Anda di halaman 1dari 6

Secara etimologi 

nasikh di ambil dari kata naskh yang memiliki dua arti,


pertama; menghilangkan. Kedua; memindahkan. Berarti nasikh adalah
yang menghilangkan atau yang memindahkan. Namun arti menghilangkan
atau menghapus lebih bisa digunakan dalam kaitannya dengan arti
terminologi.

Adapun secara terminologi nasikh memiliki banyak tafsiran, diantara


ulama ada yang mendefinisikan ia adalah penjelasan berakhirnya masa
berlaku sebuah ibadah. Menurut ulama yang lain ia adalah proses
menghilangkan sebuah hukum setelah ditetapkan. Namun banyak dari
ulama kontenporer yang ketika mendefenisikannya menitik beratkan pada
definisi yang diutarakan oleh imam al-Qaadhi, beliau menyatakan ia adalah
hukum yang menunjukan terhapusnya sebuah hukum tetap dengan hukum
yang baru berdasarkan sebab yang jika bukan karenanya maka pasti hukum
(pertama) itu tetap, juga karena keberadaan (hukum baru itu) terakhir.[1]

Mungkin untuk definisi nasikh yang lebih luas dan mudah dipahami adalah


definisi versi Imam Qaadhi, saya yakin definisi ini lebih tepat untuk
diambil dalam pembahasan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nasikh adalah


hukum penghapus atau hukum yang menggantikan hukum terdahulu.
Berarti istilah mansukh itu sendiri adalah hukum yang dihapus karena
adanya hukum baru.

Jadi mengenai konsep nasikh mansuk ringkasnya kami katakan sebagai


penghapus dan dihapus; yaitu hukum baru menghapus hukum yang lama,
seperti yang dikatakan dan dianut oleh imam al-Suyuthi serta
dikombinasikan dengan defenisi yang disampaikan oleh imam Qadhi di
atas. Adapun imam al-Suyuti sebagaimana yang beliau pilihkan dalam
bukunya Tadriib al-Raawi beliau katakan :

“Penghapusan Allah terhadap suatu hukum lama dengan hukum yang


baru”[2]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disarikan bahwa ilmu nasikh


mansukh adalah cabang ilmu hadis yang membahas hadis-hadis yang
tampak saling bertabrakan maknanya, yang tidak mungkin dapat
diharmoniskan antara satu dengan yang lainnya. Maka otomatis peneliti
harus menentukan salah satu hadis sebagai nasikh (penghapus) dan hadis
yang lain sebagai mansukh (yang dihapus), tentunya yang pertama adalah
hadits mansukh, sedangkan yang datang belakangan sebagai nasikh.

Jadi sederhananya, nasikh adalah yang menghapus hukum lama karena


adanya hukum baru, kemudian oleh Allah hukum baru tersebut ditetapkan
hingga hari kiamat bersifat abadi dan bukan temporal.[3]
Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh sudah ada sejak pendewanan hadis
pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu
yang berdiri sendiri. Kelahiranya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah
bin Di’amah as-Sudusy (61-118) H.) dengan tulisan beliau yang diberi judul
“An-Nasikh wa’ al-Mansukh”. Hanya perlu disayangkan bahwa kitab
tersebut tidak bisa kita manfaatkan, lantaran tidak sampai kepada kita.

Pada tahun-tahun yang berada diantara abad kedua dan ketiga, bangunlah
ulama-ulama untuk menulis kitab Nasikh wa’ al-Mansukh. Diantara sekian
banyak kitab nasikh yang masyhur diabad ini ialah kitab Nasikhu’ al-Hadits
wa Mansukhuhu”, buah karya al-Hapidh Abu Bakar Ahmad bin
Muhammad al-Atsram (261 H), rekan imam Ahmad. Kitab yang terdiri dari
tiga juz kecil-kecil itu juz ketiganya didapatkan di Daru’l-Kutubi’l-
Mishriyah. Kitab “Nasukhu’l-Hadits wa Mansukhuhu”, karya muhaddits
Iraq, Abu Hafsin bin Ahmad al-Bagdadi, yang lebih populer dengan nama
kurniyahnya Ibnu Syahin (297-385) adalah
kitab nasikh dan mansukh abad keempat yang sampai dan dapat kita
manfaatkan. Kitab ini terdiri dari dua buah naskah tulisan tangan
(manuskrip). Yang sebuah berada di Perpustakaan Ahliyah (nasional) di
Paris dan yang sebuah lagi disaimpan di Perpustakaan Escorial (Spanyol).

