Anda di halaman 1dari 18

AMBIGUS GENITALIA

I.   PENDAHULUAN

Ambiguous genitalia adalah suatu kejadian langka dimana alat kelamin

 bayi tidak jelas sebagai alat kelamin laki laki atau perempuan atau biasa disebut

dengan kelamin ganda. Pada penderita ambigus genitalia, alat kelamin tidak

tumbuh sempurna atau bayi tersebut mempunyai dua buah alat kelamin, yaitu alat

kelamin laki laki dan perempuan. Pada penderita kelamin ganda, alat kelamin

yang ada di luar tubuh mungkin tidak sama dengan jenis alat kelamin yang ada di

dalam tubuh. Misalnya, meskipun diluar seperti alat kelamin perempuan, namun
tubuh bagian dalam tidak punya rahim atau indung telur.(mayo)

Kelamin ganda bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan suatu gangguan

 pertumbuhan dari alat kelamin seseorang ketika masih janin (bayi). Kelamin

ganda biasanya segera diketahui setelah bayi lahir. Kondisi tersebut sering

membuat cemas kedua orang tua si bayi.(mayo)

Penyebab dari ambiguous genitalia adalah karena terjadinya gangguan

 pertumbuhan alat kelamin ketika masih didalam rahim ibu. Pada bayi yang secara

genetika berkelamin perempuan, ketika dalam pertumbuhannya mendapat banyak

hormon laki laki sehingga pertumbuhan alat kelamin menjadi melenceng. Begitu

 pula dengan bayi yang secara genetika adalah laki laki, bila ketika sedang dalam

masa pertumbuhan alat kelamin mendapat banyak hormon perempuan maka

1
 pertumbuhan alat kelamin laki lakinya menjadi tidak sempurna atau melenceng ke

alat kelamin laki laki.(mayo)

Gejala dari ambigous genitalia, pada bayi yang secara genetika seorang

 perempuan (kedua chromosome XX), maka terlihat clitoris yang membesar yang

sering dikira sebagai penis, bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga

dikira sebagai scrotum, benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis.

(mayo)

II.   DEFINISI

Ambigus genitalia adalah suatu kelainan yang ditandai dengan adanya organ

genitalia eksterna yang tidak jelas laki-laki atau perempuan, atau mempunyai

gambaran kedua jenis kelamin. (siti wasilah)

Dicurigai ambiguous genitalia, apabila alat kelamin kecil, disebut penis

terlalu kecil sedangkan klitoris terlalu besar, atau bilamana scrotum melipat pada

garis tengah sehingga tampak seperti labium mayor yang tidak normal dan gonad

tidak teraba.(6)

 
Gambar 1. Pasien dengan Ambi guous Geni tali a 
Penamaan dan Klasifikasi

Dewasa ini, The Lawson Wilkins Pediatric Endocrine Society (LWPES)

danThe European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) telah

mengumumkan usulan perubahan nama dan definisi berdasarkan gangguan

 perkembangan kromosam, gonad, atau fenotip yang bersifat atipik. (3) 

Istilah  Disorders of Sexual Development (DSD) pun diusulkan untuk

merujuk kondisi kongenital tersebut.(4) 

Terminologi lama Terminologi baru

Female pseudohermaphrodite46,XX DSD


Male pseudohermaphrodite 46,XY DSD

True hermaphrodite Ovotesticular DSD

XX male 46,XX testicular DSD

XY sex reversal 46,XY complete gonadal dysgenesis

Tabel 1.2. Istilah yang digunakan sebelumnya dan penamaan hasil revisi
dari Disorders of Sexual Development (DSD)(3) 

III.   INSIDEN

Ambigus genitalia merupakan ketidaksesuaian karakteristik yang

menentukan jenis kelamin seseorang, secara umum tingkat kejadiannya untuk

mendapatkan penyakit ini adalah 1: 2000. (8) 

