Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Roti merupakan makanan yang berasal dari tepung terigu yang mengalami
proses fermentasi dengan menggunakan ragi. Di dalam pembuatan roti mencakup
dua bagian penting yaitu, proses pembuatan adonan hingga proses pembakaran.
Proses pembuatan adonan ini merupakan tahapan awal dalam pembuatan roti.
Proses ini umumnya dibagi menjadi tiga tahapan yaitu, proses pengadukan, proses
pengembangan dan proses fermentasi.
Proses pengadukan merupakan suatu tindakan pencampuran bahan yang akan
digunakan dalam membuat suatu adonan tertentu sehingga mendapatkan adonan
yang homogen. Tujuan pengadukan dalam pembuatan adonan roti ini adalah
untung membentuk gluten sehingga adonan memiliki sifat elastis dan plastis.
Proses pengembangan adalah sebuah peristiwa terjadinya penambahan jumlah
volume adonan tersebut. Proses fermentasi merupakan sebuah kegiatan yang
dilakukan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan produk sampingan yang
dapat menghasilkan produk yang di kehendaki.
1.2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah para praktikan dapat mengetahui dan
memepelajari cara-cara pembuatan roti berdasarkan pemilihan tepung terigu
seperti terigu dengan protein tinggi, protein sedang, protein rendah dan melakukan
pencampuran dengan menggunakan tepung beras ataupun dengan menggunakan
tapioka. Pemilihan ragi juga sangat penting dalam melakukan pembuatan roti.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi roti


Roti adalah makanan dengan bahan baku terigu, pengembang adonan, garam,
dan air. Roti juga merupakan makanan yang melalui proses pemanggangan. Pada
umumnya roti ditambahkan bahan lain seperti gula, lemak, dan flavoring. Roti
dapat dikelompokan berdasarkan jenis pengembangannya yaitu roti ragi dan quick
bread. Roti ragi menggunakan pengembang biologis berupa khamir, sedangkan
quick bread menggunakan pengembang kimiawi contohnya baking soda
(McWilliams, 1995).
2.2 Komposisi Roti
Komposisi dasar dari roti adalah tepung terigu, pengembang adonan, garam,
dan air. Selama empat komponen tersebut ada, roti dapat dibuat. Bahan-bahan lain
seperti fat, gula, milk, atau bahan tambahan pangan lainnya mungkin saja
ditambahkan untuk membuat roti lebih menarik untuk dipandang, ataupun
menambahkan cita rasa yang berbeda (Anonim1, 2006).
2.2.1 Tepung Terigu
Salah satu bahan baku pembuatan roti adalah tepung terigu atau sering disebut
“bakers flour”. Tepung terigu adalah struktur utama pada roti yang bisa
membentuk dough dan dapat menahan gas hasil fermentasi. Kualitas dari tepung
terigu akan menentukan aerasi, warna, dan tekstur dari roti (Macral et al., 1978).
Kadar protein dalam tepung terigu sangat mempengaruhi pembuatan roti.
Kadar protein yang tinggi sangat dibutuhkan pada pembuatan roti. Jenis dari
tepung terigu dapat dibagi menjadi tiga berdasarkan persentase kadar proteinnya
yaitu hard wheat (12-14%), medium wheat (10-12%), dan soft wheat (8-10%).
Sifat dari tiap jenis protein berbeda.
Hard wheat mempunyai sifat yang tinggi akan daya serapnya terhadap air,
bersifat elastis, mudah dicampur, dan mudah untuk dilakukan penggilingan. Soft
wheat memiliki sifat berbalik dengan hard wheat seperti rendahnya daya serap
terhadap air, tidak elastis, lengket, dan sulit untuk digiling. Medium wheat
memiliki sifat antara hard wheat dan soft wheat (Anonim2, 2008).

2
Tepung terigu yang dicampur dengan air serta diberi tekanan, akan membentuk
adonan. Di dalam adonan terdapat gluten yang membuat adonan kalis. Gluten
adalah protein yang tidak larut dalam air sebanyak 80-90%. Gluten memiliki sifat
elastis yang berfungsi sebagai penahan gas dari hasil fermentasi. Gluten terdiri
dari dua komponen yaitu glutamin (35-42%) dan prolin (13-20%). Gluten dapat
dibagi menjadi dua jenis yaitu glutenin dan gliadin. Glutenin dihubungkan oleh
ikatan-ikatan disulfida yang membuat glutenin yang tidak larut dalam air, berat
molekul dari glutenin berkisar antara 60 sampai dengan 140 kDa. Gliadin
mengandung ikatan disulfida dan mempunyai berat molekul antara 30 sampai
dengan 75kDa (Macral et al., 1978).
2.2.2 Air
Air adalah salah satu bahan baku dari pembuatan roti. Air dibutuhkan sebagai
campuran pembuatan adonan. Tepung terigu yang dicampur dengan air akan
membentuk gluten. Air dapat mempengaruhi sifat fisik dari adonan. Jumlah air
yang terlalu banyak dapat membuat produk menjadi keras (Macral et al., 1978).
Air dan tepung yang dicampur akan membuat protein-protein dalam tepung
tersebar pada posisi yang sejajar. Batas penambahan air pada pembuatan adonan
roti terlihat dari kalisnya adonan. Kalisnya adonan roti menandakan gluten sudah
membuat ikatan elastis maksimal. Jika penambahan air dan pencampuran terus
dilakukan, ikatan–ikatan yang sudah terbentuk akan putus dan akan merusak
adonan sehingga adonan menjadi lunak (Desrosier, 1988).
2.2.3 Pengembang adonan
Pengembang adonan yang pada umumnya digunakan pada pembuatan roti
adalah ragi. Bahan pengembang adonan umumnya membuat adonan terisi oleh
karbondioksida. Ragi roti mengandung khamir Saccharomyces cerevisiae yang
dapat melakukan fermentasi dan menghasilkan karbondioksida (Anonim, 2006).
Pengembang adonan yang menggunakan khamir dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu makanan khamir, suhu, dan jumlah air. Makanan khamir
pada adonan adalah gula yang terdapat pada gandum, biasanya penambahan gula
juga ditambahkan pada pembuatan adonan roti. Suhu optimal dari khamir berada
pada suhu 270C. Khamir akan menghasilkan gas CO2. Gas ini akan diperangkap
oleh jaringan gluten. Gluten yang bersifat elastis akan terus menahan produksi gas

