Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/304586605

ESTIMASI DEBIT PUNCAK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI BANJIR PADA DAS


JANGKOK MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

Conference Paper · November 2015

CITATIONS READS

0 3,315

7 authors, including:

Sigit Heru Murti Ach Firyal Wijdani


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
88 PUBLICATIONS   132 CITATIONS    2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Aisya Jaya Dhannahisvara Andika Putri Firdausy


Universitas Gadjah Mada Universitas Gadjah Mada
2 PUBLICATIONS   3 CITATIONS    1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Sistem Informasi Geografis (SIG) View project

Water Quality View project

All content following this page was uploaded by Sigit Heru Murti on 30 June 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

ESTIMASI DEBIT PUNCAK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI BANJIR PADA


DAS JANGKOK MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SIG

Sigit Heru Murti B.S1, Ach. Firyal Wijdani1, Aisya Jaya D1, Andika Putri F1*, Assyria Fahsya U1,
Dian Prabantoro1, Dzimar A.R.P1, Nila Ratnasari1
1
Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi UGM, Sekip Utara, Sleman, Yogyakarta 55281
Email: sigit@geo.ugm.ac.id, firyalwijdani@gmail.com, aisyadhannahisvara2206@gmail.com,
andika.putri.f@mail.ugm.ac.id, afumela@gmail.com, dian.prabantoro3@gmail.com,
dzimar.akbarur.r@mail.ugm.ac.id, nila.ratnasari@mail.ugm.ac.id

*Corresponding author: andika.putri.f@mail.ugm.ac.id

ABSTRAK

Banjir merupakan permasalahan utama yang terjadi pada beberapa DAS di Indonesia, termasuk DAS
Jangkok di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk mengatasi permasalahan bajir di DAS Jangkok diperlukan
upaya untuk mengetahui besarnya debit puncak yang terjadi pada musim penghujan, sebagai langkah awal
dalam mengantisipasi datangnya bencana banjir. Namun sayangnya sampai saat ini tidak tersedia data debit
puncak untuk DAS Jangkok, sehingga diperlukan upaya untuk menghitung besarnya debit puncak yang
berpotensi terjadi di DAS tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengestimasi besarnya debit puncak DAS
Jangkok memanfaatkan citra penginderaan jauh dengan metode Cook pada tahun 2015. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah : citra penginderaan jauh yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra
Landsat 8 OLI yang direkam bulan Mei 2014, Peta Rupabumi Indonesia, Peta Tanah Tinjau, Peta Jalan dan
Peta Sungai/Batas Das. Untuk mendapatkan hasil yang valid, dilakukan kegiatan survei lapangan pada bulan
Mei 2015 pada 4 titik sampel pengukuran lapangan yang ditentukan berdasarkan metode sampel bersyarat.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa besarnya debit puncak DAS Jangkok pada kondisi hujan maksimum
di musim penghujan mencapai 494,38 m3/detik. Besarnya daya tampung Sungai Jangkok (kapasitas
maksimum saluran) berdasarkan perhitungan menggunakan metode Manning adalah 390,29 m2/detik.
Berdasarkan kedua data tersebut, terdapat potensi banjir yang meluap dari Sungai Jangkok dengan debit
sebesar 104,07 m3/detik. Jumlah debit luapan Sungai Jangkok tersebut termasuk kategori besar, sehingga
potensi banjir di DAS Jangkok termasuk tinggi.

KATA KUNCI: Citra Landsat 8 OLI, debit puncak, DAS Jangkok, Metode Cook, Metode Manning