Kemudian setelah itu keluarlah kitab “Al-I’tibar fi-Nasikh wa’l-Mansukh


Mian’l-Atsar”. Karya al-Hafidh Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimy
(548-584 H.). Beliau memanfaatkan usaha ulama-ulama yang terdahulu
dalam ilmu ini, sehingga kitab yang disusunya sudah mencangkup seluruh
buah pikiran ulama-ulama itu. Sistematisnya diatur menurut bab-bab
fiqhiyah. Pada setiap bab fiqhiyah dikemukakan hadis-hadis yang
nampaknya berlawanan itu dengan tidak mengabaikan pendapat-pendapat
dari para ulama dan sekaligus nasikh dan mansukhnya. Tidak sedikit pula
kita dapatkan pendapat beliau sendiri dalam merajihkan suatu pendapat
atas pendapat lain. Pada tahun 1319 H. Kitab itu dicetak di India, kemudian
pada tahun 1346 H. Dicetak di Kairo dan pada tahun yang sama dicetak di
Halab dengan tahqiq Syaikh Raghib Ath-Thabakhi al-Halaby.

1. Cara Mengetahui Nasakh dan Mansukh pada Hadis


2. Dengan penjelasan dari nash atau syari’ sendiri, yang dalam ialah
Rasul SAW.
3. Dengan penjelasan dari para sahabat.
4. Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta asbabun wurud
hadis.[4]

1. Pendapat Ulama dan Bentuk Nasikh wa Mansukh

Para ulama banyak yang menaruh perhatian yang khusus dalam ilmu ini.
imam Syafi’i adalah termaksud ulama yang mempunyai keahlian dalam
ilmu Nasikh wa Mansukh. Hal itu ketahui berdasarkan wawancara imam
Ahmad dengan Ibnu Warih yang baru saja datang dari Mesir. Kata imam
Ahmad: “Apakah telah kamu kutip tulisan-tulisan imam Syafi’i?” “Tidak”
jawabnya. “Celakalah kamu”, bentak imam Ahmad, “Kamu tidak dapat
mengetahui dengan sempurna
tentang mujmal dan mufassal seta nasikh dan mansukhnya suatu hadis
sebelum kita semua ini tunduk berguru dengan imam Syafi’i.”

Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib RA pernah bertemu dengan seorang qadli, lalu
ditanyalah sang qadli itu. “Apakah kamu
mengenal nasikh dan mansukhnya suatu hadis?” “Tidak”, jawab qadli itu.
“Celakalah dirimu dan membuat pula celaka orang lain”, berikutnya.

Kata Az-Zuhry: “Mengetahui nasikh dan mansukhnya suatu hadits adalah


merupakan usaha yang memecahkan dan menghabiskan energi para
fuqoha.

Adapun bentuk Nasakh dan Mansukh yakni :

1. Nasakh Hadis Dengan Hadis

Ulama Usul al-Fiqh sepakat mengatakan hadis boleh dinasakhkan dengan


hadis,
yaitu mutawatir dengan mutawatir, mutawatir dengan masyhur dan mut
awatir dengan ahad. Contohnya ialah hadis larangan menziarahi kubur
dan menyimpan daging korban. Larangan-larangan ini pada
mulanya thabit dengan hadis dan hadis sendiri yang membenarkannya.
Oleh itu, nasakh ini dikatakan nasakh hadis dengan hadis.[5]