3
tersebut. Jika gas tersebut tidak ditahan oleh jaringan yang sempurna, maka gas
akan terlepas dan tidak terjadi pengembangan (Potter & Hotchkiss, 1995).
Baking soda atau baking powder adalah salah satu contoh pengembang kimia.
Baking soda memberi efek melepas CO2 yang berfungsi sebangai pengembang.
Pengembang kimia tidak memerlukan bantuan panas untuk mengembangkan
adonan sehingga adonan dapat langsung dipanggang setelah dilakukan
pencampuran. Gas yang terbentuk dapat hilang jika adonan dibiarkan terlalu lama.
(Mizer et al., 2000).
2.2.4 Garam
Pada adonan yang memakai khamir, garam digunakan sebagai pengatur RH
adonan. Garam juga membuat adonan menjadi lebih kuat. Penambahan garam
dapat membantu pemerangkapan CO2 serta meningkatkan tekstur dari adonan.
Flavor dari roti juga dapat ditingkatkan dengan penambahan garam tersebut.
Penambahan garam yang berlebihan dapat menghambat kerja dari khamir dalam
melakukan fermentasi (Macral et al., 1978).
2.2.5 Fat atau lemak atau shortening
Lemak bukan merupakan bahan baku dari pembuatan roti. Penambahan lemak
bertujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan volume dan tekstur crumb dari
roti. Lemak juga dapat memperpendek rantai gluten sehingga adonan dapat
meningkat sebelum mengeras. Lemak khusus untuk pemanggangan disebut
shortening (Potter & Hotchkiss, 1995).
2.2.6 Gula
Bahan tambahan lain dalam pembuatan roti adalah gula. Gula mempunyai
fungsi untuk pemberi flavor pada roti selain itu, gula juga dapat menjadi sumber
makanan khamir untuk proses fermentasi. Warna coklat dari pemanggangan
adonan roti juga dihasilkan karena terjadinya proses pencoklatan dari gula (Mizer
et al., 2000).
2.2.7 Flavorings
Pemberian flavor hanya membuat flavor dari roti menjadi lebih menarik dan
memberi kontribusi pada hasil akhir pembuatan roti. Flavoring tidak
mempengaruhi proses pembuatan roti termasuk pemanggangan (Mizer et al.,
2000).

4
2.3 Tahapan dalam Proses Baking
Menurut Mizer et al. (2000), tahap-tahap dalam proses baking adalah
penimbangan, mixing, menggulung adonan, fermentasi, pemanggangan,
pendinginan, dan penyimpanan. Tahapan pertama adalah penimbangan, yaitu
proses melakukan penimbangan bahan-bahan dengan benar, terutama untuk
khamir dan garam yang memiliki peranan penting pada fermentasi dan
pengembangan adonan.
Tahap kedua yang dilakukan pada proses baking adalah mixing. Tahap ini lebih
kompleks dari tahap pertama, namun memiliki peranan penting. Fungsi dari
mixing adalah agar semua bahan dapat terdistribusi dengan baik agar
pengembangan adonan yang benar dan dihasilkannya produk yang seragam.
Selama pencampuran adonan berlangsung, bahan-bahan didistribusikan ke seluruh
adonan dengan adanya tamparan adonan ke mangkuk pencampur (Mizer et al.,
2000).
Pada proses mixing, terjadi kenaikan suhu dari massa adonan. Kenaikan suhu
tersebut terjadi karena adanya panas yang berasal dari hidrasi tepung dan panas
yang dihasilkan dari gesekan selama pencampuran secara mekanis. Suhu adonan
perlu dipertahankan, sehingga panas tersebut perlu dihilangkan dengan
menggunakan es yang telah dihancurkan, air dari bahan yang didinginkan, serta
menggunakan pendingin pada mangkuk pencampur (Desrosier, 1988).
Pemanasan yang cukup akan mengakibatkan gluten dapat terkoagulasi dan
membentuk struktur semigrid. Gluten yang mengembang karena gas pada awal
pemanasan akan membentuk sebuah struktur yang rigid seperti pada bagian dalam
roti tawar (Potter dan Hotchkiss,1995).
Adonan yang dihasilkan setelah pencampuran mengakibatkan adonan dapat
ditarik ke dua arah dan dapat membentuk film, atau jika di bawah tekanan, adonan
ditarik ke segala arah dapat menimbulkan gas. Film yang terbentuk setelah
pencampuran dapat menjadi rusak (sobek dan melemah) karena adanya aksi
mekanis yang berlebihan (Potter dan Hotchkiss,1995).
Tahap ketiga dalam proses baking adalah menggulung adonan. Dalam proses
penggulungan adonan ada beberapa teknik yang perlu diperhatikan. Pertama,
adonan digulung hingga berbentuk persegi panjang dan memiliki ketebalan seperti