Data mengenai insidens dan prevalensi penyakit ambiguous genitalia sangat

terbatas.(2) 
Meskipun tidak ada jumlah pasti prevalensi penyakit ambiguous genitalia,

 pada akhir tahun 2006, di Jerman telah ditemukan 2 kasus dari 10.000 kelahiran.(5) Kasus

DSD secara umum dapat dialami baik laki-laki, maupun perempuan

dan biasanya didiagnosis pada kelahiran bayi dengan ambiguous genitalia. (3)

IV.   ETIOLOGI

Ketika genitalia eksternal tidak mempunyai penampakan anatomik yang

sesuai dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara normal, maka dikenal

sebagai ambiguous genitalia. Keadaan ini dapat disebabkan oleh berbagai  DSD.

Akan tetapi, tidak semua DSD berupa ambigus genitalia eksternal, beberapa DSD
memiliki genital ekterna yang normal (seperti Turner sydrome [45,XO] dengan

fenotip wanita, Klinefelter syndrome [47,XXY] dengan fenotip pria). (2)

Virilised Females  Feminised Males 

Congenital Adrenal Hyperplasia  Congenital Adrenal Hyperplasia 

   21-hydroxylase deficiency    3β-hydroxylase deficiency


  11-hydroxylase deficiency

  3β-hydroxylase deficiency

Chromosomal Abnormalities  Partial Androgen Resistance

Syndromes 
  XO/XY

  XX/XY   5 α-reductase deficiency


  Variants   Partial androgen receptor

defects

Maternal Virilisation  Defect in Testicular Development 

  Drug-induced

  Excessive androgen

 production by mother

True Hermaphroditism  True Hermaphroditism 

Idiopathic  Idiopathic 

  Isolated   Isolated

  Associated with midline   Associated with midline

congenital anomalies congenital anomalies

Tabel 1.1 etiologi ambigus genitalia dikutip dari  Newborn Services Clinical
Guideline

V.   PATOGENESIS

Untuk mengetahui patofisiologi ambiguous genitalia, harus memahami

diferensiasi seksual normal dan abnormal yang merupakan pengertian dasar pada

kelainan.

 Embriologi diferensiasi seksual

Penentuan fenotip seks dimulai dari seks genetik yang kemudian diikuti

oleh kaskade: kromosom seks menentukan seks gonad, akhirnya menentukan


fenotip seks. Tipe gonad menentukan diferensiasi/regresi duktus internal (mulleri

dan wolfili). Identitas gender tidak hanya ditentukan oleh fenotip individu, tetapi

 juga oleh perkembangan otak prenatal dan postnatal.

 Diferensiasi gonad

Dalam bulan kedua kehidupan fetus, gonad indeferen dipandu menjadi

testes oleh informasi genetik yang ada pada lengan pendek kromosom Y disebut

Testes Determining Factor (TDF), merupakan rangkaian 35-kbp dalam subband

11.3, area ini disebut daerah penentu seks pada kromosom Y (SRY). Bilamana

daerah ini tidak ada atau berubah, maka gonad indeferen menjadi ovarium. Gen

lain yang penting dalam perkembangan testes antara lain DAX 1 pada kromosom
X, SF1 pada 9q33, WT1 pada 11p13, SOX9 pada 17q24-q25, dan AMH pada

19q13.3.

 Diferensiasi duktus internal

Perkembangan duktus internal akibat efek parakrin gonad ipsilateral.

Penelitian klasik Jost pada tahun 1942 dengan kelinci menjelaskan dengan sangat

 baik peran gonad dalam mengendalikan perkembangan duktus internal dan

fenotip genitalia eksterna. Bila ada jaringan testes, maka ada dua substansi produk

untuk perkembangan duktus internal laki-laki dan fenotip laki-laki, yaitu

testosteron dan substansi penghambat mulleri (MIS) atau hormon anti-mulleri

(AMH).