2. Nasakh Hadis dengan Alqur’an

Kebanyakan ulama termasuk ulama Zahiriyyah mengakui


adanya nasakh hadis dengan Alqur’an. Walau bagaimanapun, imam al-
Syafi’i tidak menerimanya. Jumhur berhujah bahwa nasakh seperti ini
memang berlaku dengan mengemukakan contoh perpindahan Kiblat dari
Baitul Maqdis ke Ka`bah. Sembahyang dengan mengadap ke arah Baitul
Maqdis sememangnya thabit tetapi dengan hadis bukan Alqur’an. Al-
Hazimi mengemukakan satu riwayat daripada al-Barra’ bin `Azib.

Daripada al-Barra’ bin Azib bahwa perkara yang dilakukan oleh Rasulullah
SAW apabila sampai di Madinah ialah menemui datuk neneknya dari
kalangan Ansar dan baginda bersembahyang mengadap ke arah Baitul
Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan.

Hadis ini telah dinasakhkan oleh ayat berikut yang artinya :

Sesungguhnya kami sering melihat mukamu mengadah ke langit, maka


sesungguhnya kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu
berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Surah al-Baqarah: 144)

3. Nasakh Alqur’an Dengan Hadis

Jumhur ulama termasuk Zahiriyyah mengharuskan nasakh hadis dengan


Alqur’an sementara imam Syafi’i mencegahnya. Bagaimanapun golongan
Hanafiyyah hanya mengharuskan nasakh Alqur’an dengan
hadis mutawatir dan masyhur kerana ianya tersebar luas di kalangan
manusia. Golongan yang mengharuskannya berhujah dengan ayat wasiat
kepada ibu bapak dan kaum kerabat.

Diwajibkan ke atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan


tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak berwasiat untuk
ibu bapak dan kaum kerabat secara ma`ruf, ini adalah kewajipan atas
orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah:180)

Ayat ini telah dimansukhkan dengan hadis: daripada Abu Umamah,


katanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah
SWT telah menentukan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan
hak masing-masing. Dengan itu, maka, tidak ada wasiat untuk waris (orang
yang berhak menerima pusaka).”

Tetapi golongan yang tidak mengharuskan bentuk nasakh ini menjawab


bahwa ayat wasiat itu sebenarnya dinasakhkan oleh ayat mawarith yaitu
ayat 11 surah al-Maidah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Abbas.[6]

4. Apakah Semua Hadis Yang Dimansukhkan Itu Disetujui Oleh


Semua

Oleh karena penentuan nasakh merupakan perkara yang diijtihadkan,


tentu sekali ada perbedaan pendapat ulama dalam menentukan sesuatu
hadis itu dimansukhkan ataupun tidak. Tidak semua hadis yang dikatakan
sebagai telah mansukh dipersetujui oleh semua pihak. Walau
bagaimanapun terdapat juga, hadis yang disepakati oleh ulama
sebagai mansukh. Dalam hal ini, Dr Yusuf al-Qaradhawi menyebut:
“Banyak hadis yang didakwa sebagai telah dimansukhkan tetapi setelah
dikaji ia tidaklah dinasakhkan. Ada hadis yang berbentuk `azimah dan ada
pula yang berbentuk rukhsah. Kedua bentuk ini mempunyai hukum
masing-masing pada tempatnya. Terdapat sesetengah hadis yang berkaitan
dengan keadaan tertentu dan hadis yang lain pula berkaitan dengan
keadaan yang lain, maka perbedaan keadaan itu bukan
menunjukkan nasakh.[7]

1. Urgensi dan Hikmah Memepelajari Nasikh wa Mansukh


Salah satu cabang pengkajian ilmu hadis yang terpenting utamanya adalah
yang berkenaan dengan hadis hukum yaitu Ilmu Nasikh dan Mansukh.
Kepentingannnya tidak dapat dihilangkan karena ia merupakan salah satu
syarat ijtihad. Secara azas seorang mujtahid harus mengetahui latar
belakang dalil secara hukum khususnya hadis yang akan dijadikan asas
hukum.