5
jari, lalu adonan digulung bertumpuk dengan rapat dengan menggunakan jari
sambil proses penggulungan dilakukan. Hal yang terakhir perlu diperhatikan
adalah setelah adonan digulung bertumpuk, ujung terakhir dari gulungan ke
adonan ditarik, kemudian dirapatkan (Mizer et al., 2000).
Tahapan selanjutnya adalah proses fermentasi. Fermentasi berlangsung pada
proses pencampuran hingga khamir mati ketika adonan mencapai suhu 60C
dalam oven. Sebelum khamir mati, khamir perlu melakukan reaksi kimia dengan
cara meletakkan adonan pada proofing box, yang merupakan kabinet khusus yang
telah diatur suhu dan kelembabannya. Dalam proofing box, adonan dibiarkan
fermentasi hingga mencapai dua kali lipat volume sebelumnya dan adonan tidak
membuka ketika ditekan. Suhu yang paling baik untuk fermentasi adalah 27oC
(Mizer et al., 2000).
Pemanggangan merupakan salah satu tahapan pada proses baking, yang
melibatkan proses panas dan berbagai reaksi. Ada 7 reaksi yang terjadi saat
pemanggangan yaitu, evolusi dan ekspansi gas-gas, koagulasi gluten dan
gelatinisasi pati, dehidrasi sebagian dari penguapan air, peningkatan cita rasa,
perubahan warna akibat adanya reaksi maillard antara susu, gluten, protein telur,
disertai dengan adanya reduksi gula dan reaksi perubahan warna lainnya,
pembentukan crust pada permukaan yang terdehidrasi, serta pencoklatan crust
dari adanya reaksi maillard dan karamelisasi gula. Reaksi-reaksi yang terjadi
dipengaruhi adanya transfer panas pada adonan (Potter & Hotchkiss, 1995).
Ketika adonan berada dalam oven, akan terjadi kontak dengan udara panas,
sehingga lapisan film akan terlihat pada permukaan adonan, dan akan terjadi
pengembangan adonan roti. Panas dapat mempengaruhi fisik dari adonan, karena
adanya panas terhadap gas yang terjebak dalam adonan akan meningkatkan
tekanan. Semakin banyaknya gas yang terjebak dalam film gluten yang elastis
menyebabkan sel gas akan semakin mengembang. Sel gas yang berukuran kecil
dan mengembang inilah yang dapat meningkatkan volume dari adonan (Desrosier,
1988).
Menurut Mizer et al. (1995) produk dari khamir, yaitu gas, dapat mengembang
dengan sangat cepat pada awal fermentasi. Berakhirnya proses fermentasi adalah
ketika suhu adonan terus naik, pati tergelatinisasi, dan protein terkoagulasi. Crust

6
akan mulai terbentuk dan berwarna kecoklatan. Proses pemanggangan akan
dinyatakan berakhir ketika crust berwarna coklat mengkilap (Mizer et al., 2000).
Panas yang tidak merata dapat menyebabkan terbentuknya crust sebelum bagian
dalam roti matang, sehingga bagian dalam roti akan menjadi soogy dan
menyebabkan pelepasan gas yang terlambat, sehingga crust menjadi rusak (Potter
& Hotchkiss, 1995).
Tahapan terakhir adalah proses pendinginan dan penyimpanan. Pendinginan
merupakan proses yang memungkinkan air yang berlebih dapat keluar. Roti yang
tidak dingin akan menyebabkan air terkumpul dan menyebabkan produk roti
menjadi basah. Penyimpanan memiliki tujuan untuk mencegah produk menjadi
rusak karena basi, terjadi kerusakan tekstur dan aroma. Kerusakan dapat terjadi
karena roti mengalami kehilangan air dan perubahan pada struktur pati.
2.4 Metode Pembuatan Roti
Dalam industri roti terdapat beberapa metode atau cara yang digunakan dalam
pembuatan roti. Beberapa metode tersebut adalah no time dough process, rolling
development, straight dough method, dan continuous mixing method (Anonim3,
2011).
2.4.1 No Time Dough Process
Dalam metode no time dough process, semua bahan diaduk menjadi satu dan
difermentasi secara cepat. Adanya fermentasi yang cepat menyebabkan pada
metode ini dibutuhkan bahan tambahan (bahan aditif) yang dapat membantu atau
memperbaiki tekstur roti, seperti penguat dan pelembut adonan. Metode ini
biasanya digunakan pada industri roti skala kecil atau menengah (Anonim3, 2011).
2.4.2 Rolling Development
Rolling development atau sering dikenal dengan break roll method merupakan
metode yang berasal dari Australia tetapi banyak digunakan di Indonesia. Metode
ini digunakan pada industri skala kecil hingga menengah. Pada metode ini bahan
dicampur dengan mixer secukupnya, lalu akan dilanjutkan dengan mesin rolling
hingga adonan kalis. Hasil yang didapatkan dari metode ini adalah roti yang
memiliki tekstrur yang halus dengan pori-pori yang rapat. Seperti pada metode no
time dough process, metode ini juga membutuhkan bahan tambahan untuk
menyempurnakan proses pembuatan roti (Anonim3, 2011).

