Anda di halaman 1dari 3

Pengertian 

nasikh secara umum ialah menghilangkan atau menghapus, sedangkan


bagian yang dihapus dinamakan mansukh. Menurut Manna’ Khalil Al Qattan dalam
bukunya “Ulumul Qur’an” bahwa nasakh adalah mengangkat atau menghapus
hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.
Mengenai nasakh, Al Syatibi menegaskankan
bahwa para ulama mutaqaddimin (ulama abad ke I hingga abad ke III  H.)
memperluas arti nasakh di ataranya:
1. Pembatalan hukum yang ditetapkan kemudian.
2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian.
3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang belum jelas (samar)
4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.
Bahkan menurut Muhammad Azhim al Zarqani dalam bukunya “Manahil Al-Urfan Fi-
Ulum Al-Quran” beranggapan bahwa ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu
kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda
akibat adanya kondisi lain.
Misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Mekkah di saat
kaum muslim lemah, dianggap telah dinasakh oleh adanya perintah atau izin
berperang pada periode Madinah karena kondisi mereka sudah kuat. Bahkan
ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa sebelum
Islam termasuk dalam pengertian nasakh.
Pengertian yang begitu luas tersebut dipersempit oleh para
ulama muta’akhirin (ulama setelah abad ke III M.). Menurut mereka, nasakh terbatas
pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan atau
mencabut atau menyatakan berakhirnya masa
pemberlakuan hukum yang terdahulu sehingga ketentuan hukum yang berlaku
ada yang ditetapkan terakhir.
Baca Juga: Perlu Tahu, Inilah Sejarah Pengumpulan Al Quran
Mengenai lingkup nasakh, Manna’ khalil al Qattan menyimpulkan
bahwa nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan
dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar)
yang bermakna ‘amar (perintah) atau nahyi (larangan).  
Jika hal tersebut tidak berhubungan dengan persoalan akidah, dzat Allah, sifat Allah,
kitab-kitab Nya, para rasul-Nya dan hari kemudian, serta tidak berkaitan pula dengan
etika dan akhlak atau dengan pokok-pokok ibadah dan muamalah.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam nasakh diperukan beberapa
syarat di antaranya:
1. Hukum yang dimansukh adalah hukum syara’.
2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah kitab syar’i yang datang lebih dulu dari
kitab yang hukumnya mansukh.
3. Kitab yang mansukh hukumnya tidak terikat (dibatasi) dengan waktu tertentu. Sebab
jika tidak demikian  maka hukum akan berakhir dengan berakhirnya waktu tersebut,
yang demikian tidak dinamakan nasakh.
PEMBAGIAN NASAKH
Para ulama membagi nasakh menjadi beberapa di antaranya:
Nasakh sunnah dengan sunnah
Suatu hukum syara’ yang dasarnya sunnah kemudian dinasakh atau dihapus dengan
dalil syara’ dari sunnah juga. Misalnya larangan ziarah kubur yang dinasakh menjadi
boleh. Seperti sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Dalam hal nasakh sunnah dengan sunnah, Manna’ Khalil Al Qattan membagi empat,
yaitu;
1. Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
2. Nasakh ahad dengan ahad.
3. Nasakh ahad dengan mutawatir.
4. Nasakh mutawatir dengan ahad.
Tiga bagian pertama diperbolehkan sedangkan bagian keempat terjadi silang
pendapat. Namun jumhur ulama tidak membolehkan.
Nasakh Sunnah dengan Al Qur’an
Suatu hukum yang telah ditetapkan dengan dalil sunnah kemudian dinasakh dengan
dalil Al Qur’an. Seperti shalat yang semula menghadap ke Baitul Maqdis kemudian
menjadi menghadap Ka’bah di Masjidil Haram setelah turun ayat Al Qur’an surah Al
Baqarah ayat 144.
‫ث‬
ُ ‫ح ْي‬