Testosteron diproduksi sel Leydig testes, merangsang duktus wolfii

menjadi epididimis, vas deferens dan vesikula seminalis. Struktur wolfii terletak

 paling dekat dengan sumber testosteron, duktus wolfii tidak berkembang seperti
yang diharapkan bila testes atau gonad disgenetik sehingga tidak memproduksi

testosteron. Kadar testosteron lokal yang tinggi penting untuk diferensiasi duktus

wolfii namun pada fetus perempuan androgen ibu saja yang tinggi tidak

menyebabkan diferensiasi duktus internal alki-laki, hal ini jug atidak terjadi pada

 bayi perempuan dengan Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH).

MIS diproduksi oleh sel Sertoli testes, penting untuk perkembangan duktus

internal laki-laki normal, merupakan suatu protein dengan berat molekul 15.000,

yang disekresi mulai minggu ke delapan. Peran utamanya adalah represi

 perkembangan pasif duktus mulleri (tuba falopii, uterus, vagina atas). Testosteron

dan estrogen tidak mempengaruhi peran MIS


 Diferensiasi genitalia eksterna

Genitalia eksterna kedua jenis kelamin masih identik sampai 7 minggu

 pertama masa gestasi. Tanpa hormon androgen (testosteron dan

dihidrotestosteron-DHT), genitalia eksterna secara fenotip perempun. Bila ada

gonad laki-laki, diferensiasi terjadi secara aktif setelah minggu ke-8 menjadi

fenotip laki-laki. Diferensiasi ini dipengaruhi oleh testosteron, yang berubah

menjadi DHT karena pengaruh enzim 5-alfa reduktase dalam sitoplasma sel

genitalia eksterna dan sinus urogenital. DHT berikatan dengan reseptor androgen

dalam sitoplasma kemudian ditranspor ke nukleus, menyebabkan translasi dan

transkripsi material genetik, akhirnya menyebabkan perkembangan genitalia

eksterna laki-laki normal, bagian primordial membentuk scrotum , dari

 pembengkakan genital membentuk batang penis, dari lipatan tuberkel membentuk

glans penis, dari sinus urogenitalis menjadi prostat. Maskulinisasi tidak sempurna
 bila testosteron gagal berubah menjadi DHT atau DHT gagal bekerja dalam

sitoplasma atau nukleus sel genitalia eksterna dan sinus urogenital. Kadar

testosteron tetap tinggi sampai minggu ke-14. Setelah minggu ke-14, kadar

testosteron fetus menetap pada kadar yang lebih rendah dan dipertahankan oleh

stimulasi human chorionic gonadotrophin (hCG) maternal daripada oleh LH.

Kemudian pada fase gestasi selanjutnya testosteron bertanggung jawab terhadap

 pertumbuhan falus yang responsif terhadap testosteron dan DHT.

Bagan 1. Ilustrasi perkembangan sistem reproduksi normal pada manusia.

M I S=M ul leri an I nhi biting Substance, TDF =Testes Determ in ing F actor  (2) 

VI.   GAMBARAN KLINIS

Gejala dari kelamin ganda (ambigous genitalia), pada bayi yang secara

genetika seorang perempuan (kedua chromosome XX), maka:

1.   Terlihat clitoris yang membesar yang sering dikira sebagai penis 


2.   Bibir bawah yang tertutup atau seperti lipatan hingga dikira sebagai

scrotum 

3.   Benjolan dibawah kelamin yang dikira sebagai testis. 

Pada bayi yang secara genetis adalah laki laki, maka gejalanya adalah:

1.   Saluran kencing tidak sampai ke depan penis (berhenti dan keluar

ditengah atau dipangkal penis) 

2.   Penis sangat kecil dengan lubang saluran kencing dekat dari

scrotum 3.  Testis tidak ada atau hanya ada satu buah. 

Gambar 2. Ambiguous genitalia, diantaranya adalah tr ue

her maphr odite   (A) dan congeni tal vir il izing adr enal hyper plasia   (B-E)

VII.   DIAGNOSIS

Idealnya untuk mendiagnosis diperlukan evaluasi/dirujuk ke dokter spesialis


endokrin anak dan pendekatan dilakukan secara multidisipliner, yaitu terdiri dari
tim ahli di bidang endokrinologi anak, bedah urologi/plastik, anak, obstetri

ginekologi, genetik, radiologi, etik, psikiatri, psikolog, patologi anatomi, ahli


agama , tersedianya sarana diagnostik,dan sarana perawatan Pada pemeriksaan
medis perlu perhatian khusus terhadap hal-hal tertentu.(pub.medis)(1).