7
2.4.3 Straight Dough Method
Pada metode ini semua bahan diaduk menjadi satu lalu difermentasi. Waktu
fermentasi yang digunakan bervariasi antara 2-3 jam. Ketika fermentasi sudah
terjadi sekitar 80%, adonan akan dikempeskan, dibulatkan kembali, dan
fermentasi kembali dilanjutkan. Adonan akan dibentuk sesuai peruntukannya.
Hasil yang didapatkan pada metode ini adalah roti yang tidak sehalus dan seharum
roti yang dihasilkan pada metode biang (sponge and dough method) (Anonim3,
2011).
Menurut Desroiser (1988), metode ini memiliki keuntungan yaitu
meminimalisir kebutuhan energi, waktu fermentasi yang pendek, dan
menghasilkan flavor yang baik. Kekurangan dari metode ini adalah tidak
fleksibel, memerlukan waktu fermentasi yang tepat, dan ketika adonan sudah siap
harus segera dipanggang. Metode ini digunakan pada industri roti skala menengah
hingga besar (Anonim3, 2011).
2.4.4 Sponge and Dough Method
Metode pembuatan roti sponge and dough atau yang biasa dikenal dengan
metode biang ini terdiri atas dua kali pencampuran dan fermentasi. Pertama,
sebagian bahan akan dicampur hingga membentuk biang atau sponge, kemudian
akan dilakukan fermentasi sekitar 3-6 jam. Tahap selanjutnya adalah dilakukan
pencampuran biang dengan bahan lainnya hingga membentuk adonan atau dough.
Ketika adonan sudah kalis dengan sempurna, adonan akan difermentasi dengan
waktu yang lebih pendek, yaitu sekitar 20-30 menit. Roti yang dihasilkan dalam
proses ini memiliki tektur yang halus dan harum (Anonim3, 2011).
Keuntungan dari metode ini adalah adanya penghematan kebutuhan khamir,
ketika roti dipanggang memiliki volume yang lebih besar, tekstur yang baik,
fleksibel, serta memungkinkan jika sponge disimpan dalam waktu yang lebih
lama dengan kualitas yang tetap terjaga. Kekurangan dari metode ini adalah
membutuhkan energi dan biaya pengolahan yang lebih besar, serta mengalami
kehilangan pada tahap fermentasi dan penguapan lebih banyak (Desrosier, 1988).
Metode ini digunakan pada industri roti skala besar (Anonim3, 2011).
2.4.5 Continuous Mixing Method

8
Metode ini biasanya digunakan pada industri roti dengan skala besar
menggunakan biang cair atau liquid sponge. Biang cair akan difermentasi dalam
sebuah tangki stainless steel dengan suhu yang terkontrol selama beberapa jam.
Biang cair kemudian akan didinginkan hingga siap untuk digunakan. Selanjutnya,
dilakukan proses pencampuran adonan atau dough (Anonim3, 2011).

9
BAB III

METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam praktikum adalah timbangan, spatula,
saringan, mixer, stopwatch, scrapper, termometer, kain bersih, rolling pin, loyang,
proofing box, oven, pasir kuarsa, baskom, spiritus, pipet tetes, mikropipet, tip,
hemasitometer, mikroskop, tabung pengencer, cawan petri, timbangan, jangka
sorong, balon, erlenmeyer.

Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah tepung terigu (high,


medium, low protein), tepung tapioka, tepung beras, air, ragi instan (fermipan dan
saf instant), garam, gula pasir, bread improver, skim milk powder, shortening,
PCA, PDB.

3.2 Prosedur Kerja


3.2.1 Uji wet gluten
1. Sebanyak 25 gram tepung terigu ditimbang dan dimasukkan ke dalam
mangkuk plastik.
2. Ditambahkan sebanyak 15 ml akuades dan 1 gram garam kemudian
adonan dibentuk menjadi bulat padat menggunakan spatula.
3. Adonan tersebut direndam di dalam air selama 15-30 menit pada suhu
kamar.
4. Setelah itu, adonan diremas sambil dibilas pada air yang mengalir. (Proses
ini dilakukan supaya komponen pati dan komponen larut air lainnya dapat
terbuang).
5. Gluten yang sudah bebas dari komponen pati atau belum ditandai dengan
keluarnya warna air yang jatuh ke dalam gelas piala. Jika air yang keluar
berwarna keuh maka masih terdapat komponen pati di dalamnya,
sedangkan jika air yang kelur jernih maka gluten sudah terbebas dari
komponen pati dan komponen larut air lainnya.
6. Gluten yang sudah terbebas dari pati ditekan hingga airnya keluar dan
adonan tersebut menjadi agak lengket.