Atas dasar itulah al-Hazimy berkata : ”Ilmu ini termasuk sarana


penyempurna ijtihad. Sebab sebagaimana diketahui bahwa rukun utama
didalam melakukan ijtihad. Itu ialah adanya kesanggupan untuk memetik
hukum dari dalil-dalil naqli (nash) dan menukil dari dalil-dalil naqli itu
haruslah mengenal pula dalil yang sudah dinasakh atau dalil yang
menasakhnya. Memahami kitab hadis menurut arti literal adalah mudah
dan tidak banyak mengorbankan waktu. Akan tetapi yang menimbulkan
kesukaran adalah mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil nash yang tidak
jelas penunjukannya. Diantara jalan untuk mentahqiqkan (mempositifkan)
ketersembunyian arti yang tidak tersurat itu ialah mengetahui mana dalil
yang terdahulu dan manapula yang terkemudian dan lain sebaginya dari
segi makna”.

Para sahabat memberi perhatian yang tinggi, hal ini diikuti generasi
sesudahnya, seperti dirwiyatkan dari Ali RA, dia pernah berdialog dengan
seorang hakim, kemudian Ali bertanya “Apakah engkau
mengetahui nasikh dan mansukh”, sang hakim menjawab “Aku tidak
tahu”, kemudian Ali menegurnya dengan berkata “Rusaklah engkau dan
engkau telah menebar kerusakan”[8] Terlihat disini betapa Ali
memperhatikan tentang urgensi nasakh dan mansukh, beliau menegur
seseorang yang mempunyai posisi strategis dalam menentukan kebijakan
hukum namun tidak memiliki sejarah tentang proses produksi hukum
dalam hal ini nasikh dan mansukh.

Seorang ilmuwan hadis yang mengetahui nasakh dan masukh mempunyai


keunggulan, nasakh dan mansukh adalah ilmu yang rumit dan sulit
sebagaimana ungkapan al-Zuhri: “Yang paling memberatkan dan menguras
tenaga bagi ahli fikih adalah membedakan hadis yang telah dimansukh dari
dengan hadis yang manasihknya“.[9]

Imam Syafi’i seorang yang terkenal dengan gelar penolong sunnah


mempunyai peran yang besar dalam bidang ini, imam Ahmad bin Hambal
berkata kepada Ibnu Warah ketika dia kembali dari Mesir, “Apakah engkau
telah menyalin kitab-kitab imam Syafi’i”, Ibnu Warah
dengan apologis mengatakan dia tidak melakukan hal itu, kemudian
Ahmad bin Hambal berkata “Engkau telah menyia-nyiakan kesempatan,
kita tidak
mengetahui mujmal dan mufashol hadits, nasikh dan mansukh hadis
kecuali setelah mengikuti majlis Asy-Syafi’i.[10]
Pengetahuan tentang nasikh dan mansukh mempunyai fungsi dan peranan
yang besar bagi para ahli ilmu agar pengetahuan tentang suatu hukum
tidak kacau dan kabur. Karena itulah kita temukan perhatian mereka
kepada hadis sangat besar, imam Syafi’i, imam Hambali dan para imam
yang lain begitu menganggap penting ilmu ini, karena dia termasuk ilmu
yang dengannya pemahaman hadis akan menjadi benar dan tidak sempit.

Karena urgensinya ilmu ini, maka sahabat, tabi’in dan ulama sesudah
mereka memberikan perhatian yang sangat serius terhadapnya, imam-
imam juga menjelaskan hal ini kepada murid-murid mereka,
menganjurkan mempelajarinya, menekuninya, menemukan hal-hal pelik
berkenaan dengannya, mensistematisasikannya dan menyusun karya
dalam bidang ini.[11]

Sedangkan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yakni :

1. Memelihara kepentingan hamba.


2. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan
perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau
tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika hal
itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat
tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia
mengandung kemudahan dan keringanan.[12]

Anda mungkin juga menyukai