َ ‫ح َرا ِم ۚ َو‬َ ‫ج ِد ا ْل‬
ِ ‫س‬ ْ ‫م‬ َ ‫ط َر ا ْل‬
ْ ‫ش‬
َ ‫ك‬ َ ‫ج َه‬ ِّ ‫ها ۚ َف َو‬
ْ ‫ِل َو‬ َ ‫ك قِ ْبلَ ًة تَ ْر‬
َ ‫ضا‬ َ ‫ما ِء ۖ َفلَ ُن َوِلِّيَ َّن‬
َ ‫الس‬
َّ ‫ك فِي‬َ ‫ج ِه‬ َ ُّ ‫ى تَ َقل‬
ْ ‫ب َو‬ ٰ ‫ْد نَ َر‬
َ
َ ‫مونَ أنَّ ُه ا ْل‬ ُ َ‫اب لَيَ ْعل‬ ُ
َ ‫ين أو ُتوا ا ْلكِ َت‬ ْ ‫ش‬ ُّ
ُ ‫م َف َولوا ُو‬
ٍ ِ‫م ۗ َو َما اللَّ ُه بِغَاف‬
‫ل‬ ْ ‫ن َرِبِّ ِه‬ ْ ‫حقُّ ِم‬ َ ‫ط َر ُه ۗ َوإِنَّ الَّ ِذ‬ َ ‫ُم‬
ْ ‫هك‬َ ‫جو‬ ْ ‫َما ُك ْن ُت‬
َ‫ملُون‬ َ ‫ما يَ ْع‬ َّ ‫َع‬
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami
akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan
Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari
Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Baca Juga: Mengenal 2 Metode Menghafal yang Mendunia
Nasakh Al Qur’an dengan Al Qur’an
Hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil ayat Al Qur’an kemudian dinasakh dengan
dalil ayat Al Qur’an pula. Seperti dalam surah Al Baqarah ayat 106. Seperti hukum
yang terdapat sebelumnya terlalu ringan dan diganti menjadi hukum yang lebih berat
begitu juga sebaliknya.
ٌ ‫ي ٍء َق ِد‬
‫ير‬ ْ ‫ش‬
َ ‫ُِل‬ ٰ َ‫م أَنَّ اللَّ َه َعل‬
ِّ ‫ى ك‬ ْ َ‫خ ْي ٍر ِم ْن َها أَ ْو ِم ْثلِ َها ۗ أَل‬
ْ َ‫م تَ ْعل‬ ِ ‫ة أَ ْو ُن ْن‬
َ ِ‫س َها نَ ْأتِ ب‬ ٍ َ‫ن آي‬
ْ ‫خ ِم‬
ْ ‫س‬
َ ‫َما نَ ْن‬
“Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu?”
Nasakh Al Qur’an dengan sunnah 
Nasakh jenis ini, menurut Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, membagi dua, yaitu;
Nasakh Al Qur’an dengan hadist Ahad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa hal itu tidak boleh, karena, hadist ahad
itu bersifat dzanni  (relatif benar) sementara Al Qur’an bersifat qath’ie (pasti benar).
Nasakh Al Qur’an dengan hadist Mutawatir
Nasakh jenis ini dibolehkan oleh Imam Malik, imam Abu hanfah dan Imam Ahmad
dalam satu riwayat, sebab masing-masing keduanya adalah wahyu. Dasarnya adalah
firman Allah dalam surah An Najm ayat 3-4,
( 4( ‫حى‬
َ ‫ي ُيو‬
ٌ ‫ح‬ ُ ْ‫) إِن‬3( ‫ن ا ْل َه َوى‬
ْ ‫ه َو إِال َو‬ ِ ‫ق َع‬
ُ ‫ط‬
ِ ‫َو َما يَ ْن‬
“Dan tiadalah yan   diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Imam As Suyuthi dalam bukunya Al Itqon fi Ulumul Quran merinci contoh contoh ayat
yang ternasakh.
 Ayat tentang qiblat
Seperti  surah Al Baqarah ayat 115 nasakh dengan surah Al Baqarah ayat 114.
Namun, Syekh Manna Khalil Al Qattan memberi pendapat berbeda, ayat pertama
tidak dinasakh sebab ia berkenaan dengan shalat sunnah saat dalam perjalanan
yang dilakukan di atas kendaraan, juga dalam keadaan takut dan darurat.
Dengan demikian, hukum ayat ini tetap berlaku, sebagaimana dijelaskan dalam as-
sahihain. Sedang ayat kedua berkenaan dengan salat  fardhu lima waktu. Dan yang
benar, ayat kedua ini menasakh perintah menghadap ke Baitul Makdis
yang ditetapkan dalam sunnah.
 Ayat tentang wasiat
Surah Al Baqarah ayat 180 di mansukh oleh surah An Nisa’ ayat 11-12 tentang Waris.
‫ح ًًّقا َعلَى‬
َ ۖ‫ف‬
ِ ‫م ْع ُرو‬ َ ِ‫ن َواأْل َ ْق َرب‬
َ ‫ين بِا ْل‬ ِ ‫صيَّ ُة لِ ْل َوالِ َد ْي‬
ِ ‫خ ْي ًرا ا ْل َو‬
َ ‫ك‬
َ ‫ت إِنْ تَ َر‬ َ ‫ُم ا ْل‬
ُ ‫م ْو‬ َ َ‫ض َر أ‬
ُ ‫ح َدك‬ َ ‫ح‬ ْ ‫ب َعلَ ْيك‬
َ ‫ُم إِذَا‬ َ ِ‫ُكت‬
‫ين‬ ُ ‫ا ْل‬
َ ِ ‫م َّت‬
‫ق‬
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”  (Al
Baqarah ayat 180)
 Ayat tentang puasa
Surah Al Baqarah ayat 184 di nasakh oleh Surah Al Baqarah ayat 185.
 Ayat tentang ‘Iddah
Surah Al Baqarah ayat 240 di nasakh oleh surah Al Baqarah ayat 234.
Terimakasih, semoga dari paparan diatas kita bisa menambah wawasan keilmuan
dan pengetahuan tentang samudra Al Qur’an. Mohon maaf atas keterbatasan ilmu
penulis. Semoga bermanfaat. Aamiin.{}

Anda mungkin juga menyukai