10
7. Adonan yang agak lengket tersebut dibentuk menjadi bola dan ditimbang
sebagai wet gluten.
3.2.2 Pembuatan roti
1. Bahan yang kering ditimbang terlebih dahulu seperti tepung, ragi instan,
garam, gula pasir, bread improver, dan susu skim bubuk.
2. Bahan tersebut di dry mix secara manual kecuali ragi instan dengan
mixer yang menggunakan kecepatan rendah selama 30 detik.
3. Ragi instan tersebut dimasukkan ke dalam campuran bahan yang sudah
di dry mix tersebut kemudian bahan tersebut ditambahkan air es sesuai
dengan perlakuan dan pengadukan dilanjutkan selama 1 menit dengan
menggunakan mixer kecepatan sedang.
4. Setelah itu shortening dimasukkan dan diaduk sehingga adonan menjadi
kalis.
5. Adonan yang telah kalis tersebut dikeluarkan dan dibuat menjadi bentuk
bulat.
6. Suhu adonan tersebut diukur dengan menggunakan termometer.
7. Setelah itu adonan ditutup dengan kain lembab dan didiamkan selama 10
menit.
8. Adonan tersebut diambil sebanyak 250 gram, lalu dibulatkan kembali
dan didiamkan selama 15 menit.
9. Setelah itu adonan dibentuk dengan menggunakan rolling pin.
10. Adonan dibalikkan dan digulung kembali dan dimasukkan ke dalam
loyang.
11. Loyang yang telah berisi adonan dimasukkan ke dalam proofing box dan
dilakukan final proofing pada suhu 30-35°c dan RH 80-85%.
12. Final proofing dilakukan hingga adonan mencapai ketinggian 3 cm dari
atas loyang.
13. Setelah itu adonan tersebut dipanggang pada suhu 200°c selama 15-20
menit.
14. Setelah pemanggangan maka roti tersebut didinginkan dan dilakukan
pengamatan.

11
3.2.3 Perhitungan sel
3.2.3.1 Metode tidak langsung
1. Satu gram ragi ditimbang dan dimasukkan ke dalam 9 ml tabung
pengencer (tabung #1) dan campurkan dengan baik.
2. Setelah itu, dilakukan pengenceran 10-3, 10-4, 10-5.
3. Dilakukan pemupukan secara duplo pada tiap tingkat pengenceran yang
telah dilakukan.
4. Diinkubasi pada suhu 300C selama 48 jam dan dihitung jumlah koloni
yang tumbuh.
3.2.3.2 Metode langsung
1. Diambil sampel menggunakan pipet tetes pada tabung #1 dan diteteskan
pada bagian tengah hemasitometer secukupnya.
2. Digunakan mikroskop untuk menghitung jumlah sel yang ada.
3.2.4 Produksi gas
3.2.4.1 Dalam media cair
1. Ditimbang ragi sebanyak 5 gram dan ditambahkan ke dalam 100 ml PDB
yang telah mengandung 0,5,10 g/L larutan sukrosa di dalam erlenmeyer.
2. Mulut erlenmeyer tersebut ditutup dengan balon dan dibiarkan selama 1
jam pada suhu ruang.
3. Pada akhir waktu inkubasi, diamati bentuk balon yang terbentuk.
3.2.4.2 Dalam matriks produk pangan
1. Diambil adonan roti yang sisa pada pembuatan roti yang telah dibentuk
oval
2. Digunakan jangka sorong untuk mengukur tinggi, lebar dan panjang awal
adonan.
3. Adonan tersebut dibiarkan selama 1 jam dan ditutup dengan kain lembab.
4. Setelah 1 jam masa inkubasi, diukur kembali tinggi, panjang dan lebar
adonan tersebut.

Tabel 3.1 Perlakuan yang diberikan pada setiap kelompok


kelompok Jenis perlakuan

12
1 high protein, fermipan dan gula 5%
2 Medium protein, fermipan dan gula 5%
3 Low protein, fermipan dan gula 5%
4 High protein (80%) + tepung beras (20%), fermipan dan gula 5%
5 High protein (80%) + tepung tapioka (20%), fermipan dan gula 5%
6 high protein, fermipan dan gula 0%
7 high protein, saf instant dan gula 5%
8 high protein, fermipan dan gula 10%

Table 3.2 Formulasi bahan dalam pembuatan roti


Bahan %
Tepung 100
Air 55-65
Ragi instan 2
Garam 2
Gula pasir 5
Bread improver 0,3
Skim milk powder 2
Shortening 4

13
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 4.1 Hasil Pengamatan Roti

Kelompo Tingg Volum Berat Waktu Crus Crum Rasa Aroma Tekstur
k i e Proofin t b
g
1 10.1 1535 325.8 140 ++ ++ Tida Tidak Empuk
ada ada
2 6.04 1235 309.32 120 ++ + Tidak Tidak Agak keras
ada ada
3 9.46 1235 275 100 ++ ++ Tidak Tidak Keras
ada ada
4 3.94 1285 274.15 130 - + Tidak Tidak Keras
ada ada
5 8.16 1075 281.32 83 + + Tidak Tidak Kenyal
ada ada
6 4.5 860 302.23 206 ++ + Asin Tidak Agak empuk
ada dan kenyal
7 7.2 1080 240 103 + ++ Tidak Tidak Empuk
ada ada
8 6.575 965 307.97 80 +++ - Manis Tidak Empuk
ada

4.1 Pengaruh Jumlah dalam Terigu terhadap Parameter


Pada proses pembuatan roti menggunakan terigu High Protein, Medium
Protein, dan Low Protein. Berdasarkan tabel 4.1 kelompok 1 yang menggunakan
terigu High Protein memiliki volume 1535 dan tinggi 10.1. Kelompok 2 yang
menggunakan terigu Medium protein memiliki tinggi 6.04 dan volume 1235.
Kelompok 3 yang menggunakan terigu Low Protein memiliki volume 1235 dan
tinggi 9.46. Berdasarkan data di atas, roti dengan bahan dasar tergu High Protein
memiliki volume yang lebih besar daripada roti yang terbuat dari terigu Medium
protein dan Low Protein. Tinggi dari roti yang terbuat dari terigu high protein
lebih tinggi daripada roti yang terbuat dari Medium protein dan Low protein. Hal
ini disebabkan karena terigu High Protein memiliki kadar gluten yang tinggi
sehingga gas yang dihasilkan dari fermentasi akan ditahan oleh gluten, akibatnya
roti dapat mengembang dengan sempurna.
Berdasarkan tabel 4.1 Waktu Proofing adonan yang paling lama diantara
kelompok 1 sampai 3 adalah roti High Protein, sedangkan waktu proofing yang
paling singkat adalah roti Low Protein. Hal ini tidak sesuai dengan literatur,

