Metana monooksigenase (MMO) merupakan enzim yang akan

mengkatalis proses pengkonversian metana menjadi metanol. Enzim metana

monooksigenase diketahui terdapat dalam 2 bentuk yaitu metana monooksigenase

bentuk partikulat yang terikat pada membran intrasitoplasmik (pMMO) dan

metana monooksigenase bentuk terlarut (sMMO) yang terdapat pada sitoplasma


18

dan hanya ada pada spesies tertentu saja (Lipscomb, 1994). Menurut Madigan, et

al. (2009), proses selanjutnya adalah konversi metanol menjadi formaldehid, yang

merupakan senyawa perantara utama sebelum memasuki jalur metabolisme

berikutnya. Enzim yang berperan dalam proses ini adalah metanol dehidrogenase

(MDH). Metanol dehidrogenase merupakan suatu protein quinon yang berperan

dalam metabolisme senyawa berkarbon tunggal. Dengan adanya enzim ini,

senyawa berkarbon tunggal akan diubah menjadi senyawa formaldehid yang

masuk ke dalam siklus metabolisme lanjutan (Christoserdova, et al., 2004). Proses

konversi oleh metanol dehidrogenase merupakan proses utama dalam

metabolisme bakteri pengguna karbon tunggal (C1) seperti metanotrof.

Formaldehid dapat memasuki dua jalur metabolisme yaitu jalur metabolisme

ribulosa monofosfat (RuMP) dan jalur serin. Metanol yang terbentuk sebagai awal

dari proses metabolisme metanotrof akan dioksidasi oleh enzim metanol

dehidrogenase menjadi format kemudian dioksidasi kembali oleh format

dehidrogenase menjadi karbondioksida (Blake, 1994).

Berdasarkan jalur metabolismenya bakteri metanotrof tipe I akan

mengasimilasi formaldehid melalui jalur metabolisme ribolusa monofosfat

(RuMP), bakteri metanotrof yang termasuk didalamnya bergenus Methylococcus,

Methylomicrobium, Methylobacter, dan Methylomonas. Bakteri metanotrof tipe II

melalui jalur metabolisme serin, yang termasuk didalamnya adalah genus

Methylocystis dan Methylosinus (Hanson dan Hanson, 1996). Bakteri metanotrof

tipe X mengasimilasi formaldehid melalui jalur metabolisme RuMP dan Serin,

tipe X memiliki sifat kombinasi antara bakteri metanotrof tipe I dan tipe II dan
19

yang termasuk ke dalam tipe X yaitu genus bakteri Methylococcus

(Chistoserdova, et al., 2005).

Metanotrof mengoksidasi metana menjadi metanol diinisiasi oleh enzim

metana monooksigenase dan metanol dehidrogenase (Knief, et al., 2003).

Penggunaan enzim metana monooksigenase untuk mengkatalis oksidasi metana

menjadi metanol dijadikan sebagai salah satu karakteristik metanotrof. Lipscomb

(1994) menyatakan bahwa enzim monooksigenase mampu mereduksi ikatan O=O

menjadi dioksigen. Satu atom oksigen tereduksi menjadi H2O, dan yang lain

berikatan dengan metana membentuk metanol. Gambar 2.2, mengilustrasikan

metabolisme substrat oleh metanotrof, termasuk peran utama formaldehid sebagai

perantara pada katabolisme dan anabolisme, dan jalur ini bekerja untuk sintesis

sabagai perantara dari jalan metabolisme utama. Dua jalur untuk asimilasi

formaldehid ini ditemukan pada bakteri metanotrofik yang di ilustrasikan pada

Gambar 2.3 dan Gambar 2.4.

