Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah
ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa’ al-Mansukh. Diantara sekian
banyak kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’ al-Hadits
wa Mansukhuhu”, buah karya al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-Atsram (261 H), rekan imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari
tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-
Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya muhaddits
Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad al-Bagdadi, yang lebih populer dengan nama
kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah
kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita
manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan
(manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di
Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol).
Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini.
imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam
ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam
Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata imam
Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan imam Syafi’i?” “Tidak”
jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “Kamu tidak dapat
mengetahui dengan sempurna
tentang mujmal dan mufassal seta nasikh dan mansukhnya suatu hadis
sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan imam Syafi’i.”
Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib RA pernah bertemu dengan seorang qadli, lalu
ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu
mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadis?” “Tidak”, jawab qadli itu.
“Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.
Daripada al-Barra’ bin Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari
kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul
Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.
Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi
sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan
seorang hakim, kemudian Ali bertanya “Apakah engkau
mengetahui nasikh dan mansukh”, sang hakim menjawab “Aku tidak
tahu”, kemudian Ali menegurnya dengan berkata “Rusaklah engkau dan
engkau telah menebar kerusakan”[8] Terlihat disini betapa Ali
memperhatikan tentang urgensi nasakh dan mansukh, beliau menegur
seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan
hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum
dalam hal ini nasikh dan mansukh.
Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah
mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-
imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka,
menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik
berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya
dalam bidang ini.[11]