14
menurut Desrosier (1988), Terigu yang memiliki kadar gluten tinggi
membutuhkan waktu pengembangan yang singkat.
Berdasarkan tabel 4.1 penampakan crust dari roti yang menggunakan terigu
high protein, medium protein, low protein adalah sama. Penampakan Crumb dari
roti menggambarkan keseragaman pori-pori dari roti. Pada roti yang
menggunakan terigu medium protein memiliki pori-pori yang lebih tidak seragam
daripada roti yang terbuat dari tepung medium protein dan low protein. Pada uji
organoleptik, roti yang terbuat dari terigu high protein, medium protein, dan low
protein memiliki rasa dan aroma yang sama yaitu tidak memiliki aroma ataupun
rasa. Semua roti memiliki rasa yang pas. Tekstur roti yang terbuat dari terigu high
protein sanagat empuk, sedangkan roti yang terbuat dari low protein keras.
4.2 Pengaruh Jenis Terigu
Pada percobaan pembuatan roti, kelompok 1 menggunakan 100% terigu high
protein, kelompok 4 menggunakan campuran 80% terigu high protein dan 20%
beras ketan, dan kelompok 5 menggunakan campuran 80% terigu high protein dan
20% tapioka. Berdasarkan hasil percobaan, roti kelompok 1 memiliki tinggi,
volume, dan berat yang paling besar dibanding dengan roti kelompok 4 dan 5.
Penampakan Crust dan Crumb roti kelompok 1 adalah yang palinga baik. Roti
kelompok 4 memiliki tinggi, volume, dan berat yang paling rendah, sedangkan
penampakan crust dan crumb kurang baik. Penampakan crust roti kelompok 4
sangat pucat.
Berdasarkan hasil uji organoleptik, semua roti memiliki rasa yang pas dan
tidak memiliki aroma. Tekstur roti kelompok 4 yang terbuat dari 80% terigu high
protein dan 20% beras ketan adalah keras, roti kelompok 5 yang terbuat dari 80%
terigu high protein dan 20% tapioka memiliki tekstur yang kenyal dan empuk. Hal
ini disebabkan karena tapioka merupakan pati murni, yang dapat meningkatkan
kekenyalan. Hal ini sesuai dengan literatur yang menjelaskan bahwa struktur pati
akan melebar karena adanya penambahan air dan pemanasan menyebabkan
tekstur meningkat (Brown, 2004). Waktu proofing roti kelompok 5 lebih cepat
daripada roti kelompok 1 dengan hasil tinggi yang hampir sama.

15
4.3 Pengaruh Jenis Ragi
Pada percobaan pembuatan roti, kelompok 1 menggunakan ragi A (fermifan),
sedangkan kelompok 7 menggunakan ragi B (Saf instant). Kedua kelompok
tersebut menggunakan terigu high protein. Berdasarkan hasil percobaan
didapatkan data bahwa roti kelompok satu memiliki timggi, volume, dan berat
yang lebih besar dripada roti kelompok 7. Hal ini disebakan karena waktu
proofing kelompok 1 lebih lama dibanding dengan kelompok 7 yaitu 140 menit.
Penampakan Crust dari roti yang terbuat dari Ragi B lebih pucat dibanding
dengan roti yang terbuat dari Ragi A. Rogi ragi A memiliki keseragaman pori-pori
yang lebih besar dibanding roti ragi B. Berdasarkan uji organoleptik, Roti yang
terbuat dari ragi A maupun Ragi B memiliki rasa, aroma, dan tekstur yang sama
yaitu tidak memiliki rasa, aroma, dan bertekstur empuk.
4.4 Pengaruh Jumlah Gula
Untuk percobaan mengenai pengaruh gula terhadap pembuatan roti, dapat
diamati perbedaannya pada kelompok 1, 6, dan 8. Kelompok 1 menggunakan gula
sebanyak 5%, kelompok 6 tanpa gula, dan kelompok 8 menggunakan gula
sebanyak 10%.
Dari tabel 4.1 dapat dilihat bahwa gula tidak mempunyai pengaruh yang besar
terhadap pembuatan roti. Pembuatan roti lebih dipengaruhi dari jenis tepung, jenis
ragi yang digunakan, garam, dan juga air. Gula hanya akan mempengaruhi
pembuatan roti dalam segi organoleptik.
Dari ketiga kelompok di atas, kelompok 8 mempunyai persentase konsentrasi
gula yang paling besar, sehingga crust dari roti akan semakin kuat dan akan
memberikan pengaruh rasa manis pada roti tersebut. Persentase gula tidak akan
mempengaruhi aroma dan tekstur dari roti. Gula bukanlah bahan baku yang
penting dalam pembuatan roti. Gula berfungsi untuk memberikan rasa manis
terhadap roti dan berfungsi sebagai makanan tambahan untuk pertumbuhan ragi.
4.5 Perhitungan Secara Langsung dan Tidak Langsung
4.5.1 Metode Langsung
Pada percobaan metode langsung yang telah dilakukan, sampel yang
digunakan pada percobaan ini diambil pada pengenceran 10-3 dari ragi A yaitu
fermipan dan ragi B yaitu saf instant. Kemudian sampel ini masing-masing