Anamnesis 

1. Riwayat pranatal:

a)   Ibu mengkonsumsi seks steroid

 b)  Diagnosis antenatal: androgen producing tumor c) 

Virilisasi ibu

2. Riwayat keluarga:

a)   Riwayat kematian perinatal yang tidak diketahui penyebabnya, abortus

 b)  Riwayat genitalia ambigus

c)   Gangguan perkembangan pubertas

d)   Infertilitas

e)   Kosanguitas

3. Riwayat penyakit:

a)  Mulai timbulnya

 b)  Progresivitas

c)   Riwayat pertumbuhan (adakah gagal tumbuh) dan pubertas

d)   Riwayat penyakit dahulu (muntah-muntah saat perinatal) atau operasi yang

 pernah dijalani

Pemeriksaan Fisis 

1. Catat derajat genitalia ambigus dengan skala Prader 0-5

a)  Prader 0: genitalia perempuan normal

 b)  Prader 1: phallus membesar


c)   Prader 2: phallus membesar dengan lubang uretra dan

d)   Prader 3: phallus membesar dengan satu lubang sinus urogenitalis

e)   Prader 4: phallus membesar dengan hipospadia

f)   Prader 5: Genitalia laki-laki normal

2.Periksa sinus urogenitalis, lubang vagina dengan teliti, hymen, warnanya

3. Ada/tidaknya gonad, letaknya, volumenya, konsistensinya

4. Periksa lubang uretra, letaknya

5. Adakah dismorfik wajah atau gangguan perkembangan, hiperpigmentasi

6. Tekanan darah

Keadaan-keadaan berikut ini dapat mengarahkan pada kondisi DSD:

1. Ambigus genitalia yang khas (misalnya ekstrofi kloaka)

2. Terlihat seperti genitalia perempuan dengan pembesaran klitoris, fusi labia

 posterior, atau terdapat massa di inguinal/labia yang berisi gonad. Hernia


inguinalis sangat jarang pada perempuan, sehingga pikirkan selalu adanya

gonad, bila ditemukan hernia inguinalis pada anak perempuan

3. Terlihat seperti genitalia laki-laki dengan undescended testes (UDT) bilateral,

mikropenis, hipospadia perineal, atau hipospadia ringan dengan UDT atau

skrotum yang terbelah

4. Riwayat keluarga dengan DSD

5. Riwayat pemeriksaan kromosom seks pranatal, yang tidak sesuai dengan klinis

genitalia saat lahir (pub medis)

Pemeriksaan penunjang: 

Pemeriksaan lini pertama yang perlu dilakukan adalah analisis kromosom

dengan kariotipe, dan  fluorescence in-situ hybridisation (FISH) dengan probe

DNA khusus kromosom X dan Y dengan atau tanpa pemeriksaan gen SRY. Selain

itu pemeriksaan pecitraan untuk visualisai genitalia interna, dapat berupa

genitogram dan/ atau ultrasonografi (USG), serta CT scan/ MRI bila diperlukan.

Bila ditemukan gangguan pubertas pemeriksaan aksis hipotalamus-hipofisis-

gonad, yaitu LH, FSH, testosteron atau estradiol perlu ditambahkan dalam

 pemeriksaan awal ini. Pemeriksaan selanjutnya seperti yang tercantum berikut ini

dilakukan sesuai hasil pemeriksaan lini pertama. Algoritme diagnosis (Gambar 2)

dapat dipakai sebagai panduan. (pub medis)

Jenis-jenis pemeriksaan penunjang pada kasus DSD dapat meliputi:


1. Analisis kromosom: dengan kariotip atau FISH kromosom seks. Analisis

kromosom merupakan pemeriksaan awal yang diharapkan dilakukan pada

setiap kasus DSD

2. Gen SRY

3. Elektrolit serum, urin lengkap

4. 17 hidroksi progesteron (17-OHP)