Gambar 2.3. Jalur RuMP, reaksi dikatalis oleh enzim heksulose-6-fosfat sintase
dan heksulose fosfat isomerase (Sumber: Hanson dan Hanson, 1996).
20

Jalur RuMp pada Gambar 2.3, formaldehid dikombinasikan dengan

ribulosa monofosfat melalui kondensasi aldol untuk membentuk 3 hexulose-6-

fosfat reaksi ini dikatalisis oleh hexulosephosphate synthase (HPS). Hexulose-6-

fosfat diubah menjadi 3 fruktosa-6-fosfat oleh hexulosephosphate isomerase

(HPI). Tahap kedua jalur RuMp yaitu pemecahan 3 fruktosa-6-fosfat yang diubah

menjadi 2-keto-3-deoksi-6-fosfoglukonat, senyawa ini dipecah untuk

menghasilkan piruvat dan gliseraldehid-3-fosfat. Tahap ketiga (penyusunan

kembali), gliseraldehid fosfat dan molekul fruktosa-6-fosfat menjalani

serangkaian reaksi yang menyebabkan regenerasi ribulosa-5-fosfat untuk

melengkapi jalur metabolisme (Hanson dan Hanson, 1996).

Gambar 2.4. Jalur serin, reaksi dikatalisis oleh serin hidroksimetil transferase
(STHM), hidroksipiruvat reduktase (HPR), malat thiokinase (MTK), dan malil
koenzim A liase (MCL) (Sumber: Hanson dan Hanson, 1996).
Reaksi pertama dari jalur serin yang diilustrasikan Gambar 2.4,

formaldehid bereaksi dengan glisin membentuk serin. Reaksi ini dikatalisis oleh

serin hydroxymethyl transferase. Serin kemudian mengalami transaminasi dengan

glioksilat sebagai amino kelompok akseptor untuk menghasilkan hydroxypyruvate

dan glisin. Hidroxipiruvat direduksi menjadi glycerat oleh hydroxypyruvate


21

reduktase. Kinase glycerat mengatalisis penambahan fosfat kelompok dari ATP

untuk menghasilkan 2-fosfogliserat. Konversi 2-fosfogliserat ke fosfoenolpiruvat,

fiksasi karbondioksida dikatalisis oleh fosfoenolpiruvat karboksilase, dan reduksi

oksaloasetat menjadi malat mengikuti reaksi umum pada bakteri heterotrofik.

Malil koenzim yang terbentuk dalam reaksi dikatalisis oleh thiokinase malat dan

dipecah oleh koenzim malil A liase. Tahap kedua dari jalur serin, asetil koenzim

A dikonversi menjadi glioksilat (Hanson dan Hanson, 1996).

Hanson dan Hanson, (1996) menyebutkan bahwa jalur serin membutuhkan

dua molekul NADH dan ATP sebagai sumber energi untuk pembentukan satu

molekul asetil koA yang digunakan untuk membentuk materi sel baru dan satu

molekul karbondioksida. Enzim yang terdapat pada jalur serin yaitu serin

hidroksimetil transferase (STHM), hidroksi piruvat reduktase (HPR), dan malil

koenzim A liase (MCI). Sedangkan pada jalur RuMP terdapat dua enzim yang

berperan, yaitu heksulose-6-fosfat sintase dan heksulose fosfat isomerase. Jalur

RuMP membutuhkan satu molekul ATP untuk setiap pembentukan satu molekul

gliseraldehida-3-fosfat. Tipe X, merupakan bakteri metanotrof yang memiliki sifat

kombinasi antara bakteri metanotrof tipe I dan tipe II yang dapat menggunakan

jalur metabolisme RuMP ataupun jalur metabolisme serin untuk asimilasi

formaldehid (Chistoserdova, et al., 2005).

2.2.3 Teknik Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Metanotrof

Metode analisis komunitas mikrobia dapat dikelompokkan menjadi dua

yaitu metode kultur dan metode non-kultur. Metode kultur meliputi morfologi

koloni dan sel, motilitas, kemampuan tumbuh pada medium kultur, uji fisiologi
22

dan biokimia. Metode analisa non-kultur (molekular) umumnya digunakan untuk

menganalisa komunitas mikrobia yang berada dalam jumlah kecil dan sulit untuk

dikultivasi (Kapur dan Jain, 2004).