16
diteteskan pada hemasitometer, lalu diamati di bawah mikroskop di 5 area yang
telah ditentukan, kemudian jumlah selnya dihitung, lalu dirata-rata.
Tabel 4.2 Tabel Percobaan Hasil Metode Langsung
Kelompok Ragi Jumlah Sel
A 55000
8
B 306250
Dari tabel 4.2 dapat dilihat jumlah sel yang ada pada ragi jenis A dan B
(perhitungan terlampir). Dapat dilihat bahwa dari perhitungan metode langsung,
jumlah sel pada ragi B lebih banyak dibandingkan dengan jumlah sel yang ada
pada ragi A. Hal ini menunjukan bahwa jumlah sel ragi pada ragi A lebih sedikit
jika dibandingkan dengan ragi B.
4.5.2 Metode Tidak Langsung
Pada percobaan metode tidak langsung, percobaan ini dilakukan dengan cara
pengenceran dan pemupukan pada media PCA. Kemudian dilanjutkan dengan
menginkubasi pada suhu 30ºC selama 48 jam, kemudian dilakukan penghitungan
koloni.
Tabel 4.3 Tabel Percobaan Hasil Metode Tidak Langsung
Pengenceran
Kelompok Ragi
10-3 10-4 10-5
6 A Spread TBUD 612 (lebih dari 250)
7 B TBUD TBUD TBUD
Dari tabel 4.3 dapat dilihat bahwa jumlah koloni dari ragi B lebih banyak jika
dibandingkan dengan jumlah ragi A. Dapat dilihat pada tingkat pengenceran 10-5
saja, jumlah koloni dari ragi B adalah TBUD (Terlalu Banyak Untuk Dihitung).
Sampai tingkat pengenceran 10-5 saja jumlah selnya masih belum dapat untuk
dihitung. Sedangkan untuk ragi A, walaupun tidak masuk dalam range
perhitungan (lebih dari 250 x 105) tetapi jumlah koloni pada ragi A masih dapat
dihitung.
Baik untuk metode langsung maupun metode tidak langsung, didapatkan hasil
bahwa jumlah sel pada ragi B jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan ragi A.
Ragi adalah suatu bahan yang penting untuk dipertimbangkan dalam pembuatan
suatu produk seperti contohnya roti. Dalam pembuatan roti harus benar-benar
diperhitungkan dan diperhatikan dalam pemilihan jenis raginya. Ragi adalah salah
satu faktor yang sangat penting, yang mempunyai perngaruh yang besar terhadap
pembuatan roti.

17
4.6 Produksi Gas
4.6.1 Dalam Media Cair
Untuk percobaan produksi gas di dalam media cair, dilakukan dengan cara
pencampuran ragi dan media PDB yang mengandung konsentrasi gula yang
berbeda-beda dalam erlenmeyer. Kemudian mulut erlenmeyer ditutup dengan
balon kemudian dibiarkan selama 1 jam pada suhu ruang.
Tabel 4.4 Tabel Hasil Produksi Gas dalam Media Cair
Kelompok Ragi Konsentrasi Gula (%) Diameter (cm) Tinggi (cm)
1 0 7,80 12,60
2 5 7,30 12,80
A
3 10 8,70 13,02
4 15 9,71 15,64
5 0 7,60 13,50
6 5 8,30 13,90
B
7 10 9,36 14,46
8 15 9,50 14,40
Dapat dilihat, pada tabel 4.4 bahwa balon terbesar yang dihasilkan setelah
didiamkan selama 1 jam adalah pada kelompok 4 (dengan diameter 9,71 cm dan
tinggi 15,64 cm) dan yang menghasilkan balon terkecil adalah kelompok 2
(dengan diameter 7,30 cm dan tinggi 12,80 cm). Kelompok 4 menggunakan ragi
A dengan penambahan gula sebesar 15% sedangkan kelompok 2 menggunakan
ragi A dengan penambahan gula sebesar 5%. Dari hasil percobaan ini didapatkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi gula yang ada, maka balon yang dihasilkan
akan semakin besar juga. Ini kemungkinan disebabkan karena gula adalah sumber
makanan tambahan bagi ragi, sehingga semakin banyak gula yang ada maka
pertumbuhan ragi itu dapat semakin pesat. Ragi B yang lebih banyak jumlahnya
dari ragi A tidak menghasilkan balon yang cukup besar mungkin disebabkan
karena pada ragi B terlalu banyak jumlahnya sehingga tidak semua ragi dalam
ragi B mendapatkan makanan yang cukup.
4.6.2 Dalam Matriks Pangan
Dalam percobaan produksi gas dalam matriks pangan, dilakukan dengan cara
mengambil sebagian adonan kemudian ditutup dengan kain lembab, lalu sekitar 1
jam dilakukan pengukuran terhadap panjang, lebar dan tinggi dari adonan
tersebut. Penutupan dengan kain lembab dilakukan untuk mengkondisikan supaya
suasana lembab, anaerob, mengkondisikan agar suasana tidak terlalu panas
sehingga dapat melihat kerja dari ragi.