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan utama di sebagaian besar DAS di Indonesia adalah banjir yang secara rutin terjadi
pada musim penghujan. Ditinjau dari penyebabnya, peristiwa banjir tersebut banyak disebabkan oleh : (a)
alih fungsi lahan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat, (b) penurunan kualitas dan daya dukung DAS, dan
(c) perubahan pola hujan. Disamping itu, karakteristik DAS juga sangat menentukan besarnya potensi banjir
dalam DAS tersebut. Salah satu parameter dalam karakteristik DAS yang mempengaruhi terjadinya banjir
adalah morfometri saluran yang berupa lebar dan kedalaman sungai. Setiap DAS memiliki lebar dan
kedalaman sungai utama yang berbeda-beda. Lebar dan kedalaman sungai utama berkaitan dengan seberapa
besar kapasitas sungai tersebut mampu menampung air pada kondisi debit maksimum Debit puncak akan
terakumulasi pada outlet sungai yang merupakan akhir dari percabangan sungai.
Untuk mengantisipasi bencana banjir, diperlukan informasi besarnya debit puncak yang dapat
terjadi dalam suatu DAS serta besarnyadaya tampung sungai dalam DAS tersebut. Perhitungan debit puncak
secara langsung di lapangan merupakan pekerjaan yang berat, terutama untuk DAS yang ukurannya besar
dan kondisi medannya berat. Untuk itu diperlukan teknologi penginderaan jauh (PJ) dan sistem informasi
geografis (SIG) untuk membantu proses analisis debit puncak. Peran PJ adalah untuk mengidentifikasi
parameter-parameter yang mempengaruhi debit puncak seperti curah hujan, koefisien limpasan permukaan,
dan luas DAS. Sementara SIG berfungsi untuk membantu proses analisis dan pengolahan data debit puncak
tersebut.

176 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Sebagai wilayah kajian dalam penelitian ini dipilih DAS Jangkok yang secara administratif terletak
di tiga wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Lombok Utara, Lombok Barat, dan Lombok Tengah. DAS
Jangkok memiliki dua hulu, yaitu di Gunung Pusuk dan Gunung Rinjani. Bagian hilir dari DAS Jangkok
meliput sebagian wilayah Kota Mataram bagian utara, sehingga banjir yang terjadi pada Sungai Jangkok
akan berpengaruh langsung terhadap Kota Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat (Gambar
1).

Gambar 1. Digital Elevation Model Daerah Lombok dan Batas DAS Jangkok

1.1 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan perhitungan debit puncak DAS Jangkok sebagai dasar
identifikasi potensi banjir mengunakan metode rasional berbasis pada pengolahan citra Landsat 8 OLI dan
sistem informasi geografis.

2. TINJAUAN PUSTAKA
Masukan curah hujan dalam daur hidrologi akan didistribusikan melalui beberapa cara yaitu air
lolos (througfall), aliran batang (stemflow), dan air hujan yang langsung sampai ke permukaan tanah untuk
kemudian terbagi menjadi air larian, evaporasi dan air infiltrasi. Pengaruh DAS terhadap air larian adalah
melalui bentuk dan ukuran (morfometri) DAS, topografi, geologi dan tataguna lahan (jenis dan kerapatan
vegetasi).
Semakin besar ukuran DAS, semakin besar air larian dan volume air larian. Tetapi, baik laju
maupun volume air larian per satuan wilayah dalam DAS tersebut turun apabila luas daerah tangkapan air
(Catchment Area) bertambah besar. Dengan demikian, kondisi aliran air permukaan yang berbeda akan
menentukan bentuk dan besaran hidrograf aliran (bentuk hubungan grafis antara debit dan waktu). Hal ini
terdiri atas luas, kemiringan lereng, bentuk dan kerapatan drainase DAS, terhadap besaran dan timing dari
hidrograf aliran yang dihasilkannya.
Luas DAS merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan hidrograf aliran. Semakin
besar luas DAS, ada kecenderungan semakin besar jumlah curah hujan yang diterima. Akan tetapi, beda
waktu (time lag) antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran menjadi lebih lama. Demikian pula
waktu yang diperlukan untuk mencapai puncak hidrograf dan lama waktu untuk keseluruhan hidrograf aliran
juga menjadi lebih panjang.
Faktor berikutnya adalah kemiringan lereng DAS yang mempengaruhi perilaku hidrograf dalam hal
timing. Semakin besar kemiringan lereng suatu DAS, semakin cepat laju air larian, dan dengan demikian
akan mempercepat respons DAS tersebut oleh adanya curah hujan. Dengan kata lain, sebagian aliran air
ditahan dan diperlambat kecepatannya sebelum mencapai lokasi pengamatan. Hal ini dapat diketahui dari
bentuk hidrograf yang menjadi lebih datar.
Bentuk DAS yang memanjang dan sempit cenderung menurunkan laju air larian daripada DAS
berbentuk melebar walaupun luas keseluruhan dari dua DAS tersebut sama. Pada DAS berbentuk
memanjang, bila arah hujan sejajar dengannya, hujan yang bergerak kea rah hulu akan menurunkan laju air
larian. Hal ini tejradi karena pada hujan yang bergerak kea rah hulu, air larian pada bagian bawah DAS
tersebut telah berhenti sebelum air larian berikutnya tiba di daerah bawah tersebut. Sebaliknya , hujan yang
bergerak ke daerah hilir menyebabkan air larian yang besar pada bagian bawa DAS dan pada saat yang
bersamaan datang air larian dari bagian atas DAS tersebut.