Tabel 2.1. Karakteristik Bakteri Metanotrof (Bergey's Manual of


Determinative Bacteriology: Kingdom: Procaryotae (9th Edition)

Grup Gram Morfologi Jalur


Tipe Subkelas
Bakteri Stain Sel Metabolisme
Metanotrof I Gammaproteobacteria Gram Shortrod Jalur RuMp
II Alphaproteobacteria negative Coccus as Jalur Serin
X Gammaproteobacteria pair RuMp dan
ellipsoid Serin
Rod

Identifikasi secara konvensional (fenotipik) secara mikroskopis meliputi

bentuk koloni, ukuran dan bentuk permukaan. Umumnya, isolat bakteri

selanjutnya dibedakan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dengan pewarnaan

(Jackman, 2012). Karakteristik bakteri metanotrof yang diperoleh berdasarkan

metode kultur maupun non-kultur terdapat pada Tabel 2.1. Berdasarkan Bergey’s

Manual of Determinative, bakteri metanotrof termasuk ke dalam bakteri gram

negatif, dengan berbagai bentuk sel yang ditemukan yaitu terdapat bentuk

shordrod, rod, coccus bahkan ada yang ditemukan berpasangan dan ellipsoid.

Bakteri metanotrof telah dipelajari dari berbagai lingkungan di

laboratorium umumnya menggunakan metode kultivasi. Medium nitrate mineral

salts (NMS) umum digunakan untuk isolasi dan menumbuhkan bakteri

metanotrof. Medium NMS tidak mengandung sumber karbon, oleh karenanya


23

dengan menginjeksi gas metana selama inkubasi dapat dijadikan sebagai substrat

utama untuk metabolisme bakteri metanotrof. Modifikasi metode kultur seperti

perubahan konsentrasi garam mineral atau pH medium digunakan dengan tujuan

untuk mengisolasi jenis bakteri metanotrof tertentu (Rahman, 2010).

Studi molekuler dapat membedakan dalam mengidentifikasi metanotrof di

lingkungan. Metode molekuler dapat mendeteksi komunitas mikrobia yang tidak

terdeteksi pada metode kultur. Metode tanpa kultur meliputi ekstraksi total DNA

bakteri langsung dari lingkungan, amplifikasi PCR dengan 16S rRNA atau gen-

gen fungsional (Temmerman, et al., 2003).

Pendekatan secara tidak langsung bergantung pada pengayaan atau isolasi,

dengan karakterisasi sampel metanotrof dari lingkungan. Pendekatan langsung

bergantung pada teknologi Polymerase Chain Reaction (PCR) dan penggunaan

gen fungsional untuk deteksi dan analisis metanotrof. Pada tahap ini, analisis

molekuler dengan gen kunci (metana monooxygenase, metanol dehidrogenase dan

16S rRNA) dapat dilakukan dengan membandingkan organisme yang tumbuh

secara kultur (Rahman, 2010).

Keberadaan bakteri metanotrof juga dapat diketahui menggunakan gen

fungsional atau enzim pada metanotrof seperti metana monooksigenase (pMMO)

yang dikodekan pmoA secara molekuler. Urutan gen pmoA selain penggunaan gen

16S rRNA juga digunakan dalam mengetahui keragaman bakteri metanotrof.

Hampir semua bakteri metanotrof memilik enzim pMMO, karenanya pmoA

digunakan sebagai gen penanda dalam mengetahui jenis bakteri metanotrof

(Knief, et al., 2005).


24

Gen pmoA pada sejumlah besar bakteri metanotrof dari berbagai

lingkungan telah diurutkan dalam set data pada GenBank. Gen pengode seperti

subunit pMMO telah berhasil diidentifikasi pada bakteri metanotrof yang

tergolong dalam subkelas Alphaproteobacteria maupun Gammaproteobacteria

(Knief, et al., 2003). Primer dan protokol juga telah dikembangkan untuk

menganalisis metanotrof dengan menargetkan gen fungsional seperti pmoA (Horz,

et al., 2001; Knief, et al., 2003; Lin, et al., 2005). Costello dan Lidstrom (1999),

merancang primer reverse baru yaitu mb 661 untuk spesifik amplifikasi sekuen

pmoA. Penggunaan set primer A189f dan mb 661r dirancang dan digunakan

pertama kali untuk mengetahui keragaman metanotrof pada lingkungan air tawar

(Bourne, et al., 2001).

Anda mungkin juga menyukai