18
Tabel 4.5 Tabel Hasil Produksi Gas dalam Matriks Pangan
Kelompok Ragi Panjang (cm) Lebar (cm) Tinggi (cm)
Awal 7,10 5,65 3,09
1 A
Akhir 10,15 8,44 3,64
Awal 4,85 5,33 3,90
2 A
Akhir 8,15 7,805 3,41
Awal 6,19 6,51 4,42
3 A
Akhir 8,29 8,91 5,01
Awal 6,35 6,04 4,64
4 A
Akhir 10,57 9,86 2,73
Awal 7,15 6,45 3,78
5 B
Akhir 10,11 9,78 3,44
Awal 5,43 5,36 3,04
6 B
Akhir 6,57 6,50 5,08
Awal 6,50 7,27 4,00
7 B
Akhir 8,74 9,70 4,20
Awal 5,445 5,86 2,215
8 B
Akhir 7,89 8,55 2,01

Pada percobaan produksi gas dalam matriks pangan yang telah dilakukan dan
dapat dilihat pada tabel 4.5. Untuk kelompok 2, 4, 5, dan 8, terjadi peningkatan
untuk panjang dan lebar sedangkan untuk tinggi terjadi penurunan. Hal ini
berbeda dengan kelompok 1, 3, dan 6 dimana semua hasil akhir dari produksi gas
terhadap matriks pangan mengalami kenaikan atau peningkatan dalam panjang,
lebar dan tinggi, tetapi ada juga perbedaan yang dapat dilihat pada kelompok 7
bahwa hasil akhirnya baik untuk panjang, lebar, maupun tinggi mengalami
penurunan. Hasil percobaan akhir yang berbeda-beda mungkin disebabkan oleh
penutupan kain lembab yang kurang tepat atau kelembaban yang berbeda dari
setiap kelompok sehingga pertumbuhan ragi yang berfungsi untuk
mengembangkan adonan tidak bisa maksimal.
4.7 Wet Gluten test
Dalam melakukan wet gluten test, dilakukan dengan cara mencampur 25 gram
tepung ditambahkan dengan 15 ml akuades dan 1 gram garam. Adonan tersebut
dibentuk menjadi bulat padat kemudian direndam dalam air, kemudian dibilas
dengan air mengalir hingga air yang keluar tersebut berwarna bening. Warna
bening yang keluar itu menandakan bahwa gluten sudah bebas dari pati dan
komponen larut air lainnya sehingga benar-benar didapatkan gluten yang sudah
bebas dari pati. Berikut ini adalah tabel hasil penimbangan wet gluten.

19
Tabel 4.6 Tabel Wet Gluten
Kelompok Jenis Protein Ragi Berat wet gluten (gram)
1 High Protein A 8,88
2 Medium Protein A 6,26
3 Low Protein A 4,72
4 High protein 80% dan Tepung beras 20% A 7,90
5 High protein 80% dan Tapioka 20% B 7,13

Dapat dilihat dari tabel 4.6 bahwa kandungan gluten pada tepung terigu high
protein paling besar jumlahnya, dibandingkan dengan jumlah gluten pada tepung
terigu jenis medium protein maupun low protein. Semakin rendah kandungan
protein dalam tepung terigu, maka gluten yang dihasilkan akan semakin sedikit.
Penambahan tepung beras dan tapioka ke dalam high protein juga akan
mempengaruhi gluten yang ada. Dalam pembuatan roti, gluten sangat
mempengaruhi produksi roti yang akan dihasilkan. Semakin tinggi glutennya
maka kualitas roti yang dihasilkan juga akan semakin baik. Tepung terigu high
protein adalah tepung terigu yang paling baik digunakan dalam pembuatan roti.

20
BAB V

KESIMPULAN

Terigu high protein dapat menyebabkan roti menjadi empuk dan memiliki
tinggi volume serta berat yang lebih besar daripada roti yang terbuat dari terigu
medium protein dan low protein. Penambahan tapioka menyebabkan roti memiliki
tekstur yang lebih kenyal dibanding dengan roti yang tidak mengalami
penambahan tapioka, sedangkan beras ketan menyebabkan roti memiliki tekstur
yang lebih keras dan penamapakan crust yang lebih pucat.
Perbedaan jenis ragi yang digunakan tidak mempengaruhi rasa, aroma, dan
tekstur dari roti. Tinggi, volume, dan berat yang dihasilkan juga tidak berbeda
jauh. Gula bukanlah bahan baku utama dalam pembuatan roti. Pembuatan roti
lebih dipengaruhi dari jenis tepung, jenis ragi yang digunakan, garam, dan juga
air.
Dalam perhitungan jumlah sel ragi secara langsung dan perhitungan jumlah
koloni ragi secara tidak langsung, dapat disimpulkan bahwa ragi B mempunyai
jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ragi A. Semakin tinggi
konsentrasi gula, maka akan semakin besar pula produksi gas yang akan
dihasilkan oleh ragi.
Produksi gas dalam matriks pangan dipengaruhi oleh penutupan kain lembab
kepada adonan yang mempengaruhi ragi untuk dapat bekerja secara optimal
dalam mengembangkan adonan. Kandungan gluten pada tepung terigu high
protein paling besar jumlahnya jika dibandingkan dengan yang lainnya (tepung
terigu medium protein dan low protein). Semakin tinggi kandungan protein dalam
tepung terigu, maka akan semakin besar juga gluten yang dihasilkan.

21

Anda mungkin juga menyukai