177 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Kerapatan daerah aliran (drainase) juga merupakan faktor penting dalam menentukan kecepatan air
larian. Kerapatan drainase adalah jumlah dari semua saluran air/sungai (km) dibagi luas DAS. Semakn tinggi
kerapatan daerah aliran, semakin besar kecepatan air larian untuk curah hujan yang sama. Oleh karenanya,
dengan kerapatan daerah aliran tinggi, debit puncak akan tercapai dalam waktu yang lebih cepat.
Pengaruh vegetasi dan cara bercocok tanam terhadap air larian dapat diterangkan bahwa vegetasi
dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah
(surface detention), dan dengan demikian, menurunkan laju air larian. Berkurngnya laju dan volume air
larian berkaitan dengan perubahan (penurunan) nilai koefisien air larian.
Faktor-faktor tersebut dapat menentukan hasil dari data debit atau aliran sungai yang merupakan
informasi yang paling penting bagi pengelola sumberdaya air. Data Debit puncak (banjir) diperlukan untuk
merancang bangunan pengendali banjir. Sementara data debit aliran kecil diperlukan untuk perencanaan
alokasi (pemanfaatan) air untuk berbagai macam keperluan terutama pada musim kemarau panjang. Debit
aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari
suatu daerah aliran sungai.

3. METODE
3.1 Alat dan Bahan
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Seperangkat Komputer
b. Aplikasi ArcGIS 10.1
c. Aplikasi ENVI 5.0
d. Alat Tulis
e. Double Ring Infiltrometer
f. GPS
g. Pita Ukur
h. Yalon
i. Pemberat
j. Tali Rafia/ Tali Tambang
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Citra Landsat 8 perekaman bulan Mei 2014
b. Data curah hujan DAS Jangkok (2009-2014)
c. Peta Kontur Wilayah DAS Jangkok
d. Peta Batas DAS
e. Peta Batas Sub DAS
f. Peta Sungai
g. Peta Jalan
h. Peta RBI skala 1: 25.000 lembar 1807-521, 1807-512, 1807-511, 1807-233, 1807-234

3.2 Tahapan Penelitian


3.2.1 Pra Lapangan
Koreksi Radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki nilai piksel pada citra sehingga pengaruh dari
gangguan atmosfer dapat diminimalisir, sehingga nilai pantulannya mendekati nilai pantulan objek yang
sebenarnya. Nilai digital number pada citra tergantung pada pantulan objek sebenarnya. Metode koreksi
radiometrik yang ada adalah koreksi bayangan, koreksi topografi, dan koreksi cahaya matahari pada
permukaan air laut (Hedley et al.2005; Wicaksono; 2012). Koreksi radiometrik yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah koreksi atmosferik yang termasuk dalam kalibrasi bayangan dan koreksi Dark
Substract.
Ekstraksi data Sungai dan batas DAS
Data sungai yang digunakan adalah Sungai Jangkok yang berada di Kabupaten Lombok Barat dan
Kota Mataram. Ekstraksi data sungai dan batas DAS dilakukan menggunakan peta Rupabumi Indonesia
lembar 1807-521, 1807-512, 1807-511, 1807-233, 1807-234. Data sungai yang diekstraksi dari peta RBI di