5. Aktivitas renin plasma

6. Dihidroepiandrosteron (DHEA), androstenedion

7. Uji HCG

8. Rasio testosteron dan dihidrotestosteron (T/DHT)

9. Ultrasonografi pelvis memeriksa keadaan genital interna

10. Genitogram untuk menetukan apakah saluran genital interna perempuan ada

atau tidak. Jika ada, lengkap atau tidak

11. CT scan dan MRI pelvis

 
VIII. PENATALAKSANAAN
a.   Pengobatan endokrin(6) 

Bila pasien menjadi laki-laki, maka tujuan pengobatan endokrin adalah

mendorong perkembangan maskulisasi dan menekan berkembangnya tanda-

tanda seks feminisasi (membesarkan ukuran penis, menyempurnakan

distribusi rambut dan massa tubuh) dengan memberikan testosteron.

Bila pasien menjadi perempuan, maka tujuan pengobatan adalah

mendorong secara simultan perkembangan karakteristik seksual ke arah


feminin dan menekan perkembangan maskulin (perkembangan payudara

dan menstruasi yang dapat timbul pada beberapa individu setelah

 pengobatan estrogen).

Pada CAH diberikan glukokortikoid dan hormon untuk retensi garam.

Glukokortikoid dapat membantu pasien mempertahankan reaksi bila terjadi

stres fisik dan menekan perkembangan maskulinisasi pada pasien

 perempuan.

Pengobatan dengan hormon seks biasanya mulai diberikan pada saat

 pubertas dan glukokortikoid dapat diberikan lebih awal bila dibutuhkan,

 biasanya dimulai pada saat diagnosis ditegakkan. Bilamana pasien diberikan


hormon seks laki-laki, hormon seks perempuan atau glukokortikoid, maka

 pengobatan harus dilanjutkan selama hidup. Misalnya, hormon seks laki-

laki dibutuhkan pada saat dewasa untuk mempertahankan karakteristik

maskulin, hormon seks perempuan untuk mencegah osteoporosis dan

 penyakit kardiovaskuler, dan glukokortikoid untuk mencegah hipoglikemia,

dan penyakit-penyakit yang menyebabkan stres.

b.  Pengobatan pembedahan(6) 

Tujuan pembedahan rekonstruksi pada genitalia perempuan adalah agar

mempunyai genitalia eksterna feminin, sedapat mungkin seperti normal dan

mengkoreksi agar fungsi seksualnya normal. Tahap pertama adalah

mengurangi ukuran klitoris yang membesar dengan tetap mempertahankan

 persarafan pada klitoris dan menempatkannya tidak terlihat seperti posisi


 pada wanita normal. Tahap kedua menempatkan vagina keluar agar berada

di luar badan di daerah bawah klitoris.

Tahap pertama biasanya dilakukan pada awal kehidupan. Sedangkan

tahap kedua mungkin lebih berhasil bilamana dilakukan pada saat pasien

siap memulai kehidupan seksual.

Pada laki-laki, tujuan pembedahan rekonstruksi adalah meluruskan penis

dan merubah letak urethra yang tidak berada di tempat normal ke ujung

 penis. Hal ini dapat dilakukan dalam satu tahapan saja. Namun demikian,

 pada banyak kasus, hal ini harus dilakukan lebih dari satu tahapan,

khususnya bilamana jumlah jaringan kulit yang digunakan terbatas, lekukan


 pada penis terlalu berat dan semua keadaan-keadaan tersebut bersamaan

sehingga mempersulit teknik operasi.

Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah laki-laki, maka dapat

dilakukan operasi rekonstruksi antara usia 6 bulan sampai 11,5 tahun.

Secara umum, sebaiknya operasi sudah selesai sebelum anak berusia dua

dua tahun , jangan sampai ditunda sampai usia pubertas.