178 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

koreksi dengan menggunakan citra Landsat dan Data DEM kemudian di cek lagi di lapangan. Batas DAS
ditentukan berdasarkan referensi data sungai, data kontur, dan data DEM dengan penarikan batas
berdasarkan igir terluar sungai kajian. DAS Jangkok dibagi lagi ke dalam 5 Sun DAS karena dalam metode
Cook lebih baik digunakan pada DAS dengan luas maksimal 800 Ha. Dari data sungai dan batas DAS kan di
peroleh kerapatan aliran tiap SubDas dengan membagi antara panjang alur sungai dengan luas tiap Sub
DAS.
Interpretasi Jenis Tanah
Interpretasi jenis tanah dilakukan untuk mendapat informasi terkait tekstur tanah untuk
mengetaahui tingkat infiltrasi sebagai salah satu parameter koefisien limpasan. Interpretasi dilakukan
menggunakan Citra Landsat 8 OLI yang difusi dengan data DEM untuk menonjolkan informasi relief dan
pola aliran. Pembuatan peta jenis tanah dilakukan dengan interpretasi bentuklahan dan menggunakan satuan
pemetaan bentuklahan dengan asumsi tiap bentuklahan memiliki karakteristik tanah yang sama.
Interpretasi Kemiringan Lereng
Informasi lereng didapatkan dengan pemoresan data kontur yang diturunkan menjadi kemiringan
lereng (Gambar 2). Terdapat empat kelas dari kemiringan, dimana wilayah atas didominasi dengan lereng
yang sangat tinggi karena merupakan puncak.

Gambar 2. Peta lereng

Interpretasi Kerapatan Aliran


Kerapatan aliran sangat bergantung pada percabangan sungai yang ada di wilayah DAS Jangkok,
semakin banyak percabangan sungainya maka semakin rapat pula aliran sungainya (Gambar 3).

Gambar 3. Peta subdas dan pola aliran

Vegetation Index Transformation


Transforrmasi indeks vegetasi yang digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index
(NDVI). Nilai indeks vegetasi pada NDVI digunakan untuk menentukan nilai dari kerapatan vegetasi pada
wilayah kajian (Gambar 4). Saluran yang digunakan adalah saluran merah dan inframerah dekat. Rumus
yang digunakan dalam transformasi ini adalah:
( − )
=
( + )
NIR = Band Inframerah Dekat
R = Band Merah

179 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Gambar 4. Hasil transformasi NDVI

3.2.2 Lapangan
Pengukuran Infiltrasi
Pengukuran infiltrasi dilakukan dengan dua metode, yaitu kualitatif dengan cara feel method,
sedangkan kuantitatif menggunakan double ring infiltrometer. Pengukuran kuantitaif dilakukan saat hasil
dari data kualitatif dirasa meragukan kebenarannya. Titik sampel infiltrasi tersebar disetiap sub satuan
bentuklahan sebanyak 10 sampel. Akan tetapi, hanya 4 dari 10 sampel yang diharapkan yang tercapai,
karena letak sampel yang sulit untuk di jangkau. Keempat sampel yang telah diambil dirasa telah cukup
mewakili untuk mengetahui tingkat infiltrasi setiap sub bentuklahannya. Peta tekstur tanah disajikan pada
Gambar 5.

Gambar 5. Peta tekstur tanah

Pengukuran Kerapatan Vegetasi


Titik sampel untuk melakukan pengukuran parameter vegetasi berjumlah 30 sampel. Persebarannya
berdasarkan pada perbedaan indeks kerapatan vegetasi. Indeks tersebut didapatkan dari hasil transformasi
NDVI. Setiap titik sampel mewakili satu piksel pada citra Landsat 8 multispektral yang memilki resolusi
spasial 30 meter x 30 meter, akan tetapi karena dianggap ada pergeseran posisi piksel sehingga satu sampel
berukuran 35 meter x 35 meter, sehingga yang kemudian di regresikan dengan data lapangan. Data lapangan
berupa diameter tajuk maksimal dan minimum pada setiap pohon. kemudian diambil diameter rata-rata
sehingga didapatkan jari-jari untuk menghitung luas tajuk pada setiap pohon.
Pengukuran dilapangan dilakukan dengan sensus pohon pada luas sampel dengan kondisi vegetasi
yang beragam. Vegetasi pada titik sampel di lapangan sebagian besar berupa vegetasi dengan masa tanam
yang seragam sehingga dapat didekati dengan pengukuran sampling. Teknik pengukuran tersebut dirasa
mampu menghemat waktu pengukuran.
Pengukuran Morfometri Sungai
Pengukuran morfometri sungai terdiri dari tiga aspek utama yaitu kedalaman sungai, lebar sungai,
dan kecepatan sungai. Persebaran titik sampel disesuaikan dengan outlet setiap sub DAS yang berjumlah 7
sampel, akan tetapi sampel yang memungkinkan diambil hanya 4 outlet. Kedalaman sungai diukur dari
penampang sungai yang di bagi menjadi beberapa segmen dengan panjang antar segmen yaitu 1 meter.
Pengukuran kedalaman sungai dilakukan dengan pengukuran dengan bantuan jembatan dan pengukuran
secara langsung. Kedalaman sungai yang dipertimbangkan pada dasar sungai hingga batas banjir yang
pernah terjadi.
Identifikasi daerah yang pernah mengalami banjir dengan melihat adanya sampah yang tersangkut
pada tanggul sungai. Kecapatan aliran dilakukan dengan meletakan botol yang berisi pasir dengan
menghitung jarak antara titik mulai hingga akhir beserta waktu tempuhnya. Daerah sungai yang dihitung
kecepatanya terletak pada daerah yang masih alami (belum ada campur tangan aktivitas manusia).

180 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

3.2.3 Pasca Lapangan


Analisis Data Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan bersumber dari 7 stasiun hujan dengan periode waktu 5 tahun.
Data tersebut didapat dari data BMKG di wilayah Lombok. Perhitungan intensitas curah hujan berdasarkan
pada perhitungan hujan rancangan dari catatan hujan maksimum rata-rata bulanan. Satuan analisis data curah
hujan menggunakan Poligon Thiessen. Perhitungan analisis frekuensi dilakukan dengan menggunakan
metode LOG PEARSON TIPE III. Data intensitas curah hujan digunakan dalam perhitungan debit puncak
dengan metode rasional.
Analisis Regresi
Data sampel kerapatan vegetasi yang diperoleh dari hasil pengukuran lapangan berjumlah 30
sampel diregresi dengan nilai piksel pada Citra LANDSAT 8 OLI hasil transformasi NDVI (Normalized
Differencial Vegetation Index), sehingga diperolah persentase kerapatan vegetasi tiap piksel yang digunakan
sebagai salah parameter limpasan permukaan.
Overlay
Overlay yang dilakukan adalah overlay berjenjang bertingkat dengan 4 parameter yaitu kerapatan
vegetasi, infiltrasi dengan satuan pemetaan bentuklahan, data kerapatan aliran dengan satuan pemetaan Sub-
DAS, dan kemiringan lereng. Hasil overlay ke empat parameter tersebut menghasilkan satuan lahan dengan
nilai koefisien limpasan.
Perhitungan Morfometri Sungai
Perhitungan morfometri sungai dilakukan dengan menghitung kedalaman tiap segmen yang
ditentukan yaitu setiap 1 meter sehingga diketahui luas penampang sungai.
Perhitungan Debit Puncak
Perhitungan Debit puncak dilakukan dengan menggunakan metode Cook. Pengukuran debit puncak
dengan Metode Cook, parameter yang dipertimbangkan adalah koefisien limpasan, intensitas curah hujan
dan luas DAS. Pengukuran debit puncak dengan overlay tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai
koefisien limpasan permukaan.
= 0.278
Qp = Debit Puncak (m²/dt)
C = Koefisien Limpasan Permukaan
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
A = Luas DAS (km²)
Perhitungan Kapasitas Saluran Sungai
Agar dapat mengetahui besarnya kapasitas saluran pada Sungai Jangkok dilakukan pengukuran
dengan metode Manning. Selanjutnya hasil pengukuran debit puncak menggunakan metode Cook
dibandingkan dengan hasil pengukuran kapasitas sungai dengan metode Manning. Jika debit lebih kecil dari
kapasitas saluran, maka potensi banjir akan kecil, namun jika debit sama dengan atau lebih besar dari
kapasitas saluran, maka potensi banjir besar. Metode Manning menggunakan penilaian dengan
memperhatikan morfometri sungai.