Bilamana pengasuhan seks sudah jelas ke arah perempuan, bilamana

 pembukaan vagina mudah dilakukan dan klitoris tidak terlalu besar, maka

rekonstruksi vagina dapat dilakukan pada awal kehidupan tanpa koreksi

klitoris. Bilamana maskulinisasi membuat klitoris sangat besar dan vagina

tertutup (atau lokasi vagina sangat tinggi dan sangat posterior), maka

dianjurkan untuk menunda rekonstruksi vagina sampai usia remaja. Namun

hal ini masih merupakan perdebatan, beberapa ahli menganjurkan agar


rekonstruksi dilakukan seawal mungkin atau setidaknya sebelum usia dua

tahun, namun ahli yang lain menganjurkan ditunda sampai usia pubertas

agar kadar estrogennya tinggi sehingga vagina dapat ditarik ke bawah lebih

mudah.

c.   Pengobatan psikologis(6)

Sebaiknya, semua pasien interseks dan anggota keluarganya harus

dipertimbangkan untuk diberikan konseling. Konseling dapat dibnerikan

oleh ahli endokrin anak, psikolog, ahli psikiatri, ahli agama (ustadz, pastur,

atau pendeta), konselor genetik atau orang lain dimana anggota keluarga

lebih dapat berbicara terbuka. Yang sangat penting adalah bahwa yang
memberikan konseling harus sangat familier dengan hal-hal yang

 berhubungan dengan diagnosis dan pengelolaan interseks. Sebagai

tambahan, sangat membantu bilamana konselor mempunyai latar belakang

terapi seks atau konseling seks.

Topik yang harus diberikan selama konseling adalah pengetahuan

tentang keadaan anak dan pengobatannya, infertilitas, orientasi seks, fungsi

seksual dan konseling genetik. Bilamana pada suatu saat di sepanjang

hidupnya, pasien dan orangtuanya mempunyai masalah dengan topik

tersebut, maka dianjurkan untuk berkonsultasi.


DAFTAR PUSTAKA

1.   mayocinic

2.   Siregar, Charles Darwin.  Pendekatan Diagnostik Interseksualitas pada

 Anak.  Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 126. Jakarta; 2000. P. 32-6.

3.   Chavhan, Govind B, et al. Imaging of Ambiguous Genitalia: Calssification

and Diagnostic approach. [Online] 2008. [Dikutip] 24 Mei 2012.

Available from:

http://radiographics.rsna.org/content/28/7/1891.full 
http://radiogra

4.   Hutcheson, Joel, et al.  Ambiguous Genitalia and Intersexuality. [Online].


2012 (Dikutip] 24 Mei 2012.

Available from:

www.emedicine.medscape.com/article/1015520-overview.htm#showall 5.
www.emedicine.m  

Houk, Cristopher P, et al. Summary of Consesus Statement on Intersex

 Disorders and Their Management. [Online]. 2012 [Dikutip] 24 Mei

2012. Available from:

http://pediatrics.aappublications.org/content/106/1/138.full 
http://pediatric

6.   U, Thyen, et al.  Epidemiology and Initial Management of Ambiguous

Genitalia at Birth in Germany. [Online]. 2006 [Dikutip] 24 Mei 2012.

Available from: 

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16877870 

7.   Susanto, Rudi.  Ambiguous Genitalia pada Bayi Baru Lahir.  [Online].

2006. [Dikutip] 24 Mei 2012.


8.   Sowande, Oludayo A, et al.  Management of Ambiguous Genitalia in ile

ife, Nigeria: Challenge and Outcome. [Online]. 2009 [Dikutip] 24 Mei

2012. Available from:

http://indexmedicus.afro.who.int/iah/fulltext/AJPS/vol6%20n1/manageme

9.   Mirani, erna.  Pengaruh Konseling Genetik pada Tingkat Kecemasan dan

 Depresi Terhadap Penentuan Gender Ambigus Genitalia. [Online]. 2010

[Dikutip] 24 Mei 2012. Available from: http://eprints.undip.ac.id/17421/ 


http://eprints.undip.ac.id/17421/

Anda mungkin juga menyukai