3.3 Diagram Alir Penelitian


Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 6.

181 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Peta RBI Citra Landsat 8 Data Curah hujan

Peta kemiringan kerapatan NDVI Infilrasi


DAS lereng aliran tanah

Cek lapangan

Kerapatan vegetasi Metode


dan infiltrasi manning

Kapasitas
Koefisien limpasan sungai

Metode Cook

Debit puncak

Potensi banjir

INPUT PROSES HASIL SEMENTARA HASIL

Gambar 6. Diagram alir penelitian

182 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil Penelitian
Penelitian ini menghasilkan peta-peta dengan skala 1:50.000 sebagai berikut.
4.1.1 Peta Batas DAS dan Sub-DAS Jangkok
Batas dari DAS Jangkok diidentifikasi dengan menggunakan batas igir dan sungai dari Gunung
Rinjani dan Gunung Pusuk. Puncak igir akan mengakibatkan aliran dari sungai akan mengalir dan
terakumulasi di outlet tunggal yakni di kota mataram. DAS Jangkok terbagi menjadi tujuh subDAS. Tiap
subDAS tersebut tergantung pada percabangan sungai yang menjadi sungai utamanya (Gambar 7).

Gambar 7. Peta batas DAS dan subDAS Jangkok

4.1.2 Peta Kecepatan Infiltrasi Tanah DAS Jangkok


Kelas dalam kecepatan infiltrasi di DAS Jangkok dibagi menjadi tiga, yakni rendah, sedang, dan
tinggi (Gambar 8). Infiltrasi di wilayah yang tinggi memiliki infiltrasi yang tinggi dan sedang, sedangkan di
wilayah yang rendah memiliki infiltrasi yang cenderung rendah pula.

Gambar 8. Peta kecepatan inflitrasi tanah

4.1.3 Peta Kerapatan Vegetasi DAS Jangkok


Vegetasi di wilayah atas DAS Jangkok memiliki kerapatan yang tinggi, sedangkan di wilayah hilir
utamanya di wilayah Kota Mataram kerapatan vegetasinya cukup rendah dan terdapat beberapa bagian yang
merupakan wilayah dengan permukaan diperkeras atau bangunan (Gambar 9).

Gambar 9. Peta kerapatan vegetasi DAS Jangkok

4.1.4 Peta Curah Hujan DAS Jangkok


Pembuatan peta curah hujan dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen yang dihitung
melalui stasiun hujan yang ada di DAS Jangkok (Gambar 10).

183 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

Gambar 10. Peta curah hujan DAS Jangkok

4.1.5 Peta Kemiringan Lereng DAS Jangkok


Terdapat empat kelas dari kemiringan, dimana wilayah atas didominasi dengan lereng yang sangat
tinggi/curam karena merupakan puncak dari gunung (Gambar 11).

Gambar 11. Peta kemiringan lereng DAS Jangkok

4.1.6 Peta Kerapatan Aliran DAS Jangkok


Peta kerapatan aliran sangat bergantung pada percabangan sungai yang ada di wilayah DAS
Jangkok, semakin banyak percabangan sungai maka semakin rapat pula aliran sungainya (Gambar 12).

Gambar 12. Peta kerapatan aliran DAS Jangkok

4.1.7 Koefisien Limpasan Permukaan di DAS Jangkok


Koefisien limpasan yang ekstrim (75-100%) terdapat pada puncak gunung pusuk. Koefisien
Limpasan yang normal (25-50%) terdapat pada wilayah tengah, dan kebanyakan wilayah di DAS Jangkok
termasuk dalam kategori tinggi yakni (50-75%)
4.1.8 Nilai Debit Puncak tiap Subdas di DAS Jangkok
Perhitungan debit puncak dengan menggunakan metode Cook pada dasarnya kurang baik untuk
wilayah dengan luasan DAS yang cukup besar. Tetapi untuk mensiasatinya perhitungannya dibagi kedalam
subDAS kecil sehingga didapat hasil seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Perhitungan debit Puncak tiap SubDAS
No C (%) I (mm/jam) A (km2) Q (m3/s)
1 57.51 24.37 35.59 138.62
2 49.49 28.96 45.44 181.02
3 60.56 16.07 29.47 79.74

184 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

4 63.48 10.51 11.65 21.60


5 67.95 6.10 3.35 3.86
6 61.49 11.97 14.86 30.40
7 54.30 9.28 27.94 39.13
Total Q (m3/s) 494.38

4.1.9 Nilai Kapasitas sungai di Muara DAS Jangkok


Kapasitas sungai dihitung untuk mengetahui apakah suatu debit yang mengalir di sungai tersebut
mencukupi atau tidak. Nilai kapasitas sungai yang didapatkan dengan menggunakan metode Manning
dengan memperhatikan morfometri sungai adalah 914 m3/s.
4.2 Pembahasan
Pengukuran debit puncak di DAS Jangkok dilakukan dengan menggunakan metode Cook,
sedangkan perhitungan kapasitas tampung sungai menggunakan metode Manning. Metode Cook digunakan
untuk menentukan parameter dalam perhitungan debit puncak. Koefisien limpasan permukaan, curah hujan,
dan luas DAS merupakan parameter yang digunakan dalam perhitungan debit puncak yang menggunakan
penginderaan jauh dan SIG. Metode Manning digunakan untuk mengetahui kapasitas sungai yang berdasar
pada pengukuran di lapangan dengan parameter kekasaran permukaan, tinggi tanggul, dan gradien hidrolik
dari sungai.
DAS Jangkok dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hulu, Tengah, dan Hilir. Wilayah hulu
terdapat pada Gunung Pusuk dan Gunung Rinjani. Wilayah tengah merupakan wilayah antar gunung api
yakni Gunung pusuk dan Gunung Rinjani. Sedangkan di wilayah hilir terdapat pada wilayah utara Kota
Mataram. Dari hasil perhitungan, koefisien limpasan permukaan tertinggi terdapat pada hulu Gunung Pusuk
dan Gunung Rinjani, serta di wilayah hilir Kota Mataram. Wilayah puncak Gunung Pusuk memiliki vegetasi
dengan kerapatan sedang dengan tekstur tanah lempung berpasir. Kerapatan vegetasi menyebabkan koefisien
limpasan permukaan menjadi rendah. Hal ini dikarenakan air hujan yang jatuh dipermukaan akan tertahan
oleh vegetasi sehingga akan lebih banyak mengalami evapotranspirasi dan air akan mengalir pada sistem
perakaran atau masuk sebagai infiltrasi.
Tekstur tanah berpasir akan memberikan efek penyerapan air pada tanah menjadi cukup cepat
apabila air jatuh di atasnya. Akan tetapi, parameter yang dominan di wilayah ini adalah kemiringan lereng
dan kerapatan aliran. Kemiringan yang mendominasi wilayah ini adalah sangat terjal yang terbentuk oleh
bentuklahan vulkanik dengan banyak lembah dan jurang. Pada setiap kenaikan kemiringan lereng
mengakibatkan tingginya limpasan permukaan karena air hujan yang jatuh didalamnya akan cepat dialirkan
kedalam sistem aliran. Hal ini menyebabkan kerapatan aliran cukup tinggi karena banyak jurang yang masuk
kedalam sistem sungai sehingga akan banyak sistem sungai yang akan menampung air dari aliran permukaan
tersebut.
Wilayah Tengah, bagian utara merupakan Gunung Rinjani dengan elevasi tinggi, dan di bagian
selatan rendah. Berdasarkan pada kerapatan vegetasi dan parameter infiltrasi, tipe tanahnya homogen tetapi
memiliki faktor dominan yaitu kerapatan aliran pada wilayah utara lebih padat dibandingkan di wilayah
selatan. Wilayah cekungan antar gunung api memiliki koefisien limpasan permukaan yang normal. Wilayah
ini merupakan zona deposisi dengan lereng yang datar dan sedikit miring. Tekstur tanah pada wilayah ini
adalah lempung dengan kerapatan aliran yang sedang. Pada wilayah hilir, di bagian utara Kota Mataram
memiliki nilai limpasan permukaan yang cukup tinggi karena disana merupakan wilayah datar dengan
vegetasi yang rendah serta didominasi dengan wilayah terbangun akibat dari aktivitas manusia. Wilayah
terbangun akan mengakibatkan rendahnya infiltrasi dan tingginya limpasan permukaan.
Hasil perhitungan menunjukkan debit puncak di DAS Jangkok sebesar 494,38 m3 / s. Hal ini sangat
jauh nilainya di bawah nilai kapasitas sungai yang dimiliki. Dengan menggunakan metode Manning,
didapatkan nilai kapasitas sungai sebesar 914 m3/s. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa debit
puncak yang terjadi selama ini masih dapat ditampung oleh sungai Jangkok. Debit yang dapat ditampung
menunjukkan bahwa Sungai Jangkok tersebut tidak berpotensi banjir. Setelah dilakukan beberapa model
perhitungan, butuh curah hujan dua kali lebih besar dari curah hujan rata-rata untuk dapat memenuhi
kapasitas sungai Jangkok tersebut. Selain berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan hasil lapangan,
hasil wawancara terhadap masyarakat sekitar juga menunjukkan bahwa akhir-akhir ini di sebagian besar
wilayah DAS Jangkok tidak terjadi banjir. Hal tersebut dikarenakan seluruh tanggul sungai yang dikaji
sudah mengalami peninggian, sehingga air sangat sulit untuk melewatinya, serta nilai intensitas hujan yang
dijadikan dasar perhitungan debit puncak tidak tercapai akhir-akhir ini. Menurut hasil wawancara wilayah

185 |
Simposium Nasional Sains Geoinformasi IV 2015:
Penguatan Peran Sains Informasi Geografi dalam Mendukung Penanganan Isyu-Isyu Strategis Nasional

yang masih berpotensi banjir adalah di wilayah muara sungai. Akan tetapi karena sudah dibuat tanggul
buatan, masalah banjir tersebut sudah teratasi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan
Debit puncak di DAS Jangkok sebesar 494,38 m3/s sedangkan kapasitas sungai di DAS Jangkok
sebesar 914 m3/s sehingga sungai Jangkok dapat dikatakan tidak berpotensi banjir.
5.2 Saran
1. Jumlah dan lokasi sampel yang diambil harus lebih menyebar dan mewakili seluruh satuan
pemetaan. Misalnya pada proses pengambilan sampel untuk analisis regresi vegetasi seharusnya
dilakukan lebih merata di wilayah kajian minimal sebanyak 30 sampel atau lebih agar hasil lebih
akurat.
2. Parameter dalam estimasi potensi banjir sangat banyak, tidak hanya debit puncak dan kapasitas
sungai, sehingga untuk penelitian selanjutnya lebih baik parameter tersebut diperhatikan.
3. Penting untuk memahami metode-metode terkait pengambilan sampel dilapangan agar data yang
dikumpulkan benar-benar akurat. Penggunaan metode pengukuran debit sungai yang berbeda
(metode Cook dan Manning) memungkinkan terjadinya ketidakakuratan perhitungan, sehingga
penelitian lebih lanjut diperlukan dengan menggunakan metode yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Asdak, Chay. 2007. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dalam Konteks Solidaritas Daerah Hulu dan Hilir,
Jakarta: LIPI Press
Hedley, J. D., Harbone, A. R., & Murby, O. J. 2005. Simple and Robust Removal of Sunlight for Mapping
Shallow-Water Benthos. Journal of Remote Sensing, 26 (10), 2107-2112.
Wicaksono, P.(2012). The effect of sunlight on satellite-based benthic habitat inditification. International
Journal of Advanced Research in Computer and Communication Engineering, 1 (6),364-370.

186 |

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai